Pulau Jawa adalah penerima penyaluran KUR terbesar sekitar 51,62 persen karena jumlah usaha juga terbesar berada di Pulau Jawa. Dari total KUR yang
disalurkan tahun 2012 tersebut tiga provinsi penerima pembiayaan KUR terbesar adalah Jawa Tengah 15,12 persen, Jawa Timur 15,09 persen, dan Jawa Barat
12,71 persen. Sebagai provinsi yang memiliki plafon penyaluran KUR terbesar sekitar Rp 14,7 trilyun, Jawa Tengah ternyata memiliki tingkat kemiskinan 16,56
persen pada tahun 2012 atau naik dari 16,21 persen dari tahun sebelumnya. KUR yang disalurkan menunjukkan peningkatan namun tingkat kemiskinan justru
meningkat jauh diatas rata rata tingkat kemiskinan nasional 11,96 persen.
Menurut sektor ekonomi di gambar 1.2, penyaluran KUR didominasi oleh sektor perdagangan dan sektor pertanian yang masing masing sebesar 56,75
persen dan 16,39 persen.
Gambar 1.2 Penyaluran KUR menurut sektor ekonomi Sumber: Kemenko Perekonomian, 2012
Gambar 1.1 Profil demografi, persentase KUR dan tingkat kemiskinan Sumber: Depkop, BPS, 2012
5
Pada tahun 2012, Kabupaten Pati merupakan daerah penyalur KUR terbesar di Jawa Tengah sebesar Rp 235,38 milyar. Total KUR yang sudah disalurkan di
kabupaten Pati sejak pertama kali diluncurkan tahun 2007 mengalami peningkatan yang luar biasa yaitu dari Rp 1,10 miliar, tahun 2008 sebesar Rp 27,23 miliar,
tahun 2009 sebesar Rp 22,15 milyar, tahun 2010 sebesar Rp 67,47 milyar, tahun 2011 sebesar Rp 128,26 milyar dan puncaknya pada tahun 2012 sebesar Rp
235,38 milyar yang menjadikan Kabupaten Pati sebagai daerah dengan penyerap KUR terbesar nasional. Dengan demikian sepanjang 2007 - 2012 jumlah KUR
yang telah disalurkan di kabupaten Pati mencapai Rp 481,59 milyar. Meningkatnya jumlah KUR yang disalurkan tersebut tentunya seiring dengan
meningkatnya jumlah nasabah setiap tahun yaitu dari 145 nasabah tahun 2007, melonjak tajam menjadi 9.315 nasabah tahun 2008 namun sedikit turun pada
tahun berikutnya sebesar 7.484 nasabah dan naik menjadi 17.189 nasabah tahun 2010, 22.539 nasabah tahun 2011 dan pada akhirnya mencapai angka tertinggi
25.918 nasabah di tahun 2012. Dengan demikian selama 6 tahun terjadi lonjakan atau kenaikan nasabah sebesar 17.774 persen. Dari total Rp 235,38 milyar tersebut
yang disalurkan kepada 25.918 pelaku usaha berarti rata rata menerima Rp 9.0 juta per pelaku usaha. Total tenaga kerja yang terserap dari pelaku usaha tersebut
sebesar 76.242 tenaga kerja pada tahun 2012 atau naik dari 67.791 orang tahun 2011. Sehingga rata rata tenaga kerja per usaha sebanyak 3 orang pada tahun
2012. Sektor terbesar penyerap KUR adalah sektor hulu yakni pertanian yang mencapai 32 persen 8.126 orang, disusul sektor perikanan 27 persen atau
6.856, sektor perindustrian 19 persen 4.825 orang, sektor perdagangan 13 persen 3.301 orang dan usaha-usaha lainnya 9 persen 3.285 orang. Di
kabupaten ini, program KUR dilaksanakan oleh tiga bank, yakni Bank Rakyat Indonesia, Bank Jateng, dan Bank Mandiri.
Tingkat kemiskinan di Kabupaten Pati sebesar 14,48 persen pada tahun 2012, relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tingkat kemiskinan di
Jawa Tengah 16,21 persen. Tingkat kemiskinan tersebut turun dari 19,79 persen pada tahun 2007. Pada tahun 2007 angka pengangguran sebesar 8,38 persen turun
menjadi 5,8 persen pada tahun 2012.
1.2 Perumusan Masalah
Indonesia dengan sistem perekonomian berbasis kerakyatan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tingkat kesejahteraan
rakyat yang memadai, maka pertumbuhan wirausaha dan usaha mikro harus didorong termasuk penguatan modal. Usaha mikro dengan pinjaman kredit dapat
menciptakan lapangan kerja sendiri, dan kebanyakan juga dapat mempekerjakan seluruh keluarganya atau orang lain mengurangi pengangguran. Hasil kajian
Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM dan Koperasi tahun 2006, memperlihatkan bahwa permintaan kredit demand of credit dari kalangan
UMKM relatif cukup besar. Dari hasil kajian di lima provinsi Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, diketahui bahwa
87,4 persen dari UMKM sangat mengharapkan adanya pinjaman modal dari lembaga perkreditan formal terutama perbankan Situmorang 2007.
Kredit sangat penting untuk menghasilkan pertumbuhan usaha mikro, tapi banyak unit usaha yang tidak memiliki akses ke lembaga kredit formal. Lembaga
kredit formal biasanya melayani nasabah kaya dan lembaga kredit informal biasa hanya melayani nasabah berpendapatan rendah Nawai 2010. Jumlah unit
UMKM yang mencapai 55,2 juta unit di tahun 2012 tabel 1.2, yang tersebar di seluruh wilayah dan semua sektor usaha BPS 2012 hanya sebesar 39 persen atau
sekitar 21,5 juta yang telah memperoleh kredit perbankan. Sisanya belum sama sekali tersentuh lembaga perbankan. Dari jumlah debitur yang mendapat kredit
perbankan tersebut, termasuk kredit usaha rakyat yang diterima oleh usaha mikro sekitar 7,0 juta atau 12,68 persen. Dengan demikian tantangan utama yang
dihadapi oleh usaha mikro di Indonesia adalah kurangnya akses kredit formal perbankan. Demikian juga usaha mikro yang ada di dunia juga mengalami
tantangan kurangnya akses kredit Cotler Woodruff 2008; Tambunan 2007; Schoombee 2000. Cotler dan Woodruff 2007 mengatakan bahwa usaha mikro
memiliki tingkat pengembalian modal yang lebih tinggi daripada usaha besar namun mereka memiliki kendala yang lebih besar pada akses kredit. Dari bukti
yang ada pada jangka pendek periode 4 bulan, usaha mikro tersebut memiliki dampak yang besar dalam meningkatnya investasi pada aset tetap. Sedangkan di
Indonesia dinyatakan bahwa kendala utama yang dihadapi usaha mikro kecil adalah kurangnya akses modal kerja dan kesulitan pemasaran Tambunan 2007.
Penelitian Schoombee 2000 menemukan bahwa masalah penting yang dihadapi usaha mikro di Afrika Selatan di sektor informal adalah kurangnya akses kredit ke
bank formal.
Dari total 55,2 juta UMKM yang ada, sekitar 99 persen atau 54,55 juta adalah unit usaha mikro yaitu para usaha rumah tangga, pedagang kaki lima dan
berbagai jenis usaha bersifat informal lainnya. Pada skala mikro ini, penyerapan tenaga kerja juga terbanyak yaitu sekitar 94,9 juta orang atau 90,77 persen dari
total tenaga kerja UMKM. Permasalahan utama yang berkaitan dengan sulitnya usaha mikro untuk mengakses kredit kepada lembaga keuangan bank disebabkan
oleh apa yang disebut dengan asymetric information, yaitu lembaga keuangan formal terutama bank tidak sempurna mendapatkan informasi tentang kegiatan
usaha mikro, ataupun sebaliknya usaha mikro tidak bisa mencari lembaga keuangan yang tepat dengan kondisinya. Pelaku usaha mikro menurut Miller
2008 memiliki masalah informasi dan pengetahuan keuangan yang rendah yang banyak terjadi di negara berkembang karena tingkat pendidikan yang rendah.
Asymetric information
membuat calon pemberi pinjaman kesulitan memprediksi peluang kembalinya kredit yang disalurkan. Untuk mengkompensasi resiko
tersebut, pemberi pinjaman meningkatkan tingkat suku bunga yang harus dibayar oleh penerima kredit dan penyediaan jaminan collateral. Padahal sebagian besar
usaha mikro, agunan yang dimiliki sangat terbatas atau bahkan tidak memiliki agunan. Kredit mikro biasanya dikenakan bunga yang lebih tinggi dari jenis
pembiayaan komersil lainnya. Hal ini dikarenakan biaya untuk pelayanan kredit juga sama meski jumlah uang yang dipinjamkan kecil. Sehingga biaya yang
ditanggung dalam bentuk tingkat bunga sangat tinggi Fernando 2006. Menurut Stewart et al. 2010 menyimpulkan bahwa tingginya tingkat bunga di sub
Saharan-Afrika merupakan salah satu alasan kenapa microfinance tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin malah membuat semakin miskin.
Biaya bunga kredit tidak menjadi satu-satunya pertimbangan nasabah dalam
7 mengajukan kredit. Nasabah juga sangat mempertimbangkan biaya transaksi
seperti biaya transportasi, waktu yang dibutuhkan dari tempat usaha ke lokasi dan lamanya waktu kredit cair Rosenberg et al. 2009.
Mikrofinance memiliki berbagai resiko antara lain resiko gagal bayar atau kredit macet Goetz et al. 1995; Rangan 2010 yaitu resiko tidak dibayarnya
pinjaman yang sudah disalurkan. Dengan demikian, penelitian mengenai perilaku hazard ini penting untuk memperoleh informasi yang komprehensif yang pada
gilirannya bermanfaat untuk para analis kredit dalam keputusannya dalam memberikan kredit. Proses penyaringan yang bisa dilakukan antara lain dengan
melihat latar belakang debitur, dengan menentukan factor-faktor yang dapat menggambarkan karakteristik perilaku debitur dalam meminjam. Konsep
keuangan mikro menjadi alat pengentasan kemiskinan dibanyak negara, menurut Setargie 2011 aspek manajemen resiko pembiayaan mikro tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 6 LKM di Ethiopia, bahwa resiko kegagalan naik rata-rata 27,1 persen. Faktor utama kegagalan kredit adalah kinerja
usaha yang buruk, pengalihan fungsi kredit, masalah rumah tangga, maupun jumlah tanggungan.
Dari sisi, non performance loan NPL, Nasabah mikro ternyata memiliki tingkat yang paling rendah yaitu 1,7 persen untuk BRI. Kondisi di Indonesia ini
sejalan dengan hasil penelitian Cotler dan Woodruff 2007 dimana tingkat kredit macet usaha mikro kecil namun akses terhadap kredit sulit. Terbukti terlihat dari
data tabel 1.2 diatas, bahwa bank-bank masih memberikan prioritas besarnya pinjaman KUR kepada nasabah bukan mikro yang kurang dari 10 persen dari total
nasabah. Barangkali masih adanya kekuatiran akan terjadi kredit macet. Padahal kenyataannya nasabah besar yang memiliki NPL yang tinggi.
Pihak perbankan sendiri, realisasi penyaluran kredit mikro berhasil apabila didukung oleh jumlah kantor layanan yang banyak dan menyebar di seluruh
pelosok Quarch et al. 2005, memiliki jumlah marketing yang lebih banyak, berpengalaman dan terbiasa dalam menyalurkan kredit mikro. Informasi yang
lengkap sangat diperlukan sehingga penyaluran kredit tersebut bisa tepat sasaran dan pengembalian kredit lancar. Dengan sasaran penyaluran yang tepat
diharapkan dalam jangka panjang bisa berkelanjutan baik dari sisi perbankan maupun masyarakat sehingga tujuan dari KUR untuk mengentaskan kemiskinan
tercapai.
Kontribusi Usaha mikro terhadap total PDB atas dasar konstan cukup besar yaitu Rp 761,2 trilyun atau 57,94 persen dari total PDB. Kontribusi usaha
mikro terhadap total ekspor Indonesia sekitar 16,44 persen atau mencapai sekitar Rp 17,2 trilyun. Sedangkan investasi usaha mikro pada tahun 2011 mencapai Rp
42,3 trilyun atau 50 persen dari total investasi. Dengan demikian, potensi UMKM yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan aktifitas ekonomi cukup besar dan
semakin besar pula KUR yang seharusnya bisa disalurkan.
Menurut hasil penelitian Quarch et al. 2005, menyatakan bahwa kredit rumah tangga memiliki dampak positif dan signifikan terhadap kesejahteraan
ekonomi rumah tangga berkaitan dengan tingkat konsumsi per kapita baik makanan maupun non makanan. Dampak kredit terhadap kesejahteraam lebih
besar untuk rumah tangga yang sangat miskin. Dalam penelitian tersebut juga menemukan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi rumah tangga untuk
meminjam adalah usia kepala keluarga, ukuran rumah tangga, kepemilikan tanah
dan tersedianya kredit pada tingkat pedesaan. Prosedur dan persyaratan yang mudah juga menjadi alasan pelaku usaha untuk meminjam kredit. Kenyataannya,
persyaratan yang mudah biasanya diperoleh dari lembaga keuangan non formal.
Apabila KUR memberikan manfaat yang nyata maka diharapkan kebijakan ini bisa berkelanjutan. Berkelanjutan berarti bahwa secara finansial maupun
material, pinjaman KUR tersebut dapat membiayai sendiri semua ongkos pengeluarannya yang berasal dari pendapatan yang diperoleh dari biaya
administrasi bunga yang dibayar oleh usaha mikro dan meningkatkan usaha produktifnya. Namun kenyataannya banyak terjadi bahwa kredit mikro
memberikan dampak positif terhadap usaha mikro tetapi lembaga keuangannya yang mengalami ketidakberlanjutan Syukur 2002; Tang 2009; Afonso et al.
2010; Latif et al. 2011. Tang dalam studinya tentang kredit mikro pedesaan di China menemukan bahwa kredit memberikan keuntungan secara sosial dan
ekonomi, namun keberlangsungan lembaga finansialnya menghadapi kendala kurangnya sumber pendanaan, resiko dan biaya kredit mikro masih mahal,
managemen dan prosedurnya belum sempurna. Penelitian mikro kredit di Portugis yang dilakukan oleh Afonso et al. membuktikan adanya pengurangan kemiskinan
tetapi keberlangsungannya mengalami kontroversi. Keberlangsungan kredit mikro akan terjadi jika rata rata tingkat bunga yang diberikan mencapai 25 persen per
tahun, sedangkan yang terjadi rata-rata masih sekitar 20 persen per tahun sehingga masih berat untuk menutupi biaya yang dikeluarkan. Latif et al. di Pakistan juga
mengamati bahwa banyak LKM yang tidak mencapai viabilitas keuangan, karena usaha mikro yang dibiayainya terlalu kecil skala usahanya dan tidak cukup
memberikan keuntungan bagi LKM. Namun bagi usaha mikro, pembiayaan tersebut 80 persen mampu membuka usaha dan menambah kepemilikan ternak.
Meskipun banyak penelitian yang menunjukkan adanya dampak mikro kredit terhadap peningkatkan kesejahteraan, tidak dipungkiri banyak juga
penelitian yang menunjukkan sebaliknya, seperti penelitian yang dilakukan oleh Banerjee et al. 2013; Zinman 2009; Stewart et al. 2010. Pro-kontra dalam
program kredit mikro, pada kenyataannya menunjukkan kebutuhan akan kredit mikro ataupun lembaga keuangan mikro tetap meningkat. Memang kredit mikro
bukanlah satu satunya alat dalam mengurangi tingkat kemiskinan, tetapi banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Chowdhury 2009 mengatakan bahwa
bagaimanapun keuangan mikro memainkan peranan penting dalam menyediakan jaringan pengaman bagi orang-orang miskin. Suatu kebijakan hendaknya
berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan, yang berbasis pada penciptaan lapangan kerja yang produktif dan luas. Tugas Lembaga keuanganlah harus
mencari usaha mikro yang ada di sektor informal, bukan orang miskin tanpa aset atau kewirausahaan Easterly 2006. Kredit perbankan untuk usaha mikro
diharapkan mampu mempengaruhi laju pertumbuhan suatu ekonomi wilayah seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Sektor penyerap KUR terbesar di
Kabupaten Pati adalah sektor pertanian dan sektor perikanan.
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka pertanyaan penelitian adalah;
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi akses KUR pelaku usaha mikro ke
lembaga keuangan formal? 2.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kelancaran pengembalian KUR? 3.
Bagaimana dampak KUR pada peningkatan pendapatan usaha mikro?
9 4.
Bagaimana keberlanjutan penyaluran KUR dalam meningkatkan pendapatan usaha mikro?
5. Bagaimana keterkaitan KUR dengan perwilayahan di Kabupaten Pati?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka tujuan umum penelitian adalah untuk menganalisis dampak dan keberlanjutan KUR terhadap
peningkatan pendapatan usaha mikro. Sedangkan tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut;
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi atau mendorong usaha
mikro untuk mengakses KUR. 2.
Menganalisis faktor-faktor dan kemampuan usaha mikro dalam pengembalian KUR.
3. Mengkaji dampak KUR pada usaha mikro yang mendapat KUR dengan
usaha mikro yang tidak menggunakan KUR terhadap peningkatan pendapatan usaha mikro.
4. Menganalisis efisiensi dan kinerja penyaluran KUR untuk keberlanjutan
program pembiayaan usaha mikro. 5.
Mendiskripsikan penyaluran KUR berdasarkan perwilayahan di Kabupaten Pati Jawa Tengah.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1.
Bahan masukan atau pun rekomendasi kebijakan bagi penentu kebijakan berupa pengetahuan tentang karakter dan perilaku ekonomi rumah tangga
usaha mikro untuk membantu menentukan sasaran yang lebih tepat dalam penyaluran kredit.
2. Bagi dunia akademik dapat sebagai rujukan dan memperkaya khazanah
pengetahuan tentang kredit di Indonesia, terutama faktor-faktor apa yang mampu mendorong atau alasan rumah tangga meminjam ke lembaga
perbankan.
3. Untuk pelaku usaha mikro mendapatkan informasi dan pengetahuan
tentang lembaga pembiayaan yang sesuai dengan kondisi mereka. 4.
Untuk pengembangan IPTEKS, data rujukan KUR sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut dalam bidangnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini secara umum dilakukan untuk melihat dampak KUR pada pendapatan pelaku usaha mikro. Secara khusus, penelitian ini dilakukan untuk
melihat perilaku usaha mikro akan permintaan KUR dan kelancaran dalam mengembalikan KUR. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
yang merupakan penerima pembiayaan KUR terbanyak. Usaha mikro adalah semua usaha yang memiliki asset maksimal Rp 50 juta dengan omzet maksimal
Rp 300 juta menurut UU no 20 tahun 2008 atau memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang BPS.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perkreditan Pengertian kredit menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Dalam arti luas kredit diartikan sebagai kepercayaan. Dalam bahasa latin kredit berarti credere artinya
kepercayaan. Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan
membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan.
Terdapat dua kekuatan yang saling berinteraksi didalam pasar kredit yaitu penawaran dan permintaan akan kredit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran kredit seperti 1 tingkat bunga, 2 defisit anggaran pemerintah, 3 nilai tukar dan sebagainya. Namun ada juga beberapa faktor yang
berpengaruh dari sisi penawaran akan kredit seperti kredit yang diciptakan oleh bank sentral dan dana dari pihak ketiga baik dari sektor rumah tangga maupun
bisnis.
Apabila tingkat suku bunga naik maka permintaan akan kredit akan turun. Sebaliknya dalam kondisi tingkat suku bunga turun, maka permintaan akan kredit
meningkat. Dalam kenyataannya, fenomena teori ini sering tidak terjadi. Suku bunga kredit sering tidak sensitif atau mempengaruhi secara signifikan terhadap
permintaan kredit bagi nasabah. Sehingga tinggi rendahnya suku bunga kredit tidak selalu berdampak pada naik turunnya permintaan kredit. Hal ini dikarenakan
suku bunga hanyalah merupakan salah satu variabel dari fungsi permintaan dan penawaran kredit. Terdapat variabel variabel lain yang harus diperhitungkan. Pada
umumnya faktor kecepatan proses dan kemudahan prosedur justru menjadi pertimbangan utama dalam permintaan kredit bagi usaha mikro, kecil, dan kredit
konsumtif. Namun untuk permintaan kredit bagi usaha menengah dan korporasi, maka suku bunga akan lebih sensitif sehingga tinggi rendahya tingkat suku bunga
akan mempengaruhi tinggi rendahnya permintaan akan kredit. Demikian sebaliknya, kenaikan atau penurunan suku bunga tidak selalu berbanding lurus
dengan penawaran kredit. Dalam mekanisme pasar, tinggi rendahnya ekspansi kredit sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran kredit. Namun seringnya
naik turunnya suku bunga selalu hanya dilihat dari sisi permintaan kredit.
Berdasarkan gambar 2.1 di bawah, bunga pinjaman dapat menjadi lebih rendah dengan cara menggeser kurva penawaran supply kredit yang lebih elastis
ke kanan yaitu dari S
1
ke S
2
. Pergeseran kurva penawaran ini ke kanan dapat