8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Industri Primer Hasil Hutan
Industri kayu dibedakan berdasarkan hasil produksinya, yaitu industri primer dan industri sekunder lanjutan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor. P.35Menhut-II2008 yang dimaksud dengan Industri Primer Hasil Hutan Kayu IPHHK adalah pengolahan kayu bulat danatau kayu bulat
kecil menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. IPHHK itu sendiri terdiri dari: a. Industri Penggergajian Kayu; b Industri Serpih Kayu wood chip; c.
Industri Vinir veneer ; d. Industri Kayu Lapis Plywood ; dan atau e. Laminated Veneer Lumber.
Sedangkan industri sekunder lanjutan adalah industri yang mengolah lebih lanjut produk dari industri primer pengerjaan
kayuwood working. Berdasarkan jenis Industri Primer Hasil Hutan Kayu berdasarkan atas
kapasitas produksi dikelompokkan menjadi : 1. Skala kecil dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 m
3
per tahun; 2. Skala menengah dengan kapasitas produksi lebih besar dari 2.000 m
3
sampai dengan 6.000 m
3
per tahun; 3. Skala besar dengan kapasitas produksi lebih besar dari 6.000 m
3
per tahun. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : P.35Menhut-
II2008, perizinan
IPHHK merupakan
Kewenangan Menteri
Kehutanan, sedangkan pengaturan, pembinaan dan pengembangan jenis-jenis industri hasil
hutan lainnya
masih menjadi
kewenangan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan. Pemberian izin usaha IPHHK dengan kapasitas diatas 6.000 m
3
merupakan kewenangan Menteri Kehutanan dan izin sampai 6.000 m
3
merupakan Gubernur. Izin Usana Industri dan izin perluasan IPHHK dapat
diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMN, BUMD dan BUMS, sedangkan IPHHK sampai dengan 2.000 m
3
pertahun hanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.
Industri penggergajian kayu dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 m
3
per tahun hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
9
2.2 Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan
Sumber bahan baku industri kehutanan umumnya berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Sumber bahan baku yang berasal dari hutan tanaman
terdiri dari Hutan Tanaman, Hutan Rakyat dan Kebun. Sedangkan untuk
pemanfaatan hutan alam harus memiliki Ijin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam IUIPHHK-HA atau izin lain yang sah.
Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak
lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Kegiatan ini hanya dapat dilaksanakan pada areal hutan yang memiliki potensi untuk dilakukan kegiatan
pemanfaatan hasil hutan kayu dan dapat dilaksanakan setelah diperoleh izin usaha, IUIPHHK pada hutan alam adalah izin untuk memanfaatkan hutan
produksi yang
kegiatannya terdiri
dari pemanenan
atau penebangan,
penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.
Sumber : Statistik Kehutanan, 2011
Gambar 2. Perkembangan Luas IPHHK Hutan Alam di Indonesia Pada gambar 2 terlihat sebelum tahun 2000, IPHHK berkembang dengan
pasokan bahan baku terbesar berasal dari hutan alam. Akan tetapi laju
deforestasi yang tinggi menyebabkan semakin berkurangnya jumlah dan luasan IUPHHK-HA. Berdasarkan data sampai dengan akhir Desember 2010, jumlah
IUPHHK hutan alam diseluruh indonesia adalah 304 perusahaan dengan total areal seluas 24,69 juta Ha.
Areal pengusahaan hutan terbesar di Pulau
10 20
30 40
50 60
70
10
Kalimantan yaitu sejumlah 155 unit dengan luas areal 11,69 juta Ha. Dengan luasan terbesar adalah di Provinsi Kalimantan Timur 4,5 juta Ha dan kalimantan
Tengah 3,7 juta Ha Kemenhut, 2011 Untuk mengatur mengenai bahan baku Menteri Kehutanan menerbitkan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Permenhut Nomor : P. 43Menhut-II2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.16Menhut-II2007 Tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri RPBBI Primer Hasil Hutan Kayu. RPBBI adalah rencana yang memuat
kebutuhan bahan baku dan pasokan bahan baku yang berasal dari sumber yang sah sesuai kapasitas izin industri primer hasil hutan dan ketersediaan jaminan
pasokan bahan baku untuk jangka waktu 1 satu tahun yang merupakan sistem pengendalian pasokan bahan baku.
Pertimbangan diterbitkannya Permenhut tersebut adalah bahwa sumber daya alam hutan sebagai penghasil kayu bulat untuk pemenuhan bahan baku
IPHHK perlu dikelola secara lestari, dan pemenuhan bahan baku IPHHK perlu disesuaikan dengan daya dukung sumber daya alam hutan untuk menjamin
kelestarian sumber daya alam hutan tersebut. Permenhut tersebut mengatur bahwa pemegang IPHHK diwajibkan menyusun RPBBI setiap tahunnya, yang
didasarkan pada kapasitas izin industri yang dimiliki dan bahan baku dari hasil penebangan yang sah. Pemegang izin IPHHK juga diwajibkan membuat laporan
realisasi pemenuhan bahan baku secara berkala setiap bulannya. Kewajiban penyusunan RPBBI serta laporan realisasinya tersebut
idealnya dapat memberikan perbandingan antara kebutuhan bahan baku industri tersebut dan kemampuan IPHHK memenuhinya secara aktual.
Kapasitas produksi masing-masing industri seharusnya hanya diberikan berdasarkan
kemampuan pemenuhan bahan baku oleh pengusaha industri tersebut dengan memperhatikan aspek pengelolaan hutan dan kemampuan daya dukung hutan
secara lestari Greenomics, 2004 Bahan baku IPHHK khususnya di Provinsi Jawa Timur sebagian besar
bersumber dari hutan alam produksi atau hutan tanaman. Degradasi hutan alam produksi yang kurang lebih 1 Juta m
3
pertahun menjadikan adanya kesenjangan dalam pemenuhan bahan baku terhadap IPHHK, dimana kapasitas terpasang
industri jauh lebih besar dari kemampuan hutan produksi hutan alam produksitanaman.
11
Untuk mengatasi permasalahan bahan baku industri dan penanganan degradasi hutan alam produksi, pemerintah telah menetapkan berbagai program
antara lain program Hutan Tanaman Industri 1990, akan tetapi program ini hanya bisa memenuhi 20 dari kebutuhan bahan baku industri sedangkan
keterlibatan peran masyarakat dalam program ini sangat rendah Siregar et al. 2006. Program lain adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang
produktif di luar kawasan hutan melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat Dewi et al. 2004 melalui penanaman komoditas kehutanan pada lahan–lahan
rakyat lahan milik sebagai alternatif pemenuhan bahan baku industri yang
sekaligus juga dapat memberikan penghasilan kepada masyarakat. Apabila
pembangunan kehutanan
berbasis masyarakat
ini terus
berkembang, maka tekanan terhadap hutan alam produksi dalam bentuk eksploitasi untuk pemenuhan industri baik yang legal maupun illegal akan dapat
dikurangi, dan sekaligus memberikan peran yang signifikan kepada masyarakat untuk turut serta memberikan jaminan terhadap kelangsungan industri kehutanan
nasional Dir BIK dan PHH, 2006.
2.3 Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat; meskipun ada pula yang
berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara BPKH Jogjakarta . Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03Menhut-V2004
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 Ha, penutupan tajuk
tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50. Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya diantaranya:
- Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa.
Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat hektare atau kurang, sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan
melebihinya. - Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat
yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan- tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.
12
- Hutan kemasyarakatan HKm, adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam
hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau
koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.
Namun ada pula bentuk-bentuk peralihan atau gabungan yaitu model- model pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara perusahaan-
perusahaan kehutanan Perhutani, HPH,HPHTI dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara pengusaha-pengusaha perkebunan dengan petani di
sekitarnya. Model semacam ini, contohnya PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, biasanya juga tidak digolongkan sebagai hutan rakyat; terutama
karena dominasi kepentingan pengusaha Dir BIK dan PHH, 2006. Menurut jenis tanamannya Ditjen RRL 1995 membagi tipologi hutan
rakyat menjadi tiga macam yaitu: 1
Hutan rakyat murni monoculture, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau
monokultur. 2
Hutan rakyat campuran polyculture, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.
3 Hutan rakyat wana tani agroforestry, yaitu yang mempunyai bentuk usaha
kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang
dikembangkan secara terpadu. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani;
yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman sengon pada hutan rakyat
yang ditumpangsari dengan nanas memberikan nilai keuntungan lebih tinggi terhadap petani Siregar et al. 2006. Dewasa ini hutan rakyat sudah sangat
berkembang khususnya dibeberapa wilayah di Pulau Jawa. Nilai dari hasil hutan rakyat ini cukup signifikan untuk memberikan jaminan hidup bagi masyarakat.
Hasil penelitian Supriyanto 2002 menunjukkan bahwa pendapatan petani dari hutan rakyat mampu menyumbang 38,58 terhadap rata-rata total pendapatan
petani pertahun serta analisa secara finansial dan ekonomi penguasaan hutan rakyat sengon layak dilakukan.