Folklor Haul Cuci Pusaka

kebiasaan lama hasil dari peninggalan nenek moyang. Dalam kebiasaan tersebut juga terdapat hukum yang berlaku berdasarkan norma-norma tertentu. 52 52 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Peneliti Mulyadi, dkk, Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY Yogyakarta: Poroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, 1982-1983, h. 35. 59

BAB III TUBAGUS ATIEF, FOLKLOR

“HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT TAJUG, ” DAN KELURAHAN CILENGGANG Bagi setiap daerah sudah pasti mereka mempunyai cara sendiri dalam upacara tradisionalnya. Terlebih bagi masyarakat daerah yang hidup di pedesaan. Bahkan sebagian mereka ada pula yang mempunyai ritual kematian secara khusus, seperti masyarakat desa Kepoharjo, Yogyakarta, Jawa Tengah. Di kampung tersebut telah baku peraturan tentang bagaimana persiapan pemakaman jenazah, penguburannya sampai pada upacara-upacara setelah kematian. Masyarakat di desa tersebut telah menjalankan ritual upacara tradisional selama bertahun-tahun. 1 Demikian pula yang terjadi dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug. ” folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” tidak jauh berbeda dengan upacara-upacara tradisional daerah lainnya. Terdapat sistem nilai dan kepercayaan di dalamnya. Mereka seolah-olah kaku dan menganggap ucapan dan peninggalan sesepuh adalah petuah yang harus diikrarkan dalam diri mereka. Masyarakat pemilik folklor secara berlahan terus menggali serta mempertahankan budaya tersebut. Dalam bab ini penulis akan memberikan gambaran sejarah perjuangan Tubagus Atief, serta akan dikupas pula bagaimana asal mula diadakannya “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” sebagai gambaran bagi pembaca. Dalam bab ini pula penulis akan memberikan gambaran umum tentang kelurahan Cilenggang tempat terjadinya folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Peneliti Mulyadi, dkk., Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY Yogyakarta: Poroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982-1983, h. 38-69. 60

A. Tentang Tubagus Atief

Raden Muhammad Atief Bin Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu anak atau keturunan kerajaan Banten dari Pangeran Tirtayasa. Raden Muhammad Atief Bin Sultan Ageng Tirtayasa kemudian lebih dikenal dengan nama Tubagus Atief atau Tubagus Wetan. Nama Tubagus Wetan ini merupakan gelar yang diberikan oleh ayahandanya setelah ia berhasil menaklukkan penjajahan Belanda dan mengislamkan masyarakat Tangerang khususnya masyarakat Cilenggang. Hal yang sama sebenarnya terjadi juga pada ayahandanya yaitu Sultan Ageng Tirtayasa, yang aslinya bernama Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya putra dari Abu Al- Ma’ali Ahmad. Pada saat diangkat menjadi raja Banten ke-5, tepatnya pada tanggal 10 Maret 1651, sultan baru ini dikenal dengan sebutan Pangeran Ratu Ing Banten, atau julukan yang diberikan oleh khalifah Mekkah adalah Sultan Abu Al-Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al- Arifin. Gelar ini belum begitu dikenal banyak kalangan. Nama yang sangat dikenal banyak orang adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Nama Sultan Ageng Tirtayasa ini adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat setempat masyarakat penduduk daerah yang bernama Tirtayasa. 2 Perjuangannya dimulai sejak Ia kecil. Tubagus Atief kecil telah diperintahkan ayahnya yakni pangeran Tirtayasa untuk pergi dari rumahnya agar ia menuntut ilmu dan kelak ia bisa berdakwah menyiarkan agama Islam. Hal ini serupa dengan keadaan sebelumnya yakni para Wali Songo. Di 2 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2003, h. 47. 61 mana para Wali Songo telah melakukan perpindahan dari tempat satu ke tempat lain yang tujuan dilakukannya hal itu adalah untuk berdakwah. 3 Terbukti kegigihannya menuntut ilmu dan kepiawaian Tubagus Atief membuat pangeran Tirtayasa merasa yakin atas Tubagus Atief. Hal ini dapat dilihat saat Tubagus Atief diutus ke Benteng Selatan Tangerang Selatan pada zaman penjajahan Belanda dulu. “Pada waktu itu sebagai panglima perang Pangeran Tirtayasa mengutus Tubagus Atief ke Benteng Selatan atau Tangerang Selatan ini. Ini karena penjajah pelarian dari Benteng itu terdengar lari ke Benteng Selatan dan menjajah rakyat, dan Tubagus Atief ini ditugaskan untuk membantu melindungi rakyat dari penjajah Belanda dan sekaligus untuk menyebarkan agama Islam yang merupakan amanat pula dari Sultan Ageng Tirtayasa. Kan dulunya disini, masyarakat Cilenggang ini khususnya didominasi oleh agama Hindu, itu kira-kira pada tahun 1667. Adapun yang pertama masuk Islam adalah justru dari kelompok Hindu. Mereka memang menentang keras awalnya, mereka menunjukkan kekuatan-kekuatannya, namun Tubagus Atief pun tak tinggal diam, melalui adu ilmu akhirnya mereka dengan izin Allah mampu dikalahkan, kemudian mereka masuk agama Islam dan menjadi pengikutnya .” 4 Tidak heran rasanya jika Tubagus Atief kelak menjadi panglima perang kalau melihat dari perjuangan-perjuangan ayahandanya yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah seorang yang sangat berjasa bagi Banten. Seperti disebutkan oleh Nina H. Lubis bahwa sejak pemerintahan pertama sampai saat-saat terakhir, pangeran Tirtayasa sangat besar jasa-jasanya terhadap Banten. Pada saat pemerintahannya Banten berhasil menarik perdagangan bangsa Eropa, negara-negara tersebut seperti Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis. Pangeran Tirtayasa mampu memainkan perdagangan yang lugas dan mampu bersaing dengan VOC yang menggunakan sistem monopoli perdagangan. Pada saat itu VOC dan Banten sangat bersaing dan Pangeran Tirtayasa berhasil mamainkannya. 5 3 Prof. Dr. KH. Agil Siradj, MA, “Kata Pengantar; Meneladani Strategi Kebudayaan Para Wali,” dalam Agus Sunyoto, Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan Jakarta: Transpustaka, 2011, h. xi. 4 Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. 5 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2003, h. 47.