Pola Kemitraan Potensial HASIL DAN PEMBAHASAN

Dinas Kehutanan Kabupaten Lumajang sedang berupaya mengembangkan bibit sengon Papua yang diharapkan tahan terhadap penyakit karat puru. Penanaman sengon sendiri pada daur tanam kedua umumnya menggunakan bibit yang berasal dari trubusan. Pohon sengon yang telah dipotong, sisa batang dikubur kembali sehingga tumbuh tunas-tunas baru. Setelah tunas membesar, dipilih satu yang terbaik untuk dipertahankan sebagai bibit untuk penanaman sengon selanjutnya. Jarak tanam yang digunakan dalam pengusahaan hutan rakyat sangat beragam, demikian juga dengan umur tegakan. Tetapi yang umumnya dilakukan adalah 3x3 m untuk tanaman monokultur sehingga diperoleh populasi sekitar 1.100ha dan 4x4 m atau 5x5 m untuk tanaman agroforestry atau 400ha. Untuk tanaman monokultur biasanya diadakan 2 kali penjarangan sedangkan untuk agroforestry tidak dilakukan penjarangan. Untuk tanaman agroforestry biasanya mendapat perawatan lebih baik dari tanaman monokultur karena petani mengunjungi kebun sampai 4-5 kali dalam seminggu untuk merawat tanaman sela sehingga otomatis merawat tanaman kayu. Berbeda dengan tanaman monokultur dimana petani biasanya tidak terlalu merawat dan jarang mengunjungi kebunnya. Pada awal perkembangannya petani hutan rakyat menanam kayu tidak menggunakan teknik budidaya. Perbanyakan dilakukan sendiri baik dari trubusan ataupun menanam sendiri dan tidak ada pemupukan dan pemeliharaan yang intensif. Akan tetapi saat ini intensifikasi pengelolaan hutan rakyat mulai meningkat. Hal tersebut tampak dari tingkat penggunaan input produksi seperti bibit berkualitas, pupuk dan pestisida yang mulai digunakan baik dari bantuan pemerintah dan swasta atapun secara swadaya. Akan tetapi untuk kegiatan pemeliharaan yang dilakukan hanyalah penyiangan dengan frekuensi yang tidak teratur. Sebagian besar petani sudah merasakan bahwa tanaman kayu yang diberi perlakuan budidaya dengan baik akan menghasilkan kualitas kayu yang baik sehingga meningkatkan harga jual kayu itu sendiri.

5.9.2 Arahan untuk Jati

Rencana pengembangan jati apabila dilihat dari ketersediaan lahan yaitu dengan mengoverlay peta ketersediaan lahan dengan peta kesesuaian lahan untuk jati maka akan diperoleh luas potensial sebesar 654.548 Ha yang meliputi seluruh wilayah pengembangan hutan rakyat yang tersedia di Jawa Timur. 97 Namun apabila pengembangan ini mempertimbangkan rencana pola ruang yang tertuang dalam RTRW Provinsi Jawa Timur, dimana pengembangan hutan rakyat hanya dilakukan pada 29 Kabupaten dan 1 Kota maka lahan potensial untuk pengembangan jati adalah seluas. 649.433 Ha. Sesuai dengan Perda Jawa Timur Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 – 2029 Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Untuk itu walaupun secara spasial 9 kota di Jawa Timur memiliki potensi untuk pengembangan hutan rakyat, maka hanya pada Kota Batu yang dimasukan sebagai rencana pengembangan. Hal ini dikarenakan secara geografis Kota Batu terletak pada dataran tinggi dengan lahan yang umumnya memiliki kelerengan besar sehingga tanaman kayu rakyat diharap mampu memberikan manfaat ekologi selain ekonomi. Gambar 32 Luas Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Jati di Jawa Timur Ha 41.621 4.544 31.295 7.035 8.590 10.265 19.323 8.350 3.445 3.004 11.552 29.521 10.805 6.900 44.631 8.542 6.015 8.435 49.295 26.222 35.905 9.258 40.381 71.638 14.974 78.500 9.985 40.812 8.591 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 90.000 BANGKALAN BANYUWANGI BLITAR BOJONEGORO BONDOWOSO GRESIK JEMBER JOMBANG KEDIRI KOTA BATU LAMONGAN LUMAJANG MADIUN MAGETAN MALANG MOJOKERTO NGANJUK NGAWI PACITAN PAMEKASAN PASURUAN PONOROGO PROBOLINGGO SAMPANG SITUBONDO SUMENEP TRENGGALEK TUBAN TULUNGAGUNG Gambar 33 Peta Kesesuiaan Lahan dari Lahan Tersedia untuk Hutan Rakyat Jati di Jawa Timur 99 Berdasarkan Gambar 33 dan 34, wilayah yang memiliki potensi pengembangan terluas adalah Sumenep sekitar 82.891 Ha dan Sampang sekitar 71.482 Ha. Kedua kabupaten tersebut memiliki lahan pertanian kering semusim yang juga luas sehingga untuk pengembangan hutan rakyat dengan sistem agroforestry memiliki potensi yang cukup besar untuk kedua wilayah tersebut. Daerah yang memiliki potensi yang terkecil adalah Kabupaten Sidoarjo yaitu 12 Ha. Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu satelit Surabaya sebagai ibukota provinsi. Letaknya yang bersebelahan dengan Surabaya membuat Sidoarjo berkembang menjadi pemukiman dan lokasi industri sehingga lahan untuk budidaya pertanian semakin menurun setiap tahun dan ditambah dengan adanya permasalahan lumpur Lapindo. Penanaman jati diarahkan untuk ditanam baik dengan sistem monokultur maupun denga tumpang sari dengan tanaman yang tahan naungan seperti porang dan kunyit dengan jarak tanam 3x3 m dan penjarangan dilakukan dua kali yaitu pada tahun ke-10 dan ke-15. Pemanenan dilakukan sesuai daur panen yaitu pada umur 20 tahun karena berdasarkan tinjauan analisis finansial penanaman dengan silvikultur yang sesuai dan pemanenan yang tepat akan memberikan keuntungan yang tinggi bagi petani.

5.9.3 Arahan untuk Sengon

Analisis spasial kesesuaian dan ketersediaan pengembangan hutan rakyat tanaman sengon adalah seluas 773.892 Ha. Wilayah yang memiliki potensi pengembangan terbesar adalah Kabupaten Sumenep sekitar 78.500 Ha dan Sampang sekitar 71.638 Ha sedangkan Sidoarjo tidak cocok untuk penanaman sengon. Dari grafik pada Gambar 34 dan 35 terlihat rata-rata daerah di pulau Madura memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan rakyat. Ini dikarenakan pulau Madura memiliki tanah yang relatif miskin hara dan curah hujan yang relatif kecil sehingga tidak terlalu cocok untuk pengembangan tanaman pertanian. Saat ini yang banyak berkembang di Madura adalah sawah tadah hujan sehingga pada musim kemarau sawah tersebut tidak berproduksi yang terlihat seperti tanah kosong.