Periode Zending Gereja Babtis Inggris Tahun 1820-1824.

oleh penduduk setempat, karena pengobatan yang diinginkan mereka adalah harus sembuh dengan cepat. Orang-orang buta ingin segera cepat dapat melihat, orang yang kena dengan gangguan jiwa ingin segera kembali sehat. Tanpa proses penyembuhan dan perawatan. Kemampuan para penginjil dalam mengobati hanya sebatas dapat mengobati penyakit yang tidak akut, seperti penyakit perut, disentri, malaria. Kalaupun ada yang sehat dengan jenis penyakit dalam stadium lanjut, para penginjil ini menganggap adalah bahagian dari pertolongan Tuhan. Selanjutnya, mereka yang sudah diajari dengan katekisasi pembelajaran pengetahuan agama dan rohani, selanjutnya dibabtis menurut aturan agama Kristen Protestan. Pengutusan para penyebar Injil yang masuk ke tanah Batak, mengalami pasang surut dalam bentuk-bentuk pelayanan mereka. Diantara beberapa institusi yang melakukan penyebaran agama di berbagai belahan dunia, melakukan ekspansi kegiatan mereka hingga ke Indonesia dan ke pulau Sumatera sejak abad 19. Dari beberapa catatan yang dapat diurai, badan penyelenggara kegerejaan organisasi keagamaan di Eropa sebagai badan zending penyebaran agama Kristen, yang pernah masuk ke tanah Batak, penulis melihat penyebaran itu secara periodik dalam 4 empat gelombang. Masing-masing:

3.2.1. Periode Zending Gereja Babtis Inggris Tahun 1820-1824.

Gereja Babtis Inggris memanfaatkan masa pemerintahan Inggris ketika berkuasa di Indonesia pasca pengembalian seluruh daerah jajahan Perancis ke tangan Belanda-Inggris, setelah kedua negara ini bersekutu dalam perang Waterloo dalam Universitas Sumatera Utara menghadapi tentara Napoleon pada tahun 1815. Pada periode ini, Inggris memerintah di Batavia yang membawahi daerah pulau Sumatera. Inggris mendirikan pangkalan militer pertama di Bengkulu dengan pemerintahan Sir Stamford Raffles penguasa tertinggi di koloni Sumatera yang berkedudukan di Bengkulu. Pengaruh Inggris di pulau Sumatera, dilihat badan zending Gereja Babtis-Inggris +sebagai peluang untuk dapat memasuki daerah ini. Sehingga, pada tahun 1820 dikirim tiga 3 orang pemberita Injil masing-masing: Pdt. Burton, Pdt. Ward dan Evans ke pulau Sumatera. Atas petunjuk Raffles ketiga orang ini diarahkan ke Sumatera bagian Utara, dan menganjurkan kepada para penginjil ini untuk tidak menyebarkan agama Kristen di daerah Sumatera bagian Selatan dengan alasan pada periode ini, ajaran Islam sudah kuat pengaruhnya di tempat ini. Mereka diarahkan ke Sumatera bagian Utara di tanah Batak dimana disebutkan bahwa daerah itu masih animistis. Lumbantobing, 1996:65. Selanjutnya melalui jalan laut Bengkulu, Padang dan Natal, mereka tiba di pelabuhan teluk Sibolga. Selama tiga tahun di Sibolga, ketiga penginjil ini mempelajari serta menterjemahkan aksara Batak ke dalam bahasa Inggris dan sebaliknya, isi Alkitab buku pertama Matius diterjemahkan saat itu ke dalam aksara Batak. Pada Tahun 1824, mereka tiba tanah Batak tepatnya di daerah Silindung dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat Batak melalui khotbahnya di onan 38 38 Pasar tradisional yang diselenggarakan satu kali dalam seminggu. Onan berada dalam wilayah satu bius. Disamping sebagai tempat orang bertransaksi dagang, onan disebut sebagai sebuah lembagainstitusi paling efektif diantara berbagai lembaga hukum Batak Toba, Onan ini adalah lembaga nyata untuk urusan yang bersifat regional di bawah Raja wilayah. Di tempat ini, para raja-raja . Universitas Sumatera Utara Hutauruk, 1987:24. Upaya dilakukan melalui perjumpaan dengan raja-raja dan masyarakat Batak yang berjumlah sekitar 2000 orang untuk mengutarakan maksud dan tujuan mereka, yaitu memberitakan kabar baik Injil yang dapat memberi keselamatan hidup melalui Yesus Kristus terhadap masyarakat Batak saat itu. Raja- raja Batak Toba menganjurkan mereka untuk tidak meneruskan usaha penyebaran Injil karena masyarakat Batak Toba saat itu sudah memiliki sistem kepercayaan religi dan sistem undang-undang, aturan dan hukum yaitu patik dohot uhum yang mengatur norma-norma kehidupan mereka. Lebih jelas diungkapkan para raja Batak bahwa: “Kami sudah lama hidup dan dalam hidup, kami semakin menyadari bahwa adat kami amat baik. Jadi, kalau ada orang datang untuk mengajarkan cara membuat negeri kami lebih makmur, jaya dan bahagia kepada kami, kami akan senang sekali menyambut kedatangan mereka”. Warneck, 1925:12 dalam Lumbantobing, 1996:65. Ungkapan para raja Batak terhadap permintaan penginjil dari Gereja Baptis Inggris tersebut adalah sebuah pernyataan penolakan dengan memberii penekanan bahwa Batak yang mereka temui adalah sebuah kelompok masyarakat yang sudah mempunyai aturan hidup yang memiliki undang-undang, hukum dan larangan- larangan. Para raja-raja Batak ini tidak menerima sebutan dari para missionaris kepada orang Batak sebagai manusia kafir, atau sebagai manusia na so maradat yang berarti tidak memiliki adat. Hal ini, adalah sebuah penghinaan amat berat ibid, hal 54 dalam Lumbantobing, 1996:65. Keputusan para raja Batak saat itu, menolak dan mempersilahkan para penginjil itu keluar dari tanah Batak. Dan hal itu, harus dipatuhi Batak dari berbagai bius berkumpul dan membuat keputusan-keputusan penting dalam hukum sosial kehidupan bermasyarakat. lihat Situmorang, 2009: 161 Universitas Sumatera Utara dan tidak boleh ditentang, karena menurut adat ucapan seorang raja harus dituruti sebagai sikap hidup menghormati sahala orang yang lebih tua ataupun seorang raja. Periode misi kekristenan oleh Zending Gereja Babtis Inggris ini dianggap sebagai periode pertama dalam menyebarkan Injil di tanah Batak. Usaha badan zending ini gagal dan tidak diteruskan lagi dalam menjalankan misinya.

3.2.2. Periode Zending Boston Amerika Serikat Tahun 1834.