Teknik Pelaksanaan Metode Lovaas Applied Behavior Analysis ABA
Untuk mendapatkan keberhasilan terapi maka perlu diperhatikan kemampuan awal anak. Dalam hal ini perlu diperhatikan terkait kepatuhan dan
kontak mata pada anak. Kepatuhan dan kontak mata merupakan pintu masuk dalam metode ABA. Kepatuhan akan terbentuk ketika anak diperlakukan dengan motivasi,
imbalan, dan kasih sayang yang hangat. Sekaligus hal ini membuat anak senang berada di dekat terapis dan mudah membuat kontak mata yang konsisten.
Apabila kepatuhan tidak terbentuk secara spontan maka kepatuhan dapat diajarkan melalui Discret Trial Training. Sedangkan untuk melatihkan kontak mata
menurut Handojo 2009: 7 dapat “dilatihkan dengan cara memberikan instruksi “Lihat”.” Setelah anak duduk patuh di kursinya, nantikan kontak mata dari anak.
Bila mata anak tertuju pada mata terapis walaupun hanya sebentar berikan imbalan. Bila tidak berhasil dalam menginstruksikan “Lihat” sambil melakukan
prompt yaitu memegang kepala anak dengan kedua belah tangan. Tempelkan kedua telapak tangan di pipi kanan dan pipi kiri agak arah ke telinga. Arahkan pandangan
anak ke mata terapis. Bila berhasil segera berikan imbalan. Bila cara ini tidak berhasil lakukan dengan cara memberi umpan makanan atau benda yang dia sukai
dengan cara mengarahkan makanan atau benda tersebut 5 cm di depan mata terapis kemudian instruksikan “Lihat” lakukan minimal tiga kali dan bila berhasil berikan
imbalan segera. Tahap berikutnya berikan instruksi “Lihat” tanpa menggerakkan tangan dan bila berhasil berikan imbalan. Untuk memperlama kontak mata maka
tunda terlebih dahulu pemberian imbalan sampai pada detik ke 5. Kontak mata
sampai 5 detik ini sudah cukup baik. Ulangilah perintah kepatuhan “Duduk” dan “Lihat” setiap mengerjakan materi yang lain, agar kedua kemampuan yang menjadi
kunci utama ini cepat dikuasai oleh anak. Handojo 2009: 10 menyebutkan pula teknik lain dalam penggunaan
metode ABA setelah melaksanakan persiapan untuk anak dan DTT, yaitu; a instruksi, b Discret Trial Training DTT, c Discrimination Training atau
Discriminating, d Matching atau mencocokkan, e Fading, f Shaping, g Chaining. Adapun penjabaran dari masing-masing teknik ABA di atas adalah:
a. Pemberian Instruksi
Pemberian instruksi pada pembelajaran untuk anak autis menurut Soedarmono 2001:1 dilaksanakan secara spesifik yang jelas, singkat, dan
konsisten. Pemberian instruksi yang konsisten yaitu antara instruksi satu dengan instruksi berikutnya diberikan secara ajeg. Hal serupa dikemukakan oleh Prasetyono
2008:156 dalam pemberian perintah diberikan secara singkat, jelas, konsisten, dan diberikan hanya sekali tidak berulang-ulang.
Perintah singkat, berupa satu kata misal “lihat”, “tunjuk”. Perintah konsisten, berarti tidak berubah-ubah dan harus sama antara hal yang digunakan di
sekolah dan di rumah. Pemberian perintah secara konsisten ini bertujuan untuk mempermudah anak dalam mengikuti instruksi.
b. Discret Trial Training DTT
Discret Trial Training merupakan salah satu teknik utama dari ABA, sehingga ABA kadang juga disebut dengan DTT. DTT adalah latihan uji coba yang
jelas nyata. DTT terdiri dari siklus yang dimulai dari instruksi, prompt, dan diakhiri dengan imbalan.
Setiap materi yang diajarkan, dimulai dengan pemberian instruksi oleh terapis, kemudian ditunggu 5 detik. Bila tidak ada respon dari anak dilanjutkan
dengan instruksi ke-2, lalu tunggu lagi 5 detik. Bila tetap belum ada respon dari anak, maka dilanjutkan dengan instruksi ke-3. Secara skematis menurut Handojo
2009:98 DTT dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel. I: Skema Discret Trial Training DTT
Siklus Penuh Siklus Tidak Penuh
Siklus Pendek
Instruksi ke-1 tunggu 5 detik bila respon anak
tidak ada, lanjutkan dengan Instruksi ke-2 tunggu 5
detik bila respon anak masih belum ada, lanjutkan
dengan Instruksi ke -3 langsung
prompt dan segera berikan imbalan
Instruksi ke-2 tunggu 5 detik bila respon
anak tidak ada, lanjutkan dengan
Instruksi ke -3 anak bisa melakukan tanpa
prompt segera berikan imbalan
Instruksi ke- 3 anak bisa melakukan tanpa
prompt segera berikan imbalan
Catatan: hasil terapi di atas adalah P
Hasil dari terapi di atas tetap dicatat P
Hasil dari terapi ini dicatat A
Pencatatan hasil dari siklus ini adalah yang pertama dicatat dengan hasil P, karena masih memerlukan prompt. Hasil dari siklus ke-2 dicatat juga sebagai P
karena masih ada prompt. Hanya siklus ke- 3 yang diberi nilai A, yang berarti anak
mampu melakukan apa yang diinstruksikan secara mandiri. Apabila dapat dicapai siklus ke- 3 secara berturut-turut sebanyak 3 kali,
tanpa diselingi siklus pertama dan kedua, maka tercapailah keadaan mastered. Jika anak tiga kali berturut-turut mendapat nilai A, maka materi yang diberikan dapat
dihentikan, dan program terapi tersebut dapat dimasukkan ke dalam program maintenance.
c. Discrimination Training atau Discriminating
Discrimination Training merupakan teknik yang digunakan untuk melabel atau mengidentifikasi untuk mengenal huruf-huruf, warna , bentuk, atau orang.
Untuk meyakinkan bahwa anak benar-benar mengenali hal yang diajarkan secara konsisten, diperlukan adanya pembanding. Apabila kita yakin anak dapat
mengidentifikasi hal tersebut tanpa ragu, maka kita yakin bahwa anak telah benar- benar mengenalnya.
Handojo 2009: 11 menjelaskan bahwa ada empat langkah dalam melakukan pengenalan pada teknik Discrimination Training yaitu:
Langkah ke- 1 letakkan objek dititik tengah meja dan instruksikan “pegang….nama objek”
Langkah ke -2 acaklah penempatan objek ke segala arah dan berikan instruksi yang sama
Langkah ke- 3 sertai dengan objek pembanding dan letakkan di tengah meja
Langkah ke -4 acaklah kedua objek kesegala arah
Pelaksanaan Discrimination Training dilaksanakan dari hal yang sederhana terlebih dahulu sama halnya dengan memecah ketrampilan menjadi item-item yang
paling kecil. Dalam penerapan Discriminatin Training atau yang biasa disebut dengan DT ini subjek diajarkan dengan satu benda objek terlebih dahulu, setelah
subjek menguasai baru berlanjut kepada pemberian objek berikutnya sebagai pembanding.
d. Matching atau mencocokkan
Matching merupakan teknik menyamakan mencocokkan obyek yang satu dengan yang lain, yang dapat dipakai sebagai pemantap identifikasi maupun
sebagai permulaan latihan identifikasi. Matching juga dilakukan beberapa tahap menurut handojo 2009: 11 yaitu:
Tahap ke- 1 letakkan satu objek di atas meja dan berikan satu objek yang sama kepada anak
Tahap ke- 2 letakkan beberapa objek berbeda di atas meja dan berikan objek kembarannya satu persatu kepada anak, berikan instruksi yang sama.
Tahap ke- 3 letakkan beberapa objek di atas meja dan berikan sejumlah objek kembarannya kepada anak untuk disamakan. Biarkan dia memilih
sendiri jenis objek yang akan disamakan. Apabila terjadi kesalahan jangan
langsung diperbaiki, tapi berikan kesempatan kepada anak untuk menyadari sendiri kesalahannya.
Tahap ke- 4 letakkan beberapa objek di atas meja dan berikan sejumlah objek kembarannya kepada anak untuk disamakan. Gunakan timer untuk
mengukur kecepatan anak dalam menyamakan dan catat berapa kali anak melakukan kesalahan.
Tahapan dalam matching tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Discriminatin Training, yaitu anak diajarkan dari satu objek kemudian bertahap
dengan adanya objek pembanding. Objek pertama diletakkan di atas meja dengan anak diberi objek yang sama untuk disamakan dengan objek yang ada di atas meja.
Selanjutnya jika anak sudah bisa beri bebrapa objek di atas meja dan beri anak kembaran objek untuk disamakan dengan cara diberi satu persatu objek
kembarannya. Jika dengan diberi satu persatu objek kembaran anak bisa melakukan matching dengan benar, maka objek kembaran bisa diberikan semua secara
langsung kepada anak dan selanjutnya guru terapis hanya mengawasi. Untuk menilai apakah anak benar-benar paham dengan objek yang diajarkan, maka
penilaian bisa dilakukan dengan timer. e.
Fading Fading adalah mengurangi bantuan dalam mengarahkan anak keperilaku
target dengan prompt penuh dan makin lama prompt makin dikurangi secara bertahap sampai akhirnya anak mampu melakukan tanpa prompt.
f. Shaping
Johny L. Matson 2009: 25 menjelaskan bahwa “Shaping is the process of
differentially reinforcing successive approximations toward a desired response.” Jadi dapat diketahui bahawa shaping merupakan proses pengajaran suatu perilaku
melalui tahap-tahap pembentukan perilaku yang makin mendekati respon yang dituju atau diinginkan.
g. Chaining
Chaining merupakan proses merangkaikan perintah dalam pengajaran satu perilaku yang kompleks, yang dipecah menjadi aktifitas-aktifitas kecil yang disusun
menjadi suatu rangkaian atau untaian secara berurutan. Contoh dalam mengajarkan memasang kaos kaki yaitu dengan mengajarkan beberapa tahap yaitu langkah
pertama ajarkan anak mengambil kaos kaki dengan DTT sampai bisa, kemudian ajarkan membuka kaos kaki dengan menggulungnya, setelah anak bisa melakukan
lanjutkan ke tahap berikutnya yaitu memasukkan kaos kaki ke ujung jari-jari kaki, lalu ajarkan anak menarik kaos kaki ke arah tumit, dan yang terakhir merapikan
kaos kaki. Dari beberapa pendapat di atas maka dapat diketahui bahwa penggunaan
metode Lovaas adalah adanya konsistensi dalam hal perintah sehingga anak dapat merespon dengan baik. Dalam penanganan diperlukan tim terapi yang berfungsi
membuat perencanaan program untuk diterapkan kepada anak. Ruangan khusus yang disiapkan untuk memberikan terapi pada anak yaitu ruangan yang membuat
anak nyaman dan terbebas dari distraksi dari luar yang dapat mempengaruhi
perhatian dan konsentrasi anak. Dalam pengajaran metode Lovaas dilaksanakan berdasarkan operant conditioning.
Proses perilaku dimulai dengan mengutamakan kepatuhan yaitu dengan diajarkan kontak mata terlebih dahulu. Kemudian instruksi dilakukan dengan jelas
dan terstruktur. Dalam memberikan instruksi diberlakukan siklus- siklus yang dimulai dari instruksi dan diakhiri dengan tenggang waktu 3-5 detik untuk memulai
instruksi berikutnya. Pelaksanaan metode Lovaas perlu memperhatikan kemampuan awal yang dimiliki anak. Pembelajaran tatalaksana perilaku yang diberikan kepada
anakpun harus memperhatikan prinsip bahwa perilaku mengandung konsekuensi dan proses perilaku tidak melalui uji coba-salah tetapi harus dirancang sehingga
terarah dengan baik, serta perlu adanya pemberian imbalan sebagai penguat perilaku anak.