t
riliun kepada
2,4 juta debitur. Pencapaian ini
telah melampaui target
penyaluran tahunan.
Perkembangan
sektor jasa keuangan tahun 2014 memungkinkan pembiayaan
terhadap UMKM
tidak hanya dapat dilakukan oleh perbankan namun
juga oleh Lembaga Jasa
Keuangan Non Bank seperti Perusahaan Pembiayaan
multi
finance, Perusahaan Modal Ventura, dan juga Lembaga Keuangan Mikro
yang lahir di berbagai
daerah.
Arah kebijakan di
bidang UMKM dan koperasi dalam periode tahun 2015- 2019
adalah
meningkatkan daya saing UMKM dan koperasi sehingga mampu
tumbuh menjadi
usaha yang berkelanjutan dengan skala yang lebih besar
naik kelas
dalam rangka mendukung kemandirian perekonomian nasional.
Strategi
pembangunan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1 peningkatan kualitas
sumber daya manusia; 2 peningkatan akses pembiayaan
dan perluasan
skema pembiayaan; 3 peningkatan nilai tambah produk
dan jangkauan
pemasaran; 4 penguatan kelembagaan usaha; 5 peningkatan
kemudahan, kepastian
dan perlindungan usaha.
Plafon KUR Mikro yang baru adalah sampai dengan Rp 25 juta. Penyaluran KUR bisa melalui Lembaga Linkage yaitu lembaga berbadan hukum
yang dapat menerus pinjamkan KUR dari Bank Pelaksana kepada Debitur, yaitu Koperasi Sekunder, Koperasi Primer, Bank Perkreditan RakyatSyariah
BPRBPRS, perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, Lembaga Keuangan Mikro pola konvensional atau syariah, LKBB lainnya, dan kelompok
usaha.
Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan
untuk memberikan
jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik
melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala
mikro kepada anggota
dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun
pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata
mencari keuntungan.
Linkage pola executing adalah KUR Mikro yang diberikan oleh Bank
Pelaksana kepada lembaga linkage untuk diterus-pinjamkan kepada debitur end user.
Kewajiban pengembalian KUR Mikro menjadi tanggung
jawab dari lembaga linkage
selaku penerima KUR Mikro. Sedangkan linkage pola channeling adalah KUR Mikro yang diberikan oleh Bank Pelaksana kepada Debitur melalui lembaga
linkage selaku agen. Kewajiban pengembalian KUR Mikro menjadi tanggung
jawab dari Debitur end userselaku penerima KUR Mikro.
2.3 Pengaruh Subsidi Premi Pada Keseimbangan Pasar KUR
Pada saat ini suku bunga kredit Kredit Usaha Rakyat KUR untuk skala mikro sebesar 10-10,5 persen flat per tahun. Kredit Usaha Rakyat adalah kredit
program yang disalurkan menggunakan pola penjaminan. Kredit ini diperuntukkan bagi pengusaha mikro yang tidak memiliki agunan tetapi memiliki
usaha yang layak dibiayai oleh bank. Pemerintah mensubsidi Kredit Usaha Rakyat KUR dengan tujuan memberdayakan usaha mikro yang ada di Indonesia.
Subsidi yang diberikan pemerintah adalah premi asuransi. Dengan diasuransikan kredit yang disalurkan, maka akan mengurangi kerugian apabila terjadi resiko
gagal bayar. Dengan diasuransikan kredit tersebut, maka penyaluran kredit mikro
15 diharapkan lebih banyak jangkauannya dengan tanpa jaminan sesuai dengan
tujuan pemerintah. Subsidi merupakan pajak negatif, yaitu maksudnya berkebalikan dengan
pajak. Pajak merupakan penerimaan pemerintah, sedangkan subsidi merupakan pengeluaran pemerintah yang diberikan atas produksipenjualan barangjasa yang
menyebabkan harga barangjasa tersebut menjadi lebih rendah. Dengan demikian, pengaruhnya subsidi terhadap keseimbangan pasar berkebalikan dengan pengaruh
pajak. Subsidi bisa bersifat spesifik dan dapat juga bersifat proporsional. Dalam penelitian ini, hanya akan diuraikan subsidi yang bersifat spesifik yaitu subsidi
premi asuransi untuk program kredit usaha rakyat.
Dengan adanya subsidi pada program KUR di pasar kredit, bank-bank merasa ongkos produksinya menjadi lebih kecil sehingga ia bersedia menjual pada
harga lebih murah. Harga yang dimaksud dalam pasar kredit adalah tingkat suku bunga yang dikenakan bagi nasabah. Akibatnya harga keseimbangan yang tercipta
di pasar lebih rendah dari pada harga keseimbangan sebelum atau tanpa subsidi, dan keseimbangannya jumlah KUR yang disalurkan menjadi lebih banyak.
Subsidi premi dan tingkat suku bunga yang telah ditentukan oleh bank menghasilkan kurva penawaran yang bengkok Kinked Supply Curve.
1
Gambar 2.4 Pengaruh subsidi premi pada keseimbangan pasar KUR Sumber: Siregar 2009, dimodifikasi
Keseimbangan awal terjadi di pasar kredit, sebagai contoh bunga kredit
komersial sebesar 24 persen, maka akan terjadi keseimbangan pasar pada Em dimana banyaknya permintaan KUR sebanyak Cm. Pemerintah menetapkan
tingkat suku bunga kredit untuk KUR sebesar 10 persen per tahun flat. Jika pemerintah tidak membayarkan subsidi premi sebesar a, maka keseimbangan
P=R Sm tanpa subsidi
Em S
kur
tanpa subsidi Rm = 24
E
kur+premi
10+premi a
E
KUR
R
kur
= 10 Kinked Supply Curve
= S
KUR
dengan subsidi D
1
D
Cm C
kur
+premi Ckur C= KUR
pasar akar terjadi di E
kur+premi.
Kurva penawaran akan menjadi S
kur
tanpa subsidi. Namun pemerintah membayarkan premi asuransi merupakan bagian item cost
yang membentuk besarnya biaya bunga yang nilainya sebesar a. Adanya subsidi spesifik berupa premi asuransi maka biaya produksi bank
akan berkurang maka kurva penawaran S akan bergeser sejajar ke bawah, dengan penggal yang lebih kecil lebih rendah pada sumbu harga. Jika sebelum subsidi
penawarannya sebesar S
m
maka sesudah subsidi ia akan menjadi S
kur
sehingga kurva membengkok. Dengan rendahnya suku bunga KUR 10 persen, maka
permintaan terhadap kredit naik sehingga kurva permintaan bergeser dari D0 ke D1 dan keseimbangan baru terjadi pada saat E
kur
dan jumlah kredit yang diminta akan naik menjadi C
kur
. Subsidi premi yang diberikan oleh pemerintah menyebabkan ongkos
produksi yang dikeluarkan oleh bank menjadi, lebih sedikit dari pada ongkos sesungguhnya untuk menghasilkan biaya bunga tersebut. Perbedaan antara ongkos
produksi nyata dan ongkos produksi yang dikeluarkan merupakan bagian subsidi yang.dinikmati oleh produsen. Karena ongkos produksi yang dikeluarkan oleh
bank lebih kecil, bank bersedia menawarkan harga atau bunga KUR yang lebih rendah, sehingga sebagian dari subsidi yang diterima, secara tidak langsung
dinikmati juga oleh nasabah.
2.4 Konsep Kemiskinan dan Kesejahteraan
Kondisi perekonomian suatu Negara ditentukan oleh variable-variabel makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, yang kemudian dikaitkan dengan
faktor investasi dan tenaga kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhi kedua variabel tersebut. Akhir-akhir ini pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung
meningkat. Namun selama lima tahun terakhir, pengurangan laju kemiskinan dan pengangguran semakin melambat. Siregar 2009 menuliskan bahwa diperlukan
perbaikan struktur perekonomian Indonesia agar pertumbuhan ekonomi menjadi lebih sensitif terhadap pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan
ekonomi seyogyanya berasal dari sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, sehingga pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pengurangan
pengangguran. Berdasarkan penelitian selama kurun waktu 2002 sampai 2005, diketahui bahwa terjadi penurunan kontribusi sektor-sektor pertanian,
perdagangan dan industry, dimana sektor-sektor tersebut yang selama ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Sehingga penurunan kontribusi terhadap PDB
dapat berimplikasi pada ketidakmampuannya untuk menyerap tambahan angkatan kerja baru sehingga secara keseluruhan pengangguran semakin bertambah. Hal ini
dapat dipandang sebagai salah satu jawaban terhadap paradoks pertumbuhan- pengangguran di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat adalah syarat keharusan necessary condition
bagi pengurangan laju pengangguran. Syarat kecukupannya sufficient condition
ialah peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Peningkatan kualitas dimaksud antara lain ialah pertumbuhan ekonomi tersebut
dapat „dinikmati‟ secara relatif merata oleh segenap produsen, „kebocoran‟ leakages yang menyertainya dapat terus diminimalkan, dan berkelanjutan
sustainable. Laju pengangguran tersebut akan dapat diturunkan secara lebih
17 cepat apabila pertumbuhan ekonomi dipacu pada sektor-sektor padat karya.
Dengan kata lain, investasi riil perlu dilipatgandakan dan difokuskan kearah sektor-sektor tersebut Siregar 2009.
Upaya peningkatan kinerja ekonomi sangat ditentukan oleh keberhasilan menjalankan transformasi struktural perkonomian Cooper 2005. Transformasi
struktural baru dapat dikatakan berhasil apabila kenaikan peranan manufaktur dan kenaikan ekspor disertai dengan berkurangnya tenagakerja di sektor
pertanian karena secara signifikan diserap oleh sektor manufakturing. Negara Negara yang saat ini kurang berkembang, menurut Cooper, disebabkan oleh
kegagalan mereka menjalankan transformasi tersebut. Kegagalan menciptakan stabilitas sosial dan insentif yang tepat atas upaya upaya pengembangan kegiatan
penting yang beresiko, kekurangmampuan dalam memanfaatkan keterbukaan dan integrasi perekonomian global merupakan penyebab kegagalan dalam kinerja
ekonomi.
Cheyne, O‟Brien dan Belgrave 1998 mengatakan bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang
dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan
ekonomi dipacu
setinggi-tingginya. Ini
berarti strategi
penanggulangan kemiskinan bersifat “residual” sementara, yang melibatkan
keluarga, kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Negara akan turut campur ketika lembaga-lembaga negara tidak lagi mampu menjalankan tugasnya.
Penerapan Jaminan Pengaman Sosial JPS di Indonesia adalah contoh nyata pengaruh teori ini.
Kategori lain tentang kemiskinan adalah kemiskinan struktural yaitu disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat
tersumbatnya akses kelompok kepada sumber-sumber kemasyarakatan. Sehingga perlu ada sistem negara yang mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Sejalan dengan konsep kesejahteraan yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik 2000 menerangkan bahwa untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah
tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran, antara lain adalah : 1 Tingkat pendapatan keluarga; 2 Komposisi pengeluaran rumah
tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan; 3 Tingkat pendidikan keluarga; 4 Tingkat kesehatan keluarga, dan; 5
Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.
Bagaimana potret kemiskinan Indonesia, BPS memiliki indikator kemiskinan untuk mengukurnya. Bank Dunia 2000 mengartikan bahwa
kemiskinan adalah kekurangan, yang sering diukur dengan tingkat kesejahteraan. Dalam banyak kasus, kemiskinan telah diukur dengan terminologi kesejahteraan
ekonomi, seperti pendapatan dan konsumsi. Seseorang dikatakan miskin bila ia berada di bawah tingkat kesejahteraan minimum tertentu yang telah disepakati.
Niemietz 2011 menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk membeli barang-barang kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, papan dan
obat-obatan. Sedangkan BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar basic need approach. Dengan pendekatan ini, kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan perhitungan Maret 2010,
standar kemiskinan adalah sebesar Rp 211.000 yang digunakan untuk pemenuhan makanan sebesar Rp155.615bulan dan non makanan Rp56.000bulan. Bahan
pokok untuk kecukupan gizi sebanyak 2100 kalori per hari atau senilai Rp 5.000 per hari atau Rp155.615 per bulan. Kedua, kebutuhan non makanan seperti
kesehatan, pendidikan, transportasi. Indikator tersebut, bukan hanya dilihat dari pendapatan masyarakat, namun juga merupakan kombinasi dari bantuan pihak
lain termasuk bantuan Pemerintah. Besarnya kebutuhan sebagai indikator kemiskinan tersebut berbeda beda antar daerah.
Seseorang dapat dikatakan miskin atau hidup dalam kemiskinan jika pendapatan atau aksesnya terhadap barang dan jasa relatif rendah dibandingkan
dengan rata rata orang lain dalam perekonomian tersebut. Secara absolut, seseorang yang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar
hidupnya secara absolut berada dibawah tingkat subsisten. Ukuran subsistensi tersebut dapat diproksi dengan garis kemiskinan. Secara umum, kemiskinan
adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar standar atas setiap aspek kehidupan Siregar dkk, 2007. Variabel lain yang berkaitan dengan
kemiskinan adalah inflasi. Ketika suatu rumah tangga memiliki pendapatan sedikit diatas garis kemiskinan, dan ketika pertumbuhan pendapatannya sangat lambat,
dan atau lebih rendah dari laju inflasi, maka barang dan jasa yang dapat dibelinya menjadi lebih sedikit. Laju inflasi tersebut juga akan menggeser garis kemiskinan
ke atas. Kombinasi dari pertumbuhan pendapatan yang lambat dan laju inflasi yang relatif tinggi akan menyebabkan rumah tangga tersebut jatuh ke bawah garis
kemiskinan. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya variabel untuk mengurangi kemiskinan, variabel lain, seperti laju inflasi, juga
berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin.
Menurut Nasution 2013 penyebab kemiskinan di Indonesia antara lain adalah; 1 kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia di Indonesia. BPS
menyatakan jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2012 mencapai 120,4 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,32 persen atau 7,61
juta orang. Pekerja pada jenjang pendidikan SD masih mendominasi yaitu sebesar 55,5 juta orang. 2 tidak meratanya pendapatan penduduk Indonesia. Rata-rata
pendapatan per kapita Indonesia tahun 2012 adalah 3.452 per orang per tahun. 3 Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. Angka rata rata lama sekolah di
Indonesia baru 7.95 tahun atau tidak lulus sekolah menengah pertama SMP. 4 Rendahnya derajat kesehatan. Rata-rata angkatan harapan hidup Indonesia sebesar
70,7 tahun. 5 Biaya kehidupan yang semakin tinggi. Angka inflasi yang tinggi tidak berbanding lurus dengan pendapatan masyarakat. 6 kurangnya perhatian
dari pemerintah. Kementerian Pembangunan daerah Tertinggal PDT menyatakan jumlah daerah tertinggal di Indonesia 183 kabupaten dari 33 provinsi
yang tersebar di Tanah air. Dari total daerah tertinggal tersebut, sekitar 70 persen berada pada wilayah Kawasan Timur Indonesia KTI.
Kesejahteraan masyarakat menengah kebawah dapat direpresentasikan dari tingkat hidup masyarakat. Tingkat hidup masyarakat ditandai dengan
terentaskannya dari kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan tingkat produktivitas masyarakat.
Dalam mengukur tingkat kemiskinan dan kesejahteraan, pada umumnya para pakar ekonomika menggunakan pendapatan income per kapita GDP per
kapita sebagai indikator kemiskinan. GDP atau gross domestic product, yang