kompromi. Tampak nyata sikap bermusuhan terhadap orang kulit putih, sebagai tindakan yang tak kenal kompromi. Hutauruk, 1987:25
Peristiwa ini dianggap sebagai periode yang gagal, pada fase kedua kedatangan penyebar agama Kristen di tanah Batak. Penulis memberi asumsi,
kegagalan ini tidak semata datang dari faktor internal masyarakat Batak yang tidak mau menerima si bontar mata masuk ke dalam lingkungan kehidupan mereka, namun
lebih kepada kesiapan kedua penginjil ini akan pengetahuannya terhadap siapa sebenarnya orang Batak itu. Faktor bahasa sebagai komunikasi dan kurangnya
pengetahuan mereka akan adat istiadat Batak adalah satu faktor kegagalan ini. Asumsi penulis, sejalan dengan laporan Franz W. Junghun seorang pejabat tinggi
bangsa Jerman, yang bekerja dalam sebuah lembaga kesehatan Pemerintah Belanda yang diutus secara khusus pada tahun 1835-1840 untuk menyelidiki peristiwa
kanibalisme di Lobu Pining HKBP, 2008:411, menyebutkan peristiwa tragis itu terjadi karena diantara kedua missionaris dengan penduduk setempat, saling tidak
mengerti komunikasi tutur bahasanya. Tampubolon, 1978:3. Kegagalan zending pada periode ini, dapat dilihat kurangnya pemahaman mereka terhadap masyarakat
Batak Toba.
3.2.3. Periode zending Nederlandsch Zending Ganootschap Ermelo-
Belanda Tahun 1856-1860.
Peristiwa pembunuhan terhadap dua orang missionaris dari lembaga Gereja
Boston Amerika Serikat itu tersiar di seluruh dunia, memberi pelajaran berharga bagi
Universitas Sumatera Utara
komisi-komisi zending di belahan dunia termasuk komisi zending di Eropa. Tanah Batak, sebagai salah satu sasaran pelayanan penyebaran Injil di Indonesia adalah
sebuah daerah yang diperhitungkan tingkat kesulitan dan tantangannya. Studi antropologi dilakukan untuk lebih memahami karakteristik budaya Batak yang
dianggap rumit oleh orang luar saat itu. Dengan pengaruh kolonialisme Belanda di tanah Batak saat itu, badan
zending Nederlandsch Zending Ganootschap di Ermelo Belanda pimpinan Pendeta Witteveen mengutus lima orang missionaris, yang didahului Van Asselt ke tanah
Batak pada tahun 1856. Dalam beberapa waktu, Van Asselt masih tinggal di Sipirok Tapanuli Pardangsina menunggu kesempatan diberikan oleh Pemerintah Belanda
mengizinkannya masuk ke pusat pedalaman tanah Batak. Kejadian yang dialami penginjil Amerika Munson dan Leyman di Lobu Pining, membuat Pemerintah
Belanda tidak mengizinkan orang kulit putih untuk masuk ke wilayah tanah Batak. HKBP, 2008:411
Van Asselt selain sebagai missionaris, juga bekerja tambahan pada perusahaan Belanda sebagai pengawas produksi perkebunan kopi pada kantor
dagang Belanda. Penginjil ini bersama empat missionaris lainnya yaitu: Koster, Betz, Dammerbur dan Van Dalen merasakan betapa berat dan luasnya pekerjaan zending
yang akan dikerjakan di kalangan orang Batak. Mereka juga terkendala posisi keuangan yang minim oleh badan zending Nederlandsch Zending Ganootschap
Ermelo-Belanda yang mengutus mereka. Dalam periode ini, tidak banyak yang mereka lakukan dalam penginjilan di tanah Batak. Namun, Van Asselt berhasil
Universitas Sumatera Utara
mendirikan gereja pertama di Sipirok dengan jemaat yang terdiri dari para bekas budak
39
3.2.4. Periode Zending Rheinishe Mission Gesselschaft RMG Barmen-