Wilayah Budaya Batak Toba Sistem Mata Pencaharian Penduduk

2.3.2. Wilayah Budaya Batak Toba

Orientasi geografis penduduk yang bermukim di empat wilayah distrik Toba, masing-masing memiliki variasi adat istiadat budaya. Dari wujud pelaksanaan bentuk upacara-upacara adat yang diadakan, sekilas tampak ada persamaan diantara empat subkelompok kultur Batak Toba ini. Namun, bila diikuti seluruh rangkaian kegiatan dalam bentuk parjambaran juhut hak pembagian daging, bentuk ulos selendang Batak yang diselempangkan ke berbagai pihak dalihan natolu, umpasa petuah- petuah, akan tampak adanya perbedaan-perbedaan. Dalam memetakan empat kultur Batak Toba yang ada di wilayah bona pasogit, dapat dilihat bahwa satu sama lain tidak memiliki akar historis dari sumber yang sama. Masing-masing memiliki bentuk budaya dengan variasi adat dengan ciri- ciri tertentu, dengan mengesampingkan wilayah yang didiami masyarakat Batak itu dari pembagian wilayah menurut demografi struktur Pemerintahan. Misalnya, seorang Batak bermarga Sihombing yang bertempat tinggal di Siborongborong melakukan upacara adat Batak dengan afliasi kultur Humbang. Sekalipun, daerah Siborongborong masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang dikenal dengan par-Silindung orang dari Silindung. Si empunya pesta tidak memakai adat Silindung dalam kegiatannya, oleh karena nilai kulturnya masih dalam ranah budaya Humbang. Keadaan hal seperti itu juga diperlakukan sama pada masyarakat Batak Toba yang ada di area kultur Humbang lainnya seperti di Sipahutar, Pangaribuan, Muara, Pagaran, Butar dan Parmonangan. Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Sistem Mata Pencaharian Penduduk

Seiring pertumbuhan orang Batak semakin banyak, penelitian terhadap orang Batak yang berada di perantauan telah dilakukan oleh beberapa etnologi seperti Johan Hasselgren 2008, Togar Nainggolan 2006 dan Elvis Purba dkk 1998. Banyak ditemukan orang-orang Batak yang tinggal di daerah persawahan. Pendatang pertama, kedua dan ketiga masih banyak yang tetap bertani, namun sudah ada yang beralih pekerjaan menjadi pedagang atau usaha di luar pertanian. Dapat dilihat, secara umum kelompok pegawai dan petani yang mengusahai lahan pertanian yang luas mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kaum tani yang mengusahai lahan sempit. Para pedagang dan pengusaha, juga mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Tidak sedikit dari antara mereka yang menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi di luar Pematang Siantar. Sebaliknya petani-petani berlahan sempit mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari anak- anaknya hanya tamat SLTA, baik dari SLTA di Pematang Siantar atau dari kota-kota pendidikan lainnya. Karena tidak ingin tinggal di desa dan bertani ada yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar di Sumatera, Jawa bahkan ada yang ke Kalimantan atau Papua. Para perantau pertama yang tidak hanya bekerja sebagai petani, biasanya mempunyai tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk mengembangkan usaha di luar sektor pertanian tentu akan berpengaruh pada pendapatan keluarga. Masa depan anak- Universitas Sumatera Utara anaknya pun semakin mendapat prioritas. Dampaknya antara lain berupa keberhasilan anak-anak mereka bekerja di luar sektor pertanian. Demikian juga dengan lahan pertanian yang sempit dengan tanaman monokultur. Di satu pihak petani-petani merasa bahwa tingkat pendapatan mereka lebih besar dibandingkan dengan di daerah asalnya dahulu, tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan sekarang, jelas bahwa hasilnya tidak mampu mengimbangi kebutuhan akan produk jasa-jasa yang kian hari terus bertambah. Hal ini telah menjadi dilema bagi petani-petani yang tidak mau melepaskan tanahnya dan tidak ingin beralih ke pekerjaan lain yang lebih produktif. Hasselgren, 2008:72 Di berbagai desa dimana petani-petani Batak Toba mengusahai sampai 0,5 Ha, sikap seperti itu nampak jelas. Nampaknya mereka kurang tanggap terhadap perubahan hanya berpegang pada apa yang tampak dihasilkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Mereka kurang menyadari bahwa kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang dihasilkan, tetapi juga oleh kemajuan dan kebutuhan di luar produksi, yang berkembang dengan lebih cepat oleh karena itu banyak dari antara mereka telah menjual tanah yang dibelinya atau tanah yang dibukanya dahulu bahkan banyak pula yang menjadi petani penyewa dan pada akhirnya ada yang pindah ke daerah lain seperti Riau. Petani-petani Batak Toba yang tinggal di desa hanya menguasai sawah di bawah 0,5 Ha terdapat kesan bahwa mereka tidak mampu meraih tingkat kesejahteraan yang lebih baik ke masa depan. Ketergantungan hidup pada produksi sawah tidak hanya pada pola pencaharian yang heterogen yang menyebabkan mereka ketinggalan dibandingkan Universitas Sumatera Utara dengan tetangganya seperti orang jawa yang mengkombinasikan pertanian pada sawah, kebun dan beternak. Secara umum petani-petani Batak Toba banyak yang ketinggalan dalam pola hidup yang sebagian sebagai petani, tetapi ada juga yang memiliki pola hidup yang baik walau hanya sebagai petani. Sedangkan di beberapa daerah dekat dengan jalan raya petani-petani yang memiliki lahan yang luas, memiliki hidup dalam tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Jika dilihat lagi dengan kota-kota di Sumatera Utara khususnya di Medan, banyak bermukim etnis Jawa, Batak, Mandailing dan Cina. Orang Batak dominan bermukim pada inti kota Medan. Hal ini berbeda dengan beberapa dasawarsa yang lalu dimana orang Batak pada umumnya bermukim di bagian kota yang menuju Tapanuli. Dewasa ini telah menempati setiap sudut kota dari kawasan elit sampai pinggiran kota dengan jumlah yang bertambah besar. Dilihat dari pekerjaannya sebagian besar orang Batak Toba adalah pegawai pemerintah, pegawai swasta dan wiraswasta. Mereka mengisi beberapa jabatan penting diberbagai instansi pemerintah, demikian pula di instansi swasta. Di lapangan pendidikan cukup banyak dari guru-guru sekolah menengah dan dosen Universitas Negeri maupun swasta terdiri dari orang Batak Toba. Jumlah pedagang menengah pun semakin banyak seperti di pusat pasar. Oleh karena situasi ekonomi keluarga yang sulit sebagian ada yang bekerja keras dan ada yang memilih pekerjaan yang dianggapnya lebih baik. Kaum wanita ikut membantu kepala keluarga dengan berjualan pagi di pasar atau di sektor informal lainnya. Tidak sedikit yang berjualan Universitas Sumatera Utara pagi di pasar, jika kepala keluarganya hanya sebagai pegawai redahan atau bekerja sebagai penarik becak dan lain-lain. Berbeda halnya dengan daerah Tapanuli, seperti di daerah Tapanuli Tengah, masyarakat Batak Toba pada umumnya memperoleh penghasilan dari pertanian dan nelayan. Sampai sekarang hanya sebagian kecil masyarakatnya yang bekerja sebagai pegawai dan pedagang. Memang tidak semua desa-desanya termasuk dalam kelompok miskin dan tidak semua petani di sana sebagai pemilik lahan pertanian yang diusahainya. Oleh karena pendapatan mereka tidak sepenuhnya digantungkan terhadap hasil pertanian maka banyak penduduk yang bekerja rangkap seperti petani, penangkap ikan, pedagang atau pegawai. Oleh karena minimnya pendapatan di masyarakat Tapanuli Utara, orang Batak Toba awalnya lebih dominan pergi ke luar Tapanuli. Pada masa dewasa ini, akibat kemajuan sistem perekonomian yang merata, daerah Tapanuli sudah dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan tidak ditinggalkan oleh orang Batak itu lagi. Namun pada masa sekarang justru sudah banyak yang kembali ke kampung halaman mereka, pulang dari perantauan karena kehidupan di perantauan sudah sangat kompetitif. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor antara lain perpindahan tempat kerja, bagi orang Batak yang bekerja di daerah pemerintahan, dan ada juga karena tidak mampu bersaing akibat pengaruh ekonomi dengan suku lain di kota-kota besar sehingga lebih memilih untuk pulang ke kampung halaman yang pola kehidupannya tidak seberat persaingan di tanah perantauan. Universitas Sumatera Utara

2.5. Konteks Historis: Batak Toba di Bona Pasogit