153 55,94, kedua adalah padat penebaran 28,02, dan terakhir sintasan ikan
16,04. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha pascapanen lebih menginginkan ikan yang ditampungnya segera dapat dijual sehingga mengurangi
pengeluaran untuk biaya pakan dan tenaga kerja selama penampungan. Hasil simulasi tingkat kritis faktor-faktor pascapanen menunjukkan bahwa
usaha pascapanen akan mengalami tingkat kritis apabila padat penebaran lebih rendah dari 141,67 ekor KJA, dan sintasan ikan lebih rendah dari 22,67.
Angka-angka ini dijadikan sebagai patokan bagi pengusaha pascapanen ikan kerapu macan untuk mengetahui secara dini mengenai keuntungan yang akan
diperolehnya.
9.2 Kebijakan Pengembangan Program Pendukung
Hasil analisis menggunakan AHP untuk kebijakan pendukung yang menurut para pakar perlu dikembangkan berturut-turut adalah penggunaan benih
unggul 10,9, pengembangan pakan buatan 10,7, pengembangan induk unggul 10,3, gradingseleksi ikan 9,9, penggunaan obatvitaminvaksin
8,7, pengembangan sistem informasi pasar 8,6, sertifikasi benih 8,5, penerapan Good Aquaculture Practices GAP 8,4, pengaturan padat tebar
8,1, perbaikan kualitas air 8,0 , dan perawatan KJA 7,8.
9.2.1 Penggunaan benih unggul
Berdasarkan hasil analisis menggunakan metoda AHP yang mengumpulkan pendapat pakar diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan benih
unggul merupakan unsur yang secara keseluruhan dianggap paling penting dalam memacu pengembangan industri budi daya perikanan kerapu di Indonesia.
Perhatian terhadap penyediaan benih unggul akan memberikan implikasi terhadap perlunya memperbaiki kualitas induk, memperbaiki pemberian pakan
benih, dan memberikan dampak terhadap perbaikan pada sektor budi daya maupun pascapanen. Dengan perkataan lain, kualitas benih merupakan kunci
sukses pengembangan industri perikanan kerapu. Salah satu indikator yang berkaitan dengan mutu benih adalah tingkat
sintasan yang dicapai selama pemeliharaan larva dan benih. Hasil analisis titik kritis menunjukan bahwa usaha pembenihan masih dianggap menguntungkan
apabila tingkat sintasan benih lebih besar dari 2,36. Perbaikan kualitas benih
154 dilakukan selain melalui perbaikan mutu induk, juga dilakukan melalui perbaikan
jenis, mutu dan cara pemberian pakan, serta pemberian obat-obatan dan vitamin selama masa pemeliharaan larva. Kekurangan dalam pemberian pakan dan
vitamin dapat mengakibatkan terjadinya abnormalitas terbukanya penutup insang operculum, atau bentuk tubuh bengkok khususnya pada pembenihan
skala rumah tangga. Untuk itu perlu penyuluhan dan pembinaan secara intensif terhadap pembenihan tersebut.
9.2.2 Pengembangan produksi pakan buatan
Penyediaan pakan buatan merupakan unsur yang dianggap penting untuk dikembangkan dalam rangka mendukung sukses budi daya kerapu. Hal ini
disebabkan karena pakan digunakan di semua subsistem produksi dari pembenihan hingga pascapanen. Selain itu faktor pakan sangat menentukan
tingkat pertumbuhan serta sintasan benih atau ikan yang dipelihara, sehingga sangat menentukan tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku usaha.
Berdasarkan hasil simulasi menggunakan model MAGRIPU, titik kritis harga pakan maksimal setiap ekor benih adalah Rp 4.584,-, dengan asumsi harga
jual benih sebesar Rp 6.000,-. Hal ini menunjukkan bahwa unsur pakan sangat dominan dalam memperoleh keuntungan dalam usaha pembenihan. Pada usaha
pembesaran, titik kritis harga pakan adalah Rp 30.044,- dengan asumsi harga jual ikan Rp 40.000,-. Sedangkan titik kritis pakan untuk pascapanen adalah Rp
13.604,- dengan asumsi harga jual ikan Rp 60.000,-. Dalam kasus pascapanen, unsur biaya yang paling dominan adalah harga beli ikan yang mencapai Rp
40.000,-. Pakan untuk pembenihan maupun pembesaran dapat berupa pakan alami
dan pakan buatan. Dalam usaha pembenihan terutama untuk stadia larva, jenis pakan alami dibutuhkan berupa plankton phytoplankton dan zooplankton yang
dikembangbiakkan sendiri hingga sista artemia yang diimpor. Untuk stadia benih yang lebih besar hingga ikan pada proses pembesaran digunakan pakan berupa
ikan rucah atau pakan buatan pellet. Kelemahan yang masih dihadapi dalam penyediaan pakan untuk budi daya kerapu adalah pakan larva berupa sista
artemia masih didatangkan dari luar negeri dan belum berkembangnya industri pakan buatan khusus untuk ikan kerapu. Kebijakan yang perlu dilaksanakan oleh
155 pemerintah menyangkut penyediaan pakan adalah mendorong pengembangan
industri pakan di dalam negeri baik untuk artemia maupun pakan pellet. Teknologi produksi artemia di dalam negeri sebenarnya telah dikuasai,
namun industrinya belum berkembang. Proses produksi artemia membutuhkan lokasi yang perairan pantai yang bersih dan berkadar garam tinggi. Produksi
artemia bisa juga dikombinasikan dengan tambak garam karena larva artemia yang merupakan “filter feeder” dapat berfungsi sebagai filter yang membersihkan
garam yang diproduksi. Untuk mendorong produksi artemia di dalam negeri perlu dikembangkan pilot percontohan yang melibatkan lembaga penelitian dan
universitas. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari produsen pakan, belum
berkembangnya industri pakan buatan khusus untuk ikan kerapu di dalam negeri terutama disebabkan karena volume yang diperlukan oleh industri budi daya
kerapu belum mencapai kapasitas yang menguntungkan bagi produsen. Selain itu, para pembudi daya ikan telah menggunakan pakan ikan kakap yang banyak
beredar di pasaran, meskipun secara teknis tidak optimal bagi pertumbuhan ikan kerapu yang dipelihara.
Untuk mendorong berkembangnya industri pakan kerapu diperlukan kebijakan antara lain penyediaan insentif bagi industri yang memanfaatkan hasil-
hasil penelitian lembaga litbang dan perguruan tinggi. Selain itu dapat pula dikembangkan skema subsidi bunga pinjaman dan atau penurunan tarif impor
barang modal bagi produsen pakan yang memproduksi pakan ikan kerapu. Selain mengembangkan produksi pakan buatan, aspek lain yang perlu
dikembangkan adalah penerapan budi daya yang berbasis trophic level, yaitu yang memperhatikan jenis ikan berdasarkan jenis makanan herbivora, dertivora,
omnivora, atau carnivora . Dengan mengkombinasikan jenis ikan dalam suatu
wadah akan mampu memanfaatkan makanan secara maksimal dan produktivitasnya akan tinggi Surawidjaja, 2006. Dalam kasus budi daya ikan
kerapu, maka ikan yang bersifat carnivora ini dapat dikobinasikan dalam budi dayanya dengan jenis ikan lain sehingga terjadi sinergi dan pemanfaatan kolom
air secara optimal.
9.2.2 Pengembangan induk unggul.