Simpul 5: Variabel Supra Sistem

menentukan kecepatan angin adalah kmjam atau knot 1 knot = 0,5148mdet = 1,854 kmjam Neiburger, 1995 dalam Ernyasih, 2012. Kecepatan angin secara tidak langsung dapat mempengaruhi suhu udara dan kelembaban. Sedangkan, secara langsung dapat mempengaruhi kemampuan terbang vektor nyamuk. Menurut Brown 1983 nyamuk Aedes aegypti mempunyai jarak terbang sejauh 50-100 mil atau 81-161 km Fitriyani, 2007. Kecepatan angin 11-14 mdetik dapat menghambat aktivitas terbang nyamuk sehingga menyebabkan penyebaran vektor juga terbatas Vanleeuwen, 1999. Menurut teori yang dikemukakan oleh Poorwo dalam Purba 2006 angin sangat mempengaruhi arah terbang nyamuk dan nyamuk melakukan perkawinan di udara. Andriani dalam Dini 2010 menyatakan bahwa semakin tinggi kecepatan angin, maka semakin sulit nyamuk untuk terbang. Sebab, tubuh nyamuk yang kecil mengakibatkan mudah terbawa angin. Oleh karena itu, nyamuk sulit untuk berpindah-pindah tempat dengan jarak yang jauh, sehingga kemungkinan penularan akibat nyamuk menjadi kecil. Penelitian oleh Dini 2010 menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara kecepatan angin dengan insiden DBD. 5 Kepadatan Vektor Semakin tinggi angka kepadatan vektor akan meningkatkan risiko penularan penyakit DBD WHO, 2000 dalam Fathi, Keman dan Wahyuni, 2005. Penelitian yang dilakukan oleh Devriany 2012 di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2011 menunjukkan ada hubungan antara angka bebas jentik ABJ dengan tingkat endemisitas DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nalole 2010 secara spasial di Gorontalo bahwa terdapat hubungan antara ABJ dengan tingkat endemisitas DBD. 6 Rumah Sehat Rumah sehat adalah bangunan tempat berlindung dan beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan sosial sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara produktif. Menurut American Public Health Association APHA rumah dikatakan sehat, salah satunya adalah apabila dapat melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular dengan memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829MenkesSKVII1999 tentang Persyaratan kesehatan rumah tinggal sebagai berikut: a Bahan bangunan 1 Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain: debu total kurang dari 150 µgm 2 , asbestos kurang dari 0,5 seratm 3 per 24 jam, plumbum Pb kurang dari 300 mgkg bahan. 2 Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen. b Komponen dan penataan ruangan 1 Lantai kedap air dan mudah dibersihkan 2 Dinding rumah memiliki ventilasi, sedangkan kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan 3 Langit-langit rumah mudah dibersihkan 4 Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya c Pencahayaan Pencahayaan alam danatau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. d Kualitas udara 1 Suhu udara nyaman antara 18 – 30ºC 2 Kelembaban udara 40 – 70 e Ventilasi Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10 luas lantai. f Vektor penyakit Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. g Penyediaan air Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter oranghari. h Pembuangan Limbah 1 Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah. 2 Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah. i Kepadatan hunian Luas kamar tidur minimal 8m 2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur. Dalam penelitian Farahiyah dan Setiani 2014 di Kabupaten Demak menunjukkan terdapat hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan IR DBD. Penelitian Zainudin 2003 menyatakan bahwa negara Mali, Volta, Ghana, Togo memiliki penyimpanan air domestik dengan menggunakan air yang besar sehingga ditemukan kejadian DBD yang tinggi di negara tersebut. Penelitian oleh Wahyono 2010 menyatakan bahwa kondisi lingkungan rumah pada kelompok penderita DBD adalah lebih dari 20 dengan pencahayaan di dalam rumah dan ventilasi yang cukup atau kurang, lebih dari 5 rumah terdapat jentik pada kontainer di dalam rumah dan lebih 20 dengan atap rumah asbes. 7 Kepadatan Penduduk Wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi memberikan peluang besar nyamuk Aedes aegypti yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya dalam penularan DBD Kemenkes RI, 2012. Semakin padat suatu wilayah, maka potensi penularan penyakit semakin besar Faldy, Kaunang Pandelaki, 2015. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan kepadatan penduduk Kemenkes RI, 2010. Penelitian yang dilakukan oleh Arsunan dkk 2013 di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih 2014 di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen menunjukkan secara spasial terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan DBD. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa kasus DBD di desa kelurahan tinggi dengan kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan wilayah lain. Akan tetapi, terdapat penelitian yang menunjukkan sebaliknya. Penelitian yang dilakukan oleh Syahrifa, Kaunang dan Ottay 2015 di Minahasa Selatan menunjukkan tidak ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan DBD.

D. Sistem Informasi Geografis SIG atau Geographic Information System

GIS 1. Definisi SIG Sistem informasi geografis merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis Aronoff, 1989 dalam Marjuki, 2014. Secara umum, sistem informasi geografis adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, sumber daya manusia dan data yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis Marjuki, 2014. Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem yang dapat mendukung dalam pengambilan keputusan dan mampu mengintegrasikan deksripsi lokasi dengan karakteristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi. Adapun input SIG dapat berasal dari data hasil survei lapangan, data klimatologi, data demografi, data sosial ekonomi Charter Agtrisari, 2004 dalam Farahiyah dkk, 2014.

2. Kegunaan SIG

Keunggulan utama dari SIG yaitu dapat melihat, memahami, menginterpretasikan, menampilkan data spasial dalam banyak cara yang memperlihatkan hubungan, pola dan trend secara spasial dalam bentuk peta, globe, laporan dan grafik. Penggunaan SIG dapat membantu dalam pemecahan masalah dengan cara menampilkan data menggunakan cara yang mudah dipahami dan hasilnya mudah disebarluaskan Marjuki, 2014. Dalam bidang kesehatan, aplikasi SIG berupa data spasial yaitu data yang menunjukkan gambaran nyata suatu wilayah yang terdapat di permukaan bumi dan data atribut non-spasial yaitu data berbentuk tabel yang berisi informasi deskripstif seperti kependudukan Suseno Agus, 2012; BAPPEDA Provinsi NTB, 2012. Kedua data tersebut dapat menggambarkan distribusi atau pola spasial penyebaran penderita suatu penyakit, pola atau model penyebaran penyakit, distribusi unit- unit pelayanan kesehatan misal, jumlah tenaga medis Prahasta, 2005. Secara garis besar kegunaan SIG yaitu kemampuan pengukuran measurement, pemetaan mapping, pemantauan monitoring dan pemodelan modeling Marjuki, 2014.

E. Analisis Spasial

1. Definisi Analisis Spasial

Analisis spasial dapat diartikan sebagai teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data dari perspektif keruangan Kemenristek, 2013. Analisis spasial adalah bagian manajemen penyakit berbasis wilayah yang menguraikan data penyakit secara geografi yang berkenaan dengan kependudukan, persebaran, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, kasus penyakit dan hubungan antar variabel tersebut Achmadi, 2005. Menurut Bailey 2001, data yang dapat digunakan dalam analisis spasial dibagi menjadi empat, sebagai berikut: a. Data agregat, data yang dikumpulkan dari hasil sensus atau administrasi seperti status ekonomi, sosial, jumlah kasus dan lain- lain. b. Data kasus, data yang dikumpulkan menurut lokasi orang yang sakit, faktor risiko lingkungan dan lain-lain. c. Data geostatistik, data yang dikumpulkan secara langsung dengan sampel di lokasi pengambilan data. d. Data yang diukur terus menerus seperti iklim, curah hujan dan lain-lain. Menurut Lawson 2006, epidemiologi spasial merupakan salah satu cabang ilmu epidemiologi yang fokus pada analisis distribusi geografis atau keruangan kejadian penyakit. Kata “spasial” mengartikan sesuatu yang dibatasi oleh ruang, komunikasi dan atau transformasi, sedangkan data spasial merupakan data yang menunjuk posisi dari obyek di muka bumi Ruswanto, 2010. Data spasial adalah data yang bereferensi geografis atas representasi obyek di bumi. Data spasial dapat digunakan dalam berbagai bidang ilmu antara lain ekonomi, sosial, kesehatan, meteorologi, klimatologi serta alam dan lingkungan. Data spasial adalah data yang memuat informasi “lokasi”, tidak hanya “apa” yang diukur tetapi juga menunjukkan lokasi dimana data itu berada Banerjee, 2004 dalam Faiz, 2013. Analisis data spasial dapat fokus pada hubungan antara variabel atribut atau pada dimensi ruang dan ruang-waktu atau kombinasi dari atribut dan ruang atau ruang- waktu Chakkaravarthy, Vincent Ambrose, 2011. Analisis spasial adalah pendekatan analisis dengan melihat kasus penyakit berdasarkan ruang dan waktu Ruswanto, 2010. Sebagian besar pendekatan analisisnya merupakan eksplorasi data yang disajikan dalam bentuk peta tematik. Peta tematik juga disebut peta statistik atau