Pulau Jawa adalah penerima penyaluran KUR terbesar sekitar 51,62 persen karena  jumlah  usaha  juga  terbesar  berada  di  Pulau  Jawa.  Dari  total  KUR  yang
disalurkan tahun 2012 tersebut tiga provinsi penerima pembiayaan KUR terbesar adalah  Jawa  Tengah  15,12  persen,  Jawa  Timur  15,09  persen,  dan  Jawa  Barat
12,71 persen. Sebagai provinsi  yang memiliki plafon penyaluran KUR terbesar sekitar Rp 14,7 trilyun, Jawa Tengah ternyata memiliki tingkat kemiskinan 16,56
persen pada tahun 2012 atau naik dari 16,21 persen dari tahun sebelumnya. KUR yang  disalurkan  menunjukkan  peningkatan  namun  tingkat  kemiskinan  justru
meningkat jauh diatas rata rata tingkat kemiskinan nasional 11,96 persen.
Menurut  sektor  ekonomi  di  gambar  1.2,  penyaluran  KUR  didominasi  oleh sektor  perdagangan  dan  sektor  pertanian  yang  masing  masing  sebesar  56,75
persen dan 16,39 persen.
Gambar 1.2  Penyaluran KUR menurut sektor ekonomi Sumber: Kemenko Perekonomian, 2012
Gambar 1.1  Profil demografi, persentase KUR dan tingkat kemiskinan Sumber: Depkop, BPS, 2012
5
Pada tahun 2012, Kabupaten Pati merupakan daerah penyalur KUR terbesar di Jawa Tengah sebesar  Rp  235,38 milyar. Total KUR  yang sudah disalurkan di
kabupaten Pati sejak pertama kali diluncurkan tahun 2007 mengalami peningkatan yang  luar  biasa  yaitu  dari  Rp  1,10  miliar,  tahun  2008  sebesar  Rp  27,23  miliar,
tahun 2009 sebesar Rp 22,15 milyar, tahun 2010 sebesar Rp 67,47 milyar, tahun 2011  sebesar  Rp  128,26  milyar  dan  puncaknya  pada  tahun  2012  sebesar  Rp
235,38 milyar yang menjadikan Kabupaten Pati sebagai daerah dengan  penyerap KUR  terbesar  nasional.    Dengan  demikian  sepanjang  2007  -  2012  jumlah  KUR
yang  telah  disalurkan  di  kabupaten  Pati  mencapai  Rp  481,59  milyar. Meningkatnya  jumlah  KUR  yang  disalurkan  tersebut  tentunya  seiring  dengan
meningkatnya  jumlah  nasabah  setiap  tahun  yaitu  dari  145  nasabah  tahun  2007, melonjak  tajam  menjadi  9.315  nasabah  tahun  2008  namun  sedikit  turun  pada
tahun  berikutnya  sebesar  7.484  nasabah  dan  naik  menjadi  17.189  nasabah  tahun 2010,  22.539  nasabah  tahun  2011  dan  pada  akhirnya  mencapai  angka  tertinggi
25.918 nasabah di tahun 2012. Dengan demikian selama 6 tahun terjadi lonjakan atau kenaikan nasabah sebesar 17.774 persen. Dari total Rp 235,38 milyar tersebut
yang  disalurkan  kepada  25.918  pelaku  usaha  berarti  rata  rata  menerima  Rp  9.0 juta per pelaku usaha. Total tenaga kerja yang terserap dari pelaku usaha tersebut
sebesar  76.242  tenaga  kerja  pada  tahun  2012  atau  naik  dari  67.791  orang  tahun 2011.  Sehingga  rata  rata  tenaga  kerja  per  usaha  sebanyak  3  orang  pada  tahun
2012.  Sektor  terbesar  penyerap  KUR  adalah  sektor  hulu  yakni  pertanian  yang mencapai   32  persen  8.126  orang,  disusul   sektor  perikanan  27  persen  atau
6.856,  sektor  perindustrian  19  persen  4.825  orang,  sektor  perdagangan  13 persen  3.301  orang  dan  usaha-usaha  lainnya  9  persen  3.285  orang.  Di
kabupaten  ini,  program  KUR  dilaksanakan  oleh  tiga  bank,  yakni  Bank  Rakyat Indonesia, Bank Jateng, dan Bank Mandiri.
Tingkat  kemiskinan  di  Kabupaten  Pati  sebesar  14,48  persen  pada  tahun 2012,  relatif  lebih  rendah  dibandingkan  dengan  rata-rata  tingkat  kemiskinan  di
Jawa  Tengah  16,21  persen.  Tingkat  kemiskinan  tersebut  turun  dari  19,79  persen pada tahun 2007. Pada tahun 2007 angka pengangguran sebesar 8,38 persen turun
menjadi 5,8 persen pada tahun 2012.
1.2  Perumusan Masalah
Indonesia  dengan  sistem  perekonomian  berbasis  kerakyatan  diharapkan dapat  meningkatkan  kesejahteraan  rakyat.  Untuk  mencapai  tingkat  kesejahteraan
rakyat  yang  memadai,  maka  pertumbuhan  wirausaha  dan  usaha  mikro  harus didorong termasuk penguatan modal. Usaha mikro dengan pinjaman kredit dapat
menciptakan  lapangan  kerja  sendiri,  dan  kebanyakan  juga  dapat  mempekerjakan seluruh  keluarganya  atau  orang  lain  mengurangi  pengangguran.  Hasil  kajian
Deputi  Bidang  Pengkajian  Sumberdaya  UMKM  dan  Koperasi  tahun  2006, memperlihatkan  bahwa  permintaan  kredit  demand  of  credit  dari  kalangan
UMKM relatif cukup besar. Dari hasil kajian di lima provinsi Sumatera Selatan, Jawa  Tengah,  Bali,  Kalimantan  Selatan  dan  Sulawesi  Selatan,  diketahui  bahwa
87,4  persen  dari  UMKM  sangat  mengharapkan  adanya  pinjaman  modal  dari lembaga perkreditan formal terutama perbankan Situmorang  2007.
Kredit sangat penting untuk menghasilkan pertumbuhan usaha mikro, tapi banyak unit usaha yang tidak memiliki akses ke lembaga kredit formal. Lembaga
kredit formal biasanya melayani nasabah kaya dan lembaga kredit informal biasa hanya  melayani  nasabah  berpendapatan  rendah  Nawai  2010.  Jumlah  unit
UMKM yang mencapai 55,2 juta unit di tahun 2012 tabel 1.2,  yang tersebar di seluruh wilayah dan semua sektor usaha BPS 2012 hanya sebesar 39 persen atau
sekitar  21,5  juta  yang  telah  memperoleh  kredit  perbankan.  Sisanya  belum  sama sekali  tersentuh  lembaga  perbankan.  Dari  jumlah  debitur  yang  mendapat  kredit
perbankan tersebut, termasuk kredit usaha rakyat yang diterima oleh usaha mikro sekitar  7,0  juta  atau  12,68  persen.  Dengan  demikian  tantangan  utama  yang
dihadapi  oleh  usaha  mikro  di  Indonesia  adalah  kurangnya  akses  kredit  formal perbankan.  Demikian  juga  usaha  mikro  yang  ada  di  dunia  juga  mengalami
tantangan  kurangnya  akses  kredit  Cotler    Woodruff  2008;  Tambunan  2007; Schoombee  2000.  Cotler  dan  Woodruff  2007  mengatakan  bahwa  usaha  mikro
memiliki  tingkat  pengembalian  modal  yang  lebih  tinggi  daripada  usaha  besar namun  mereka  memiliki  kendala  yang  lebih  besar  pada  akses  kredit.  Dari  bukti
yang  ada  pada  jangka  pendek  periode  4  bulan,  usaha  mikro  tersebut  memiliki dampak  yang besar dalam meningkatnya investasi pada  aset tetap. Sedangkan di
Indonesia  dinyatakan  bahwa  kendala  utama  yang  dihadapi  usaha  mikro  kecil adalah kurangnya akses  modal kerja dan kesulitan pemasaran Tambunan 2007.
Penelitian Schoombee 2000 menemukan bahwa masalah penting yang dihadapi usaha mikro di Afrika Selatan di sektor informal adalah kurangnya akses kredit ke
bank formal.
Dari  total  55,2  juta  UMKM  yang  ada,  sekitar  99  persen  atau  54,55  juta adalah unit usaha mikro yaitu para usaha rumah tangga, pedagang kaki lima dan
berbagai  jenis  usaha  bersifat  informal  lainnya.  Pada  skala  mikro  ini,  penyerapan tenaga  kerja  juga  terbanyak  yaitu  sekitar  94,9  juta  orang  atau  90,77  persen  dari
total  tenaga  kerja  UMKM.  Permasalahan  utama  yang  berkaitan  dengan  sulitnya usaha mikro untuk mengakses kredit kepada lembaga keuangan bank disebabkan
oleh  apa  yang  disebut  dengan  asymetric  information,  yaitu  lembaga  keuangan formal  terutama  bank  tidak  sempurna  mendapatkan  informasi  tentang  kegiatan
usaha  mikro,  ataupun  sebaliknya  usaha  mikro  tidak  bisa  mencari  lembaga keuangan  yang  tepat  dengan  kondisinya.  Pelaku  usaha  mikro  menurut  Miller
2008 memiliki masalah informasi dan pengetahuan keuangan yang rendah yang banyak  terjadi  di  negara  berkembang  karena  tingkat  pendidikan  yang  rendah.
Asymetric  information
membuat  calon  pemberi  pinjaman  kesulitan  memprediksi peluang  kembalinya  kredit  yang  disalurkan.  Untuk  mengkompensasi  resiko
tersebut, pemberi pinjaman meningkatkan tingkat suku bunga yang harus dibayar oleh penerima kredit dan penyediaan jaminan collateral. Padahal sebagian besar
usaha  mikro,  agunan  yang  dimiliki  sangat  terbatas  atau  bahkan  tidak  memiliki agunan.  Kredit  mikro  biasanya  dikenakan  bunga  yang  lebih  tinggi  dari  jenis
pembiayaan  komersil  lainnya.  Hal  ini  dikarenakan  biaya  untuk  pelayanan  kredit juga  sama  meski  jumlah  uang  yang  dipinjamkan  kecil.  Sehingga  biaya  yang
ditanggung  dalam  bentuk  tingkat  bunga  sangat  tinggi  Fernando  2006.  Menurut Stewart  et  al.  2010  menyimpulkan  bahwa  tingginya  tingkat  bunga  di  sub
Saharan-Afrika  merupakan  salah  satu  alasan  kenapa  microfinance  tidak  mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin malah membuat semakin miskin.
Biaya  bunga  kredit  tidak  menjadi  satu-satunya  pertimbangan  nasabah  dalam
7 mengajukan  kredit.  Nasabah  juga  sangat  mempertimbangkan  biaya  transaksi
seperti biaya transportasi, waktu yang dibutuhkan dari tempat usaha ke lokasi dan lamanya waktu kredit cair Rosenberg et al. 2009.
Mikrofinance memiliki berbagai resiko antara lain resiko gagal bayar atau kredit  macet  Goetz  et  al.  1995;  Rangan  2010  yaitu  resiko  tidak  dibayarnya
pinjaman yang sudah disalurkan. Dengan demikian, penelitian mengenai perilaku hazard  ini  penting  untuk  memperoleh  informasi  yang  komprehensif  yang  pada
gilirannya  bermanfaat  untuk  para  analis  kredit  dalam  keputusannya  dalam memberikan  kredit.  Proses  penyaringan  yang  bisa  dilakukan  antara  lain  dengan
melihat  latar  belakang  debitur,  dengan  menentukan  factor-faktor  yang  dapat menggambarkan  karakteristik  perilaku  debitur  dalam  meminjam.  Konsep
keuangan mikro menjadi alat pengentasan kemiskinan dibanyak negara,  menurut Setargie 2011 aspek manajemen resiko pembiayaan mikro tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan  penelitian    yang  dilakukan  di  6  LKM  di  Ethiopia,  bahwa  resiko kegagalan naik rata-rata 27,1 persen. Faktor utama kegagalan kredit adalah kinerja
usaha  yang  buruk,  pengalihan  fungsi  kredit,  masalah  rumah  tangga,  maupun jumlah tanggungan.
Dari sisi, non performance loan NPL, Nasabah mikro ternyata memiliki tingkat yang paling rendah yaitu 1,7 persen untuk BRI. Kondisi di Indonesia ini
sejalan dengan hasil penelitian Cotler dan Woodruff 2007 dimana tingkat kredit macet usaha mikro kecil namun akses terhadap kredit sulit. Terbukti terlihat dari
data  tabel  1.2  diatas,  bahwa  bank-bank  masih  memberikan  prioritas  besarnya pinjaman KUR kepada nasabah bukan mikro yang kurang dari 10 persen dari total
nasabah.  Barangkali masih adanya kekuatiran akan terjadi kredit macet. Padahal kenyataannya nasabah besar yang memiliki NPL yang tinggi.
Pihak perbankan sendiri, realisasi penyaluran kredit mikro berhasil apabila didukung  oleh  jumlah  kantor  layanan  yang  banyak  dan  menyebar  di  seluruh
pelosok  Quarch  et  al.  2005,  memiliki  jumlah  marketing  yang  lebih  banyak, berpengalaman  dan  terbiasa  dalam  menyalurkan  kredit  mikro.  Informasi  yang
lengkap sangat diperlukan sehingga penyaluran kredit tersebut bisa tepat  sasaran dan  pengembalian  kredit  lancar.  Dengan  sasaran  penyaluran  yang  tepat
diharapkan  dalam  jangka  panjang  bisa  berkelanjutan  baik  dari  sisi  perbankan maupun  masyarakat  sehingga  tujuan  dari  KUR  untuk  mengentaskan  kemiskinan
tercapai.
Kontribusi  Usaha  mikro  terhadap  total  PDB  atas  dasar  konstan  cukup besar  yaitu  Rp  761,2  trilyun  atau  57,94  persen  dari  total  PDB.  Kontribusi  usaha
mikro terhadap total ekspor Indonesia sekitar 16,44 persen atau mencapai sekitar Rp 17,2 trilyun.  Sedangkan investasi usaha mikro pada tahun 2011 mencapai Rp
42,3 trilyun atau 50 persen dari total investasi. Dengan demikian, potensi UMKM yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan aktifitas ekonomi cukup besar dan
semakin besar pula KUR yang seharusnya bisa disalurkan.
Menurut  hasil  penelitian  Quarch  et  al.  2005,  menyatakan  bahwa  kredit rumah  tangga  memiliki  dampak  positif  dan  signifikan  terhadap  kesejahteraan
ekonomi  rumah  tangga  berkaitan  dengan  tingkat  konsumsi  per  kapita  baik makanan  maupun  non  makanan.  Dampak  kredit  terhadap  kesejahteraam  lebih
besar  untuk  rumah  tangga  yang  sangat  miskin.  Dalam  penelitian  tersebut  juga menemukan  bahwa  factor-faktor  yang  mempengaruhi  rumah  tangga  untuk
meminjam adalah usia kepala keluarga, ukuran rumah tangga, kepemilikan tanah
dan  tersedianya  kredit  pada  tingkat  pedesaan.  Prosedur  dan  persyaratan  yang mudah juga menjadi alasan pelaku usaha untuk meminjam kredit. Kenyataannya,
persyaratan yang mudah biasanya diperoleh dari lembaga keuangan non formal.
Apabila KUR memberikan manfaat  yang nyata maka diharapkan kebijakan ini  bisa  berkelanjutan.  Berkelanjutan  berarti  bahwa  secara  finansial  maupun
material,  pinjaman  KUR  tersebut  dapat  membiayai  sendiri  semua  ongkos pengeluarannya  yang  berasal  dari  pendapatan  yang  diperoleh  dari  biaya
administrasi  bunga  yang  dibayar  oleh  usaha  mikro  dan  meningkatkan  usaha produktifnya.  Namun  kenyataannya  banyak  terjadi  bahwa  kredit  mikro
memberikan  dampak  positif  terhadap  usaha  mikro  tetapi  lembaga  keuangannya yang  mengalami  ketidakberlanjutan  Syukur  2002;  Tang  2009;  Afonso  et  al.
2010;  Latif  et  al.  2011.  Tang  dalam  studinya  tentang  kredit  mikro  pedesaan  di China  menemukan  bahwa  kredit  memberikan  keuntungan  secara  sosial  dan
ekonomi,  namun  keberlangsungan  lembaga  finansialnya  menghadapi  kendala kurangnya  sumber  pendanaan,  resiko  dan  biaya  kredit  mikro  masih  mahal,
managemen dan prosedurnya belum sempurna. Penelitian mikro kredit di Portugis yang dilakukan oleh Afonso et al. membuktikan adanya pengurangan kemiskinan
tetapi keberlangsungannya mengalami kontroversi. Keberlangsungan kredit mikro akan terjadi jika rata rata tingkat bunga  yang diberikan mencapai 25   persen per
tahun, sedangkan yang terjadi rata-rata masih sekitar 20 persen per tahun sehingga masih berat untuk menutupi biaya  yang dikeluarkan. Latif  et al. di Pakistan juga
mengamati bahwa banyak LKM yang tidak mencapai viabilitas keuangan, karena usaha  mikro  yang  dibiayainya  terlalu  kecil  skala  usahanya  dan  tidak  cukup
memberikan  keuntungan  bagi  LKM.  Namun  bagi  usaha  mikro,  pembiayaan tersebut 80 persen mampu membuka usaha dan menambah kepemilikan ternak.
Meskipun  banyak  penelitian  yang  menunjukkan  adanya  dampak  mikro kredit  terhadap  peningkatkan  kesejahteraan,  tidak  dipungkiri  banyak  juga
penelitian  yang  menunjukkan  sebaliknya,  seperti  penelitian  yang  dilakukan  oleh Banerjee  et  al.  2013;  Zinman  2009;  Stewart  et  al.  2010.  Pro-kontra  dalam
program  kredit  mikro,  pada  kenyataannya  menunjukkan  kebutuhan  akan  kredit mikro  ataupun  lembaga  keuangan  mikro  tetap  meningkat.  Memang  kredit  mikro
bukanlah  satu  satunya  alat  dalam  mengurangi  tingkat  kemiskinan,  tetapi  banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Chowdhury 2009 mengatakan bahwa
bagaimanapun  keuangan  mikro  memainkan  peranan  penting  dalam  menyediakan jaringan  pengaman  bagi  orang-orang  miskin.  Suatu  kebijakan  hendaknya
berorientasi  pada  pertumbuhan  dan  pemerataan,  yang  berbasis  pada  penciptaan lapangan  kerja  yang  produktif  dan  luas.  Tugas  Lembaga  keuanganlah  harus
mencari usaha mikro yang ada di sektor informal, bukan orang miskin tanpa aset atau  kewirausahaan  Easterly    2006.  Kredit  perbankan  untuk  usaha  mikro
diharapkan  mampu  mempengaruhi  laju  pertumbuhan  suatu  ekonomi  wilayah seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Sektor penyerap KUR terbesar di
Kabupaten Pati adalah sektor pertanian dan sektor perikanan.
Berdasarkan  perumusan  masalah  diatas,  maka  pertanyaan  penelitian adalah;
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi akses KUR pelaku usaha mikro ke
lembaga keuangan formal? 2.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kelancaran pengembalian KUR? 3.
Bagaimana dampak KUR pada peningkatan pendapatan usaha mikro?
9 4.
Bagaimana  keberlanjutan  penyaluran  KUR  dalam  meningkatkan pendapatan usaha mikro?
5. Bagaimana keterkaitan KUR dengan perwilayahan di Kabupaten Pati?
1.3  Tujuan Penelitian
Berdasarkan  permasalahan  yang  diuraikan  di  atas,  maka  tujuan  umum penelitian  adalah  untuk  menganalisis  dampak  dan  keberlanjutan  KUR  terhadap
peningkatan pendapatan usaha mikro. Sedangkan tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut;
1. Menganalisis  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  atau  mendorong  usaha
mikro untuk mengakses KUR. 2.
Menganalisis  faktor-faktor  dan  kemampuan  usaha  mikro    dalam pengembalian KUR.
3. Mengkaji  dampak  KUR  pada  usaha  mikro  yang  mendapat  KUR  dengan
usaha  mikro  yang  tidak  menggunakan  KUR  terhadap  peningkatan pendapatan usaha mikro.
4. Menganalisis  efisiensi  dan  kinerja  penyaluran  KUR  untuk  keberlanjutan
program pembiayaan usaha mikro. 5.
Mendiskripsikan  penyaluran  KUR  berdasarkan  perwilayahan  di Kabupaten Pati Jawa Tengah.
1.4  Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1.
Bahan  masukan  atau  pun  rekomendasi  kebijakan  bagi  penentu  kebijakan berupa pengetahuan tentang karakter dan perilaku ekonomi rumah tangga
usaha mikro untuk membantu menentukan sasaran yang lebih tepat dalam penyaluran kredit.
2. Bagi  dunia  akademik  dapat  sebagai  rujukan  dan  memperkaya  khazanah
pengetahuan  tentang  kredit  di  Indonesia,  terutama  faktor-faktor  apa  yang mampu  mendorong  atau  alasan  rumah  tangga  meminjam  ke  lembaga
perbankan.
3. Untuk  pelaku  usaha  mikro  mendapatkan  informasi  dan  pengetahuan
tentang lembaga pembiayaan yang sesuai dengan kondisi mereka. 4.
Untuk  pengembangan  IPTEKS,  data  rujukan  KUR  sebagai  data  dasar untuk penelitian lebih lanjut dalam bidangnya.
1.5  Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian  ini  secara  umum  dilakukan  untuk  melihat  dampak  KUR  pada pendapatan  pelaku  usaha  mikro.  Secara  khusus,  penelitian  ini  dilakukan  untuk
melihat  perilaku  usaha  mikro  akan  permintaan  KUR  dan  kelancaran  dalam mengembalikan  KUR.  Penelitian  ini  dilakukan  di  Kabupaten  Pati,  Jawa  Tengah
yang  merupakan  penerima  pembiayaan  KUR  terbanyak.  Usaha  mikro  adalah semua  usaha  yang  memiliki  asset  maksimal  Rp  50  juta  dengan  omzet  maksimal
Rp 300 juta menurut UU no 20 tahun 2008 atau memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang BPS.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Konsep Perkreditan Pengertian  kredit  menurut  UU  No.  7  tahun  1992  tentang  perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau  tagihan  yang  dapat  dipersamakan  dengan  itu  berdasarkan  persetujuan  atau
kesepakatan  pinjam  meminjam  antara  bank  dengan  pihak  lain  yang  mewajibkan pihak  peminjam  untuk  melunasi  utangnya  setelah  jangka  waktu  tertentu  dengan
jumlah  bunga,  imbalan  atau  pembagian  hasil  keuntungan.  Dalam  arti  luas  kredit diartikan  sebagai  kepercayaan.  Dalam  bahasa  latin  kredit  berarti  credere  artinya
kepercayaan.  Kredit  merupakan  suatu  fasilitas  keuangan  yang  memungkinkan seseorang  atau  badan  usaha  untuk  meminjam  uang  untuk  membeli  produk  dan
membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan.
Terdapat  dua  kekuatan  yang  saling  berinteraksi  didalam  pasar  kredit  yaitu penawaran dan permintaan akan kredit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
permintaan  dan  penawaran  kredit  seperti  1  tingkat  bunga,  2  defisit  anggaran pemerintah, 3 nilai tukar dan sebagainya. Namun ada juga beberapa faktor yang
berpengaruh  dari  sisi  penawaran  akan  kredit  seperti  kredit  yang  diciptakan  oleh bank  sentral  dan  dana  dari  pihak  ketiga  baik  dari  sektor  rumah  tangga  maupun
bisnis.
Apabila  tingkat  suku  bunga  naik  maka  permintaan  akan  kredit  akan  turun. Sebaliknya dalam kondisi tingkat suku bunga turun, maka permintaan akan kredit
meningkat.  Dalam  kenyataannya,  fenomena  teori  ini  sering  tidak  terjadi.  Suku bunga  kredit  sering  tidak  sensitif  atau  mempengaruhi  secara  signifikan  terhadap
permintaan  kredit  bagi  nasabah.  Sehingga  tinggi  rendahnya  suku  bunga  kredit tidak selalu berdampak pada naik turunnya permintaan kredit. Hal ini dikarenakan
suku  bunga  hanyalah  merupakan  salah  satu  variabel  dari  fungsi  permintaan  dan penawaran kredit. Terdapat variabel variabel lain yang harus diperhitungkan. Pada
umumnya  faktor  kecepatan  proses  dan  kemudahan  prosedur  justru  menjadi pertimbangan utama dalam permintaan kredit bagi usaha mikro, kecil, dan kredit
konsumtif.  Namun  untuk  permintaan  kredit  bagi  usaha  menengah  dan  korporasi, maka suku bunga akan lebih sensitif sehingga tinggi rendahya tingkat suku bunga
akan  mempengaruhi  tinggi  rendahnya  permintaan  akan  kredit.  Demikian sebaliknya,  kenaikan  atau  penurunan  suku  bunga  tidak  selalu  berbanding  lurus
dengan  penawaran  kredit.  Dalam  mekanisme  pasar,  tinggi  rendahnya  ekspansi kredit sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran kredit. Namun seringnya
naik turunnya suku bunga selalu hanya dilihat dari sisi permintaan kredit.
Berdasarkan  gambar  2.1  di  bawah,  bunga  pinjaman  dapat  menjadi  lebih rendah dengan cara menggeser kurva penawaran supply kredit yang lebih elastis
ke  kanan  yaitu  dari  S
1
ke  S
2
.  Pergeseran  kurva  penawaran  ini  ke  kanan  dapat