mekanis terikat dalam jaringan matrik bahan. Sifat-sifatnya mendekati sifat air bebas.
Air terikat dapat ditentukan dengan mengukur air yang tidak dapat membeku pada suhu pembekuan. Air terikat mempunyai sifat-sifat yang berbeda
dari air ebas, yaitu titik beku dan tekanan uap yang lebih rendah, serta titik didih dan densitas yang lebih besar Kuprianof 1958. Penentuan analisis air terikat
dapat menggunakan beberapa model matematika dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing pada tiap model matematika tersebut. Model-model
tersebut antara lain :
a. Model BET
Persamaan ini dikemukakan oleh Brunauer, Emmet dan Teller 1938 yang merupakan model yang tepat diterapkan pada bahan pangan yang mempunyai
kisaran a
w
tertentu yaitu 0.05-0.45 Chirif dan Idlesias di dalam Rizvi 1995. Model ini dapat digunakan untuk menduga nilai lapisan air monolayer yang di
absorpsi pada permukaan. Kandungan air pada lapisan monolayer ini sangat penting dalam menentukan stabilitas fisik dan kimia bahan yang dikeringkan.
Secara umum model BET adalah : =
− M
aw aw
1 aw
MoC C
MoC ⎟
⎠ ⎞
⎜ ⎝
⎛ − +
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛
1 1
dimana : Mo = nilai monolayer
M = kadar air g airg bahan kering pada aktivitas air aw C = konstanta
Hal-hal yang mendasari teori persamaan BET yang dikemukakan oleh Rizvi adalah kondensasi pada lapisan pertama sebanding dengan laju penguapan
dari lapisan kedua, energi ikatan seluruh molekul penyerap adsorban pada lapisan pertama sama, energi ikatan pada lapisan lain sebanding dengan energi
ikatan adsorban murni.
b. Model Logaritma
Model ini dikemukakan oleh Soekarto 1978 yang merupakan model untuk menentukan air terikat sekunder. Model ini merupakan analogi dari
perambatan panas di dalam kaleng. Kurva sorpsi isothermik yang biasanya diplot sebagai kadar air m terhadap aktivitas air a
w
ditukar plotnya menjadi 1-a
w
terhadap m sehingga bentuk kurvanya serupa dengan kurva perambatan panas di dalam kaleng sebagai plot suhu T terhadap waktu pemanasan t.
Model matematika empiriknya sebagai berikut : Log 1- a
w
= b m + a dimana :
m = kadar air g air g bahan kering b = faktor kemiringan
a = titik potong pada ordinat
Melalui penerapan model ini akan menghasilkan garis lurus yang patah menjadi dua. Ini diartikan sebagai garis pertama mewakili air terikat sekunder dan
garis lurus kedua mewakili air terikat tersier. Titik potong kedua garis dianggap sebagai kapasitas air terikat sekunder.
c. Model Guggenhein – Anderson-de Boer
Model ini diturunkan oleh Guggenhein 1966, Anderson 1946 dan de Boer 1953 dimana model ini dapat menguraikan isothermi sorpsi hingga 0.94.
bentuk persamaan GAB secara umum sebagai berikut : aw
K C
aw K
aw K
aw C
Mo M
× ×
+ ×
− ×
− ×
× =
1 1
dimana :
Mo = kadar air monolayer C = c exp HI – HoRT
C = kalor jenis K = k ezp HI – HoRT
HI = panas kondensasi uap air murni Hn = panas sorpsi multilayer
Ho = panas sorpsi monolayer R = konstanta gas
T = suhu
o
C
Beberapa kelebihan dari model ini adalah memiliki latar belakang teoritis, dapat mendeskripsikan sifat sorpsi isothermis pada hampir semua bahan pangan
pada kisaran aw 0.1aw0.9, mempunyai bentuk persamaan matematik yang sederhana dengan tiga parameter, parameter yang dimiliki mempunyai makna
fisik proses sorpsi yaitu dapat menentukan nilai konstanta C dan K yang berhubungan dengan energi interkasi antara bahan dan air, serta nilai Mo yang
menunjukkan kadar air saat terjadi satu lapis molekul air dan mampu
menggambarkan pengaruh suhu terhadap sorpsi isothermik dengan menggunakan persamaan Arhenius Rizvi 1995. Model GAB ini dipakai untuk menentukan
kapasitas air terikat tersier.
2.7 Umur Simpan dan Metode Analisisnya