Selain hal di atas, proses pencernaan pati dipengaruhi juga oleh interaksi antara pati dengan komponen pangan lainnya seperti lipid, protein dan pati itu
sendiri dapat mempengruhi daya cerna pati. Tharanthan dan Mahadevarma 2003. Komponen pangan yang dapat menurunkan daya cerna pati adalah serat
pangan. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan yaitu terhalangnya granula pati oleh serat sehingga sulit dicerna oleh
enzim-enzim amilolitik manusia. Serat juga dapat memperlambat lewatnya makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga
proses pencernaan menjadi lambat Rimbawan dan Siagian 2004.
4.7 Isothermi Sorpsi Air
Sifat higroskopis sebelum maupun sesudah diolah dimiliki secara alami oleh setiap komoditas pertanian. Sifat higroskopis adalah kemampuan menyerap
air dari udara sekelilingnya dan juga melepaskan sebagian air yang terkandung ke udara. Sifat ini digambarkan dengan kurva isothermik yaitu suatu kurva yang
menggambarkan hubungan antara kadar air bahan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan atau aktivitas air a
w
pada suhu tertentu.
4.7.1 Kadar Air Kestimbangan dan Kurva Isothermik Sorpsi Air
Untuk membuat kurva sorpsi isothermik maka dilakukan penyimpanan ke dalam beberapa desikator dengan kelembaban relatif yang berbeda dengan kisaran
7-91 Tabel 20 hingga mencapai kadar air kesetimbangan untuk semua larutan garam jenuh sekitar 14 hari. Air merupakan komponen yang paling
dominan didalam bahan pangan, selain itu air akan mempengaruhi variabel- variabel dalam proses pengolahan, karakteristik produk dan stabilitas produk.
Selama penyimpanan dalam berbagai kondisi RH akan terjadi interaksi antara produk dengan lingkungannya. Uap air akan berpindah dari lingkungan ke
produk atau sebaliknya sampai tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan uap air ini terjadi karena perbedaan RH lingkungan dengan produk, dimana uap air
akan berpindah dari RH tinggi ke RH rendah. Tercapainya kondisi kesetimbangan antara sampel dan lingkungan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-
turut tidak lebih dari 5 mgg sampel yang disimpan pada RH di bawah 90 dan tidak lebih dari 10 mgg sampel yang disimpan pada RH di atas 90 Lionoven
dan Ross di dalam Adawiyah 2006. Selama proses penyeimbangan pada a
w
0.84 ditumbuhi oleh jamur dengan pertumbuhan dari ringan hingga berat yang mulai terlihat pada hari ke-7
pengamatan. Pada saat pertumbuhan jamur maka berat sampel menjadi naik, hal ini disebabkan karena pada saat terjadi pertumbuhan jamur maka penambahan air
dari mikroorgansime yang tumbuh sehingga berada di atas RH lingkungan dan menyebabkan desorpsi.
Tabel 20 Kadar air kesetimbangan BTJS dan BTJNS pada berbagai a
w
penyimpanan
Garam a
w
Ka bk BTJS Ka bk BTJNS
NaOH 0.06 2.07
2.15 CH
3
COOK 0.22 3.76
3.84 MgCl
2
.6H
2
O 0.32 4.86
5.00 K
2
CO
3
0.43 6.06 6.12
KI 0.69 9.35
9.58 NaCl
0.75 10.20 11.20
KCl 0.84 21.53
21.66 BaCl
2
.2H
2
O 0.86 24.01
24.27 K
2
CrO
4
0.90 26.80 28.21
NH
4
H
2
PO
4
0.91 30.04 30.82
K
2
SO
4
0.97 38.22 44.23
Keterangan : pertumbuhan jamur ringan pertumbuhan jamur berat
BTJS=biskuit tepung jagung sangrai BTJNS=biskuit tepung jagung non sangrai
Kurva isothermik biskuit tepung jagung sangrai dan non sangrai diperoleh dengan cara memplotkan kadar air keseimbangan dari percobaan masing-
masing dengan aw atau RH lingkungannya. Kedua kurva Gambar 24 memiliki pola yang hampir sama dimana pada a
w
dibawah 0.84 terjadi proses penyerapan air yang rendah, akan tetapi diatas a
w
0.84 terjadi penyerapan air yang tinggi. Menurut Bell dan Labuza 2000 dalam Adawiyah 2006, bentuk kurva tersebut
termasuk dalam kurva isothermis sorpsi tipe III yang mewakili sifat isothermi sorpsi air untuk bahan yang berbentuk kristal seperti gula sukrosa. Produk biskuit
yang dihasilkan menggunakan gula sebesar 50 per 100 g tepung artinya
kandungan gula produk cukup tinggi sehingga membentuk pola kurva sorpsi tipe III.
Hal ini terjadi karena pengikatan air melalui jembatan hidrogen hanya terjadi pada gugus hidroksil bebas yang terdapat di permukaan kristal saja. Pada
aw rendah, interaksi air dengan molekul gula tidak cukup kuat untuk memutuskan gaya interaktif antar individu molekul gula di dalam kristal. Akan tetapi ketika a
w
meningkat, interaksi air-gula secara keseluruhan meningkat dan cukup kuat untuk menyebabkan gangguan terhadap inetraksi gula-gula dan air mulai berpenetrasi ke
dalam kristal, melarutkan gula dan membentuk permukaan baru Adawiyah 2006. Kurva yang dihasilkan menyerupai kurva sorpsi isothermik gula sukrosa
Adawiya 2006. Nilai pelarutan sukrosa pada penelitian ini terjadi pada a
w
0.84. Hasil ini sama dengan yang diperoleh Adawiyah 2006, hasil yang sama
diperoleh Yustikawati 1997 di dalam Adawiyah 2007. Menurut Kou et al 1999; Mathlouthi dan Roge 2003 di dalam Adawiyah 2006 bahwa nilai 0.86
sebagai batas a
w
pelarutan sukrosa. Titik saturasi sukrosa pada suhu ruang adalah ketika kelembaban lingkungan 85 0.85 Chinacoti 1993 di dalam Adawiyah
2006. Bell dan Labuza 2000 di dalam Adawiyah 2006 mengungkapkan bahwa air mulai melarutkan gula pada a
w
0.7 -.0.8. Bentuk kurva sorpsi isothermik beragam tergantung sifat alami bahan pangan, suhu, kecepatan adsorpsi dan
tingkatan air yang dipindahkan selama adsorpsi atau desorpsi Fennema 1985. Dari kurva ISA yang ada dapat ditentukan ketiga daerah frakasi air terikat.
Gambar 24 Kurva sorpsi isothermik BTJS BTJNS
10 20
30 40
50
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
aw K
a d
a r a
ir b
k
BTJS BTJNS
4.7.2 Analisa Fraksi Terikat