Jaringan Sosial Dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang Yang Berjualan Di Perkebunan Wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)

(1)

JARINGAN SOSIAL DAN MORAL EKONOMI PEDAGANG PEKANAN (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang yang berjualan di Perkebunan

wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

DISUSUN OLEH

080901044 ANGGRE WIRAWAN

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

(3)

ABSTRAK

Keterbatasan akses masyarakat perkebunan ke kota dikarenakan jarak yang jauh mengakibatkan terhambatnya usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menjadi dasar bagi pedagang-pedagang terutama yang beretnis Minang melihatnya sebagai peluang usaha. Jarak serta lokasi yang tidak mudah karena infrastruktur jalan yang buruk, berlubang, masih berbatu, berdebu bahkan jika hujan akan berlumpur tidak menghambat mereka berjualan ke pekan-pekan di perkebunan. Dalam aktivitas perdagangannya, hambatan-hambatan yang ada dapat dihadapi para pedagang pekan etnis Minang dengan memperkuat jaringan serta dengan adanya bentuk-bentuk moral ekonomi yang terbangun pada para pedagang. Keadaan yang demikian juga terlihat pada pedagang pekan etnis Minang yang berjualan di wilayah perkebunan sekitar Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan yang membangun jaringan sosial serta mengedepankan nilai-nilai moral ekonomi dalam aktivitas perdagangannya.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis serta melihat pola jaringan sosial yang terbangun serta aspek-aspek moral ekonomi yang terbangun pada pedagang-pedagang etnis Minang yang berjualan dengan sistem pekanan serta usaha mereka untuk mempertahankan kelangsungan usahanya tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengamatan partisipan serta studi kepustakaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha berjualan ke pekan-pekan yang dijalani sebagian masyarakat Minang di Kota Pinang telah berlangsung sejak 17 tahun yang lalu, dipelopori oleh Bapak Sudirman Pili yang merupakan orang Minang pertama yang merintis usaha tersebut. Kedatangan para pedagang di pekan perkebunan telah mengakibatkan munculnya dampak ekonomis dan dampak sosial di sekitar daerah pekan. Dampak ekonomisnya adalah bergeraknya roda perekonomian di sekitar daerah pekan sedangkan dampak sosial dari keberadaan pekan adalah dijadikannya lokasi pekan sebagai sarana transformasi dan nilai-nilai ke wilayah perkebunan yang jauh dari pusat kota.

Jaringan yang terbentuk antara pedagang pekan etnis Minang di Kota Pinang adalah jaringan yang berdasarkan atas garis keluarga, satu suku dan satu kampung. Jaringan ini memudahkan mereka dalam menjalankan usaha dagang ke pekan-pekan karena dengan jaringan yang kuat maka permasalahan serta kesulitan yang dihadapi terkait masalah dagang dapat diselesaikan bersama-sama. Sedangkan moral ekonomi pedagang pekan etnis Minang dapat terlihat dari prinsip samo-samo tagak yang dipegang teguh oleh para pedagang, penetapan harga jual yang ditetapkan pedagang kepada pembeli dan pelanggannya serta adanya resiprositas dan keikhlasan para pedagang untuk berjualan ke lokasi pekanan.


(4)

PRAKATA

Alhamdulillah. Rasa syukur yang tiada henti keluar dari nafas dan lafaz kepada Allah sang penguasa jiwa-jiwa yang tenang, berkat hidayah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Jaringan Sosial dan Moral Ekonomi Pedagang Pekan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang yang berjualan di Perkebunan wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)”. Skripsi ini merupakan karya ilmiah yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat agar dapat menyelesaikan studi di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menemukan tantangan dan hambatan akan tetapi berkat rahmat Allah SWT maka skripsi ini dapat diselesaikan. Tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada orang-orang luar biasa yang selalu memberikan bantuan maupun motivasi serta semangat dikala penulis menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih dan limpahan doa selalu penulis haturkan kepada kedua Orangtua yang saya sayangi, ayah saya Johan Pili dan Ibunda tercinta Ermawati yang selalu memberikan pengertian, perhatian dan pembelajaran yang akan selalu penulis ingat dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta adik-adik yang saya sayangi Ririn Yohana, Livi Yohana, Faruza Rizky Wirawan dan Rahima Zeta Yohana selalu semangat menggapai cita-cita. Penulis secara khusus juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan waktu, nasehat untuk membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini dengan baik.


(5)

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc.(CTM)Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan para pembantu dekan serta seluruh staf pegawai dan administrasi.

3. Ibu Drs. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

4. Bapak Drs. T. Ilham Saladin selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

5. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku ketua penguji dan Bapak Drs. Sismudjito selaku dosen penguji II ujian komprehensif penulis yang banyak memberikan saran dan masukan yang membangun kepada penulis.

6. Ibu Dra. Hadriana Marhaeni Munthe, M.Si selaku Dosen wali penulis.

7. Bapak/Ibu Dosen dan staf Pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, semoga ilmu yang disampaikan kepada penulis dapat menjadikan bekal nantinya dan dapat penulis terapkan serta amalkan ditengah-tengah masyarakat.

8. Kekasihku Sauma Rahmah, yang setia memberikan semangat serta selalu mengingatkan penulis dikala sedang malas dan lalai ketika menyelesaikan skripsi ini.

9. Kawan-kawan seirama, Bang Afwan Salfani, S.sos, Bang Muhammad Deny, Jehan Mulkan, M. Anday Alisyahbana, Dzaky Hanif, Adinda


(6)

Masagus Tarigan dan Riawan Aditya yang ada ketika penulis membutuhkan bantuan dan pertolongan.

10.Rekan-rekan seperjuangan Angkatan 2008. Rudi Cina, Syahrul, Reza, Azhar, Okta Dedi, Jhon, Arman, Dicky, Nanda (Hidup Kates dan Salam Komando), Esty, Elfi, Rhina, Ayu, Imay, Mitha, Silky, Dhani (Genk Terong), Alfath Andri, Satya Mitra, kak Riama, kak Judika, kak Grace, Sylvia, Ririn, Sugi, Lucie, Burhan, Rijal, Gio, Bresman, Reni, Frina, Roy, Dessie, Ricat, Wistin, Evlin, Dian, Salmen, Belman, Heberlin, Amos Pasaribu, Irma, Frisilia, Roby, Raja, Sondang, Fitri, Putri, Nari, Hendra, Vera, Lenni, Roinal, Gusnimar, Yuacep, Khodijah, Yudis, Ruth, Dicky, Eninta, Zulfikar, Vanny, Ratih, Poibe, Okta Virna, Santi. Serta seluruh rekan-rekan yang tidak tersebut namanya di sini.

11.Rekan-rekan mahasiswa departemen Sosiologi serta seluruh rekan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Mudah-mudahan semua jasa dan dorongan semangat yang diberikan kepada penulis, menjadi pahala yang selalu dilipat gandakan oleh Allah SWT.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini dikemudian hari. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih

Penulis Anggre Wirawan


(7)

DAFTAR ISI

Abstrak……….. i

Kata Pengantar……….. ii

Daftar Isi………... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………. 1

1.2. Perumusan Masalah………... 10

1.3. Tujuan Penelitian……….. 10

1.4.Manfaat Penelitian………. 11

1.5.Defenisi Konsep………. 11

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Jaringan Sosial……… 16

2.2. Trust (Kepercayaan)……… 19

2.3. Kelompok atau Group……… 21

2.4. Aspek Moral Ekonomi Pedagang………... 23

2.5. Orientasi Subyektif dalam Hubungan Sosial: Variabel-variabel Berpola………. 28

BAB.III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……… 30

3.2. Lokasi Penelitian……….. 31

3.3. Unit Analisis dan Informan……….. 31

3.4.Teknik Pengumpulan Data……… 32

3.5. Interpretasi Data……….. 34


(8)

3.7. Keterbatasan Penelitian……….. 35

BAB IV. DESKRIPSI DAN PROFIL INFORMAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 37

4.2. Letak dan Batas Wilayah……….. 39

4.3. Keadaan Penduduk……… 41

4.3.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kecamatan……… 41

4.3.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Perbandingan Jenis Kelamin………. 42

4.3.3 Laju Pertumbuhan Penduduk……… 43

4.3.4 Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa per Kecamatan………. 44

4.3.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Yang Dianut per Kecamatan……… 45

4.3.6 Penggunaan Lahan Menurut Jenis……….. 45

4.3.7 Jumlah Tempat Berjualan Yang Terdapat Di Pasar atau Pekan Tiap Kecamatan……… 47

4.3.8 Perkembangan Jumlah Pedagang di Kabupaten Labuhanbatu Selatan……… 48

4.3.9 Jumlah Pedagang Di Pasar/Pekan Menurut Kecamatan... 49

4.4. Daerah Pekanan yang Didatangi Pedagang Minang Pancasila…... 49

4.4.1 Sidodadi……… 49

4.4.2 Simpang Kanan………. 50

4.4.3 Aek Roso……… 51


(9)

4.4.5 Tanjung Medan……… 52

4.4.6 Ujung Gading……….. 52

4.4.7 Langkiman……… 53

4.4.8 IP……….. 53

4.4.9 Trans………. 54

4.5 Profil Informan……… 54

BAB V TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA 5.1. Keberadaan Pedagang Etnis Minang Di Kota Pinang……… 88

5.2. Awal Pedagang Minang Berjualan Ke Pekan……… 90

5.3. Unsur Perekat Keterlekatan Hubungan Sesama Pedagang Pekan.. 92

5.3.1 Aspek Ekonomi……… 93

5.3.2 Aspek Nilai Sosial dan Kemasyarakatan………. 94

5.3.3 Adanya Figur Pemersatu yang Kharismatik……… 98

5.4 Jaringan Sosial Pedagang Pekan Etnis Minang………. 100

5.4.1 Jaringan Antara Sesama Pedagang Pekan Etnis Minang 100

5.4.2 Jaringan Antara Pedagang Pekan dengan Pedagang Grosir………. 105

5.4.2.1 Sistem Pembayaran Barang Pedagang Etnis Minang Kepada Pedagang Grosir…………... 106

5.4.3 Jaringan Antara Pedagang Pekan dan Pelanggan…….. 109

5.4.4 Jaringan dan Hubungan Antara Pedagang Pekan Etnis Minang dan Etnis Lain………... 111


(10)

5.5 Kelompok Salang atau Pinjam-meminjam Antara Pedagang

Pekan Etnis Minang……….. 114 5.6 Membangun dan Manfaat Adanya Rasa Saling Percaya (Trust)… 118 5.6.1 Trust antara sesama pedagang pekan etnis Minang…… 118 5.6.2 Trust antara pedagang pekan etnis Minang dan

pedagang grosir………... 120 5.7 Moral Ekonomi Pedagang Pekan Etnis Minang………. 122 5.7.1 Prinsip Pedagang Pekan: “Samo-samo Tagak”……….. 124 5.7.2 Penetapan Harga Jual Kepada Pelanggan……… 126 5.7.3 Resiprositas dan Keikhlasan Pedagang Pekan…………. 129 BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan……….. 134 6.2 Saran……… 135 DAFTAR TABEL

DOKUMENTASI DAFTAR PUSTAKA


(11)

ABSTRAK

Keterbatasan akses masyarakat perkebunan ke kota dikarenakan jarak yang jauh mengakibatkan terhambatnya usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menjadi dasar bagi pedagang-pedagang terutama yang beretnis Minang melihatnya sebagai peluang usaha. Jarak serta lokasi yang tidak mudah karena infrastruktur jalan yang buruk, berlubang, masih berbatu, berdebu bahkan jika hujan akan berlumpur tidak menghambat mereka berjualan ke pekan-pekan di perkebunan. Dalam aktivitas perdagangannya, hambatan-hambatan yang ada dapat dihadapi para pedagang pekan etnis Minang dengan memperkuat jaringan serta dengan adanya bentuk-bentuk moral ekonomi yang terbangun pada para pedagang. Keadaan yang demikian juga terlihat pada pedagang pekan etnis Minang yang berjualan di wilayah perkebunan sekitar Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan yang membangun jaringan sosial serta mengedepankan nilai-nilai moral ekonomi dalam aktivitas perdagangannya.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis serta melihat pola jaringan sosial yang terbangun serta aspek-aspek moral ekonomi yang terbangun pada pedagang-pedagang etnis Minang yang berjualan dengan sistem pekanan serta usaha mereka untuk mempertahankan kelangsungan usahanya tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengamatan partisipan serta studi kepustakaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha berjualan ke pekan-pekan yang dijalani sebagian masyarakat Minang di Kota Pinang telah berlangsung sejak 17 tahun yang lalu, dipelopori oleh Bapak Sudirman Pili yang merupakan orang Minang pertama yang merintis usaha tersebut. Kedatangan para pedagang di pekan perkebunan telah mengakibatkan munculnya dampak ekonomis dan dampak sosial di sekitar daerah pekan. Dampak ekonomisnya adalah bergeraknya roda perekonomian di sekitar daerah pekan sedangkan dampak sosial dari keberadaan pekan adalah dijadikannya lokasi pekan sebagai sarana transformasi dan nilai-nilai ke wilayah perkebunan yang jauh dari pusat kota.

Jaringan yang terbentuk antara pedagang pekan etnis Minang di Kota Pinang adalah jaringan yang berdasarkan atas garis keluarga, satu suku dan satu kampung. Jaringan ini memudahkan mereka dalam menjalankan usaha dagang ke pekan-pekan karena dengan jaringan yang kuat maka permasalahan serta kesulitan yang dihadapi terkait masalah dagang dapat diselesaikan bersama-sama. Sedangkan moral ekonomi pedagang pekan etnis Minang dapat terlihat dari prinsip samo-samo tagak yang dipegang teguh oleh para pedagang, penetapan harga jual yang ditetapkan pedagang kepada pembeli dan pelanggannya serta adanya resiprositas dan keikhlasan para pedagang untuk berjualan ke lokasi pekanan.


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Permasalahan kesejahteraan masyarakat merupakan masalah yang tidak akan ada habisnya untuk dikaji pada suatu negara. Kesejahteraan merupakan tuntutan-tuntutan yang harus segera dipenuhi karena menyangkut hajat hidup masyarakat, negara dibebani kewajiban untuk menjamin hal itu kepada tiap warga negaranya. Dalam upaya pemenuhan kesejahteraan tersebut, tiap individu dituntut untuk aktif dan kreatif agar tidak hanya mengharapkan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya ditanggung oleh negara karena negara juga memiliki keterbatasan akan hal itu akan tetapi negara berkewajiban untuk memberikan akses bagi tiap warganya untuk dapat berusaha dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah yaitu dengan melaksanakan pemekaran daerah dengan tujuan agar tiap daerah dapat memberdayakan potensi serta kekuatan daerah untuk mengelola dan mengatur wilayah sendiri secara lebih luas, dengan begitu akses masyarakat terhadap pusat pemerintahan dan ekonomi menjadi lebih dekat dan harapan meningkatnya kesejahteraan akan dapat terpenuhi.

Salah satu wilayah yang baru saja mengalami pemekaran daerah adalah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kota Pinang ditetapkan sebagai ibu kota kabupaten yang secara resmi mengalami pemekaran sejak tahun 2008. Kabupaten Labuhanbatu Selatan merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki lahan perkebunan yang luas, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Utara tahun 2010 luas wilayah perkebunan serta kawasan hutan


(13)

produksi di wilayah Labuhanbatu Selatan seluas 109.647,3 Ha sehingga sebagian besar masyarakatnya banyak yang bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan. Selain menjadi petani dan buruh perkebunan sebesar 75% (246.961 orang), masyarakat kabupaten ini juga ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan karyawan sebesar 15% (93.983 orang) serta pedagang 10% (1005 orang). Terdapat juga masyarakat yang bekerja sebagai pedagang Pekanan terutama yang beretnis Minang yang berjualan berbagai macam jenis barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di perkebunan yang jauh aksesnya dari pusat kota.

Keterbatasan akses masyarakat perkebunan ke kota dikarenakan jarak yang jauh mengakibatkan terhambatnya usaha mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya daerah perkebunan yang terdekat yaitu Lohsari jaraknya ke Kota Pinang mencapai 25 km ditempuh dengan perjalanan selama 2 jam dan salah satu daerah perkebunan yang terjauh yakni Langkiman yang berjarak 250 km dari Kota Pinang dapat mencapai waktu tempuh 5 jam perjalanan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi pedagang-pedagang terutama yang beretnis Minang melihatnya sebagai peluang usaha. Mereka menjual barang keperluan sehari-hari seperti sayur-sayuran, ikan dan daging, pakaian untuk anak-anak, baju kaos, kemeja, celana pendek serta perabotan rumah tangga yang diperlukan masyarakat perkebunan tersebut. Jarak serta lokasi yang tidak mudah ditempuh karena infrastruktur jalan yang buruk, berlubang, masih berbatu, berdebu bahkan jika hujan akan berlumpur tidak menghambat mereka untuk berjualan ke kebun-kebun karena dari segi penghasilan yang mereka dapatkan cukup besar terutama pada saat pekerja-pekerja perkebunan yang merupakan


(14)

target utama sebagai pembeli baru menerima gaji dari perkebunan tempat mereka bekerja.

Lokasi pekan yang didatangi para pedagang berbeda tiap harinya, pada hari senin para pedagang akan pergi ke pekan Sidodadi dengan jarak yang harus ditempuh lebih kurang 50 km. Pada hari selasa pedagang akan ke daerah Simpang Kanan dengan jarak tempuh lebih kurang 60 km daerah ini sudah masuk wilayah provinsi Riau. Pada hari rabu para pedagang libur, biasanya waktu libur ini digunakan pedagang untuk berbelanja barang ke Medan, sebagian pedagang yang tidak berbelanja akan memperbaiki mobil atau menghabiskan waktu bersama keluarganya. Hari kamis para pedagang akan pergi ke Lohsari, pekan ini merupakan yang terdekat karena hanya berjarak 20 km. Pada hari jumat pedagang sebagian pergi ke pekan Sidodadi sedangkan sebagian pedagang ada yang libur untuk beribadah sholat jumat. Hari sabtu pedagang kembali datang ke pekan Simpang Kanan karena daerah ini mengadakan pekanan dua kali dalam seminggu. Sedangkan pada hari minggu para pedagang akan menuju daerah Tanjung Medan yang berjarak 30 km. Terdapat juga pekanan yang hanya berlangsung satu kali dalam sebulan yaitu pekan Langkiman yang berjarak 250 km, merupakan pekan yang terjauh jarak serta terberat perjalanannya karena harus melewati perkebunan kelapa sawit hingga sampai ke wilayah Kabupaten Tapanuli Utara.

Mayoritas pedagang Pekanan di sekitar Kota Pinang yang berjualan di kebun-kebun ini adalah pedagang Minang perantauan yang berasal dari Medan dan Padang. Mereka datang ke Kota Pinang karena melihat keberhasilan perantau-perantau yang terlebih dahulu memulai usaha dagangnya di kota ini, para pedagang Minang ini membuka berbagai macam usaha mulai dari berdagang di


(15)

kota baik berjualan kaki lima bagi mereka yang tidak memiliki modal cukup besar ataupun menyewa toko bagi perantau yang memiliki modal cukup serta ada juga yang berdagang ke pekan-pekan perkebunan. Melihat peluang usaha yang cukup baik maka banyak pedagang membawa sanak family, kerabat dan teman-teman untuk ikut membuka usaha di kota ini sehingga semakin lama jumlah perantau Minang bertambah banyak dan akhirnya terbentuk komunitas masyarakat Minang yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang.

Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat Minangkabau. Bagi mereka, berdagang tidak hanya sekedar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus kerja kantoran, yang acap kali di perintah dan di marah-marahi.

diakses pada 8 Februari 2011)


(16)

Pertumbuhan besar-besaran pada masyarakat Minang tidak diikuti dengan ketersediaan peluang kerja yang memadai di daerah asal. Akibatnya, mereka pergi ke daerah lain untuk mencari pekerjaan dan pada awalnya sebagian besar dari mereka mengawali usaha dengan berdagang. Oleh karena itu menjadi pedagang kaki lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang. Motivasi orang minang berdagang karena ingin melawan dunia orang, suatu tema yang mengandung amanat untuk hidup bersaing terus menerus mencapai kemuliaan, kenamaan, kepintaran dan kekayaan.

Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap orang di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke pasaran. Selain itu, kultur menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan awal untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Minangkabau termasuk ke dalam kelompok yang paling banyak bergerak dalam arti berpindah-pindah tempat untuk merantau. Kondisi tersebut didukung oleh budaya masyarakat Minangkabau yang gemar merantau dan melakukan kegiatan perdagangan. Untuk menemukan pedagang dari Minangkabau terutama pedagang kaki lima bukanlah hal yang sulit, baik di kota-kota besar maupun di pelosok daerah di seantero Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan menyebar sampai mancanegara etnik Minangkabau


(17)

dapat menyebar luas di sana (Naim, 1979). Jika ditanya mengapa mereka menjadi pedagang tentunya jawabannya beragam, namun yang pasti mereka menjadi pedagang tentunya memiliki harapan terhadap apa yang mereka usahakan. Pedagang dalam hal ini yang berfungsi sebagai penjual ketika mereka memulai usaha berdagang hal utama yang mereka harapkan adalah keuntungan setelah itu kemudian loyalitas dan eksistensi diri. Untuk mencapai hal tersebut mereka menerapkan berbagai strategi dalam berdagang khususnya untuk mempromosikan barang dagangan mereka mulai dari berteriak memanggil pembeli, menyapa pembeli, mempersilahkan pembeli melihat-lihat, tersenyum serta membuat bentuk pajangan yang menarik dan banderol harga yang murah dan terjangkau.

Salah satu hal unik dari terbentuknya komunitas pedagang Minang di perantauan menurut Prof. Dr. Arif Nasution, MA (Ikatan Primordial dalam Kegiatan Bisnis Orang Minangkabau di Sukaramai Medan, Tahun 2002) adalah adanya kebiasaan saling mengangkat dan bergotong royong sebagai ciri masyarakat Minang tersebut, kuatnya komunalisme orang Minang yang didasarkan pada ikatan-ikatan primordial merupakan sumber terbentuknya jaringan bisnis orang Minang di perantauan. Selain itu para pedagang Minang juga terkenal dengan etos serta semangatnya yang pantang menyerah, mereka dapat bertahan di perantauan dengan modal awal yang sedikit dan merintis memulai usaha dagang mereka. Kelebihan lain yang dimiliki pedagang Minang yaitu pandai membaca peluang, di perantauan mereka dapat menyesuaikan modal yang dimiliki dengan memilih jenis usaha yang akan ditekuni dan mereka juga gigih untuk memperjuangkan usaha yang telah mereka rintis. Jusuf Kalla dalam pengantarnya di buku “Meretas Sejuta Pedagang” karangan H. Firmandez (2002)


(18)

menyatakan bahwa orang Minang terkenal dengan tiga keunggulan yaitu banyak ulama yang berbobot berasal dari daerah Minang, pemikiran-pemikiran orang Minang sangat cemerlang dan jiwa kesaudagaran orang Minang sangat kuat. Meskipun ia itu sarjana teknik atau ekonomi atau yang lain, bahkan orang Minang yang tidak mengenyam pendidikan dapat menjadi saudagar yang hebat dan sukses.

Salah satu daerah yang terdapat komunitas pedagang Minang Perantauan adalah di Pasar Sukaramai Medan, hasil penelitian Prof. Dr. Arif Nasution, MA (2002) menunjukkan bahwa keberadaan perantau Minang di pasar ini telah lama tepatnya sejak tahun 1939-an, para pedagang Minang ini merintis usahanya dari nol hingga sekarang menjadi salah satu etnis terbesar yang menguasai Pasar Sukaramai selain etnis Batak dan Cina. Di pasar ini kegiatan usaha yang ditekuni pedagang Minang antara lain usaha rumah makan atau kedai nasi, konveksi, pabrik roti, tukang emas atau intan, tukang kain, tukang becak, tukang sepatu, tukang goni butut, home industri lainnya dan menjadi pedagang lepas. Menurut Prof. Arif, sifat komunal dari orang Minangkabau merupakan faktor yang dapat mendukung kegiatan usaha mereka di perantauan. Di Sukaramai orang Minangkabau saling membantu dalam kehidupan sosial di perantauan ataupun dalam kegiatan-kegiatan berusaha seperti permasalahan permodalan yang sering terjadi pada para perantau baru ataupun dalam masalah-masalah yang timbul akibat interaksinya dengan kelompok etnik lain seperti adanya persaingan dan konflik. Sifat komunal ini menjadi salah satu faktor yang memajukan kegiatan usaha orang Minangkabau di Sukaramai, selain karena faktor lain seperti keuletan, hemat dan agresifitas mereka dalam berusaha sehingga pada tahun 1950 hingga


(19)

tahun 1960-an orang Minangkabau dapat memonopoli kegiatan usaha di Sukaramai.

Di Kota Pinang salah satu kegiatan usaha yang ditekuni pedagang Minang perantauan adalah pedagang pekanan, umumnya mereka berkumpul dan membentuk suatu kelompok serta bersama-sama berangkat ke kebun tempat sedang berlangsungnya hari pekanan. Pekanan tersebut berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di sekitar wilayah perkebunan Labuhanbatu Selatan dan berlangsung secara rutin. Kemunculan pasar Pekanan yang berkala, menjadikan sarana jual beli ini dapat muncul dengan sendirinya. Di berbagai wilayah di Indonesia muncul semacam pasar Pekanan dengan berbagai ragam nama seperti onan, pasaran, mingguan, dan lain-lain. Sebutan lain yang menjadi umum namun berbeda makna adalah pasar rakyat atau pasar tradisional. Dilihat dari skala usaha, Pekanan termasuk dalam usaha kecil dan biasanya tidak atau belum berbadan hukum maka layak Pekanan dikatakan sebagai bagian sektor informal terutama di bidang perdagangan. Selain pedagang etnis Minang, terdapat juga etnis Batak yang berprofesi sebagai pedagang pekanan. Kedua pedagang etnis ini adalah yang mendominasi usaha jualan di pekanan, usaha dagang etnis Batak antara lain menjual sayur-sayuran, ikan dan daging, bumbu masak, perabotan rumah tangga serta menjual pakaian sedangkan pedagang etnis Minang menjual segala jenis pakaian dan sepatu. Dari kelima lokasi Pekan yang ada didominasi oleh pedagang yang berasal dari etnis batak sebesar 60% dan pedagang etnis Minang sebesar 39% sisanya adalah penduduk asli yang merupakan etnis Jawa membuka usaha warung nasi yang pembelinya merupakan para pedagang pekan itu sendiri. Dominasi yang terjadi antara pedagang Etnis Batak dan Etnis Minang juga telah


(20)

menimbulkan persaingan di lokasi pekan, para pedagang yang berasal dari etnis masing-masing menggunakan strategi untuk memperlihatkan kelompok etnis mereka lebih solid seperti pergi berjualan bersama dan memusatkan lokasi berjualan yang saling berdekatan antara pedagang satu etnis.

Berjualan Pekanan ke perkebunan ini sangat melelahkan serta membutuhkan perjuangan serta usaha yang keras, para pedagang melakukan persiapan muat barang ke mobil kemudian berangkat berjualan mulai pagi hari antara pukul 08.00 – 10.00 menempuh perjalanan dari Kota Pinang ke daerah perkebunan yang mengadakan hari Pekanan. Perjalanan yang ditempuh mulai dari dua jam sampai ada daerah yang harus ditempuh selama lima jam perjalanan, ketika sampai di pekan mereka akan bongkar barang dan mendirikan tenda di lapak masing-masing. Dalam proses muat bongkar dan mendirikan tenda para pedagang akan melakukannya secara bersama-sama sampai tenda berdiri dan akan memajang barang dagangan mereka masing-masing begitu juga ketika selesai berjualan proses menutup tenda serta muat barang ke mobil akan dilakukan bersama-sama. Selain perjalanan yang ditempuh untuk mencapai lokasi jualan jaraknya jauh, kondisi jalan yang tidak baik juga harus dihadapi rombongan pedagang ini. Fasilitas yang ada di pekan juga tidak memadai sehingga untuk kamar mandi mereka akan menumpang di mushalla atau bahkan di rumah masyarakat. Mereka berjualan di tengah perkebunan dengan cuaca yang hujan serta panas harus dihadapi dengan tempat berjualan yang tidak permanen karena hanya terdiri dari tenda-tenda dan terpal-terpal yang pedagang tersebut dirikan.


(21)

Namun dengan kondisi demikian, pedagang-pedagang tersebut terutama pedagang yang telah lama berjualan memliki kondisi perekonomian yang dilihat cukup baik bahkan dapat dikatakan hidup berkecukupan. Mereka mampu mengembangkan usaha mereka, menambah barang dagangan serta dapat mempekerjakan orang lain sebagai anggota atau anak buah, tidak sedikit dari mereka memiliki lebih dari satu lapak jualan di pekan dan menjadi tempat pedagang lain untuk membeli barang dagangan sehingga dijuluki toke oleh pedagang lain. Selain itu mereka juga mampu membangun dan memiliki rumah, kendaraan pribadi dan menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat kuliah.

Setiap pedagang memiliki lahan tempat berjualan di Pekanan perkebunan tersebut baik dengan cara menyewa lahan atau lapak maupun pemberian dari pedagang sebelumnya dan bagi perantau yang baru merintis akan menumpang pada pedagang yang telah terlebih dahulu berjualan yang antara satu pedagang dengan pedagang lainnya masih ada hubungan saudara. Hal inilah yang menjadikan pedagang Pekanan Minang disini sangat unik karena jika umumnya yang terjadi di kota-kota besar, para pedagang akan berusaha baik secara nyata maupun tersirat untuk mengurangi persaingan agar memperoleh hasil yang besar. Dengan jenis jualan para pedagang yang sama yaitu menjual pakaian, potensi konflik dan persaingan antara sesama pedagang seharusnya besar namun para pedagang ini memiliki siasat tertentu untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat seperti mengkhususkan jenis barang jualan masing-masing pedagang contohnya ada pedagang yang menjual pakaian pajangan, jenis obralan, pakaian anak-anak, pakaian dalam dan menjual sepatu dan aksesoris, selain itu lapak berjualan pedagang yang sejenis juga terpisah dan tidak saling berdekatan.


(22)

Namun bagi pedagang-pedagang minang Kota Pinang yang berjualan Pekanan, persaingan menjadi hal yang biasa karena justru mereka memberikan kesempatan dan peluang bagi perantau-perantau yang baru datang untuk berjualan di pekan. Bahkan pedagang Pekan yang telah berhasil akan mengajak saudara dan sanak family atau kerabat untuk berjualan serta memberikan lapak sekaligus tumpangan kendaraan untuk berjualan, meskipun para pedagang tersebut bersaing dalam berjualan dan meraih keuntungan tapi juga timbul kerjasama antara sesama pedagang untuk sama-sama mempertahankan usaha dagangnya seperti pergi berjualan bersama dan membangun tenda lapak berjualan yang dilakukan juga bersama-sama. Sehingga yang dapat terlihat dari pedagang pekan etnis Minang adalah bentuk kerjasama yang juga dilakukan dalam persaingan antara pedagang tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang diteliti adalah

1. Bagaimana pola jaringan sosial yang terbentuk pada pedagang Pekanan etnis Minang Kota Pinang yang berjualan di perkebunan wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan?

2. Bagaimana bentuk moral ekonomi yang terbangun pada pedagang Pekanan etnis Minang Kota Pinang yang berjualan di perkebunan wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan?


(23)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang diharapkan menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis serta melihat pola jaringan sosial yang terbangun serta aspek-aspek moral ekonomi yang terbangun pada pedagang-pedagang Minang yang berjualan dengan sistem pekanan serta usaha mereka untuk mempertahankan kelangsungan usahanya tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah-masalah yang menyeluruh yang terjadi pada pedagang-pedagang tersebut.

2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas pedagang-pedagang minang dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan mata pencahariannya tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis: Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan sumbangan kepada peneliti lain sebagai bahan perbandingan referensi dalam meneliti masalah yang mirip dengan penelitian ini dalam bidang Ilmu Sosiologi tertentu terutama bidang sosiologi ekonomi khususnya sektor informal dan studi masyarakat perkebunan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah rujukan bagi mahasiswa Sosiologi Fisip USU mengenai penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.


(24)

b. Manfaat praktis : Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah penulis dalam membuat karya tulis ilmiah serta menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti. Penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi pemerintahan daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dalam pendataan serta input data kependudukan masyarakat etnis minang yang berprofesi sebagai pedagang pekanan.

1.5 Definisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep adalah definisi, abstraksi mengenai gejala atau realita ataupun suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Meleong, 2006:67). Disamping berfungsi untuk memfokuskan dan mempermudah penelitian, konsep ini juga berfungsi sebagai panduan yang nantinya digunakan peneliti untuk menindak lanjuti sebuah kasus yang diteliti dan menghindari terjadinya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalam sebuah penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini antara lain adalah:

1. Jaringan sosial menurut George Ritzer dalam Ritzer dan goodman (2004:382) merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antara banyak individu dalam suatu kelompok dengan kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Dalam penelitian ini jaringan sosial adalah hubungan-hubungan yang terbentuk baik antar sesama pedagang, hubungan pedagang dengan pedagang grosir serta hubungan pedagang dengan pelanggan yang memungkinkan terciptanya suatu jalinan yang saling menguntungkan.


(25)

2. Moral ekonomi pedagang, H.D. Evers dalam Damsar (2000: 90-92) mengemukakan bahwa moral ekonomi pedagang timbul ketika mereka menghadapi permasalahan dalam aktivitas jual beli para pedagang seringkali mengalami dilema. Dalam hal ini aspek moral pedagang yang dimaksud adalah moral pedagang pekanan terutama yang beretnis Minang dalam melakukan transaksi jual beli seperti penetapan harga barang yang tidak terlalu tinggi agar dapat terjangkau oleh masyarakat perkebunan yang mayoritas bekerja sebagai buruh perkebunan. Selain itu juga dilihat saling tolong menolong antara sesama pedagang dalam bentuk peminjaman uang untuk berbelanja barang yang dilakukan secara bergantian maupun saling berbagi lapak berjualan dan memberikan tumpangan bagi pedagang yang tidak memiliki kendaraan.

3. Solidaritas sosial, menurut Soerjono Soekanto (2002: 68-69) solidaritas sosial merupakan kohesi yang ada antara anggota suatu asosiasi, kelompok, kelas sosial atau kasta, dan diantara berbagai pribadi, kelompok maupun kelas-kelas membentuk masyarakat dan bagian-bagiannya. Solidaritas ini menghasilkan persamaaan, saling ketergantungan, dan pengalaman yang sama, merupakan unsur pengikat bagi unit-unit kolektif seperti keluarga, kelompok atau komunitas tertentu. Dalam penelitian ini, solidaritas sosial yang dilihat adalah sikap pedagang yang saling berbagai lapak jualan dan memberikan tumpangan bagi pedagang yang tidak memiliki kendaraan. Dalam perjalanan tidak jarang satu rombongan akan membantu rombongan yang lain jika mengalami kerusakan mobil atau terdapat kendala diperjalanan.

4. Kerja sama, menurut Charles Horton Cooley dalam J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (2007:57) kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa


(26)

mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam penelitian ini, kerja sama antar pedagang yang dapat dilihat adalah proses bongkar muat barang ke mobil yang dilakukan bersama-sama serta pendirian dan bongkar tenda yang dilakukan juga bersama-sama.

6. Moral Sosial adalah aturan serta nilai-nilai yang di dalamnya terdapat kebaikan yang ditujukan untuk kebaikan dan kepentingan orang banyak tanpa mengharapkan pamrih yang dari orang sekitar. Dalam hal ini moral sosial pedagang yang dapat dilihat adalah sikap mereka yang saling tolong menolong antara sesama pedagang, penentuan harga barang yang disesuaikan dengan kemampuan daya beli pedagang, serta solidaritas erat yang terbangun antara sesama pedagang pekan.

5. Co-competition adalah bentuk kerjasama yang terjalin antara sesama pedagang padahal disaat yang bersamaan mereka sedang berkompetisi karena pedagang tersebut juga menjual jenis barang dagangan yang sama.

7. Pedagang Pekanan adalah pedagang yang melakukan aktivitas usaha dagang atau jual belinya pada waktu-waktu tertentu yang berjualan di lokasi pekan yang berpindah-pindah. Misalnya pekan senin, selasa dan seterusnya.

8. Pedagang Minang Perantauan adalah para pedagang yang merupakan berasal dari etnis Minang yang melakukan aktivitas usaha dagangnya di daerah perantauan.

9. Pekan adalah tempat jual beli yang berlangsung pada hari-hari tertentu, misalnya mingguan.


(27)

10. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, akses, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal.

11. Stratifikasi pedagang adalah tingkatan atau jenjang yang terbentuk antara para pedagang dalam hal ini tingkatan pedagang didasarkan atas lama berjualan, banyaknya barang yang dimiliki serta tingkat keberhasilan pedagang tersebut. 12. Pedagang grosiran adalah para pedagang besar yang menjual barang kepada pedagang pekan untuk dijual kembali, dalam hal ini barang yang dijual dengan harga yang lebih murah daripada dijual secara satuan atau eceran.

13. Pembeli adalah orang yang membeli dagangan para pedagang pekan dalam hal ini pembeli adalah buruh perkebunan atau masyarakat yang tinggal di daerah perkebunan yang mengadakan pekanan.

14. Pelanggan adalah orang yang membeli dagangan para pedagang pekan secara rutin sehingga harga yang ditawarkan pedagang akan berbeda dengan harga yang di tawarkan kepada pembeli biasa.

15. Strategi adalah cara-cara yang dilakukan pedagang untuk mempertahankan usahanya atau cara pedagang tersebut untuk menarik pembeli dan pelanggan. 16. Persaingan adalah dalam hal ini muncul dari pedagang yang menjual jenis barang yang sama sehingga masing-masing pedagang memiliki cara-cara tersendiri untuk lebih unggul dari pedagang lain dari segi penjualan, persaingan


(28)

ini juga terjadi antara pedagang yang berlainan etnis seperti pedagang etnis Batak dan pedagang etnis Minang.


(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Damsar, 2002:157).

Dalam melihat aktivitas sekelompok individu itu menjadi suatu aksi sosial maka disitulah teori jaringan sosial berperan dalam sistem sosial. Hampir seluruh masalah sosiologi adalah masalah agregasi, yaitu bagaimana aktivitas sekelompok individu dapat menimbulkan efek sosial yang dapat diamati. Hal inilah yang membuat ilmu sosiologi sangat sulit untuk memahami dan mengerti suatu fenomena secara mendalam. Teori jaringan sosial berangkat dari pengkajian atas variasi bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku kolektif.

Dalam hal ini analisis jaringan sosial lebih ingin mempelajari keteraturan individu atau kelompok berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku (Wafa, 2006:162). Analisis jaringan sosial memulai dengan gagasan sederhana namun sangat kuat, bahwa usaha utama dalam kajian sosiologis adalah mempelajari struktur sosial dalam menganalisis pola ikatan yang menghubungkan anggota-anggota kelompoknya. Granovetter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu seperti tindakan yang melekat dalam


(30)

hubungan pribadi konkrit dan dalam struktur (jaringan sosial) terhadap hubungan itu. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai seperti kekayaan, kekuasaan, dan informasi. Menurut Wellman dalam teori jaringan sosial terdapat sekumpulan prinsip-prinsip yang berkaitan logis, yaitu sebagai berikut:

1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian dengan intensitas yang semakin besar atau semakin kecil.

2. Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas.

3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non-acak. Disatu pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A dan B dan C, ada kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A dan C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A, B, dan C.

4. Adanya kelompok jaringan yang menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu.

5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tidak merata.


(31)

6. Dengan adanya distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan baik itu kerja sama maupun kompitisi. Beberapa kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan kerja sama, sedangkan kelompok lain bersaing dan memperebutkannya.

Jaringan yang terbangun adalah modal terpenting dalam mempertahankan kelangsungan usaha dagang ke pekan, dengan kondisi yang serba terbatas baik fasilitas dan permodalan pedagang akan berusaha untuk membangun jaringan yang kuat baik antara sesama pedagang, pedagang dengan pedagang grosiran maupun antara pedagang dengan pelanggan di pekan. Jaringan yang terbangun antara sesama pedagang akan memudahkan mereka dalam hal permodalan dan tempat berjualan di pekan, pedagang pekan membangun jaringan berdasarkan kedekatan emosional serta kenyataan bahwa pedagang tersebut berasal dari satu kampung dan masih berhubungan keluarga. Jika jaringan antara pedagang telah terbentuk, akan terjadi sistem pinjam-meminjam uang yang digunakan untuk tambahan modal untuk berbelanja barang dan pinjam-meminjam uang ini berlangsung bergantian. Selain itu akan mempermudah memperoleh barang jualan karena akan mendapat informasi dari pedagang lainnya. Jaringan antara pedagang dengan pelanggan juga akan mempermudah pedagang untuk memprediksi barang dagangan yang diinginkan pembeli karena dari jaringan dengan pelanggan para pedagang akan memperoleh informasi tersebut. Selain itu jaringan juga berfungsi untuk memberikan kepastian terhadap pedagang untuk mengukur penghasilan mereka tiap kali berjualan.


(32)

Jaringan antara pedagang pekan dan pedagang pelanggan juga berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha dagang pekan ini karena pasokan barang akan mudah didapat jika telah terjalin komunikasi dan saling mengenal antara pedagang pekan dan pedagang grosiran. Jaringan yang terbangun juga berfungsi untuk mempermudah pasokan barang serta untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari pedagang gosiran tersebut bahkan jika jaringan telah mencapai tahap kepercayaan, pedagang grosiran akan memberikan kemudahan dengan mempersilahkan pedagang pekan untuk membawa barang terlebih dahulu dengan pembayaran yang menyusul kemudian ketika pedagang pekan kembali turun berbelanja.

2.2 Trust (Kepercayaan)

Kepercayaan adalah unsur penting dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam kelompok masyarakat. Dengan menjaga suatu kepercayaan, orang-orang bisa bekerja sama secara efektif. Social Capital adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Social Capital bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, Negara, dan dalam seluruh kelompok-kelompok lain yang ada diantaranya (Fukuyama, 2002:37).

Kepercayaan memiliki dampak positif terhadap efisiensi biaya-biaya transaksi, artinya antara pedagang dan pelanggan telah memiliki kepercayaan (saling mempercayai) satu sama lain. Adanya rasa kepercayaan akan membuat transaksi jual beli terus berjalan sekalipun telah terjadi perjanjian hutang-piutang


(33)

dalam transaksi ekonomi tersebut. Qianhong Fu, (Hasbullah, 2006:12 dikutip dari skripsi: modal sosial pada pasar tradisional oleh Dedy Kurnia Putra) membagi tiga tingkatan trust yaitu pada tingkatan individual, relasi sosial dan pada tingkatan personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. Pada tingkatan hubungan sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Sedangkan pada tingkatan sistem sosial trust merupakan nilai yang berkembang menurut sistem sosial yang ada. Trust juga dipandang sebagai komponen ekonomi yang relevan pada kultur yang ada pada masyarakat dan membentuk kekayaan modal sosial.

Kepercayaan akan menimbulkan kewajiban sosial dengan mempercayai seseorang akan menimbulkan kepercayaan kembali dari orang tersebut (resiprositas). Dalam kaitannya dengan resiprositas dan pertukaran, Pretty dan Ward, dalam (Badaruddin, 2005:32) mengemukakan bahwa adanya hubungan-hubungan yang dilandasi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran akan menumbuhkan kepercayaan karena setiap pertukaran akan dibayar kembali (repaid and balanced). Hal ini merupakan pelicin dari suatu hubungan kerjasama yang telah dibangun agar tetap konsisten dan berkesinambungan.

Banyak peneliti merujuk bahwa trust bersumber dari jaringan itu sendiri, jaringan merupakan sumber penting tumbuh dan hilangnya trust dimaksud (Hasbullah, 2006:12). Seperti hubungan yang terjalin antara seorang pedagang di Tanah Abang, Jakarta Pusat yang memberi cicilan jual beli barang kepada pedagang lain yang merupakan pelanggannya yang berasal dari Ujung Pandang (Damsar, 2002:33). Cicilan dibayar setiap kali pedagang yang berutang tersebut datang ke Jakarta untuk membeli barang. Dalam perilaku ekonomi tersebut


(34)

melekat konsep kepercayaan (trust). Pendekatan aktor teratominasi melihat bahwa kepercayaan merupakan institusi sosial yang berakar dari hasil evolusi kekuatan-kekuatan politik, sosial, sejarah dan hukum dipandang sebagai solusi yang efisien terhadap fenomena ekonomi tertentu. Sebaliknya pendekatan aktor yang lebih tersosialisasi memandang bahwa kepercayaan merupakan moralitas umum dalam perilaku ekonomi. Sedangkan pendekatan keterlekatan mengajukan pandangan yang lebih dinamis yaitu bahwa kepercayaan tidak muncul dengan seketika tetapi terbit dari proses hubungan antar pribadi dari aktor-aktor yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama. Kepercayaan bukanlah merupakan barang baku (tidak berubah) tetapi sebaliknya, kepercayaan terus menerus ditafsirkan dan dinilai oleh para aktor yang terlibat dalam hubungan perilaku ekonomi.

Kepercayaan sosial hanya efektif dikembangkan melalui jalinan pola hubungan sosial resiprosikal atau timbal balik antar pihak yang terlibat dan berkelanjutan. Adanya trust menyebabkan mudah dibinanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual benefit), sehingga mendorong timbulnya hubungan resiprosikal. Hubungan resiprosikal menyebabkan social capital dapat melekat kuat dan bertahan lama. Karena diantara orang-orang yang melakukan hubungan tersebut mendapat keuntungan timbal balik dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Disini hubungan telah memenuhi unsur keadilan (fairness) diantara sesama individu (Wafa, 2006:46).

Coleman, dalam (Wafa, 2006:60) menegaskan bahwa kelangsungan setiap transaksi sosial ditentukan adanya dan terjaganya trust (amanah atau kepercayaan) dari pihak-pihak yang terlibat. Artinya hubungan transaksi antara manusia sebagai


(35)

individu maupun kelompok baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi hanya mungkin terjadi apabila ada kelanjutan trust atau rasa saling percaya dari pihak-pihak yang melakukan interaksi. Individu-individu yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi memungkinkan terciptanya organisasi-organisasi bisnis yang fleksibel yang mampu bersaing dalam ekonomi global.

2.3 Kelompok atau Group

Kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena sebagain besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Kelompok didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantung, yang saling bergabung untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu. Kelompok dapat bersifat formal dan informal di dalam sistem sosial, kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai struktur organisasi dengan pembagian kerja yang jelas. Sedangkan kelompok informal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai aliansi yang tidak terstruktur secara formal atau tidak ditetapkan secara organisasi. Kelompok informal ini terbentuk secara alamiah dalam suasana kerja yang muncul sebagai tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial.

Robert Biersted mengklasifikasikan jenis-jenis kelompok dengan menggunakan indikator atau kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu sebagai berikut (Kamanto, 2004:126) :

1. Organisasi


(36)

Berdasarkan ketiga kriteria atau indikator tersebut Biersted kemudian membedakan ada empat jenis-jenis kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Kelompok statistik (statistical group)

2. Kelompok kemasyarakatan (societal group)

3. Kelompok sosial (social group)

4. Kelompok asosiasi (associational group)

Soekanto (2002:115) mengemukakan beberapa persyaratan sebuah kelompok sosial adalah sebagai berikut:

1. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagaian dari kelompok yang bersangkutan.

2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya.

3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain. Tentunya faktor mempunyai musuh bersama misalnya dan dapat pula menjadi faktor pengikat atau pemersatu diantara mereka.

4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola prilaku.

5. Bersistem dan berproses.

Menurut Sumner masyarakat manusia terdiri dari in-groups dan out-groups atau we-groups dan other-groups yang artinya kelompok dalam dan kelompok


(37)

luar atau kelompok mereka (Kamanto, 2004:130). Seseorang itu termasuk kedalam beberapa kelompok yang baginya adalah kelompok dalam dan selebihnya baginya adalah kelompok luar. Dalam in-group terdapat perasaan persaudaraan sedangkan dalam out-group terdapat perasaan yang lebih dingin. Anggota-anggota dalam in-group menunjukkan adanya kerja sama, hubungan yang baik (good will), saling membantu, dan saling menghormati. Mereka mempunyai perasaan solidaritas, kesetiaan terhadap kelompoknya dan kesediaan berkorban demi kelompoknya. Tetapi sikap mereka terhadap orang lain atau luar kelompoknya selalu menunjukkan kebencian, perasaan menghina, dan permusuhan.

2.4 Aspek Moral Ekonomi Pedagang

H.D. Evers dalam Damsar (2000: 90-92) mengemukakan bahwa moral ekonomi pedagang timbul ketika mereka menghadapi permasalahan dalam aktivitas jual beli. Para pedagang seringkali mengalami dilema. Moral ekonomi pedagang, menurut H.D. Evers timbul karena adanya pertentangan dalam diri pedagang sendiri. Apabila yang menjual dengan harga yang tinggi, maka dagangannya tidak akan laku atau laris. Apabila pedagang menjual dagangannya dengan harga murah, sedangkan modal sangat mahal, maka kerugian yang akan dialami.

Dalam keadaan seperti itu, menurut H. D. Evers dalam Damsar (2000: 92) pedagang berusaha mencari jalan keluar sendiri. Di antaranya adalah dengan memilih jalan untuk merantau atau membuka usaha di negeri orang. Sehingga pertentangan batin pun tidak ada lagi. H.D. Evers memandang bahwa pedagang


(38)

adalah manusia yang kreatif dan dinamis. Hal didasarkan kepada para pedagang tidak tertumpu pada norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Mereka bisa menyelesaikan permasalahan pribadi tanpa melanggar norma-norma yang ada.

Menurut Damsar (2000), pada dasarnya setiap manusia yang terlibat dalam aktivitas perekonomian akan mengalami hal sama. Baik masyarakat nelayan maupun masyarakat metropolis. Apabila mereka menghadapi masalah yang disebut dengan masalah subsistensi (keselamatan pribadi) atau resiprositas maka mereka akan mencoba untuk melakukan tindakan-tindakan yang baru, seperti menjual, menggadai, meminjam uang (berhutang) dan lain sebagainya atau bahkan mencuri sekalipun. Tujuan dari itu semua adalah untuk mengamankan posisi mereka dalam aktivitas perekonomian guna menghadapi persaingan yang ada.

Melihat dilema yang dialami oleh pedagang tersebut, Hans Dieter Evers dalam Damsar (2000) menemukan lima solusi atau jalan keluar yang berbeda dengan apa yang dilakukan pedagang dalam menghadapi dilema tersebut, yaitu:

1. Imigrasi Penduduk Minoritas

Kelompok minoritas baru dapat diciptakan melalui imigrasi atau dengan etnogenesis yaitu munculnya identitas baru. Cara diferensiasi etnis dan budaya tersebut secara efektif dapat mengurangi dilema pedagang. Untuk menghindari dilema tersebut maka lebih baik merantau (migrasi) ke daerah lain dan melakukan aktivitas perdagangan di sana.


(39)

Muncul dua komunitas moral yang menekankan pentingnya kerjasama tetapi tidak keluar dari batas-batas moral. Seperti pedagang kredit yang ada di Sumatera Barat, mereka dibutuhkan oleh masyarakat Sumatera Barat sebagai pemasok kebutuhan sandang baru sedangkan pedagang sendiri memperoleh untung yang relatif besar karena harga ditetapkan relatif lebih tinggi dari harga pasaran. Ini berarti terdapat hubungan kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat pedesaan Sumatera Barat dan pedagang kredit yang masing-masing memiliki komunitas moral sendiri yaitu agama Islam dan agama Kristen.

3. Akumulasi Status Kehormatan (Budaya)

Melalui akumulasi modal budaya berarti adanya peningkatan derajat kepercayaan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Sesuai dengan studi Geertz tentang peranan santri pada sektor perdagangan orang Jawa bahwa kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat, berziarah, menunaikan ibadah haji yang dilakukan kaum santri memberi dampak kepada akumulasi modal budaya yang dimiliki. Hal ini menghindari dari cemoohan masyarakat sebagai orang kikir dan tamak tetapi sebaliknya dianggap orang yang berbudi baik dan bermurah hati.

4. Munculnya Pedagang Kecil yang bercirikan “Ada Uang Ada Barang”

Dengan mengambil fenomena pedagang bakul di Jawa, Evers melihat bahwa para pedagang bakul kurang ditundukkan oleh tekanan solidaritas jika dibandingkan dengan pedagang yang lebih besar. Pedagang bakul akan bersikeras melakukan transaksi dalam bentuk “ada uang ada barang” dan


(40)

permintaan kredit maka akan dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan sangat dibatasi sehingga tidak muncul resiko perkreditan. Dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh pedagang kecil tersebut, memungkinkan pedagang untuk menghindari dilema yang biasanya dialaminya.

5. Depersonalisasi (ketidakterlekatan) Hubungan-Hubungan Ekonomi

Jika ekonomi pasar berkembang dan relatif tidak terlekat atau terdiferensiasi maka dilema pedagang ditransformasikan ke dalam dilema sosial pasar ekonomi kapitalis. Evers melihat bahwa suatu ekonomi modern memerlukan rasionalisasi hubungan-hubungan ekonomi dan keunggulan produktivitas di satu sisi dan di sisi yang lain keadilan sosial dan redistribusi dibutuhkan untuk mempertahankan legitimasi penguasa serta tatanan sosial dan politiknya.

Aspek moral yang muncul dari sikap para pedagang tidak lepas dari munculnya keterlekatan baik antar sesama pedagang maupun dengan para pembeli. Menurut Granovetter dalam Damsar (2002:146) keterlekatan adalah tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor. Ini tidak hanya terbatas pada tindakan aktor individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti penetapan harga dan institusi-institusi ekonomi yang semuanya terpendam dalam suatu jaringan hubungan sosial. Aspek moralitas pedagang juga muncul akibat adanya jaringan sosial, jaringan sosial memberikan berbagai kemudahan untuk mengakses berbagai macam barang dan sumber daya langka seperti informasi, barang, jasa kekuasaan dan sebagainya. Ketika seorang pembeli dan penjual pada suatu pasar tradisional berinteraksi dalam suatu transaksi bisnis dan berakhir dengan jual beli maka hal tersebut bisa


(41)

menjadi simpul bagi terbentuknya ikatan pelanggan antara mereka berdua. Adapun keuntungan yang mungkin akan diperoleh pembeli antara lain kepastian dan ketepatan informasi harga suatu barang, diskon, kredit (hutang) dan lainnya. Sedangkan keuntungan dipihak pedagang adalah kepastian pembeli. Jika ada kepastian pembeli dimasa akan datang, maka kepastian akan memperoleh laba merupakan konsekuensi logis dari keadaan sebelumnya.

Ikatan pelanggan yang terajut antara keduanya dapat memudahkan pembentukan hubungan baru dengan pihak lain, ikatan pelanggan antara kedua belah pihak dimungkinkan diperluas dengan mengikutkan beberapa orang lain yang memiliki hubungan dengan pihak pembeli misalnya dengan anggota keluarga luas dari pembeli seperti; kakak, adik, orang tua, paman, tante, dan lainnya. Ikatan pelanggan menuntun para individu baik pembeli maupun penjual untuk berpikir, berperilaku, dan bertindak seperti harapan peran yang seharusnya dimainkan oleh masing pihak sesuai dengan posisi dan status masing-masing. Dalam ikatan pelanggan, antara pembeli dan penjual memiliki suatu derajat kepercayaan dan tingkat keuntungan bersama antara kedua belah pihak.

Melalui derajat kepercayaan dan tingkat keuntungan yang diperoleh mereka terikat satu sama lain, berbagai kemudahan yang diperoleh para anggota kelompok untuk mengakses bermacam barang atau jasa dan sumber langka lainnya seperti informasi, barang, jasa, kekuasaan dan sebagainya. Misalnya ketika seorang pengunjung yang berasal dari Sumatera Barat pergi ke pasar induk Tanah Abang Jakarta untuk membeli busana baik untuk keperluan konsumsi pribadi maupun untuk kepentingan bisnis untuk di perdagangkan kembal, akan berusaha untuk mendapat berbagai kemudahan melalui keanggotaan dari suatu


(42)

kelompok etnik yaitu sebagai seorang suku Minangkabau. Ketika dia mengetahui bahwa sipenjual dari barang diperlukannya adalah orang Minangkabau pula maka dia akan mencoba menjalin ikatan kelompok suku Minangkabau. Melalui ikatan kelompok suku Minangkabau, aktor pembeli merajut simpul jaringan melalui komunikasi yang dilakukan melalui bahasa daerah Minangkabau dan menelusuri jejak keminangkabauan melalui percakapan yang dilakukan. Dalam kenyataannya, cara seperti itu akan melicinkan para aktor untuk mendapat harga yang lebih miring dibanding dengan pembeli yang berasal dari etnik lain.

2.5 Orientasi Subyektif dalam Hubungan Sosial : Variabel-variabel Berpola Teori Parsons yang umum sifatnya (general theory) mengenai tindakan sosial menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar ada pengaturan normatifnya.

Bagi Parsons, dalam Doyle Paul Jhonson (1990: 113) orientasi orang yang bertindak terdiri dari dua elemen dasar yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, sedangkan orientasi nilai menunjukkan pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Menurut Parsons,


(43)

variable-variabel berpola di atas memperlihatkan lima pilihan dikotomi yang harus diambil seseorang secara eksplisit atau implisit dalam menghadapi orang lain dalam situasi sosial apa saja, yaitu :

1. Afektivitas versus netralitas afektif. 2. Orientasi diri versus orientasi kolektivitas. 3. Universalisme versus partikularisme. 4. Askripsi versus prestasi (achievement). 5. Spesifitas versus kekaburan (diffuseness).

Dalam penelitian ini, konsep Parsons mengenai dikotomi orientasi diri versus orientasi kolektif digunakan untuk melihat tindakan sosial para pedagang pekanan yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau komunal dalam aktivitas perdagangannya. Dikotomi ini menunjukkan dilema yang berhubungan dengan kepentingan yang harus diutamakan, orientasi diri berarti bahwa kepentingan pribadi orang itu sendirilah yang mendapat prioritas sedangkan orientasi kolektif berarti bahwa kepentingan orang lain atau kolektif secara keseluruhan yang diprioritaskan atau dalam artian dimensi moral kolektiflah yang diutamakan (Jhonson, 1990: 116).


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Dalam mengumpulkan data lapangan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor dalam (Moleong, 2009:4) adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan menggunakan penelitian kualitatif peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai pola Jaringan Sosial dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan Etnis Minang yang berjualan di Perkebunan wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan. Penelitian kualitatif digunakan untuk melihat individu secara utuh serta berusaha untuk menggambarkan fenomena yang terjadi.

Studi kasus adalah penelitian mendalam mengenai unit sosial tertentu yang hasilnya merupakan gambaran yang lengkap dan terorganisasi baik mengenai unit tersebut. Tergantung pada tujuannya, ruang lingkup penelitian itu mungkin mencakup keseluruhan siklus kehidupan atau hanya segmen-segmen tertentu saja. Studi ini mengkonsentrasikan diri pada faktor-faktor khusus tertentu atau dapat pula mencakup keseluruhan faktor-faktor dan kejadian. Tujuan dari penelitian kasus adalah untuk mempelajari secara intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial baik individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. (Sumadi Suryabrata, 2002: 22).


(45)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Pinang tepatnya pada pedagang pekanan di Jalan Kalapane Gang Pancasila, Labuhanbatu Selatan. Alasan peneliti memilih daerah ini adalah dikarenakan daerah ini banyak masyarakatnya terutama yang merupakan suku Minang bermata pencaharian sebagai pedagang pekanan di perkebunan, baik yang sudah berumah tangga maupun belum berumah tangga. Dalam melakukan aktivitas jual belinya para pedagang ini harus menghadapi medan perjalanan yang berat dikarenakan lokasi berjualan yang jauh dari kota dengan kondisi jalan yang rusak serta dengan fasilitas yang seadanya di lokasi berjualan tapi hal itu bukan halangan, para pedagang tetap bersemangat berjualan meskipun dengan kondisi yang seperti itu. Dengan kondisi yang seperti itu terbentuk jaringan-jaringan yang memungkinkan pedagang tetap bertahan bahkan menjadi maju usahanya serta adanya sikap moral pedagang yang juga mendukung kelangsungan usaha jualan mereka.

3.3 Unit Analisis dan Informan

Unit analisis adalah satuan yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 1999:22). Adapun unit analisis dalam penelitian jaringan dan moral sosial pedagang pekanan, yaitu para pedagang pekanan terutama yang merupakan pedagang etnis Minang, pembeli dan pelanggan serta distributor barang dagangan atau pedagang grosiran.

Adapun orang-orang yang menjadi sumber informasi untuk mendapatkan data dari penelitian ini selanjutnya disebut informan. Lebih lanjut, informan tersebut dibagi menjadi dua kategori :


(46)

1. Informan Kunci, yaitu para pedagang pekanan etnis minang yang telah berjualan setidaknya lebih dari tiga tahun, kriteria ini ditetapkan untuk menjawab dan menggali informasi mengenai pola jaringan sosial yang terbangun serta aspek moral yang terbentuk antara sesama pedagang pekanan.

2. Informan biasa, yaitu sebagai berikut :

A. Pembeli dan pelanggan yang membeli barang dagangan para pedagang pekanan yang dapat memberi informasi mengenai pola jaringan sosial yang terbentuk antara pedagang dan pembeli serta pelanggan. Juga untuk memberikan informasi mengenai aspek moral ekonomi pedagang pekanan.

B. Pedagang grosiran yaitu tempat para pedagang pekanan membeli barang jualan dengan harga yang lebih murah karena membeli dengan jumlah yang banyak. Pedagang grosiran ini dapat memberi informasi mengenai pola jaringan sosial yang terbentuk antara pedagang pekanan dan pedagang grosiran tersebut.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

A) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipatif maupun wawancara secara mendalam, oleh karena itu untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu sebagai berikut:


(47)

1. Wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab secara langsung ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara atau panduan wawancara serta menggunakan alat bantu perekam atau tape recorder jika memang dibutuhkan untuk memudahkan peneliti menangkap keseluruhan informasi yang diberikan informan. Wawancara terhadap informan ditujukan untuk memperoleh data dan informasi secara lengkap tentang kehidupan sosial ekonomi para pedagang, asal daerah pedagang, penghasilan yang didapatkan serta usaha pedagang dalam mempertahankan usaha dagangnya.

2. Partisipasi observer, yaitu metode pengumpulan data dengan cara peneliti ikut serta dan turut aktif dalam masyarakat secara langsung agar peneliti dapat secara nyata merasakan dan menggambarkan situasi yang ada di lapangan. Dalam penelitian ini, peneliti akan ikut dengan para pedagang pekanan berjualan ke perkebunan dan berinteraksi langsung dengan para pedagang serta pelanggan di lapangan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data pola jaringan yang terbentuk baik antara pedagang maupun antara pedagang dengan pelanggan, melihat hubungan kekerabatan antara pedagang, moral sosial pedagang yang terbentuk serta kerja sama yang terjalin antara para pedagang.

B) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, majalah, jurnal dan bahan dari situs-situs internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini tentunya yang


(48)

berkaitan pola jaringan dan moral sosial pedagang serta usaha dan strategi pedagang dalam mempertahankan usaha dagangnya.

3.5 Interpretasi Data

Data yang dikerjakan sejak peneliti mengumpulkan data dilakukan secara intensif setelah pengumpulan data selesai dilaksanakan. Merujuk pada Lexy J. Moleong (2006:190), pengolahan data ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan (observasi) yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar foto, dan sebagainya.

Data tersebut setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang yang terperinci, merujuk ke inti dengan menelaah pernyataan-pernyataan yang diperlukan sehingga tetap berada dalam fokus penelitian.

Langkah selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan lainnya dan diinterpretasikan secara kualitatif. Proses analisis dalam penelitian ini telah dimulai sejak awal penulisan proposal, sehingga selesainya penelitian ini yang menjadi ciri khas dari analisis kualitatif.


(49)

3.6 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Survey √

2 Acc Judul Penelitian √

3 Penyusunan Proposal √

4 Seminar Proposal √

5 Revisi Proposal √

6 Penelitian Lapangan √ √ √

7 Pengumpulan dan Analisis Data √ √

8 Bimbingan Skripsi √ √ √

9 Penulisan Laporan √ √ √

10 Sidang Meja Hijau √

3.7 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Selain itu terkait erat dengan kelemahan instrument wawancara mendalam. Kendala lain adalah keterbatasan waktu saat melakukan wawancara dengan informan, hal ini disebabkan kegiatan informan yang sarat akan kesibukan. Karena informan peneliti adalah pedagang pekan yang cukup sibuk dalam melakukan aktivitas perdagangnya dari pagi hingga malam, maka peneliti harus mampu melihat waktu yang tepat untuk melakukan wawancara. Selain itu keterbatasan waktu karena wawancara baru dapat dilakukan pada waktu para pedagang tidak terlalu sibuk melayani pembelinya. Bahkan untuk melakukan wawancara, peneliti harus melakukan pendekatan dengan cara ikut langsung berjualan dengan para pedagang.


(50)

Terlepas dari permasalahan teknis penelitian dan kendala di lapangan peneliti menyadari keterbatasan peneliti mengenai metode menyebabkan lambatnya proses penelitian yang dilakukan, dan masih terdapat keterbatasan dalam hal kemampuan pengalaman melakukan penelitian ilmiah serta referensi buku atau jurnal yang sedikit dikuasai peneliti. Walaupun demikian peneliti berusaha untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini semaksimal mungkin agar data dan tujuan yang ingin dicapai dapat diperoleh.


(51)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel) yang beribukota di Kota Pinang adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Labuhanbatu pada 24 Juni 2008 sesuai dengan undang-undang Nomor 22 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kabupaten Labuhanbatu Selatan merupakan pintu gerbang penghubung menuju Propinsi Sumatera Utara dari Propinsi Riau. Awalnya Labuhanbatu Selatan merupakan bagian administratif dari Kabupaten Labuhan Batu namun terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah maka Kabupaten Labuhan Batu dipecah menjadi tiga yaitu Kabupaten Labuhanbatu Utara dengan ibukota Aek Kanopan, Labuhanbatu Induk dengan ibukota Rantau Prapat serta Kabupaten Labuhanbatu Selatan dengan ibukota Kota Pinang.

Awal pembentukan kabupaten ini berdasarkan desakan masyarakat, aspirasi masyarakat tersebut akhirnya bergulir melalui proses sebagai berikut:

a) Surat Keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Nomor 63 Tahun 2005 Tanggal 31 Oktober 2005 tentang Persetujuan DPRD Labuhanbatu terhadap Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu Selatan.

b) Surat Keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Nomor 63a Tahun 2005 tanggal 31 Oktober 2005 tentang Penetapan Ibu Kota Labuhanbatu Selatan.


(52)

c) Surat Keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Nomor 63b Tahun 2005 tanggal 31 Oktober 2005 tentang kesanggupan dukungan dana dari Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu untuk Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan. d) Keputusan Bupati Labuhanbatu Nomor 135/226/PEM/2005 tanggal 10

Maret 2005 tentang Penetapan Ibu kota Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

e) Surat Bupati Labuhanbatu Nomor 135/2698/PEM/2005 tanggal 1 Nopember 2005 perihal mohon Persetujuan Pamekaran Kabupaten Labuhanbatu menjadi Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

f) Keputusan DPRD Sumatra Utara Nomor 1/K/2006 tanggal 21 Januari 2006 tentang Persetujuan Pamekaran Kabupaten Labuhanbatu.

g) Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 135/731 tanggal 26 Januari 2006 perihal Usul Pamekaran Kabupaten Labuhanbatu.

h) Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 903/035.K tanggal 26 Januari 2006 Tentang Bantuan Dana dalam APBD Provinsi Sumatera Utara bagi calon Kabupaten Labuhanbatu Utara dan calon Kabupaten Labuhanbatu Selatan di Wilayah Propinsi Sumatra Utara.

i) Keputusan Bupati Labuhanbatu Nomor 903/452/PEM/2007 tanggal 27 Desember 2007 tentang Dukungan Dana dalam APBD Kabupaten Labuhanbatu bagi Calon Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Calon Kabupaten Labuhanbatu Selatan di Kabupaten labuhanbatu.


(53)

j) Keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Nomor 08 tahun 2008 tanggal 5 Mei 2008 tentang Dukungan Dana dalam APBD Kabupaten Labuhanbatu bagi Calon Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Calon Kabupaten Labuhanbatu selatan di Kabupaten Labuhanbatu.

k) Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 135/6191 tanggal 24 juni 2008 Perihal Bantuan Dana Calon Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Calon Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

l) Undang - undang RI nomor 22 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Selatan di Propinsi Sumatera Utara ( Lembaran Negara RI Tahun 2008 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4868 ).

Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang luas wilayahnya sebesar 311.600 hektar (3.116,00 Km2) telah mengalami perkembangan seiring perjalanannya sebagai daerah yang baru saja mengalami pemekaran, Kota Pinang sebagai ibukota kabupaten juga telah menjadi kota yang sudah berkembang sebagai pusat pemerintahan dan pusat perekonomian hingga saat ini. Memiliki luas 48.240 hektar atau 15,48% dari keseluruhan wilayah Labuhanbatu Selatan. Secara administratif, wilayah Labuhanbatu Selatan berbatasan dengan kecamatan Bilah Hulu, Rantau Selatan, Bilah Hilir dan kecamatan Panai Hulu (Kabupaten Labuhanbatu) di sebelah Utara, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau di sebelah Timur, Kabupaten Rokan Hilir (Propinsi Riau) dan Kecamatan Simangambat (Kabupaten Padang Lawas Utara) di sebelah Selatan serta Kecamatan Holonganan dan Kecamatan Dolok (Kabupaten Padang Lawas Utara) di sebelah Barat.


(54)

4.2 Letak dan Batas Wilayah

Kabupaten Labuhanbatu Selatan merupakan bagian dari propinsi Sumatera Utara, letaknya tepat berada pada 1°26’00’’ - 2°12’55’’ Lintang Utara dan 99°40’00’’ - 100°26’00’’ Bujur Timur serta berbatasan langsung dengan propinsi Riau. Memiliki luas wilayah seluas 3.116,00 km2 (311.600 hektar) dan terdiri dari 5 (lima) kecamatan dan 54 desa atau kelurahan yang kesemuanya telah defenitif.

Adapun yang menjadi batas-batas wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Kabupaten Labuhanbatu

- Sebelah Selatan : Kabupaten Padang Lawas Utara

- Sebelah Barat : Kabupaten Padang Lawas Utara

- Sebelah Timur : Propinsi Riau


(55)

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

4.3 Keadaan Penduduk

Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Labuhanbatu Selatan sementara adalah 277.549 orang, yang terdiri atas 141.415 penduduk laki-laki dan 136.134 penduduk perempuan. Dari hasil sensus penduduk 2010 tersebut masih tampak bahwa penyebaran penduduk Labuhanbatu Selatan masih bertumpu di kecamatan Torgamba yakni sebesar 35,35 persen, kemudian diikuti oleh kecamatan Kota Pinang sebesar 19,48 persen sedangkan kecamatan lainnya di bawah 19 persen.

Torgamba, Kota Pinang dan Kampung Rakyat adalah tiga kecamatan dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yang


(56)

masing-masing berjumlah 98.118 orang, 54.063 orang, dan 51.878 orang. Sedangkan kecamatan Silangkitang merupakan kecamatan yang paling sedikit penduduknya, yakni sebanyak 28.208 orang.

Dengan luas wilayah Labuhanbatu Selatan sekitar 3.116,00 kilo meter persegi yang didiami oleh 277.549 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Labuhanbatu Selatan adalah sebanyak 89 orang per kilo meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah kecamatan Kota Pinang yakni sebanyak 112 orang per kilo meter persegi sedangkan yang paling rendah adalah kecamatan Silangkitang yakni sebanyak 73 orang per kilo meter persegi.

4.3.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kecamatan

Dilihat berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan kecamatan-kecamatan yang ada di kabupaten Labuhanbatu Selatan, kecamatan Torgamba merupakan yang terbanyak penduduknya yakni sebesar 98.118 orang. Disusul kecamatan Kota Pinang dengan jumlah penduduk sebanyak 54.063 orang, kecamatan Kampung Rakyat dengan jumlah penduduk sebanyak 51.878 orang, kecamatan Sungai Kanan dengan jumlah penduduk sebanyak 45.282 orang dan kecamatan Silangkitang dengan jumlah penduduk sebanyak 28.208 orang.


(57)

Tabel 1

Komposisi Penduduk Berdasarkan Kecamatan

No Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Torgamba 98.118 orang

2 Kota Pinang 54.063 orang

3 Kampung Rakyat 51.878 orang

4 Sungai Kanan 45.282 orang

5 Silangkitang 28.208 orang

Labuhanbatu Selatan 277.549 orang

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

4.3.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Perbandingan Jenis Kelamin Berdasarkan dari data BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010, komposisi penduduk dilihat berdasarkan perbandingan jenis kelamin di kecamatan Sungai Kanan jumlah penduduk laki-laki sebesar 22.954 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 22.328 orang. Kecamatan Torgamba jumlah penduduk laki-laki sebanyak 50.216 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 47.902 orang. Kecamatan Kota Pinang jumlah penduduk laki-laki sebanyak 27.479 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 26.584 orang. Kecamatan Silangkitang jumlah penduduk laki-laki sebanyak 14.359 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 13.849 orang serta di


(58)

kecamatan kampung Rakyat, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 26.407 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 25.471 orang.

Tabel 2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Perbandingan Jenis Kelamin

No Kecamatan Laki-laki Perempuan

1 Sungai Kanan 22.954 orang 22.328 orang

2 Torgamba 50.216 orang 47.902 orang

3 Kota Pinang 27.479 orang 26.584 orang 4 Silangkitang 14.359 orang 13.849 orang 5 Kampung Rakyat 26.407 orang 25.471 orang Labuhanbatu Selatan 141.415 orang 136.134 orang

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

4.3.3 Laju Pertumbuhan Penduduk

Secara umum, laju pertumbuhan penduduk kabupaten Labuhanbatu Selatan per tahun selama sepuluh tahun terakhir berdasarkan data BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010 yakni dari tahun 2000 – 2010 sebesar 2,56%. Laju pertumbuhan penduduk kecamatan Kampung Rakyat adalah yang tertinggi dibanding kecamatan-kecamatan lain di Labuhanbatu Selatan yakni sebesar 2,95% sedangkan yang terendah di kecamatan Silangkitang yakni sebesar 2.05%. Kecamatan Kota Pinang walaupun menempati urutan kedua dari jumlah penduduk namun dari sisi laju pertumbuhan penduduk adalah terendah kedua setelah kecamatan Silangkitang yakni hanya sebesar 2,34%. Kecamatan Torgamba jumlah penduduknya yang paling banyak dan laju


(59)

pertumbuhannya masih di atas laju pertumbuhan penduduk Labuhanbatu Selatan yakni sebesar 2,95%.

4.3.4 Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa per Kecamatan

Berdasarkan sumber data dari BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010, persentase komposisi penduduk dilihat dari suku bangsa per kecamatan adalah berikut:

Tabel 3

Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa per Kecamatan

NO Kecamatan

Suku Bangsa

Melayu Batak Minang Jawa Aceh Lainnya 1 Sungai Kanan 0,15% 78,30% 0,27% 19,62% 0,07% 1,59% 2 Torgamba 0,70% 41,16% 0,74% 52,84% 0,19% 4,37% 3 Kota Pinang 0,65% 55,65% 0,59% 39,43% 0,15% 3,53% 4 Silangkitang 0,07% 18,27% 0,27% 79,75% 0,07% 1,57% 5 Kampung

Rakyat

0,34% 30,48% 0,68% 62,49% 0,18% 4,03%

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

4.3.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Yang Dianut per Kecamatan

Berdasarkan sumber data dari BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010, persentase penduduk menurut agama yang dianut per kecamatan adalah sebagai berikut:


(60)

Tabel 4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Yang Dianut per Kecamatan

No Kecamatan

Agama

Islam Protestan Khatolik Budha Hindu Lainnya 1 Sungai Kanan 97,45% 2,24% 0,29% 0,01% 0,01% - 2 Torgamba 75,98% 22,18% 1,80% 0,03% 0,01% - 3 Kota Pinang 89,59% 8,79% 1,00% 0,57% 0,04% - 4 Silangkitang 99,05% 0,42% 0,49% 0,02% 0,02% - 5 Kampung

Rakyat

92,26% 6,43% 0,52% 0,04% 0,04% 0,07%

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

4.3.6 Penggunaan Lahan Menurut Jenis

Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2010, penggunaan lahan menurut jenisnya di kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah sebagai berikut :


(61)

Tabel 5

Penggunaan Lahan Menurut Jenis

No Jenis Penggunaan Lahan Luas

1 Bangunan perumahan, perkantoran, industri, pendidikan, jalan dll

14.614 hektare

2 Persawahan 14.780 hektare

3 Perkebunan rakyat : a. Kelapa sawit b. Karet

130.264 hektare 28.237 hektare

4 Hutan 39.569 hektare

5 Campuran 6.740 hektare

6 Sungai 9.934 hektare

7 Lainnya 67.462 hektare

Jumlah / Total 311.600 hektare Sumber : Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Labuhanbatu Selatan 2010

4.3.7 Jumlah Tempat Berjualan Yang Terdapat di Pasar atau Pekan Tiap Kecamatan

Berdasarkan data dari Dinas Pasar dan Kebersihan Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2009, jumlah tempat berjualan yang terdiri dari los, kios, ruko dan kios terbuka per kecamatan adalah sebagai berikut :


(62)

Tabel 6

Jumlah Tempat Berjualan Yang Terdapat di Pasar/Pekan Tiap Kecamatan

No Kecamatan

Pasar atau Pekan

Jenis Tempat Berjualan

Los Kios Ruko Lainnya Jumlah

1 Sungai Kanan 4 6 - - - 6

2 Torgamba 4 5 62 - 4 71

3 Kota Pinang 3 7 315 22 5 249

4 Silangkitang 2 3 - - - 3

5 Kampung Rakyat 1 2 - - - 2

Jumlah / Total 14 23 377 22 9 431

Sumber : Dinas Pasar dan Kebersihan Kabupaten Labuhan Batu Selatan 2009

4.3.8 Perkembangan Jumlah Pedagang di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

Berdasarkan dari data Dinas Pasar dan Kebersihan Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2004 sampai 2009, perkembangan jumlah pedagang di kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah sebagai berikut :


(63)

Tabel 7

Perkembangan Jumlah Pedagang di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

No Tahun

Jumlah Pedagang

Jumlah Pribumi Non Pribumi

1 2004 - - -

2 2005 - - -

3 2006 5.124 - 5.124

4 2007 4.211 - 4.211

5 2008 922 - 922

6 2009 921 84 1005

Sumber : Dinas Pasar dan Kebersihan Kabupaten Labuhanbatu Selatan 2009

4.3.9 Jumlah Pedagang Di Pasar/Pekan Menurut Kecamatan

Berdasarkan data dari Dinas Pasar dan Kebersihan kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2009, jumlah pedagang di pasar atau pekan yang tersebar dimasing-masing kecamatan adalah sebagai berikut :


(1)

GLOSARIUM

1. Alek : Bahasa Minang untuk menyebutkan acara pesta pernikahan.

2. Badoncek : Dalam bahasa Indonesia disebut berhimpun. Dalam penelitian ini adalah acara adat dalam masyarakat Minangkabau untuk menghimpun atau mengumpulkan bantuan biasanya berupa uang yang nantinya akan dicatat tiap jumlah yang dihimpun oleh ahli bait, dengan harapan ahli bait akan mengganti himpunan yang diberikan pada saat akan datang jika pihak lain yang mengadakan acara tersebut.

3. Poken : Sebutan para pedagang untuk menyebut pekan.

4. Berselisih : Istilah yang digunakan pedagang untuk menyebut bertengkar, berkonflik atau berbeda pendapat.

5. Turun : Istilah yang digunakan pedagang untuk mengatakan berdagang atau berjualan ke pekan-pekan dan berbelanja untuk membeli barang.

6. Anggota : Istilah yang digunakan pedagang untuk mengatakan karyawan.

7. Adu mulut : Bertengkar namun tidak sampai bentrok fisik.

8. Patungan : Ikut membayar iuran yang disepakati bersama oleh para pedagang.


(2)

10. Los : Tempat para pedagang pekan berjualan di lokasi pekan yang biasanya hanya terdiri dari lahan yang beratapkan seng dan tenda yang dibuat pedagang tersebut.

11.Tegak sendiri : Istilah yang digunakan para pedagang untuk menyebutkan telah berhasil usaha sendiri atau mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

12. Letih : sebutan para pedagang untuk lelah setelah menjalani aktifitas berjualan.

13.Makanan sehari-hari : Istilah para pedagang untuk menyebutkan telah terbiasa mengalami dan menjalani sesuatu hal sehingga tidak dianggap beban yang memberatkan mereka.

14.Bon : Pinjaman atau utang berupa barang.

15.Bibi : Sebutan yang digunakan para pedagang untuk memanggil pelanggan yang ibu-ibu di pekan.

16.Ayu : Sebutan yang digunakan para pedagang untuk memanggil pelanggan yang masih remaja atau masih muda.

17.Pameo : Peribahasa yang dijadikan semboyan.

18.Salang : Dalam bahasa para pedagang berarti pinjam meminjam, dalam bahasa Minang atrinya pinjam terlebih dahulu.


(3)

DOKUMENTASI


(4)

Proses pendirian tenda jualan dilakukan secara bersama-sama oleh para pedagang


(5)

Di lokasi pekan para pedagang berkumpul sambil beristrahat dan makan siang bersama


(6)

Para pedagang akan saling membantu jika ada kendaraan pedagang lain mengalami masalah

Para pedagang berkumpul disalah satu rumah pedagang untuk saling bersilaturahmi


Dokumen yang terkait

Dampak Alokasi Dana Desa (ADD) terhadap Pengembangan Ekonomi di Kecamatan Kota Pinang Kabupaten Labuhanbatu Selatan

53 254 99

Moral Ekonomi Pedagang Komunitas Etnik India

2 72 88

MORAL EKONOMI PEDAGANG KAKI LIMA(Studi Tentang Moral Ekonomi Pedagang Kaki Lima Di Pasar Sore Kota Batu)

0 4 2

Migran Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor (Studi Perbandingan Pedagang Suku Jawa, Sunda dan Minang)

0 4 123

POLA INTERAKSI SOSIAL PEDAGANG "GARENDONG" DI KOTA PAYAKUMBUH (STUDI TERHADAP PEDAGANG YANG TERDAFTAR PADA IKATAN PEDAGANG KELILING PASAR IBUH KOTA PAYAKUMBUH).

4 14 7

JARINGAN SOSIAL PEDAGANG PASAR TRADISIONAL DALAM MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI (Studi Terhadap Pedagang Pasar Raya Inpres Di Kota Padang).

0 0 1

JARINGAN SOSIAL PEDAGANG DI PASAR TRADISIONAL PASCA RENOVASI ( Studi Kasus Jaringan Sosial Antara Pedagang Distributor, Pedagang Grosir dan Pedagang Ecer Kelontong di Pasar Rejowinangun, Kota Magelang Pasca Renovasi).

0 0 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Sosial - Jaringan Sosial Dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang Yang Berjualan Di Perkebunan Wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Jaringan Sosial Dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang Yang Berjualan Di Perkebunan Wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)

0 0 17

JARINGAN SOSIAL DAN MORAL EKONOMI PEDAGANG PEKANAN (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang yang berjualan di Perkebunan

0 0 10