Gambar 27 Rencana Pola Ruang Provinsi Jawa Timur Berdasarkan rencana pola ruang Provinsi Jawa Timur sebagaimana
Gambar 27, kawasan hutan rakyat tersebut dijumpai di Kabupaten Bangkalan, Banyuwangi, Blitar, Bojonegoro, Bondowoso, Gresik, Jember, Jombang, Kediri,
Lamongan, Lumajang, Madiun, Magetan, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo,
Sampang, Sidoarjo, Situbondo, Sumenep, Trenggalek, Tuban, Tulungagung dan Kota Batu. Wilayah
perkotaan lain seperti Surabaya, Kota Malang, Kota Probolinggo, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Madiun dan Kota Mojokerto tidak termasuk dalam wilayah
pengembangan hutan rakyat karena fungsinya sebagai kawasan perkotaan. Untuk itu dalam penelitian ini meskipun ke 8 delapan kota tersebut memiliki
lahan potensial, namun tidak dimasukkan sebagai arahan pengembangan hutan hutan rakyat di Jawa Timur.
Rencana kawasan hutan rakyat yang ditetapkan Bapeda Provinsi Jawa Timur pada peta rencana pola ruang apabila di overlay dengan peta penggunaan
lahan eksisting dan peta kawasan hutan, ternyata hanya memiliki luasan sekitar 350.000 Ha dengan sebagian wilayah termasuk kawasan hutan lindung, hutan
produksi dan daerah pemukiman serta sawah. Untuk itu dalam penelitian ini
85
tidak menggunakan peta digital RTRW Jawa Timur namun hanya menggunakan arahan pengembangan hutan rakyat yaitu meliputi 29 Kabupaten dan 1 Kota.
5.6 Kelembagaan Hutan Rakyat di Jawa Timur 5.6.1 Mekanisme perdagangan kayu rakyat
Saat ini mekanisme perdagangan kayu rakyat melibatkan minimal 3 stakeholder. Petani sebagai produsen, pedagang perantara yang membeli ke
petani kemudian menjual ke pihak IPHHK. Mekanisme ini terbentuk karena
industri kayu terutama dengan kapasitas besar tidak mau membeli dalam partai kecil karena dianggap merepotkan dalam mengumpulkan dan mengurus
perijinannya serta transportasi, sehingga mereka lebih menyukai membeli dari pedagang perantara.
Gambar 28 Mekanisme Perdagangan Kayu Jati
Gambar 29 Mekanisme Perdagangan Kayu Sengon dan Jabon Pada Gambar 28 dan Gambar 29 terlihat bahwa sistem tataniaga kayu
rakyat yang berlaku saat ini cenderung merugikan petani karena petani menjual
Produsen Petani
PengepulP edagang
Perantara Pedagang
Besar
SawmillIPHHK Kapasitas
6000 m3th IPHHK kapasitas
6000 m3th
Industri Meubeler
Konsumen
Produsen petani
Pengepul
Pedagang Besar
IPHHK 6.000 m3th
IPHHK 6.000 m3th
Konsumen
kayunya ke pengepultengkulak dengan harga rendah. Harga yang rendah
disebabkan oleh a Penjualan dalam bentuk tegakan borongan sehingga keuntungan rendah, b
tengkulak pembeliannya dengan sistem ijon. b Penjualan dalam bentuk kayu bulat ke luar daerah sehingga nilai tambah bagi
masyarakat rendah Effendi, 2008. Petani biasanya menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri dengan sistem
tebang butuh, dimana petani tidak sepenuhnya mengikuti teknis silvikultur memanen sesuai dengan daur tebang. Umpamanya daur sengon adalah 5-7
tahun, akan tetapi petani telah menjual saat berumur 4 tahun karena membutuhkan biaya kepada pedagang pengepul. Hal ini menyebabkan harga
jual kayu tersebut rendah disamping pedagang pengepul biasanya memberikan tafsiran volume yang rendah karena keterbatasan petani dalam menghitung
volume tegakan. Untuk penebangan, biasanya dilakukan oleh pedagang pengepul. Biaya
trasnportasi dan biaya administrasi mulai dari ijin tebang sampai pengangkutan juga ditanggung oleh pedagang.
Margin keuntungan pedagang berdasarkan informasi yang diperoleh adalah sekitar 20-40 .
Pada mekanisme perdagangan kayu Jati, pedagang pengepul menjual kayu log dari petani
kepada pedagang besar antar kabupaten atau kepada industri pengolah kayu lokal. Kayu hasil olahan biasanya berupa kayu gergajian
kemudian dijual lagi kepada industri besar, industri meubel, konsumen atau dibeli lagi oleh pedagang besar. Kemudian pedagang besar menjual baik kayu bulat
atau kayu olahan tersebut ke industri besar atau ke konsumen. Mekanisme perdagangan kayu Sengon dan Jabon yaitu kayu yang dibeli
oleh pengepul kemudian dijual kepada pedagang besar yang memilah-milah grade kayu untuk dijual lagi kepada IPK kecil atau besar. Sebagian dari pengepul
membawa kayu ke sawmill lokal untuk diolah menjadi kayu gergajian sebelum menjual ke IPHHK atau dijual keluar daerah.
Dengan mekanisme seperti ini rantai perdagangan telah melewati beberapa pedagang sehingga marjin harga tertinggi adalah ditingkat pedagang
perantara sementara petani tidak mendapatkan keuntungan yang tinggi. Dengan adanya pola kemitraan diharapkan dapat memperndek mata rantai pedagang
perantara. Petani diharapkan bergabung dalam suatu kelembagaan seperti
Kelompok Tani Hutan Rakyat membentuk suatu kelembagaan baik berupa koperasi atau lembaga keuangan mikro yang dapat secara langsung menjual
87
hasil panen kayu kepada IPHHK yang menjadi mitra dengan harga pasar berlaku dengan meminimilkan campur tangan pedagang perantara dan dengan umur
panen sesuai daur tebang teknis. Dengan mekanisme seperti ini diharapkan margin keuntungan tengkulak dapat dinikmati oleh petani sendiri sehingga dapat
meningkatkan pendapatan petani secara nyata.
5.6.2 Pola Kemitraan Eksisting
Permasalahan bagi petani hutan rakyat adalah rendahnya modal usaha, terbatasnya pengetahuanketerampilan dalam budidaya, pemanenan atau
pemasaran yang menyebabkan mutu kayu rakyat menjadi rendah, lemahnya organisasi yang menaungi petani dalam pemasaran dan perijinan dan tidak
adanya akses ke industriIPHHK besar. IPHHK menghendaki pasokan bahan baku dari kayu rakyat dengan standar tertentu dan kontinuitas pasokan.
Inilah yang menyulitkan petani untuk menjual langsung produksi kayunya langsung ke
industri. Upaya mengatasi kesenjangan antara petani dengan industri salah
satunya adalah dengan pola kemitraan. Dasar pertimbangan pola kemitraan ini adalah pihak perusahaan perlu kontinuitas bahan baku kayu, sedangkan pihak
masyarakat perlu bantuan modal kerja, sumberdaya manusia SDM yang menguasai teknologi dan pengetahuan hutan rakyat dan kepastian pemasaran
Hidayat 2000. Keberhasilan pembangunan hutan rakyat tidak hanya diukur oleh keberhasilan tanaman tetapi juga diukur dalam pemanfaatan hasilnya yaitu oleh
adanya kepastian pasar bagi hasil hutan rakyat. Kemitraan yang selama ini berjalan di Jawa Timur, mitra usaha hutan
rakyat umumnya baru bersifat menjanjikan pemasarannya namun tidak menjamin akan menampung seluruh hasil produksi. Bahkan petani dibebaskan bila ada
yang ingin menjual kepada pihak luar. Kemitraan dengan perjanjian petani menjual seluruh hasil panen kepada mitra tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pada saat panen petani tidak selalu menjual kepada mitra karena ada pihak lain yang menawar dengan harga lebih tinggi dari industri mitra. Hal ini menyulitkan
berjalannya kemitraan karena belum ditemukan suatu pola yang dianggap saling menguntungkan kedua belah pihak.
Bentuk kemitraan lain adalah kemitraan dari pemerintah melalui program Kredit Usaha Hutan Rakyat KUHR, kemitraan antara pengusahaindustri
dengan petani perorangan, kemitraan antara pengusahaindustri dengan
kelompok tani, kemitraan petani dengan lembaga keuangan dan sebagainya. Banyak pola kemitraan yang telah dikembangkan mekipun hasilnya masih belum
sesuai yang diharapkan Beberapa tahun terakhir pemerintah telah berperan dalam memfasilitasi
pembangunan pola kemitraan antara kelompok tani hutan rakyat dengan IPHHK. Kementrian Kehutanan melalui Balai Pengelolaan DAS sejak tahun 2008 telah
membangun areal model hutan rakyat pola kemitraan inti plasma sebagai pola dasar pembuatan hutan rakyat dengan ikatan kerjasama yang menguntungkan
antara masyarakat hutan rakyat dengan pengusaha industri perkayuan, disamping efek positif pembuatan hutan rakyat yang dapat mengurangi tekanan
eksploitasi terhadap hutan sebagaimana pada Tabel 19 Tabel 19 Pola Kemitraan Yang Dibangun BPDas Brantas
Sumber : BPDAS Brantas Pada Tabel 19 terlihat dari 6 enam industri yang digandeng BPDAS
Brantas, hanya 4 empat industri yang berperan secara aktif dalam memberikan bantuan kepada petani mitra baik berupa banytuan bibit, sarana produksi lain,
bimbingan teknis maupun membangun calon plasma. Dari hasil wawancara di lapangan, industri kurang tertarik untuk
membangun hutan rakyat pola kemitraan dengan pola inti plasma seperti pada perkebunan, karena tanaman kehutanan disamping daur produksi yang lama,
juga merupakan tanaman yang sekali panen sehingga tidak ada jaminan
VOLUME DIBANGUN Desa
Kabupaten Ha
Tahun 1 Desa Jabung
Malang CV. Sengon Inti
50 2008 Gunung
Baik Mitra pasif
2 Desa Dalisodo Malang
CV. Sengon Inti 30
2009 Subur Baik
Mitra pasif 3 Ngadirenggo
Blitar PT. Kutai Timber Indonesia
50 2008 Sido Asri
Baik Mitra aktif
4 Tegalsari Blitar
PT. Kutai Timber Indonesia 25
2009 Sido Subur Baik
Mitra aktif 5 Pakel
Trenggalek CV. Halmahera
50 2008 Gotong
Baik Mitra aktif
6 Dukuh Trenggalek
CV. Halmahera 25
2009 Sri Lestari Baik
Mitra aktif 7 Bendo
Nganjuk CV. Gunung Jati
50 2008 Ngudi Karyo
Baik Mitra pasif
8 Duren Nganjuk
CV. Gunung Jati 25
2007 Gading Makmur Baik
Mitra pasif 9 Mojokembang
Mojokerto CV. Tina Jaya Sakti
50 2008 Tanimulyo
Baik Mitra pasif
10 Penanggungan Mojokerto
CV. Tina Jaya Sakti 25
2009 Subur Makmur Baik
Mitra pasif 11 Sumber Agung
Malang PT. Sejahtera Usaha Bersama
25 2010 Sumber Makmur
Baik Mitra aktif
12 Purwodadi Malang
PT. Sejahtera Usaha Bersama 50
2011 Tani Makmur Baik
Mitra aktif 13 Sumberejo
Blitar PT. Sejahtera Usaha Bersama
50 2011 Ngudi Utomo
Baik Mitra aktif
14 Mlijon Trenggalek
PT. Sejahtera Usaha Bersama 50
2011 Margo Subur Baik
Mitra aktif 15 Bareng
Jombang PT. Sejahtera Usaha Bersama
50 2011 Tegalrejo
Baik Mitra aktif
16 Bleberan Mojokerto
PT. Sejahtera Usaha Bersama 50
2011 Lestari Baik
Mitra aktif KET
LOKASI NAMA MITRA
NO NAMA KELOMPOK
TANI KONDISI
89
kontinuitas pasokan bahan baku. IPHHK yang diwawancarai juga beralasan
bahwa bahan baku yang mereka butuhkan rata-rata 5.000 m3bulan tidak mungkin terpenuhi hanya dengan 1 kelompok tani. Pihak IPHHK lebih menyukai
pola kemitraan dengan sistem memberikan bantuan bibit dan sarana produksi tanpa ada kewajiban masyarakat untuk menjual hasil panen kepada IPHHK
tersebut. Saat ini yang banyak berjalan adalah IPHHK memberikan bantuan bibit gratis sebanyak-banyaknya untuk mendorong masyarakat menanam hutan
rakyat. Pemberian bibit diharapkan mampu meningkatkan produksi kayu rakyat sehingga ditahun-tahun mendatang produksi melimpah sehingga kesulitan bahan
baku teratasi serta harga bisa stabil. Hasil wawancara dengan pihak petani, masih banyak yang belum
memahami tentang pola kemitraan. Sebagian besar hanya menginginkan suatu bentuk kemitraan berupa bantuan bibit dan sarana produksi serta adanya
kepastian seluruh produksi mereka diterima mitra dengan harga diatas harga pasar. Bahkan petani hutan rakyat jati tidak menginginkan adanya kemitraan
yang mengikat mengenai hasil produksi. Hal ini disebabkan IPHHK menuntut adanya mutu kayu yang diproduksi termasuk umur panen dan diameter kayu,
sedangkan petani menjual kayu sesuai kebutuhan. Kayu yang belum masak panen sering sudah dijual dengan alasan walau bagaimanapun jati tetap memiliki
harga. Disamping itu semakin bersaingnya IPHHK dalam memperoleh kayu
rakyat membuat persaingan harga juga semakin tinggi, sehingga petani menginginkan adanya kebebasan untuk menjual kepada pedagang yang
membeli dengan harga lebih tinggi. Pihak pemerintah yang diwawancara lebih menyukai adanya kemitraan
yang saling menguntungkan semua pihak. Industri memberi bantuan bibit, sarana produksi, bimbingan bahkan kredit usaha lunak untuk penanaman hutan
rakyat serta adanya jaminan semua produksi kayu rakyat akan ditampung oleh industri mitra. Sedangkan pihak petani mempunyai kewajiban untuk menanam
mengikuti kaidah silvikultur dan menanam kayu sesuai kebutuhan industri mitra serta menjaga mutu kayu yang dihasilkan dan menjual hasil panen ke industri
mitra dengan harga pasar yang wajar pada saat panen. Dengan
adanya kemitraan
yang baik,
pemerintah menginginkan
terjaganya pasokan bahan baku industri, meningkatnya kesejahteraan petani serta terjaganya ekosistem dengan semakin banyaknya hutan rakyat.
5.7 Pola Kemitraan Prioritas Menurut Stakeholders
Dalam menentukan prioritas pola kemitraan hutan rakyat di Jawa Timur
dilakukan dengan Analitycal Hierarchy Process AHP. Suatu proses Hirarki
Analitik yang dilakukan untuk mendapatkan bobot prioritas pola kemitraan yang berdasarkan struktur hirarki masalah yang dibangun dari studi literatur serta
informasi yang didapat dari wawancara responden ekspert yang terkait dengan kegiatan hutan rakyat. Hasil rangkuman dari berbagai sumber tersebut
didapatkan empat pola kemitraan dan 3 aspek. Dengan metode pembobotan terhadap hasil kuisioner maka diperoleh hasil
sebagaimana berikut :
Gambar 30 Hasil Pembobotan dari Kuisioner Keterangan :
1. Pola A merupakan pola kemitraan dimana IPHHK memberikan bantuan bibit
tanpa ada perjanjian bagi petani untuk menjual hasil panen kayu ke IPHHK yang bersangkutan
2. Pola B merupakan kemitraan dimana IPHHK memberikan bantuan bibit,
saprodi dan bimbingan teknis dengan perjanjian seluruh hasil panen dijual ke IPHHK yang bersangkutan
3. Pola C merupakan kemitraan dimana IPHHK memberikan kredit lunak
kepada petani yang pengembalian setelah panen dengan bunga yang telah disepakati.
Bentuk Pola Kemitaan Antara Industri dan Masyarakat
MODAL USAHA 0,75
PEMASARAN 0,11
BIMBINGAN TEKNIS
0,14
POLA A 0,23
POLA B 0,35
POLA C 0,32
POLA 0,10