Periode Zending Boston Amerika Serikat Tahun 1834.

dan tidak boleh ditentang, karena menurut adat ucapan seorang raja harus dituruti sebagai sikap hidup menghormati sahala orang yang lebih tua ataupun seorang raja. Periode misi kekristenan oleh Zending Gereja Babtis Inggris ini dianggap sebagai periode pertama dalam menyebarkan Injil di tanah Batak. Usaha badan zending ini gagal dan tidak diteruskan lagi dalam menjalankan misinya.

3.2.2. Periode Zending Boston Amerika Serikat Tahun 1834.

Pada periode selanjutnya, misi pengembangan agama Kristen di tanah Batak baru terjadi setelah satu dasawarsa berikutnya. Masa transisi antara tahun 1824 ke tahun 1834. Stagnasi kegiatan penyebaran agama Kristen praktis tidak ada selama sepuluh tahun. Karena dalam periode transisi ini adalah masa yang tidak dapat dilupakan oleh orang Batak. Dalam jangka waktu satu tahun setelah penginjil Burton dan Ward keluar dari tanah Batak, tepatnya tahun 1825 terjadi tekanan infiltrasi terhadap masyarakat Batak oleh Tuanku Rao dan pasukannya dengan perang peng- Islaman. Peng-Islaman ini berlangsung selama dua periode, antara tahun 1825-1829 dan tahun 1830-1833 yang terkenal dengan Perang Paderi atau Porang Bonjol. Simanjuntak, 2006:48 dan HKBP, 2008:411. Penulis tidak mengulas, bagaimana perang ini bisa terjadi usai kedatangan misi zending Gereja Babtis, mengapa tentara Paderi secara represif memberi tekanan memerangi bangsa Batak, apa alasan perang itu terjadi dan pertanyaan lain sehubungan dengan perang Paderi di tanah Batak. Namun, penulis hanya melihat stagnasi kekosongan waktu hingga kedatangan missionaris lainnya pada periode berikutnya tahun 1834, berhubungan Universitas Sumatera Utara dengan perang yang dashyat itu. Perang yang banyak dikenang sebagai kabut tebal bagi orang Batak. Setahun usai perang Paderi yakni tahun 1834, misi zending yang berpusat di Boston Amerika Serikat mengirimkan dua orang missionaris yaitu: Pdt. Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman yang martir dibunuh oleh rakyat di Lobu Pining 20 KM arah selatan Silindung, menuju Sibolga pada tanggal 28 Juni 1834. Misi penyebaran agama Kristen di tanah Batak saat itu, pasca kejadian terhadap dua missionaris Amerika mengalami perubahan pandangan orang luar terhadap orang Batak. Menurut Schereiber dalam penelitiannya, tubuh kedua penginjil ini dimakan oleh rakyat yang dipimpin oleh Raja Panggalemei. Schereiber dalam Lumbantobing, 1996:66. Informasi yang sama dalam laporan Warneck, membenarkan peristiwa kanibalisme itu adalah akibat dari ketakutan dan kemarahan orang Batak yang menganggap misi mereka berdua akan mengancam kebebasan kehidupan mereka . Dalam tulisan lain tentang kejadian tersebut menyebutkan, Munson dan Leyman benar dibunuh dan dagingnya tidak dimakan, adalah akibat munculnya kecurigaan terjadinya perang Paderi yang menyiksa orang-orang Batak dengan segala akibatnya, adalah akibat anjuran kedua missionaris itu kepada pasukan Paderi karena mereka menolak pengembangan agama baru itu di tanah Batak. Penderitaan yang dialami semasa perang Paderi, memberi kesimpulan untuk menolak setiap orang asing yang masuk ke tanah Batak. Istilah, sababa do tuan tidak ada bedanya, satu juga adalah ungkapan kecurigaan orang Batak kepada setiap orang asing tanpa Universitas Sumatera Utara kompromi. Tampak nyata sikap bermusuhan terhadap orang kulit putih, sebagai tindakan yang tak kenal kompromi. Hutauruk, 1987:25 Peristiwa ini dianggap sebagai periode yang gagal, pada fase kedua kedatangan penyebar agama Kristen di tanah Batak. Penulis memberi asumsi, kegagalan ini tidak semata datang dari faktor internal masyarakat Batak yang tidak mau menerima si bontar mata masuk ke dalam lingkungan kehidupan mereka, namun lebih kepada kesiapan kedua penginjil ini akan pengetahuannya terhadap siapa sebenarnya orang Batak itu. Faktor bahasa sebagai komunikasi dan kurangnya pengetahuan mereka akan adat istiadat Batak adalah satu faktor kegagalan ini. Asumsi penulis, sejalan dengan laporan Franz W. Junghun seorang pejabat tinggi bangsa Jerman, yang bekerja dalam sebuah lembaga kesehatan Pemerintah Belanda yang diutus secara khusus pada tahun 1835-1840 untuk menyelidiki peristiwa kanibalisme di Lobu Pining HKBP, 2008:411, menyebutkan peristiwa tragis itu terjadi karena diantara kedua missionaris dengan penduduk setempat, saling tidak mengerti komunikasi tutur bahasanya. Tampubolon, 1978:3. Kegagalan zending pada periode ini, dapat dilihat kurangnya pemahaman mereka terhadap masyarakat Batak Toba.

3.2.3. Periode zending Nederlandsch Zending Ganootschap Ermelo-