Keadaan alam perairan Kelurahan Pulau Abang cukup potensial untuk wisata bahari. Pengamatan terumbu karang dengan metode Transek line yang
dilakukan di 16 stasiun oleh LIPI 2004 dijumpai persentase tutupan karang hidup antara 0.00-55.86. Kondisi habitat terumbu karang cukup baik yaitu
rata-rata sebesar 20.30 karang hidup. Secara rata-rata pulau Petong memiliki persentase tutupan karang hidup yang terbaik yaitu sebesar 40.17, diikuti oleh
pulau Abang yang meliputi pulau Abang Besar dan pulau Abang Kecil sebesar 18.58 dan terakhir pulau Pengelap sebesar 8.37 Coremap Kota Batam
2006a; 2005b. Di pulau Petong karang batu yang dijumpai selain relatif lebih beragam,
juga penyebaran jenisnya lebih merata. Hal yang berbeda terjadi pada bagian barat pulau Pengelap, dimana keragaman dan penyebarannya tidak merata.
Selain beragam dan penyebarannya merata, terumbu karang di pulau Pengelap bisa dikatakan kondisinya sehat Coremap 2005c. Hal ini bisa dilihat dari
kelimpahan Acanthaster planci, yang merupakan hewan pemakan polip karang. Acanthaster planci ditemukan dalam jumlah yang sedikit, yaitu hanya 14 individu
per Ha. Kondisi terumbu karang bisa juga dinilai dari banyaknya ikan spesies
target, indikator, dan mayor. Ikan spesies target biasanya menggunakan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang asuhan nursery ground. Di pulau
Petong terdapat 736 individuha ikan indikator kepe-kepe butterfly fish suku Chaetodontidae. Ditinjau dari keadaan perairan alam dan kondisi perairan di
atas, ternyata perairan pulau Abang mempunyai potensi yang bagus untuk dijadikan ekowisata bahari. Dari uraian di atas, perairan pulau Abang yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata bahari terutama pulau Petong sebagaimana hasil studi Coremap 2005c sebagaimana
Tabel 35.
5.8 Beberapa Isu dan Permasalahan dalam Pengelolaan Perikanan Artisanal
Daerah Kelurahan Pulau Abang berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan perikanan artisanal karena letak dan sumberdaya ikan yang dikandung
daerah ini sangat banyak. Daerah pemancing sangat luas dan begitu juga dengan daerah penangkapan lainnya, daerah ini terbuka dan sangat luas
berbatasan oleh beberapa kabupaten antara lain Kabupaten Lingga Senayang, Kabupaten Indragiri Hilir Guntung dan Kabupaten Tanjungbalai Karimun Moro.
Potensi pariwisata dengan keanekaragaman hayati terumbu karang yang tergolong baik, kondisi pantai dengan pasir putihnya, dan hutan kepulauan serta
hutan bakau yang masih terpelihara akan menjadi pandangan yang menarik bagi wisatawan untuk datang ke Kelurahan Pulau Abang. Namun ada beberapa
permasalahan yang perlu menjadi perhatian penting agar tidak menghambat pengelolaan perikanan artisanal antara lain adalah:
5.8.1 Tingkat Pendidikan Penduduk Masih Rendah
Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Pulau Abang masih rendah rata- rata tingkat pendidikan terakhir adalah SD dan SMP, sehingga kualitas
sumberdaya manusia yang ada masih sangat rendah. Lulusan Perguruan Tinggi terdapat hanya 6 orang dan Akademi 7 orang, sedangkan yang tidak tamat SD
165 orang pada tahun 2004 Pemko Batam 2005b. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk
Kelurahan Pulau Abang, yaitu tenaga pendidik yang ada di pulau Abang masih kurang jumlahnya bila dibandingkan dengan jumlah anak sekolah, dan umumnya
tenaga pendidik atau guru berasal dari luar desa sehingga sering mudik ke kampung halamannya walaupun belum liburan sekolah. Fasilitas yang ada di
sekolah belum memadai, seperti ketersediaan buku-buku pelajaran dan alat-alat peraga yang menunjang proses belajar-mengajar.
Keterlibatan orangtua dalam pendidikan memegang peranan penting juga bagi pendidikan anak, tetapi umumnya kepala keluarga RTP di pulau-pulau kecil
lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga banyak ditemukan anak usia sekolah yang bekerja membantu orang tua untuk mencari
nafkah atau bekerja malaut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Berbagai faktor di atas mengakibatkan banyak anak-anak yang sering bolos sekolah pada
saat jam belajar dan akhirnya berhenti sekolah, dan kemudian memunculkan berbagai kenakalan remaja seperti judi dan mabuk-mabukkan.
5.8.2 Lemahnya Sistem Pemasaran Ikan
Berdasarkan karakteristik mata pencaharian masyarakat di Kelurahan Pulau Abang hampir semua kepala keluarga mempunyai aktivitas di bidang
perikanan tangkap, budidaya laut pembesaran ikan dan terdapat sebagian kecil penduduk yang berkebun. Namun demikian, kegiatan usaha perikanan tangkap
belum ditunjang oleh kegiatan pasca panen pengolahan ikan, karena belum adanya wadah seperti pasar untuk kegiatan perdagangan, sehingga hampir
seluruh hasil tangkapan ikan dan udang dijual kepada pedagang pengumpul dan Tauke yang berada di pulau-pulau kecil. Sedangkan hasil komoditas pertanian
hasil lahan perkebunan oleh penduduk lagi dikonsumsi sendiri, dan sebagian dijual kepada tetangga di sekitarnya, atau hanya dibagi-bagikan secara gratis
kepada masyarakat yang membutuhkannya. Dalam jumlah besar hasil-hasil tangkapan ikan di daerah ini dijual kepada
para pedagang pengumpul kaki tangan Tauke di pulau, dan kemudian dijual kepada Tauke pedagang besar, Tionghoa baik yang ada di pulau maupun di
kota Batam, dan kota Tanjung Pinang. Hal ini akibat tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana pemasaran yang baik. Pada umumnya, masyarakat nelayan yang
bermukim di pulau-pulau kecil jauh dari daratan Barelang kondisi aksesibilitasnya sangat sulit menjangkau pasar, sehingga tingkat pendapatan usaha perikanan
arstisanal di daerah ini relatif rendah. Hal ini disebabkan rendahnya harga komoditas perikanan yang dibeli para pedagang pengumpul atau Tauke di pulau-
pulau sebagai penentu harga price maker. Di daerah ini belum tersedia prasarana dan sarana pendukung kegiatan usaha perikanan tangkap, seperti:
Pelabuhan Pendaratan Ikan PPI, Tempat Pelelangan Ikan TPI, Lembaga Keuangan Mikro LKM atau Koperasi Nelayan, sehingga para nelayan artisanal
mengalami kesulitan mendapatkan sarana produksi seperti alat tangkap ikan dengan harga yang layak, dan posisi tawar bergaining position nelayan yang
lemah dihadapan Tauke karena sarana pemasaran untuk menunjang usaha penangkapan ikan belum tersedia di daerah ini.
5.8.3 Penangkapan Ikan dengan Cara Pemboman dan Racun
Cara penangkapan ikan lewat pemboman merupakan salah satu aktifitas yang masih terjadi di perairan Kelurahan Pulau Abang. Kegiatan ini dilakukan
oleh masyarakat nelayan yang datang dari di luar Kelurahan Pulau Abang. Usaha pencegahan oleh masyarakat setempat pernah dilakukan pengawasan
melalui kelompok nelayan setempat bersama aparat, tetapi mengalami kesulitan, karena para pembom seringkali menggunakan perahu penangkap ikan yang
mempunyai mesin yang lebih cepat daripada aparat. Sampai saat ini masalah perusakan sumberdaya ikan dan lingkungan pesisir ini belum terdeteksi dengan
jelas oleh masyarakat setempat, sebab mereka memiliki keterbatasan baik pemahaman cara mengatasinya maupun keberanian masyarakat nelayan. Selain
penangkapan ikan lewat pemboman, oknum penduduk di pulau-pulau kecil
lainnya terkadang juga melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan racun secara diam-diam.
Hingga saat ini, pada umumnya masyarakat nelayan di Kelurahan Pulau Abang relatif sudah memiliki tingkat kesadaran yang baik terhadap kelestarian
ekosistem hutan mangrove dan terumbu karang. Hal ini terjadi akibat adanya pembinaaan konservasi terumbu karang dari program Coremap lepada
masyarakat yang dimulai sejak tahun 2005 di daerah ini. Saat ini mereka sangat merasakan, apabila pengrusakan terhadap kondisi ekosistem terumbu karang
dengan adanya kegiatan-kegiatan penangkapan ikan dengan cara pemboman dan bahan beracun serta Trawl. Hal ini mengakibatkan populasi ikan dan
keanekaragaman hayati sumberdaya laut semakin berkurang. Jika hal ini dibiarkan, maka akan mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang, dan
mengakibatkan menurunnya jumlah hasil tangkapan ikan yang kini mulai dirasakan oleh masyarakat nelayan artisanal setempat. Pada akhirnya akan
berdampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat pulau, karena keluarga nelayan artisanal akan kehilangan sumber pendapatan dan sulit memenuhi
konsumsi ikan sesuai dengan kebutuhan RTP.
5.8.4 Penggunaan Alat Tangkap Trawl
Pukat harimau atau dikenal Trawl merupakan alat tangkap modern dengan peralatan mesin dan jaring Trawl yang canggih dimiliki oleh warga
masyarakat Kelurahan Pulau Abang. Pemilik alat ini adalah pengusaha besar Tauke besar dan tidak banyak yang memiliki alat tangkap ini di pulau-pulau
kecil Barelang. Di Kelurahan Pulau Abang hanya ditemukan 2 orang pemilik
yaitu Kecik dan Hasim, keduanya adalah penduduk dari etnis keturunan Cina.
Paling tidak terdapat 9 unit kapal Trawl yang dimiliki oleh pengusaha pulau Abang. Sebenarnya alat tangkap Trawl berdasarkan peraturan dan perundangan
yang berlaku yakni Kepres nomor 39 tahun 1980, alat tangkap Trawl sudah dilarang beroperasi di perairan Indonesia. Tetapi entah mengapa, di kawasan
Barelang ini masih terdapat kapal-kapal Trawl yang berlabuh parkir di pelataran atau darmaga pendaratan ikan milik para pengusaha ikan tauke. Pemandangan
parkir kapal pukat Trawl juga banyak terlihat di pelabuhan Pungkur, kota Batam dan konon juga banyak terdapat di pulau Bintan. Menurut informasi dari tokoh
masyarakat nelayan, mereka para pemilik Trawl tauke dilindungi backing oleh oknum aparat keamanan.
Alat tangkap ikan pukat Trawl merupakan sumber masalah bagi masyarakat nelayan pulau Abang, dan pernah terjadi konflik antara nelayan
artisanal dengan Tauke pemilik Trawl. Menurut informasi dari nelayan setempat pada tahun 2004 satu unit alat tangkap pukat Trawl di Kelurahan Pulau Abang
ditangkap dan kemudian dibakar oleh masyarakat nelayan karena pukat Trawl tersebut diketahui armadanya beroperasi di zona perairan daerah penangkapan
ikan nelayan artisanal 1-4 mil. Berdasarkan pengakuan masyarakat nelayan artisanal setempat, keberadaan
Trawl sangat mengganggu aktivitas
penangkapan nelayan tradisional dan menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan, karena ekosistem terumbu karang menjadi rusak dan kondisi
air keruh yang membahayakan kesehatan ikan dan biota laut lainnya, bubu terangkat ke permukaan dan jaring karang milik nelayan artisanal putus.
Berdasarkan pengakuan masyarakat nelayan, keberadaan alat tangkap Trawl didukung dan dilindungi oleh oknum tenaga keamanan komprador, meminjam
istilah Satria, 2001, dan oleh karena itu agak sulit dihapuskan di perairan Barelang.
Selain alat pukat Trawl, di daerah ini terdapat pula pukat Bilis sejenis Trawl, yang terdapat di Tanjung Cakang perkampungan nelayan Air Lingka
Galang. Alat tangkap ini dimiliki seorang pengusaha keturunan Tionghoa bernama Layam. Jumlahnya ada sebanyak 7-10 unit armada, akan tetapi
perlakuan masyarakat nelayan terhadap alat tangkap ini agak berbeda dengan pukat Trawl. Masyarakat nelayan artisanal di beberapa pulau tidak memberi izin
beroperasi di pulau-pulau kecil di Kelurahan Pulau Abang dan Karas Kecamatan Galang, kecuali masyarakat nelayan pulau Petong itu sendiri dengan syarat
membayar sewa perairan laut sea rent kepada masyarakat pulau melalui ketua RT dan RW setempat. Besar sewa laut tersebut tergantung jumlah unit kapal dan
lamanya beroperasi. Walaupun, para nelayan pulau Petong mulai merasakan berkurangnya hasil tangkapan untuk spesies target cumi-cumi Loligo spp dan
sotong Sepla spp, akibatnya langka dan hilangnya populasi ikan bilis ikan teri di perairan Petong.
5.8.5 Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Beberapa aktivitas yang merusak ekosistem terumbu karang seperti penangkapan ikan dan biota laut lainnya dengan menggunakan bom dan racun,
menggunakan tongkat galah untuk menggerakkan perahu, dan melepas jangkar saat perahu berhenti di sembarang tempat cenderung merusak terumbu
karang yang ada di Kelurahan Pulau Abang. Nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom dan racun sebagian besar penduduk berasal dari
luar desa, namun pernah ada juga beberapa orang nelayan pulau Abang yang masih menggunakanya secara sembunyi-sembunyi sebelum adanya program
Coremap sejak tahun 2005. Hasil survei data dasar tahun 2004 tentang keadaan ekosistem terumbu karang di Kelurahan Pulau Abang ditemukan lokasi
yang memiliki tutupan karang yang cukup baik. Namun, ada juga beberapa lokasi yang mengalami kerusakan-kerusakan terumbu karang.
5.8.6 Erosi Pantai dan Kerusakan Hutan Mangrove
Erosi pantai dapat terlihat dengan jelas, dan salah satu diantaranya, terjadi di pantai pulau Abang Besar sebelah Utara. Erosi ini terjadi akibat
pengikisan dari air laut yang terjadi dari tahun ke tahun dan juga akibat penambangan pasir sand mining yang marak di pulau-pulau kecil di kawasan
Barelang. Hal ini mengakibatkan tanah, pasir dan batu bisa hanyut terbawa arus dan gelombang air laut. Masalah erosi ini lebih terasa ketika masyarakat
mengambil batu-batu lapis yang melekat di tanah lalu dijual ke sebuah perusahaan yang membelinya untuk dibuat sebagai batu dasar pada kegiatan
pengaspalan jalan raya dan pengambilan batu-batu besar untuk fondasi bangunan rumah dan sarana fisik lainnya.
Selain pengambilan batu-batuan dan pasir di pantai, kegiatan-kegiatan seperti penebangan bakau untuk keperluan rumah tangga maupun komersil dan
penambangan karang untuk keperluan bahan bangunan oleh masyarakat juga mempercepat terjadinya erosi pantai, dan gejala ini sangat dirasakan pengaruh
negatifnya oleh masyarakat Kelurahan Pulau Abang. Di daerah ini terdapat sekitar 2 unit dapur arang yang masih beroperasi yang menggunakan kayu-kayu
hutan mangrove yang ada di sekitar pulau Abang Besar dan Tanjung Cakang Air Lingka Kecamatan Galang.
5.8.7 Kelangkaan Air Bersih
Ketersediaan air bersih di Kelurahan Pulau Abang ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya dapat dikatakan kurang mencukupi. Beberapa sumur
yang digali ada yang kualitasnya baik atau tidak mengandung garam, tetapi ada beberapa sumur yang airnya mengandung garam, walaupun dengan kadar
garam yang rendah. Untuk air yang mengandung kadar garam rendah biasanya digunakan
masyarakat di pulau-pulau kecil untuk mandi dan mencuci pakaian. Untuk
keperluan air minum dan masak biasanya penduduk menggunakan air sumur yang tidak mengandung garam. Dari segi kuantitasnya di daerah ini hanya
terdapat 1 lokasi mata air dengan 10 buah sumur di perkampungan nelayan, dan kapasitasnya tidak mampu mensuplai air ke seluruh masyarakat terutama pada
musim kemarau yang daya resap air menurun. Kualitas dan kuantitas ketersediaan air bersih di Kelurahan Pulau Abang
terutama pada musim panas semakin menurun. Penyebab turunnya kualitas dan kuantitas air bersih ini antara lain:
1 Penebangan pohon secara liar dan pembukaan hutan yang masih sering dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Pulau Abang terutama di sekitar
sumber mata air. 2 Pemeliharaan sarana air bersih terutama yang ada di Pulau Abang Kecil
kurang terpelihara dan dirawat dengan baik, sehingga fasilitas bak penampung air yang ada telah rusak dan tidak dapat berfungsi lagi, dan
hingga sekarang belum mendapat perhatian yang serius dari Pemko Batam.
5.8.8 Sampah dan Sanitasi Lingkungan
Masalah sanitasi lingkungan telah menjadi perioritas program pembangunan bagi masyarakat Kelurahan Pulau Abang. Permasalah sampah
sangat dirasakan oleh masyarakat nelayan, karena tidak adanya fasilitas berupa tempat pembuangan sampah akhir TPA, sehingga masyarakat sering
membuang sampah di pantai terutama masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil. Selain sampah, masalah pembuangan limbah dan kotoran manusia di
pantai juga sering terjadi di Kelurahan Pulau Abang. Perbuatan ini dilakukan oleh sebagian besar penduduk pulau, disebabkan kondisi lingkungan yang tidak
mendukung dengan sulitnya penduduk mendapatkan air bersih, dan ditambah lagi tingkat pemahaman maupun kesadaran masyarakat yang masih rendah.
Kondisi demikian juga diperparah oleh kurangnya sarana mandi cuci kakus MCK, seperti jamban WC di perkampungan nelayan, akibatnya masyarakat
membuang kotoran di pantai. Dari segi estetika, hal ini sangat merusak tatanan keindahan alam di perdesaan pesisir dan pulau-pulau kecil, dan dari segi sanitasi
bepotensi menimbulkan berbagai penyakit seperti muntaber, malaria, kolera, dan penyakit menular lainnya yang membahayakan kehidupan penduduk di
lingkungan pulau-pulau kecil.
BAB 6 ANALISIS KARAKTERISTIK PENGELOLAAN DAN TIPOLOGI
HAK-HAK KEPEMILIKAN PERIKANAN ARTISANAL
Persoalan hak-hak kepemilikan property rights hingga kini hanya mendapatkan perhatian yang serba terbatas oleh para ekonom dalam pengambil
kebijakan pembangunan sektor perikanan dan kelautan di Indonesia. Ekonomi kapitalis mempercayai bahwa satu-satunya hak kepemilikan yang harus dirawat
adalah hak-hak kepemilikan individu private property rights, sedangkan ekonomi sosialis menyakinkan bahwa hak kepemilikan yang betul hanyalah hak-
hak kepemilikan negara state property rights. Padahal, dalam realitasnya, persoalan hak kepemilikan di negara berkembang, seperti Indonesia, yang
secara ekstrim tidak menganut rezim private maupun state property rights, dan hal ini menghendaki analisis yang lebih tajam dari sekedar memilih diantara
kedua kutub yang berseberangan tersebut. Sementara itu, bagi pengambil kebijakan masalah kepemilikan bukan sekedar memilih jenis hak kepemilikan,
namun bagaimana hak kepemilikan itu diregulasi dan ditegakkan, sehingga membantu proses pembangunan ekonomi daerah Yustika, 2006.
Dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan, terutama perikanan skala kecil pantai seperti pengembangan perikanan artisanal terdapat 2
komponen pokok yang perlu mendapat perhatian. Pertama, sumberdaya alamnya termasuk ikan, habitat dan biota laut lainnya yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber kehidupan masyarakat; dan Kedua, adalah sistem sosial kemasyarakatan atau penduduk setempat yang memanfaatkan sumberdaya
hayati tersebut untuk keperluan hidupnya berdasarkan pranata-pranata sosial yang menjadi pedoman berprilaku dan mengintegrasikan masyarakat nelayan.
Hal tersebut justru sebaliknya dari pendapat Emmerson 1980 yang mengatakan bahwa dalam perikanan tradisional skala kecil, pengelolaannya lebih ditekankan
kepada sumberdaya ikannya, ketimbang mengurus komponen sosial masyarakat yang anggotanya secara berkelompok atau individual berperan aktif dalam
mengeksploitasi sumberdaya ikan. Permasalahan akan timbul seiring dengan tekanan eksploitasi
sumberdaya ikan yang makin intensif, karena perkembangan penduduk setempat dan peningkatan permintaan terhadap hasil laut terus meningkat. Kondisi lebih
tangkap over exploited, kelangkaan scarcity spesies ikan tertentu sebagai komoditas bernilai ekonomis tinggi seperti ikan kerapu, ikan napoleon, udang dan
lain-lain akan sangat berkaitan dengan masalah perilaku masyarakat yang menangkap ikan, menjual dan mengkonsumsi hasil laut tersebut. Isu atau
problem perikanan akan mengarah pula pada problem kelembagaan sosial seperti konflik antar kelompok nelayan, praktik penangkapan yang merusak dan
tidak ramah lingkungan serta masalah pelanggaran daerah penangkapan dan lain sebagainya Satria, 2006; Kusnadi, 2002; Christy dan Scott, 1986.
Di negara maju nilai keberadaan sumberdaya alam merupakan fungsi market pasar dan faktor perencanaan bagi pemerintah. Di negara-negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia faktor pasar dan policy pemerintah memang penting, tetapi faktor modal sosial social capital seperti tradisi, hukum
adat, kebiasaan penduduk, pengaruh agama dan lain-lain di kalangan komunitas nelayan tradisional memberikan pula pengaruh yang sangat besar dalam
kelangsungan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan. Dengan demikian, masalah utama dalam sistem kelembagaan sosial social institution system
sumberdaya ikan yang menekankan pengaturan atau mengurusi nelayan sebagai anggota masyarakat pesisir atau para pemangku kepentingan
stakeholders setempat akan menjadi bertambah penting peranannya untuk diperhatikan dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal Pollnac et al., 2000;
Ruddle et al., 1999; Ostrom, 1994. Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh masyarakat pesisir pada
dasarnya adalah proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat nelayan yang bermukim di pulau-pulau kecil atau desa
pantai untuk mengelola sumberdaya perikanan yang menjadi sumber mata pencahariannya dan lingkungan hidupnya Nikijuluw, 2002. Masyarakat pesisir
dalam hal ini adalah komunitas nelayan yang terdiri atas sekelompok orang yang bermukim di suatu kawasan desa-desa pesisir, mempunyai pranata-pranata
sosial dan tujuan yang sama disamping memanfaatkan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan perikatan keluarga, juga melakukan
pelestarian sumberdaya perikanan di lingkungannya. Beberapa contoh sistem pengelolaan yang telah dilakukan oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
dan sudah dilakukan studinya, antara lain adalah adat Sasi di pulau Saparua, Maluku Soselisa, 2001; Novaczek et al., 2001, Seke di Sangihe Talaud,
Sulawesi Utara Wahyono, 1993, Pengelolaan Terumbu karang di Jemluk-Bali Nikijuluw, 2002, Sistem Rumpon di Lampung Selatan Nikijuluw, 2002, dan
Rompong Makasar Saad, 1994, Awig-awig di NTB dan Bali Satria, 2005; Hidayat, 2005.
Berikut ini diuraikan mengenai daerah dan musim penangkapan ikan nelayan artisanal, dan beberapa karakteristik dan tipologi hak-hak kepemilikan
perikanan artisanal dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal berdasarkan jenis alat tangkap fishing gears dan daerah penangkapan ikan fishing ground
yang ditemukan di Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam.
6.1 Alat Tangkap dan Daerah Penangkapan Nelayan Artisanal