BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Permasalahan kesejahteraan masyarakat merupakan masalah yang tidak akan ada habisnya untuk dikaji pada suatu negara. Kesejahteraan merupakan
tuntutan-tuntutan yang harus segera dipenuhi karena menyangkut hajat hidup masyarakat, negara dibebani kewajiban untuk menjamin hal itu kepada tiap warga
negaranya. Dalam upaya pemenuhan kesejahteraan tersebut, tiap individu dituntut untuk aktif dan kreatif agar tidak hanya mengharapkan kesejahteraan dan
pemenuhan kebutuhan hidupnya ditanggung oleh negara karena negara juga memiliki keterbatasan akan hal itu akan tetapi negara berkewajiban untuk
memberikan akses bagi tiap warganya untuk dapat berusaha dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah yaitu dengan
melaksanakan pemekaran daerah dengan tujuan agar tiap daerah dapat memberdayakan potensi serta kekuatan daerah untuk mengelola dan mengatur
wilayah sendiri secara lebih luas, dengan begitu akses masyarakat terhadap pusat pemerintahan dan ekonomi menjadi lebih dekat dan harapan meningkatnya
kesejahteraan akan dapat terpenuhi. Salah satu wilayah yang baru saja mengalami pemekaran daerah adalah
Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kota Pinang ditetapkan sebagai ibu kota kabupaten yang secara resmi mengalami pemekaran sejak tahun 2008. Kabupaten
Labuhanbatu Selatan merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki lahan perkebunan yang luas, berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Sumatera Utara tahun 2010 luas wilayah perkebunan serta kawasan hutan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
produksi di wilayah Labuhanbatu Selatan seluas 109.647,3 Ha sehingga sebagian besar masyarakatnya banyak yang bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan.
Selain menjadi petani dan buruh perkebunan sebesar 75 246.961 orang, masyarakat kabupaten ini juga ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan
karyawan sebesar 15 93.983 orang serta pedagang 10 1005 orang. Terdapat juga masyarakat yang bekerja sebagai pedagang Pekanan terutama yang
beretnis Minang yang berjualan berbagai macam jenis barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di perkebunan yang jauh aksesnya dari pusat
kota. Keterbatasan akses masyarakat perkebunan ke kota dikarenakan jarak
yang jauh mengakibatkan terhambatnya usaha mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya daerah perkebunan yang terdekat yaitu Lohsari
jaraknya ke Kota Pinang mencapai 25 km ditempuh dengan perjalanan selama 2 jam dan salah satu daerah perkebunan yang terjauh yakni Langkiman yang
berjarak 250 km dari Kota Pinang dapat mencapai waktu tempuh 5 jam perjalanan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi pedagang-pedagang terutama yang
beretnis Minang melihatnya sebagai peluang usaha. Mereka menjual barang keperluan sehari-hari seperti sayur-sayuran, ikan dan daging, pakaian untuk anak-
anak, baju kaos, kemeja, celana pendek serta perabotan rumah tangga yang diperlukan masyarakat perkebunan tersebut. Jarak serta lokasi yang tidak mudah
ditempuh karena infrastruktur jalan yang buruk, berlubang, masih berbatu, berdebu bahkan jika hujan akan berlumpur tidak menghambat mereka untuk
berjualan ke kebun-kebun karena dari segi penghasilan yang mereka dapatkan cukup besar terutama pada saat pekerja-pekerja perkebunan yang merupakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
target utama sebagai pembeli baru menerima gaji dari perkebunan tempat mereka bekerja.
Lokasi pekan yang didatangi para pedagang berbeda tiap harinya, pada hari senin para pedagang akan pergi ke pekan Sidodadi dengan jarak yang harus
ditempuh lebih kurang 50 km. Pada hari selasa pedagang akan ke daerah Simpang Kanan dengan jarak tempuh lebih kurang 60 km daerah ini sudah masuk wilayah
provinsi Riau. Pada hari rabu para pedagang libur, biasanya waktu libur ini digunakan pedagang untuk berbelanja barang ke Medan, sebagian pedagang yang
tidak berbelanja akan memperbaiki mobil atau menghabiskan waktu bersama keluarganya. Hari kamis para pedagang akan pergi ke Lohsari, pekan ini
merupakan yang terdekat karena hanya berjarak 20 km. Pada hari jumat pedagang sebagian pergi ke pekan Sidodadi sedangkan sebagian pedagang ada yang libur
untuk beribadah sholat jumat. Hari sabtu pedagang kembali datang ke pekan Simpang Kanan karena daerah ini mengadakan pekanan dua kali dalam seminggu.
Sedangkan pada hari minggu para pedagang akan menuju daerah Tanjung Medan yang berjarak 30 km. Terdapat juga pekanan yang hanya berlangsung satu kali
dalam sebulan yaitu pekan Langkiman yang berjarak 250 km, merupakan pekan yang terjauh jarak serta terberat perjalanannya karena harus melewati perkebunan
kelapa sawit hingga sampai ke wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Mayoritas pedagang Pekanan di sekitar Kota Pinang yang berjualan di
kebun-kebun ini adalah pedagang Minang perantauan yang berasal dari Medan dan Padang. Mereka datang ke Kota Pinang karena melihat keberhasilan perantau-
perantau yang terlebih dahulu memulai usaha dagangnya di kota ini, para pedagang Minang ini membuka berbagai macam usaha mulai dari berdagang di
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kota baik berjualan kaki lima bagi mereka yang tidak memiliki modal cukup besar ataupun menyewa toko bagi perantau yang memiliki modal cukup serta ada juga
yang berdagang ke pekan-pekan perkebunan. Melihat peluang usaha yang cukup baik maka banyak pedagang membawa sanak family, kerabat dan teman-teman
untuk ikut membuka usaha di kota ini sehingga semakin lama jumlah perantau Minang bertambah banyak dan akhirnya terbentuk komunitas masyarakat Minang
yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang. Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat
Minangkabau. Bagi mereka, berdagang tidak hanya sekedar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi
seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain,
sehingga siap untuk diperintah-perintah bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah
organisasi besar elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah
satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya dapat menjalankan
kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih
berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus kerja kantoran, yang acap kali di perintah dan di marah-marahi.
http:padangpost.comawakindex.php?awak=AWPDPS07102006.htm diakses pada 8 Februari 2011
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pertumbuhan besar-besaran pada masyarakat Minang tidak diikuti dengan ketersediaan peluang kerja yang memadai di daerah asal. Akibatnya, mereka pergi
ke daerah lain untuk mencari pekerjaan dan pada awalnya sebagian besar dari mereka mengawali usaha dengan berdagang. Oleh karena itu menjadi pedagang
kaki lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang. Motivasi orang minang berdagang karena ingin melawan dunia orang, suatu tema yang
mengandung amanat untuk hidup bersaing terus menerus mencapai kemuliaan, kenamaan, kepintaran dan kekayaan.
http:www.anneahira.comminangkabau.htm diakses pada 8 Februari 2011 Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan
adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap orang di Minangkabau. Dengan kepemilikan
tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke
pasaran. Selain itu, kultur merantau yang menanamkan budaya mandiri, menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan awal untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Minangkabau termasuk ke dalam
kelompok yang paling banyak bergerak dalam arti berpindah-pindah tempat untuk merantau. Kondisi tersebut didukung oleh budaya masyarakat Minangkabau yang
gemar merantau dan melakukan kegiatan perdagangan. Untuk menemukan pedagang dari Minangkabau terutama pedagang kaki lima bukanlah hal yang sulit,
baik di kota-kota besar maupun di pelosok daerah di seantero Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan menyebar sampai mancanegara etnik Minangkabau
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dapat menyebar luas di sana Naim, 1979. Jika ditanya mengapa mereka menjadi pedagang tentunya jawabannya beragam, namun yang pasti mereka menjadi
pedagang tentunya memiliki harapan terhadap apa yang mereka usahakan. Pedagang dalam hal ini yang berfungsi sebagai penjual ketika mereka memulai
usaha berdagang hal utama yang mereka harapkan adalah keuntungan setelah itu kemudian loyalitas dan eksistensi diri. Untuk mencapai hal tersebut mereka
menerapkan berbagai strategi dalam berdagang khususnya untuk mempromosikan barang dagangan mereka mulai dari berteriak memanggil pembeli, menyapa
pembeli, mempersilahkan pembeli melihat-lihat, tersenyum serta membuat bentuk pajangan yang menarik dan banderol harga yang murah dan terjangkau.
Salah satu hal unik dari terbentuknya komunitas pedagang Minang di perantauan menurut Prof. Dr. Arif Nasution, MA Ikatan Primordial dalam
Kegiatan Bisnis Orang Minangkabau di Sukaramai Medan, Tahun 2002 adalah adanya kebiasaan saling mengangkat dan bergotong royong sebagai ciri
masyarakat Minang tersebut, kuatnya komunalisme orang Minang yang didasarkan pada ikatan-ikatan primordial merupakan sumber terbentuknya
jaringan bisnis orang Minang di perantauan. Selain itu para pedagang Minang juga terkenal dengan etos serta semangatnya yang pantang menyerah, mereka
dapat bertahan di perantauan dengan modal awal yang sedikit dan merintis memulai usaha dagang mereka. Kelebihan lain yang dimiliki pedagang Minang
yaitu pandai membaca peluang, di perantauan mereka dapat menyesuaikan modal yang dimiliki dengan memilih jenis usaha yang akan ditekuni dan mereka juga
gigih untuk memperjuangkan usaha yang telah mereka rintis. Jusuf Kalla dalam pengantarnya di buku “Meretas Sejuta Pedagang” karangan H. Firmandez 2002
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menyatakan bahwa orang Minang terkenal dengan tiga keunggulan yaitu banyak ulama yang berbobot berasal dari daerah Minang, pemikiran-pemikiran orang
Minang sangat cemerlang dan jiwa kesaudagaran orang Minang sangat kuat. Meskipun ia itu sarjana teknik atau ekonomi atau yang lain, bahkan orang Minang
yang tidak mengenyam pendidikan dapat menjadi saudagar yang hebat dan sukses.
Salah satu daerah yang terdapat komunitas pedagang Minang Perantauan adalah di Pasar Sukaramai Medan, hasil penelitian Prof. Dr. Arif Nasution, MA
2002 menunjukkan bahwa keberadaan perantau Minang di pasar ini telah lama tepatnya sejak tahun 1939-an, para pedagang Minang ini merintis usahanya dari
nol hingga sekarang menjadi salah satu etnis terbesar yang menguasai Pasar Sukaramai selain etnis Batak dan Cina. Di pasar ini kegiatan usaha yang ditekuni
pedagang Minang antara lain usaha rumah makan atau kedai nasi, konveksi, pabrik roti, tukang emas atau intan, tukang kain, tukang becak, tukang sepatu,
tukang goni butut, home industri lainnya dan menjadi pedagang lepas. Menurut Prof. Arif, sifat komunal dari orang Minangkabau merupakan faktor yang dapat
mendukung kegiatan usaha mereka di perantauan. Di Sukaramai orang Minangkabau saling membantu dalam kehidupan sosial di perantauan ataupun
dalam kegiatan-kegiatan berusaha seperti permasalahan permodalan yang sering terjadi pada para perantau baru ataupun dalam masalah-masalah yang timbul
akibat interaksinya dengan kelompok etnik lain seperti adanya persaingan dan konflik. Sifat komunal ini menjadi salah satu faktor yang memajukan kegiatan
usaha orang Minangkabau di Sukaramai, selain karena faktor lain seperti keuletan, hemat dan agresifitas mereka dalam berusaha sehingga pada tahun 1950 hingga
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tahun 1960-an orang Minangkabau dapat memonopoli kegiatan usaha di Sukaramai.
Di Kota Pinang salah satu kegiatan usaha yang ditekuni pedagang Minang perantauan adalah pedagang pekanan, umumnya mereka berkumpul dan
membentuk suatu kelompok serta bersama-sama berangkat ke kebun tempat sedang berlangsungnya hari pekanan. Pekanan tersebut berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain di sekitar wilayah perkebunan Labuhanbatu Selatan dan berlangsung secara rutin. Kemunculan pasar Pekanan yang berkala, menjadikan
sarana jual beli ini dapat muncul dengan sendirinya. Di berbagai wilayah di Indonesia muncul semacam pasar Pekanan dengan berbagai ragam nama seperti
onan, pasaran, mingguan, dan lain-lain. Sebutan lain yang menjadi umum namun berbeda makna adalah pasar rakyat atau pasar tradisional. Dilihat dari skala usaha,
Pekanan termasuk dalam usaha kecil dan biasanya tidak atau belum berbadan hukum maka layak Pekanan dikatakan sebagai bagian sektor informal terutama di
bidang perdagangan. Selain pedagang etnis Minang, terdapat juga etnis Batak yang berprofesi sebagai pedagang pekanan. Kedua pedagang etnis ini adalah yang
mendominasi usaha jualan di pekanan, usaha dagang etnis Batak antara lain menjual sayur-sayuran, ikan dan daging, bumbu masak, perabotan rumah tangga
serta menjual pakaian sedangkan pedagang etnis Minang menjual segala jenis pakaian dan sepatu. Dari kelima lokasi Pekan yang ada didominasi oleh pedagang
yang berasal dari etnis batak sebesar 60 dan pedagang etnis Minang sebesar 39 sisanya adalah penduduk asli yang merupakan etnis Jawa membuka usaha
warung nasi yang pembelinya merupakan para pedagang pekan itu sendiri. Dominasi yang terjadi antara pedagang Etnis Batak dan Etnis Minang juga telah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menimbulkan persaingan di lokasi pekan, para pedagang yang berasal dari etnis masing-masing menggunakan strategi untuk memperlihatkan kelompok etnis
mereka lebih solid seperti pergi berjualan bersama dan memusatkan lokasi berjualan yang saling berdekatan antara pedagang satu etnis.
Berjualan Pekanan ke perkebunan ini sangat melelahkan serta membutuhkan perjuangan serta usaha yang keras, para pedagang melakukan
persiapan muat barang ke mobil kemudian berangkat berjualan mulai pagi hari antara pukul 08.00 – 10.00 menempuh perjalanan dari Kota Pinang ke daerah
perkebunan yang mengadakan hari Pekanan. Perjalanan yang ditempuh mulai dari dua jam sampai ada daerah yang harus ditempuh selama lima jam perjalanan,
ketika sampai di pekan mereka akan bongkar barang dan mendirikan tenda di lapak masing-masing. Dalam proses muat bongkar dan mendirikan tenda para
pedagang akan melakukannya secara bersama-sama sampai tenda berdiri dan akan memajang barang dagangan mereka masing-masing begitu juga ketika selesai
berjualan proses menutup tenda serta muat barang ke mobil akan dilakukan bersama-sama. Selain perjalanan yang ditempuh untuk mencapai lokasi jualan
jaraknya jauh, kondisi jalan yang tidak baik juga harus dihadapi rombongan pedagang ini. Fasilitas yang ada di pekan juga tidak memadai sehingga untuk
kamar mandi mereka akan menumpang di mushalla atau bahkan di rumah masyarakat. Mereka berjualan di tengah perkebunan dengan cuaca yang hujan
serta panas harus dihadapi dengan tempat berjualan yang tidak permanen karena hanya terdiri dari tenda-tenda dan terpal-terpal yang pedagang tersebut dirikan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Namun dengan kondisi demikian, pedagang-pedagang tersebut terutama pedagang yang telah lama berjualan memliki kondisi perekonomian yang dilihat
cukup baik bahkan dapat dikatakan hidup berkecukupan. Mereka mampu mengembangkan usaha mereka, menambah barang dagangan serta dapat
mempekerjakan orang lain sebagai anggota atau anak buah, tidak sedikit dari mereka memiliki lebih dari satu lapak jualan di pekan dan menjadi tempat
pedagang lain untuk membeli barang dagangan sehingga dijuluki toke oleh pedagang lain. Selain itu mereka juga mampu membangun dan memiliki rumah,
kendaraan pribadi dan menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat kuliah. Setiap pedagang memiliki lahan tempat berjualan di Pekanan perkebunan
tersebut baik dengan cara menyewa lahan atau lapak maupun pemberian dari pedagang sebelumnya dan bagi perantau yang baru merintis akan menumpang
pada pedagang yang telah terlebih dahulu berjualan yang antara satu pedagang dengan pedagang lainnya masih ada hubungan saudara. Hal inilah yang
menjadikan pedagang Pekanan Minang disini sangat unik karena jika umumnya yang terjadi di kota-kota besar, para pedagang akan berusaha baik secara nyata
maupun tersirat untuk mengurangi persaingan agar memperoleh hasil yang besar. Dengan jenis jualan para pedagang yang sama yaitu menjual pakaian, potensi
konflik dan persaingan antara sesama pedagang seharusnya besar namun para pedagang ini memiliki siasat tertentu untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat
seperti mengkhususkan jenis barang jualan masing-masing pedagang contohnya ada pedagang yang menjual pakaian pajangan, jenis obralan, pakaian anak-anak,
pakaian dalam dan menjual sepatu dan aksesoris, selain itu lapak berjualan pedagang yang sejenis juga terpisah dan tidak saling berdekatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Namun bagi pedagang-pedagang minang Kota Pinang yang berjualan Pekanan, persaingan menjadi hal yang biasa karena justru mereka memberikan
kesempatan dan peluang bagi perantau-perantau yang baru datang untuk berjualan di pekan. Bahkan pedagang Pekan yang telah berhasil akan mengajak saudara dan
sanak family atau kerabat untuk berjualan serta memberikan lapak sekaligus tumpangan kendaraan untuk berjualan, meskipun para pedagang tersebut bersaing
dalam berjualan dan meraih keuntungan tapi juga timbul kerjasama antara sesama pedagang untuk sama-sama mempertahankan usaha dagangnya seperti pergi
berjualan bersama dan membangun tenda lapak berjualan yang dilakukan juga bersama-sama. Sehingga yang dapat terlihat dari pedagang pekan etnis Minang
adalah bentuk kerjasama yang juga dilakukan dalam persaingan antara pedagang tersebut.
1.2 Perumusan Masalah