Pola Kemitraan Prioritas Menurut Stakeholders

95 Pola penanaman monokultur saat ini juga mulai banyak dilakukan petani, terutama dengan semakin naiknya harga komoditas kayu. Pengamatan di lapangan menunjukkan, petani hutan rakyat yang berdomisili berbatasan dengan wilayah hutan produksi perhutani cenderung mengusahakan lahan mereka secara monokultur untuk penanaman kayu terutama lahan-lahan yang kurang produktif. Untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, petani cenderung memanfaatkan lahan dibawah tegakan perhutani dengan mengusahakan tanaman yang tahan naungan seperti empon-empon dan porang. Pada umumnya penanaman dengan agroforestry dilakukan pada saat tanaman kayu-kayuan masih muda, yaitu pada saat tajuk tanaman pokok belum menutupi areal dimana cahaya matahari masih mampu menembus lantai hutan sehingga pertumbuhan tanaman pertanian tidak terganggu yaitu pada saat tanaman kayu berumur sampai 3 tahun. Pada beberapa wilayah, setelah tanaman kayu tajuknya mulai menaungi tanah, tumpang sari tanaman palawija diganti dengan tanaman yang tahan naungan seperti Empon-empon dan Porang. Gambar 31 Hutan Rakyat Jati dengan Sistem Monokultur di Mojokerto dan Agroforestry Sengon dengan Padi di Kab. Lumajang Saat ini kesadaran petani hutan rakyat untuk menggunakan bibit berkualitas baik sudah meningkat. Di Kabupaten Tuban dan Mojokerto dalam menanam jati telah dipergunakan bibit unggul yang diperoleh dari Perum Perhutani secara swadaya. Petani hutan rakyat sengon di Kabupaten Lumajang memperoleh bibit sengon dari usaha pembibitan setempat dan dengan adanya dukungan pembuatan Kebun Bibit Rakyat oleh Kementerian Kehutanan, saat ini Dinas Kehutanan Kabupaten Lumajang sedang berupaya mengembangkan bibit sengon Papua yang diharapkan tahan terhadap penyakit karat puru. Penanaman sengon sendiri pada daur tanam kedua umumnya menggunakan bibit yang berasal dari trubusan. Pohon sengon yang telah dipotong, sisa batang dikubur kembali sehingga tumbuh tunas-tunas baru. Setelah tunas membesar, dipilih satu yang terbaik untuk dipertahankan sebagai bibit untuk penanaman sengon selanjutnya. Jarak tanam yang digunakan dalam pengusahaan hutan rakyat sangat beragam, demikian juga dengan umur tegakan. Tetapi yang umumnya dilakukan adalah 3x3 m untuk tanaman monokultur sehingga diperoleh populasi sekitar 1.100ha dan 4x4 m atau 5x5 m untuk tanaman agroforestry atau 400ha. Untuk tanaman monokultur biasanya diadakan 2 kali penjarangan sedangkan untuk agroforestry tidak dilakukan penjarangan. Untuk tanaman agroforestry biasanya mendapat perawatan lebih baik dari tanaman monokultur karena petani mengunjungi kebun sampai 4-5 kali dalam seminggu untuk merawat tanaman sela sehingga otomatis merawat tanaman kayu. Berbeda dengan tanaman monokultur dimana petani biasanya tidak terlalu merawat dan jarang mengunjungi kebunnya. Pada awal perkembangannya petani hutan rakyat menanam kayu tidak menggunakan teknik budidaya. Perbanyakan dilakukan sendiri baik dari trubusan ataupun menanam sendiri dan tidak ada pemupukan dan pemeliharaan yang intensif. Akan tetapi saat ini intensifikasi pengelolaan hutan rakyat mulai meningkat. Hal tersebut tampak dari tingkat penggunaan input produksi seperti bibit berkualitas, pupuk dan pestisida yang mulai digunakan baik dari bantuan pemerintah dan swasta atapun secara swadaya. Akan tetapi untuk kegiatan pemeliharaan yang dilakukan hanyalah penyiangan dengan frekuensi yang tidak teratur. Sebagian besar petani sudah merasakan bahwa tanaman kayu yang diberi perlakuan budidaya dengan baik akan menghasilkan kualitas kayu yang baik sehingga meningkatkan harga jual kayu itu sendiri.

5.9.2 Arahan untuk Jati

Rencana pengembangan jati apabila dilihat dari ketersediaan lahan yaitu dengan mengoverlay peta ketersediaan lahan dengan peta kesesuaian lahan untuk jati maka akan diperoleh luas potensial sebesar 654.548 Ha yang meliputi seluruh wilayah pengembangan hutan rakyat yang tersedia di Jawa Timur.