Berdarah Dengue PSN-DBD dengan 3M menguras, menutup dan mengubur Plus tidak menggantung pakaian, menggunakan repellent,
menggunakan kelambu ketika tidur, abatisasi, pemeliharaan ikan cupang.
Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa masyarakat mengetahui tentang pencegahan penyakit DBD, yaitu dengan PSN
DBD tetapi hanya sebatas 3M menguras, menutup dan mengubur tidak sampai Plus sehingga masih sering ditemukan jentik di dispenser,
pot bunga, barang bekas atau sampah di kebun yang dapat menampung air hujan. Hal ini lah yang menjadi penyebab angka kejadian DBD
tinggi meskpin persentase rumah sehat juga tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Octaviana 2007 menyatakan bahwa wilayah
endemis DBD terjadi pada rumah yang sehat daripada rumah yang tidak sehat.
D. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi
1. Angka Bebas Jentik ABJ
Angka bebas jentik merupakan salah satu ukuran untuk mengetahui kepadatan vektor jentik nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat
memberikan gambaran besar perkembangan vektor penyakit Demam Berdarah Dengue DBD pada suatu wilayah. Semakin banyak
ditemukannya jentik, maka dapat meningkatkan risiko penularan penyakit DBD WHO, 2000 dalam Fathi dkk, 2005. Wilayah atau
lingkungan dikatakan aman dari penyakit DBD bila persentase angka
bebas jentik mencapai target indikator nasional. Pencapaian indikator angka bebas jentik nasional dalam upaya menanggulangi penularan
penyakit Demam Berdarah Dengue DBD adalah lebih dari sama dengan 95 Kemenkes RI, 2014.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa secara spasial kasus DBD tinggi
lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas dengan angka bebas jentik yang juga tinggi tidak ditemukan banyak jentik.
Puskesmas yang selalu memiliki IR DBD tinggi dan angka bebas jentik yang juga tinggi adalah Puskesmas Rengas. Sedangkan, secara temporal
jumlah Puskesmas dengan ABJ rendah atau ditemukan banyak jentik di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 mengalami peningkatan.
Puskesmas Rengas hanya membawahi Kelurahan Rengas. Hasil persentase angka bebas jentik di Kelurahan Rengas dalam kurun waktu
3 tahun berturut-turut adalah berada diatas indikator 95, tetapi kasus DBD terus tinggi dengan IR DBD berada diatas indikator
nasional 51 per 100.000 penduduk meskipun terdapat pasien DBD berasal dari luar wilayah kerja Puskesmas Rengas. Hal ini menunjukkan
bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada, yaitu biasanya wilayah dengan angka bebas jentik tinggi, maka kasus DBD
rendah dan sebaliknya. Faktor yang memungkinan hal ini terjadi adalah validitas data. Salah satu yang dapat menyebabkan ketidakvalidan data
angka bebas jentik, yaitu kinerja petugas survei yang kurang baik.
Pada waktu pemeriksaan jentik, petugas survei jentik kurang teliti dan hanya melakukan pemeriksaan pada tempat-tempat penampungan
air besar seperti bak mandi, ember dan drum. Namun, masih banyak tempat keberadaan jentik yang tidak diperiksa seperti vas bunga,
penampungan air di belakang kulkas, penampungan tetesan air conditioner AC sehingga mungkin masih ada jentik yang tidak terlihat
atau ditemukan, baik pada rumah yang diperiksa maupun tidak diperiksa. Selain itu, rumah di Kelurahan Rengas sebagian besar adalah
komplek sehingga hanya sebagian rumah yang dapat diperiksa ada atau tidak jentik oleh petugas survei jentik. Dengan begitu, hal ini
mengakibatkan banyak jentik Aedes aegypti yang tidak diketemukan oleh petugas survei jentik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sungkar, dkk 2006 di Jakarta Utara yang menunjukkan bahwa angka
bebas jentik yang terlapor telah mencapai 95, tetapi angka kasus penderita DBD masih tetapi tinggi. Sungkar menyatakan salah satu
faktor yang menyebabkan angka bebas jentik tinggi diduga karena faktor kinerja jumantik yang kurang teliti saat melakukan pemeriksaan
jentik. Selain itu, angka kasus DBD yang tinggi sedangkan ABJ tinggi
juga dapat disebabkan oleh faktor mobilitas yang tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita DBD di Kelurahan Rengas
tahun 2013-2015 terbanyak adalah pada usia ≥ 15 tahun 2013=64,5 per
100.000 penduduk; 2014=114 per 100.000 penduduk; dan 2015=90 per 100.000 penduduk. Hal ini berarti penderita DBD tidak hanya tergigit
nyamuk infektif virus Dengue di lingkungan sekitar rumah saja, tetapi juga dapat di lingkungan tempat kerja, pasar, tempat ibadah atau
tempat-tempat umum lainnya. Aktifitas dan pekerjaan penduduk menyebabkan terjadinya mobilitas, baik dalam kota maupun luar kota
Rahim dkk, 2013. Faktor mobilitas merupakan salah satu faktor risiko yang dapat
menyebabkan virus DBD pada individu mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga mempengaruhi penyebaran penyakit
DBD. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gama dan Betty 2010 di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa mobilitas
berhubungan dengan kejadian DBD. Mereka yang memiliki kebiasaan berpergian dengan minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD
memiliki risiko 9,29 kali lebih besar daripada yang tidak berpergian.
E. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Non-Fisik
1. Kepadatan Penduduk
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa berdasarkan analisis spasial
kasus DBD tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi. Berdasarkan analisis
temporal, jumlah Puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi tahun 2013-2015 mengalami kecenderungan yang meningkat. Puskesmas