Prinsip-Prinsip Metode Lovaas Applied Behavior Analysis ABA

Berdasarkan prinsip awal dalam metode Lovaas yaitu terarah, terukur, dan terstruktur, maka pelaksanaan metode Lovaas memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Menurut Prasetyono 2008: 156 tahapan dalam penerapan metode Lovaas adalah; “1 Perintah, 2 Respon, 3 Peragaan sebagai bantuan, 4 mengurangi peragaan, 5 menggunakan imbalan.” Tahapan dalam penerapan metode Lovaas dapat dikaji lebih lanjut sebagai berikut: 1 Perintah Perintah diberikan secara singkat, jelas, konsisten, diberikan hanya sekali, tidak diulang-ulang. Perintah singkat, berupa satu kata missal lihat, masukkan, ikuti, buka dan tunjuk. Perintah konsisten, tidak berubah-ubah dan harus sama antara yang digunakan di sekolah dan di rumah pada tahap awal. Hal ini bertujuan agar anak mudah menangkap dan tidak menangkap makna yang berbeda, dari perintah tadi. 2 Respon Anak akan merespon perintah dengan benar, setengah benar, salah, atau tidak ada respon sama sekali. Tunggu beberapa saat bila respon betul atau setengah betul pada perintah pertama atau kedua, beri imbalan. 3 Peragaan sebagai bantuan Anak-anak autis mengalami kesulitan dalam menerima perintah secara penuh, oleh karena itu perlu bantuan dalam melakukan ketrampilan atau perilaku yang diinginkan. 4 Mengurangi peragaan Penggunaan peraga sebagai salah satu bantuan merupakan salah satu cara untuk merespon yang benar. Namun cara ini biasanya akan menjadi ketergantungan anak. Oleh karena itu perlu adanya pengurangan peragaan agar siswa mampu melakukan perintah secara mandiri tidak tergantung pada peragaan. 5 Menggunakan imbalan Imbalan digunakan sebagai hadiah bagi siswa yang merespon positif atau benar dari perintah guru. Biasanya imbalan itu berupa aktivitas positif seperti pemberian makanan yang disukai siswa, pelukan, dan pujian. Imbalan ini berfungsi sebagai perangsang siswa dalam melakukan perilaku yang benar. Pendapat lain dikemukakan oleh Handojo 2009: 5 yang menyebutkan bahwa ada beberapa teknik dalam persiapan sebelum melaksanakan pembelajaran terapi dengan metode ABA Lovaas, yaitu dalam terapi harus memperhatikan ruangan terapi dan persiapan anak. Penggunaan ruang terapi dan persiapan anak dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Ruangan terapi Ruangan yang digunakan dalam terapi harus ruangan khusus bebas distraksi one- on-one. Ruangan yang digunakan tidaklah terlalu luas berkisar 1,5 x 1,5 m² sampai dengan 2 x 2 m². karena jika terlalu luas maka anak akan lebih leluasa untuk bergerak dan susah untuk dikontrol. Ruangan ini memerlukan 3 kursi untuk 2 terapis dan 1 kursi untuk duduk anak berhadapan, membutuhkan meja belajar, rak untuk alat atau bahan perlengkapan, lemari penyimpanan alat bahan yang tidak terjangkau anak, alat peraga, jadwal anak, jadwal terapis, lembar rencana pelajaran, lembar penilaian, alat-alat tulis, dan reward. Ruangan terapi sebaiknya dibuat kedap suara, sehingga suara dari luar tidak mendistraksi anak. Sebaliknya suara terapis tidak mengganggu suasana di luar ruangan terapi. Di dalam ruangan juga harus memiliki penerangan yang cukup, ventilasi dan suhu ruangan yang nyaman, dan sebaiknya menghindari hiasan dinding yang mencolok. Idealnya dalam ruangan juga terdapat alat bantu pengamat seperti adanya kamera yang dihubungkan dengan monitor ke luar ruangan, sehingga orang yang berada di luar ruangan dapat melihat bagaimana proses penanganan terhadap anak dan respon atau perilaku-perilaku yang dimunculkan anak, serta alat pengamat ini dapat digunakan sebagai perekam kejadian yang nantinya dapat digunakan terapis dalam mengamati ulang bagaimana perilaku anak dan dapat digunakan sebagai bahan pelengkap evaluasi. b. Persiapan anak Untuk mendapatkan keberhasilan terapi maka perlu diperhatikan kemampuan awal anak. Dalam hal ini perlu diperhatikan terkait kepatuhan dan kontak mata pada anak. Kepatuhan dan kontak mata merupakan pintu masuk dalam metode ABA. Kepatuhan akan terbentuk ketika anak diperlakukan dengan motivasi, imbalan, dan kasih sayang yang hangat. Sekaligus hal ini membuat anak senang berada di dekat terapis dan mudah membuat kontak mata yang konsisten. Apabila kepatuhan tidak terbentuk secara spontan maka kepatuhan dapat diajarkan melalui Discret Trial Training. Sedangkan untuk melatihkan kontak mata menurut Handojo 2009: 7 dapat “dilatihkan dengan cara memberikan instruksi “Lihat”.” Setelah anak duduk patuh di kursinya, nantikan kontak mata dari anak. Bila mata anak tertuju pada mata terapis walaupun hanya sebentar berikan imbalan. Bila tidak berhasil dalam menginstruksikan “Lihat” sambil melakukan prompt yaitu memegang kepala anak dengan kedua belah tangan. Tempelkan kedua telapak tangan di pipi kanan dan pipi kiri agak arah ke telinga. Arahkan pandangan anak ke mata terapis. Bila berhasil segera berikan imbalan. Bila cara ini tidak berhasil lakukan dengan cara memberi umpan makanan atau benda yang dia sukai dengan cara mengarahkan makanan atau benda tersebut 5 cm di depan mata terapis kemudian instruksikan “Lihat” lakukan minimal tiga kali dan bila berhasil berikan imbalan segera. Tahap berikutnya berikan instruksi “Lihat” tanpa menggerakkan tangan dan bila berhasil berikan imbalan. Untuk memperlama kontak mata maka tunda terlebih dahulu pemberian imbalan sampai pada detik ke 5. Kontak mata