Aspek Sosial Politik Aspek Sosial Budaya

dalam perwujudannya di kehidupan sosial masyarakat Batak. Penulis melihat ada dua aspek yang diperhatikan dalam pekerjaan para missionaris ini. Yaitu:

3.1.1. Aspek Sosial Politik

Beberapa badan zending yang masuk ke tanah Batak mengalami tantangan dari masyarakat ini, ketika missionaris tidak diterima menyebarkan agama ‘baru’ ini. Pandangan masyarakat Batak tradisional yang selalu bersifat curiga dengan bentuk dan paham yang bukan milik mereka sendiri, mengisyaratkan hal-hal baru adalah tabu dan tidak menjadi bagian dari budaya mereka sendiri. Hal ini tampak dari di tolaknya komisi zending Gereja Babtis dari Inggris pada periode pertama tahun 1820- 1824. Keputusan itu menyebutkan penolakan kehadiran dan ajaran oleh orang kulit putih si bontar mata di tanah Batak Hutauruk, 1987:24. Hal tersebut menyiratkan aspek sosial politik yang berbeda antara dua budaya ini tidak dapat dipertemukan. Dan masyarakat Batak Toba pada dekade ini memberi alasan, mereka sudah memiliki sistem kepercayaan religi, hakikat perundang-undangan, aturan dan hukum yaitu patik dohot uhum 34 34 Bagi warga Batak, aspek material ‘patik dohot uhum’ adalah aturan atau larangan-larangan yang disepakati bersama dalam rumusan kaidah moral yang mendorong setiap orang melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menghindari perbuatan-perbuatan tidak baik. lihat HP. Panggabean dalam Pembinaan Kehidupan Beragama Dengan Dukungan Nilai-Nilai Adat Budaya Dalihan Natolu, 2007:102 dan lihat juga J. Warneck, Kamus Batak Toba Indonesia. Terjemahan P. Leo Joosten OFM.Cap, 2001: hlm.238. yang mengatur norma-norma kehidupan mereka, sehingga tidak perlu lagi untuk menerima ajaran lain yang dianggap dapat merusak hubungan mereka dengan ‘tuhan’nya dan merusak tatanan normatif masyarakat ini. Hal ini, menunjukkan Batak adalah sebuah masyarakat yang tidak gampang dipengaruhi. Universitas Sumatera Utara Sistem kehidupan yang mereka anut dipercayai dapat memenuhi aspek kebutuhan kehidupan mereka.

3.1.2. Aspek Sosial Budaya

Para missionaris dalam misinya di tanah Batak melihat adanya hubungan adat Batak dengan ajaran agama Kristen, dipergunakan untuk memudahkan penyebaran ajaran ini. Terminologi ‘tri tunggal’ yang terdapat dalam sistem religi Batak dipakai sebagai jalan untuk memberi pemahaman adanya ‘kesamaan’ maksud dan tujuan menurut konsep para missionaris Kristen ini dengan sistem pemujaan orang Batak. Mereka memberi analogi Mulajadi Nabolon disamakan dengan Debata Jahowa Allah Jahweh, Debata Asi-asi digantikan dengan Yesus sebagai lambang kasih. Batara Guru digantikan dengan Roh Kudus. Bentuk kesamaan yang dibuat para penyebar agama Kristen ini, melupakan hal-hal pokok dalam perbedaan kedua bentuk kepercayaan ini. Tampubolon melihat bentuk pendekatan ini memiliki sisi kelemahan, dimana pertumbuhan gereja maju dalam jumlah jemaat agama Kristen, namun lamban dalam kwalitas keimanan Kristen seperti yang diharapkan para missionaris ini. Hal ini didasari oleh pemahaman orang Batak ketika itu, bahwa sistem kepercayaan dalam kehidupan sosial budaya mereka tidak lebih dari pembauran terhadap kepercayaan agama Kristen. Praktek-praktek kepercayaan lama masih dipakai dalam mekanisme peribadatan Kristen band. Tampubolon, 1978:11. Universitas Sumatera Utara

3.2. Penyebaran Misi Zending RMG di Tanah Batak