Ruang Lingkup Penelitian Analisis Kinerja Kredit Usaha Mikro Dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Usaha Mikro Di Kabupaten Pati Jawa Tengah
                                                                                standar kemiskinan adalah sebesar Rp 211.000 yang digunakan untuk pemenuhan makanan  sebesar  Rp155.615bulan  dan  non  makanan  Rp56.000bulan.  Bahan
pokok untuk kecukupan gizi sebanyak 2100 kalori per hari atau senilai Rp 5.000 per  hari  atau  Rp155.615  per  bulan.  Kedua,  kebutuhan  non  makanan  seperti
kesehatan,  pendidikan,  transportasi.  Indikator  tersebut,  bukan  hanya  dilihat  dari pendapatan  masyarakat,  namun  juga  merupakan  kombinasi  dari  bantuan  pihak
lain  termasuk  bantuan  Pemerintah.  Besarnya  kebutuhan  sebagai  indikator kemiskinan tersebut berbeda beda antar daerah.
Seseorang  dapat  dikatakan  miskin  atau  hidup  dalam  kemiskinan  jika pendapatan  atau  aksesnya  terhadap  barang  dan  jasa  relatif  rendah  dibandingkan
dengan  rata  rata  orang  lain  dalam  perekonomian  tersebut.  Secara  absolut, seseorang  yang  dinyatakan  miskin  apabila  tingkat  pendapatan  atau  standar
hidupnya  secara  absolut  berada  dibawah  tingkat  subsisten.  Ukuran  subsistensi tersebut  dapat  diproksi  dengan  garis  kemiskinan.  Secara  umum,  kemiskinan
adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar standar atas setiap aspek kehidupan Siregar dkk, 2007. Variabel lain yang berkaitan dengan
kemiskinan adalah inflasi. Ketika suatu rumah tangga memiliki pendapatan sedikit diatas  garis  kemiskinan,  dan  ketika  pertumbuhan  pendapatannya  sangat  lambat,
dan atau lebih rendah dari laju inflasi, maka barang dan jasa yang dapat dibelinya menjadi lebih sedikit. Laju inflasi tersebut juga akan menggeser garis kemiskinan
ke  atas.  Kombinasi  dari  pertumbuhan  pendapatan  yang  lambat  dan  laju  inflasi yang relatif tinggi akan menyebabkan rumah tangga tersebut jatuh ke bawah garis
kemiskinan.  Hal  ini  berarti  bahwa  pertumbuhan  ekonomi  bukan  satu-satunya variabel  untuk  mengurangi  kemiskinan,  variabel  lain,  seperti  laju  inflasi,  juga
berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin.
Menurut  Nasution  2013  penyebab  kemiskinan  di  Indonesia  antara  lain adalah;  1  kurangnya  lapangan  pekerjaan  yang  tersedia  di  Indonesia.  BPS
menyatakan  jumlah  angkatan  kerja  di  Indonesia  pada  Februari  2012  mencapai 120,4 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka  mencapai 6,32 persen atau 7,61
juta orang. Pekerja pada jenjang pendidikan SD masih mendominasi yaitu sebesar 55,5  juta  orang.  2  tidak  meratanya  pendapatan  penduduk  Indonesia.  Rata-rata
pendapatan per kapita  Indonesia tahun 2012 adalah  3.452 per orang per tahun. 3 Tingkat pendidikan masyarakat  yang rendah.  Angka rata  rata lama sekolah di
Indonesia baru 7.95 tahun atau tidak lulus sekolah menengah pertama SMP. 4 Rendahnya derajat kesehatan. Rata-rata angkatan harapan hidup Indonesia sebesar
70,7  tahun.  5  Biaya  kehidupan  yang  semakin  tinggi.  Angka  inflasi  yang  tinggi tidak  berbanding  lurus  dengan  pendapatan  masyarakat.  6  kurangnya  perhatian
dari  pemerintah.  Kementerian  Pembangunan  daerah  Tertinggal  PDT menyatakan jumlah daerah tertinggal di Indonesia 183 kabupaten dari 33 provinsi
yang tersebar di Tanah air. Dari total daerah tertinggal tersebut, sekitar 70 persen berada pada wilayah Kawasan Timur Indonesia KTI.
Kesejahteraan  masyarakat  menengah  kebawah  dapat  direpresentasikan  dari tingkat  hidup  masyarakat.  Tingkat  hidup  masyarakat  ditandai  dengan
terentaskannya  dari  kemiskinan,  tingkat  kesehatan  yang  lebih  baik,  perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan tingkat produktivitas masyarakat.
Dalam  mengukur  tingkat  kemiskinan  dan  kesejahteraan,  pada  umumnya para  pakar  ekonomika  menggunakan  pendapatan  income  per  kapita  GDP  per
kapita  sebagai  indikator  kemiskinan.  GDP  atau  gross  domestic  product,  yang
19 mencerminkan  kemampuan  penduduk  dalam  wilayahNegara  tertentu  untuk
menghasilkan income. Semakin kecil GDP per kapita  yang dihasilkan oleh suatu masyarakat,  maka  semakin  miskin  masyarakat  itu.  Suman  2007  menuliskan
bahwa  para  kritikus  berpendapat  bahwa  indikator  ini  hanya  mencerminkan kuantitas,  dan  tidak  berbicara  tentang  kualitas  hidup  masyarakat.  Dari  sini
kemudian  lahir  indikator  alternatif  untuk  mengukur  kemiskinan,  yaitu  Physical Quality  of  Life  Index
PQLI  atau  lebih  dikenal  sebagai  basic  need  approach. PQLI adalah sebuah indikator kesejahteraan yang mempertimbangkan kecukupan
sandang,  pangan,  dan  kecukupan  papan.  Dengan  begitu  kita  akan  mengkaitkan „apa  yang  terlihat‟  dengan  anugerah-anugerah  lainnya  yang  bersifat  non-uang
non ekonomi murni dan non fisik seperti kesehatan dan pendidikan. BPS  pun  mengenal  apa  yang  disebut  dengan  Indeks  Pembangunan
Manusia  IPM.  IPM  disusun  dari  tiga  komponen  yaitu:  lamanya  hidup  diukur dengan  harapan  hidup  pada  saat  lahir;  tingkat  pendidikan,  diukur  dengan
kombinasi  antara  angka  melek  huruf  pada  penduduk  15  tahun  keatas  dengan bobot  dua  per  tiga  dan  rata  rata  lamanya  sekolah  dengan  bobot  sepertiga,  dan
tingkat  kehidupan  yang  layak,  diukur  dengan  pengeluaran  per  kapita  yang  telah disesuaikan  purchasing  power  parity  PPP  rupiah.  Pembangunan  manusia  yang
berhasil akan membuat usia rata rata masyarakat meningkat; juga ditandai dengan peningkatan  pengetahuan  yang  bermuara  pada  peningkatan  kualitas  SDM.
Pencapaian  dua  hal  ini  selanjutnya  akan  meningkatkan  mutu  hidup  dalam  arti layak.
Uraian  diatas  menegaskan  bahwa  pendapatan  masyarakat  atau  GDP, bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan bukan
lagi hanya menyangkut uang nominal yang diterima sebagai pendapatan income. Kemiskinan  tidak  juga  hanya  berbicara  tentang  ketersediaan  sandang,  pangan,
papan, tapi juga mempertimbangkan aspek pendidikan dan kesehatan.
                