Etre pense par sa culture
88
Gambar 4.9. Penutup Pusar, sesaat setelah dicuci bersama-sama dengan masyarakat
Dari gambar 4.9. tampak pusaka Penutup Pusar yang masih basah dan tampak pula sisa dari kembang tujuh rupa. Setelah dicuci,
Penutup Pusar dibungkus dengan kain putih dan diletakkan di dalam kotak kecil seperti tampak pada gambar.
c. Makanan Khas
Makanan khas yang dimaksud adalah makanan yang menurut adat setempat wajib adanya. Ada dua makanan yang wajib ada pada
saat perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini, yaitu nasi kebuli dan ayam bekakak. Nasi kebuli menurut keterangan
Tubagus Sos Rendra nasi kebuli itu memang dari dulu sudah ada, sampai saat ini menjadi makanan khas saat perayaan.
“Tumpeng mah sebenarnya ada kaitannya dengan orang yang ketinggalan di Makkah itu. Jadi ia bernadzar nanti kalau ada rezeki ia akan
bebacaken istilah orang sunda mah, bahasa kitanya ya membaca kalimat- kalimat Allah untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal dan
dikuburkan di pemakaman keluarga Tubagus Atief itu. Benarlah, beberapa hari setelah kejadian itu ia datang ke pemakaman dan membawa nasi Kebuli
itu. Sampai sekarang pun tumpeng yang dibuat acara tahunan ini ya nasi kebuli itu.
”
16
16
Wawancara Pribadi dengan Tubagus Sos Rendra. Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
89
Gambar 4.10. Warga menikmati makanan tumpeng nasi kebuli
Dari gambar 4.10 tampak nasi kebuli yang dimakan bersama- sama sejenak setelah perayaan folklor berlangsung. Nasi kebuli pada
perayaan folklor “Haul Cuci Pusak Keramat Tajug” merupakan makanan yang dibawa oleh masyarakat setempat.
d. Kembang Tujuh Rupa
Kembang tujuh rupa digunakan untuk mencuci pusaka baik Penutup Pusar maupun yang lain, seperti keris, golok, kujang, tombak,
dan pisau. Kembang tujuh rupa ini merupakan hasil peninggalan dari adat budaya nenek moyang.
Gambar 4.11. Kembang tujuh rupa
90
Kembang tujuh rupa dicampur merata sehingga seolah-seolah menjadi satu. Dari campuran bunga tujuh rupa tadi kemudian bunga
tersebut dimasukkan ke dalam bak dan diberi air secukupnya agar proses pencucian lebih mudah. Jika dilihat dari penggunaannya
kembang tujuh rupa sebenarnya tidak terlalu berfungsi. Artinya jika dibandingkan dengan alat pembersih lain, tentu masih banyak alat
untuk membersihkan benda-benda pusaka dengan baik dan bahkan lebih sempurna. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat diotak-atik. Bunga
tujuh rupa memang peninggalan nenek moyang yang menjadi keharusan juga pada saat perayaan folklor
“Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
“Owh itu memmang dari dulu dek, bunga itu ada tujuh macam jenisnya. Ada kembang mawar, kembang melati, kembang cempaka, kembang kantil,
kembang kenanga, kembang sedap malam, serta kembang melati gambir. Terus sebagai penyempurna biasanya dikasih minyak wangi dan pandan yang diiris-iris
kecil. ”
17
Demikian keterangan Tubagus Tubagus Muhammad Aris mengenai kembang tujuh rupa tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini masih di bawah kontrol budaya
lama Etre pense par sa culture. Bagaimana tidak, pada perayaan folklo “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini masih mempunyai
kewajiban tertentu secara budaya, seperti tanggal yang telah ditetapkan, Penutup Pusar yang disakralkan, makanan khas, dan
kembang tujuh rupa. Selain dari itu memang dikemasnya folklor “Haul Cuci Pusaka
17
Wawancara pribadi dengan Tubagus Muhammad Aris. Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
91 Keramat Tajug” ini merupakan upaya pelestarian. Bahkan Sos Rendra
mengatakan bahwa, adanya folklor ini bentuk kepedulian keluarga kepada adat dan budaya.
“Banyak sekali orang-orang sekitar yang salah kaprah yang mengarah pada kemusyrikan. Kita kan hanya bermaksud untuk pelestarian saja. Pencucian
pusaka ini kalau bukan kita yang menjaga siapa, orang lain mah ga mungkin. Dulu mah air hasil cuci pusaka ini dibuat minum, dipakai untuk cuci muka,
sekarang mah saya buang airnya. Meskipun orang yang sembunyi-sembunyi mengambil air itu masih ada. Segala sesuatu itu atas izin Allah
.”
18