34 Terakhir menurut sifatnya, Badan Hukum terdiri atas Korporasi corporatie dan
yayasan stichting .
22
Ada juga pendapat lain yang dipaparkan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP tentang korporasi, yang menyatakan bahwa Korporasi atau badan hukum
adalah satu konsep tentang pribadi bayangan dalam hukum modern. Hukum pidana modern mengkonstruksikan bahwa pelaku dari tindak pidana adalah
pribadi atau individu naturalijk person, tetapi dalam perkembangannya, badan hukum rechts person atau korporasi dapat juga melakukan kejahatan yang
menimbulkan kerugian publik. Korporasi biasa didefinisikan sebagai sekelompok orang yang diperlakukan oleh hukum sebagai satu kesatuan, yaitu person yang
memiliki hak dan kewajiban terpisah dari hak dan kewajiban individu yang membentuknya.
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Berbicara tentang konsep “liability“ atau pertanggung jawaban pidana, dilihat dari segi falsafah hukum menurut pendapat seorang Filsuf besar dalam
bidang hukum pada abad ke – 20 , Roscoue Pound mengemukakan :” …I’ll use the simple word “ Liability “ for the situation where by one may exact legaly and
other is legaly subjected on the exaction“. Bahwa untuk pertanggung jawaban
pidana tidak cukup dilakukannya pebuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan , atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas
22
H.Setiyono. 2005 .Kejahatan Korporasi. PT.Bayu Media : Malang . Hal.17.
Universitas Sumatera Utara
35 hukum yang tidak tertulis : “ Tidak dipidana, jika tidak ada kesalahan “ Geen
Straf Zonder Schuld, Ohne Schuld Keine Straf .
23
Pound lebih lanjut mengatakan bahwa “ liability “ diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang
yang telah dirugikan. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian, penderitaan yang
ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan, sehingga dengan demikian konsepsi “liability” diartikan sebagai “reparation”, terjadilah perubahan arti
konsepsi “liabilty” dari “compotition for vengeance“ menjadi “reparation for injur
“ . Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman secara historis merupakan awal dari
pertanggungjawaban atau “liability”.
24
1. Strict Liability Crimes
Pertanggungjawaban Pidana atau “Criminal Liability” adalah sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata – mata, melainkan
juga menyangkut soal nilai – nilai moral atau kesusilaan umum yang dainut oleh masyarakat atau kelompok – kelompok masyarakat. Dalam Hukum Pidana Inggris
dikenal dua macam pertanggungjawaban pidana, yakni :
2. Vicarious Liability
23
Moeljatno. 2002 . Asas – Asas hukum Pidana. PT. Rineka Cipta : Bandung. Hal.153. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan Leer van Het
Materiele Feit Feit Materielle . Dahulu dijalankan atas pelanggaran Tindak Pidana sejak
adanya Arrest Susu Hari H.R.1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delik – delik jenis Overtredingen Arrest Susu H.R.14 Februari 1916.
24
Wirjono Projodikoro. 1969 . Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT.Eresco : Bandung. Hal.67.
Universitas Sumatera Utara
36 Ad 1. Strict Liability Crimes
Selain menganut asas “actus non facit neum nisi mens sit rea “ a harmful act without a blame worthy mental state is not punishable
hukum pidana juga menganut prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus
dibuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada diri si pelaku tindak pidana. Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris
hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejateraan umum.
Ad.2 Vicarious Liability Adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada
seseorang atas perbuatan orang lain . Vicarious Liability hanya berlaku terhadap : 1.
Delik – delik yang mensyarakatkan kualitas. 2.
Delik – delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.
Jika dibandingkan antara “strict liability“ dan ”vicarious liability“ tampak jelas bahwa persamaan dan perbedaannya . Persamaan yang tampak , bahwa baik “stict
liability crimes ” maupun “vicarious liability” tidak mensyaratkan adanya “mens
rea ” atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Pada pasal 36
Rancangan Undang – Undang Kitab Hukum Pidana tahun 2006 merumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang
ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Artinya bahwa tindak
pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan
Universitas Sumatera Utara
37 tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus
ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan vewijtbaarheid yang objektif terhadap perbuatan yang
dinyatalan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku dan secara subjektif kepada pemuatan tindak pidana yang memenuhi persyaratan
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat
dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana tidak hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.
25
Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana, disamping kemampuan bertanggung jawab,
kesalahan Schuld dan melawan hukum Wederechtelijk sebagai syarat untuk pengenaan pidana ialah pembahasan masyarakat untuk pembuat. Dengan
demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
26
25
Ibid . Hal.71.
26
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana . PT. Alumni : Bandung. Hal 33-34.
1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan
3. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab 4. Tidak adanya alasan pemaaf
Universitas Sumatera Utara
38 Berikut ini penjelasan mengenai syarat – syarat pertanggungjawaban diatas
.
Ad 1 . Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang
Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan yang sifat
tercela atau mana dapat bersumber pada Undang – Undang melawan hukum formil atau formelle wedwerechttelijk , karena bersumber pada masyarakat yang
sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas – asas hukum masyarakat, maka sifat tercela itu tidak tertulis. Sering kali sifat tercela dari suatu perbuatan itu
terletak pada kedua – duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa orang lain pasal 338 KUHP adalah dilarang baik dalam undang – undang walaupun dalam
masyarakat adalah wajar setiap perbuatan yang menurut undang – undang, walaupun kadang kala ada perbuatan yang tercela pula menurut Undang –
Undang, misalnya : perbuatan mengemis pasal 504 KUHP dan bergelandang pasal 505 KUHP , sebaliknya ada perbuatan yang tercela menurut masyarakata
tetapi tidak menurut Undang – Undang. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan
sebagai yang dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan menjadi tindak pidana tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu atau tidak dalam
manusia, maka dengan demikian setiap tindak pidana itu sudah mempunyai unsur melawan hukum. Artinya melawan hukum adalah unsr mutlak dari suatu tindak
pidana.
27
27
Dalam putusan Mahkamah Agung No.30KKr1969 tanggal 6 Juni 1960 dinyatakan bahwa “dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum dari perbuatan –
perbuatan yang dituduhkan, walaupun ada dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan”.
Perkataan melawan hukum dalam KUHP yang berlaku saat ini kadang – kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana dan kadang tidak. Menurut
Universitas Sumatera Utara
39 Schaffmeister, ditambahkannya kata melawan hukum sebagai salah satu unusur
dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruuang lingkup rumusan delik yang telah dibuat terlalu luas. Ia menambahkan bahwa, tanpa
ditambahkannya perkataan melawan hukum mungkin timbul bahaya, yaitu mereka yang menggunakan haknya akan termasuk kedalam ketentuan undang – undang
pidana. Sedangkan alasan tidak dicantumkannya dalam tiap – tiap pasal dalam
KUHP adalah bilamana dari rumusan Undang – Undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar perbuatan melawan hukumnya, sehinggga
tidak perlu dinyatakan secara eksplisit. Kedudukan sifat melawan hukum sangat khas di dalam hukum pidana, bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak
pidana. Roeslan Saleh mengatakan bahwa memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak ada artinya “. Sementara itu Andi A Zainal Abidin mengatakan
bahwa salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum wederrechtelijkheid
dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu pasal undang – undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana
yang melakukan perbuatan tidak melawan hukum“. Dengan demikian untuk dapat dikaitkan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya itu harus bersifat
melawan hukum.
28
28
Abidin, Zainal. 1995. Hukum Pidana I. PT.Sinar Grafika: Jakarta . Hal.12.
Rancangan KUHP juga menentukan masalah melawan hukum tindak pidana. Mulanya dalam pasal 15 ayat 2 Rancangan KUHP tahun 2000,
menentukan bahwa untuk dipidanya perbuatan yang dilarang dan diancam
Universitas Sumatera Utara
40 dengan pidana oleh peraturan perundang – undangan, perbuatan tersebut harus
juga bersifat melawan hukum.
29
Dengan demikian, kesalahan merupakan konsekuensi atas pilihan sebagai anggota masyarakat yang bebas sepanjang dalam koridor hukum. Sementara
pandangan ini justru melihat kesalahan bukan masalah “choice”, tetapi masalah “character”. Pembuat bersalah melakukan tindak pidana bukan sebagai
Ad 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Kesalahan schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran bathin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena unsur itu selalu melihat
pada diri si pelaku dan bersifat subjektif. Unsur kesalahan dan menemui keadaan bathin pelaku.Istilah kesalahan schuld dalam hukum pidana adalah
berhubungan dengan pertanggung jawaban pidana mengandung beban pertangung jawaban pidana, yang terdiri dari kesengajaan Dollus Opzet dan
kelalaian Culpa. Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak pidana, perbuatannya dan hubungan keduanya yang dari situ dapat bahwa
pembuatnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana. Menurut capasity theory, kesalahan merupakan refleksi dari choice pilihan dan
freewill kehendak pembuat rindak pidana. Kesalahan merupakan kapasitas
pembuatnya untuk mengontrol perbuatannya. Dengan kata lain, dikatakan ada kesalahan jika pembuat melakukan tindak pidana dalam kontrolnya.
Ketidakmampuan mengontrol perbuatan yang berujung pada dilakukannya tindak pidana merupakan dasar untuk mencela pembuat.
29
Rancangan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana RKUHP Tahun 2000.
Universitas Sumatera Utara
41 konsekuensi wujud dari kehendak bebasnya, tetapi lebih kepada karakter jahat
yang ada pada dirinya. Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ini ada di sebagian rumusan tindak pidana, yakni kejahatan tertentu dan dicantumkan
secara tegas, misalnya pasal 104, pasal 179, pasal 204, pasal 205, pasal 362, pasal 372, pasal 378, pasal 406 dan pasal 480 KUHP dan disebagian lagi tidak
dicantumkan, misal pasal 162, pasal 167, pasal 170, pasal 211, pasal 212, pasal 289, pasal 294 dan pasal 422 KUHP .
30
Suatu pandangan yang dikenal dengan ajaran Feit Materiel, terdapat dalam teori hukum pidana. Dalam hal ini, penentu adanya kesalahan dan
pertangggungjawaban pidana dilakukan cukup dengan meninjau apakah pembuat memenuhi seluruh rumusan tindak pidana. Dengan demikian, seseorang dapat
dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Peranan
Korporasi yang semakin pesat telah memberikan dampak yang pesat dalam kegiatan masyarakat yang harus diikuti dengan perkembangan di bidang hukum
pidana, sebab kecenderungan korporasi melakukan pelanggaran dalam mencapai tujuan korporasi. Dibidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau
badan usaha yang menyandang. Istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat dipertanggung
jawabkan.
31
30
Adami Chazawi .2002.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta . Hal 88.
Universitas Sumatera Utara
42
Ad.3. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab. Menurut Pompe, dapat dipertanggungjawabkan berarti bahwa keadaan
jiwanya dapat menetukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya. Masalah ada tidaknya pertanggungjawabkan pidana diputuskan oleh Hakim
karena hal ini merupakan pengertian yuridis bukan medis. Dapat dipertanggungjawabkan toerekenbaarheid itu berkaitan dengan kesalahan
schuld.
32
1. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya.
Dapat dipertanggungjawabkan berarti bahwa keadaan jiwanya dapat menetukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya. Istilah di dalam
Pasal 44 KUHP itu terbatas artinya, tidak meliputi melawan hukum. Van Bemellen, dapat dipertanggungjawabkan itu meliputi :
2. Mengerti tujuan nyata perbuatannya.
3. Sadar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat.
Ad.4. Tidak adanya alasan pemaaf
Alasan pemaaf Schuld duitsluitingsgronden menurut Moeljatno yaitu merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak adanya kesalahan.
33
31
Ibid. Hal.89.
32
Moeljatno. 2002 . Asas – Asas hukum Pidana. PT. Rineka Cipta : Bandung. Hal.158.
Menurut pandangan beberapa sarjanaahli hukum pidana, dasar peniadaan pidana sebenarnya dapat dibagi dalam 2 dua bagian, yakni yang tercantum dalam
undang – undang dan yang terdapat diluar undang – undang yang diperkenalkan oleh doktrinyurisprudensi. Atau dengan kata lain dapat disebut sebagai “dasar
Universitas Sumatera Utara
43 pembenar” dan “dasar pemaaf” . Van Bemellen menyatakan bahwa terdapat
perbedaan antara keduanya, alasan pembenar meniadakan unsure melawan hukum yang artinya perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana . Ini berarti bahwa jika
terjadi penyertaan, yaitu sesorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh melakukan, memancing untuk melakukan delik itu, ia tidak dapat dipidana pula.
Disini ada unsure obyektif, yaitu perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana.
34
33
Ibid. Hal.137.
34
Andi Hamzah. 1994 . Asas – Asas hukum Pidana. PT.Rineka Cipta : Bandung. Hal. 143-145.
Lain haknya dengan dasar alasan pemaaf yang meniadakan unsurekesalahan atau unsur subyektif, jika terjadi penyertaan seperti tersebut
dimuka, orang itu tetap dapat dipidana kalau yang ikut serta dapat dipertangungjawabkan. Sementara Memory van Toelichting MvT tidak
mengadakan pembagian seperti itu, sehingga yang tergolong sebagai alasan pemaaf sekaligus alasandasar pembenar ialah seperti apa yang tercantum dalam
Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 ayat 1 dan 2. 1. Pasal 44 : Perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang “kurang
sempurna akal” atau karena “sakit berubah akal”. 2. Pasal 48 : Perbuatan pidana yang dilakukan karena pengaruh sesuatu
kekuasaan. 3. Pasal 49 : Melakukan suatu tindak pidana dalam keadaan terpaksa darurat
noordweer dan noordweer exes dengan tujuan untuk mempertahankan diri diri orang lain, mempertahankan
kehormatan harta benda sendiri kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan
segera pada saat itu juga.
4. Pasal 50 : Melakukan melaksanakan suatu perbuatan untuk menjalankan peraturan undang – undang.
5.Pasal 51 1: Melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan perbuatan atas perintah jabatan yang diberikan oleh orang yang berkuasa yang berhak akan itu.
Universitas Sumatera Utara
44 6. Pasal 51 2 : Melakukan suatu perbuatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak
berhak tidak sah.
Selanjutnya, membahas tentang pertanggung jawaban atas tindak pidana korporasi, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia dikenal 3 tiga
sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu : a. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang
bertanggungjawab. b. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab.
c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.
35
Berkolerasi dengan perkembangan konsep korporasi sebagai subjek tindak pidana, dapat dikemukakan bahwa dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang
masih digunakan sampai saat ini. Indonesia menganut badan mengamini bahwa suatu Delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi badan hukum
rechtpersoon yang dipengaruhi pemikiran Von Savigny yang terkenal dengan teori Fiksi fiction theory, yang tidak diakui dalam hukum pidana. Sebab,
Dari penjelasan tersebut dapat dikualifisir bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dapat terbagi atas tiga subjek hukum, yaitu:
a. Pengurus korporasi b. Korporasi dan pengurus korporasi
c. Korporasi saja.
35
Mardjono, 1989 . Pertanggungjawaban Korporasi. Penerbit Universitas Diponegoro Press : Semarang. Hal.7.
Universitas Sumatera Utara
45 pemerintah Belanda pada waktu itu bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke
dalam hukum pidana.
36
a. Tanggung jawab mutlak Stict Liability
Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, menurut teori hukum terdapat 3 tiga jenis sistem tanggung jawab, antara lain :
b. Tanggung jawab berdasarkan Kesalahan.
c. Tanggung jawab berdasarkan Kelalaian.
F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yuridis normatif , yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan
perundang – undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini disebut juga dengan
penelitian hukum doctrinal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wigjosoebroto yang membagi penelitian hukum sebagai berikut :
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas – asas dan dasar – dasar
falsafah dogma atau doctrinal hukum positif. c.
Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.
36
Ibid. Hal.30.
Universitas Sumatera Utara