Pengertian Tatalaksana Perilaku Anak Autis

oleh karena itu perlu adanya penatalaksanaan perilaku agar perilaku yang dimunculkan dapat terbentuk sebagaimana mestinya. Tatalaksana perilaku merupakan suatu teknik pengubahan tingkah laku pada individu berdasarkan prinsip-prinsip belajar, yang bertujuan meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan.

C. Tinjauan Tentang Metode Lovaas Applied Behavior Analysis ABA

1. Pengertian Metode Lovaas Applied Behavior Analysis ABA

Metode Lovaas atau sering disebut dengan metode Applied Behavior Analysis ABA ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu akan tetapi tidak ada yang mengklaim sebagai penemunya. Handojo 2009: 3 menjelaskan bahwa sekitar 15 tahun yang lalu, seorang pakar terapi perilaku yang bernama Ivar O. Lovaas dari UCLA USA, menerapkan metode ABA pada anak autis, dan hasil yang didapat sangat menakjubkan. Autis yang terjadi pada masa kanak-kanak autis infantil yang semula sangat mustahil disembuhkan, ternyata berhasil ditangani dengan metode ini, sehingga anak mampu memasuki sekolah formal. Anak autis yang sudah terbentuk melalui penanganan dengan metode Lovaas, mereka sulit dibedakan dari anak-anak yang bukan penyandang autis. Prof. Lovaas kemudian mempublikasikan hasilnya, sehingga metode ini lebih dikenal dengan metode Lovaas. Metode Lovaas juga sangat bermanfaat untuk menangani anak-anak dengan kelainan perilaku lainnya seperti asperger, ADHD, dan bahkan anak normal sekalipun. Metode Lovaas atau Applied Behavior Analysis ABA adalah metode tatalaksana perilaku yang didasarkan pada teori “Operant Conditioning” yang dipelopori oleh Burrhus Frederic Skinner 1904 seorang behavioralis dari Amerika Serikat. Dasar teori Skinner sendiri adalah pengendalian perilaku melalui manipulasi dan hukuman. Perilaku yang dibentuk melalui operant conditioning sangat bergantung pada kualitas penguat yang dimunculkan atau yang diberikan, manakala perilaku yang diharapkan telah muncul, atau sebaliknya. Operant conditioning merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh dikalangan para ahli psikologi belajar masa kini. Sri Rumini, Edi Purwanta, 2012: 21 mengemukakan tiga prinsip umum dalam operant conditioning menurut Skinner yaitu: a. Setiap respon yang diikuti stimulus yang memperkuat atau reward konsekuensi yang menyenangkan akan cenderung diulang. b.Reinforcing stimulus stimulus yang bekerja memperkuat atau reward akan meningkatkan kecepatan terjadinya respon operan. Dengan kata lain reward akan meningkatkan diulanginya suatu respon. c. Dalam Operant Conditioning organisme berbuat aktif untuk memperoleh reward. Menurut Sugihartono 2007: 97 operant conditioning merupakan “suatu proses penguatan perilaku operan penguatan positif atau negatif yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.” Skinner melakukan eksperimen dengan menggunakan seekor tikus untuk menguji teori operant conditioning ini. Seekor tikus yang telah dilaparkan yang kemudian dimasukkan ke dalam kotak yang disebut dengan “Skinner Box”. Box ini dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Tempat makanan dan minuman diatur, bila tombol tertekan makanan dapat jatuh dari tempat makan. Tikus lapar dimasukkan ke dalam box, dan dia akan melakukan gerakan- gerakan. Diamati dalam waktu tertentu berapa kali tikus akan menyentuh tombol. Hal ini digunakan sebagai dasar atau patokan sebagai garis dasar base line atau level operant. Pada saat itu belum jatuh makanan. Setelah diperoleh base line atau level operant, eksperimen dimulai. Pada saat tikus jauh dari tempat makanan , alat difungsikan. Dalam percobaan ini adapun prosedur yang harus dilakukan yaitu ketika tikus sudah dilaparkan tikus dimasukkan ke dalam box. Pada waktu tikus jauh dari tempat makanan ada bunyi oleh eksperimenter lalu muncul makanan. Kemudian ketika ada bunyi oleh eksperimenter, tidak diberi makanan. Pada saat inilah terjadi perilaku operant, tikus akan membuat gerakan kesana kemari dengan lebih meningkat, setelah ada bunyi dari tombol yang disentuh oleh tikus sendiri, maka muncul makanan. Setiap tikus menyentuh tombol muncul makanan dan semakin lama jarak tikus menyentuh tombol semakin singkat. Dari prosedur eksperimen yang dilakukan di atas, tampak adanya dua fase, yaitu fase latihan dan fase shaping pembentukan. Fase latihan dalam percobaan ini meliputi; melaparkan tikus kemudian melatih tikus oleh eksperimenter dan membuat situasi agar tikus bekerja sendiri, disinilah dimungkinkan terjadi operant. Sedangkan dalam fase shaping yang bertujuan untuk membentuk tingkah laku supaya tikus menekan tombol untuk memperoleh makanan. Kegiatan ini disebut “program linier dari skinner”. Metode shaping ini banyak digunakan dalam dunia pendidikan. Tingkah laku dibagi-bagi untuk mencapai tujuan, misal membina perilaku anak tunagrahita sedang dalam menggunakan sendok untuk makan. Reese, Edi Purwanta, 2005: 28 menyebutkan bahwa penggunaan operant conditioning untuk mengubah perilaku paling tidak ada enam prosedur dasar yang d ianggap essensial. Keenam prosedur tersebut adalah; “1 mendefinisikan secara operasional tingkah laku yang akan diubah, 2 menentukan base line,3 menata proses perubahan, 4 mengidentifikasi penguat yang potensial, 5 membentuk atau menguatkan tingk ah laku yang diinginkan, 6 memelihara penguatan perilaku.” Keenam prosedur operant conditioning lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut: 1. Mendefinisikan secara operasional tingkah laku yang akan diubah. Tingkah laku yang akan diubah dalam operant conditioning harus spesifik sehingga dapat diamati dan dapat diukur perubahannya 2. Menentukan base line Base line atau biasa disebut dengan tingkat awal perilaku operant yang akan ditingkatkan atau diubah. Sebelum perilaku spesifik yang akan ditingkatkan atau diubah didukung atau dipertahankan. Dalam tahap base line ini perlu dicatat frekuensi dan besarannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada perubahan yang terjadi . 3. Menata proses perubahan Menata proses perubahan dilakukan setelah penentuan base line. Penataan proses perubahan atau situasi perlakuan perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga perilaku yang diharapkan dapat muncul. 4. Mengidentifikasi penguat yang potensial Sebelum menentukan penguat yang akan diberikan kepada anak, maka perlu dilakukan identifikasi dan dipilih penguat-penguat yang sesuai dan disukai anak untuk mendukung stimulus atau perilaku yang dimunculkan oleh operan. 5. Membentuk atau menguatkan tingkah laku yang diinginkan Penguatan dalam tingkah laku yang dimunculkan anak yang sesuai dengan yang diharapkan harus segera diberikan. Penguatan ini bertujuan agar anak dapat