1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah daratan 1,9 juta km
2
dan wilayah laut 5,8 juta km
2
dan panjang garis pantai 81.290 km, Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang cukup besar. Tingkat pemanfaatan lestari
maximum sustainable yield sumber daya perikanan laut seluruh perairan Indonesia adalah sebesar 6,18 juta ton. Sementara itu, produksi perikanan laut
Indonesia pada tahun 1998 sebesar 3,6 juta ton, atau 58,5 dari tingkat pemanfaatan lestarinya Dahuri 2003. Potensi perikanan tersebut merupakan
salah satu keunggulan komparatif yang dapat menjadi modal dasar bagi Indonesia dalam persaingan perdagangan internasional.
Pemanfaatan potensi perikanan melalui kegiatan penangkapan memiliki keterbatasan karena dapat mengancam kelestarian. Karena adanya keterbatasan
tersebut, maka produksi perikanan mulai beralih dari penangkapan ke kegiatan budi daya. Perkembangan produksi perikanan tangkap di laut Indonesia selama
kurun waktu 2002-2005 hanya meningkat rata-rata sebesar 4,31, sedangkan produksi perikanan budi daya di laut pada kurun waktu yang sama meningkat
sebesar 23,35 Koeshendrajana et al. 2006. Salah satu komoditi perikanan laut yang memiliki prospek yang baik
untuk dikembangkan adalah ikan kerapu karena memiliki nilai ekonomis dan permintaan pasar ekspor yang tinggi. Beberapa jenis ikan kerapu yang memiliki
nilai ekonomi yang tinggi antara lain adalah kerapu bebek atau kerapu tikus Cromileptes altivelis, kerapu macan Ephinephelus fuscogutatus, kerapu
lumpur Ephinephelus tauvina, kerapu malabar Ephinephelus malabaricus, kerapu sunu Plectopomus leopardus, dan ikan napoleon Cheilinus undulatus.
Sekitar 93 produksi ikan kerapu di Indonesia tahun 2001 masih didominasi oleh kegiatan penangkapan di laut, selebihnya merupakan hasil budi
daya. Penangkapan dilakukan dengan cara-cara yang tidak memperhatikan kelestariannya seperti penggunaan bahan peledak atau racun sianida. Akibatnya
terjadi kerusakan terumbu karang yang merupakan habitat ikan kerapu dan mengancam kelestarian ikan kerapu di alam.
Budi daya atau pembesaran grow-out ikan kerapu dalam karamba jaring apung KJA yang menggunakan benih hasil pembenihan hatchery atau
2 menggunakan dari alam telah mulai berkembang di beberapa daerah seperti di
Lampung, Bali, dan Riau. Pengembangan budi daya ikan kerapu ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan petani ikan, mengurangi tekanan
terhadap kerusakan lingkungan melalui penangkapan di laut, dan menghasilkan devisa melalui ekspor.
Tabel 1 Perkembangan produksi kerapu berdasarkan jenis usaha dan produk
Tahun Produksi
1999 2000 2001 2002 2003 2004
2005
Penangkapan ton
39.342 48.422 48.516
48.400 53.743 t.a.d t.a.d
Budi daya ton
1.759 6.879 3.818
7.057 8.638
6.552 12.00
Benih ekor 186.100
287.000 2.742.900
3.356.200 t.a.d
t.a.d t.a.d
Sumber: Ditjen Perikanan Tangkap 2005 dikutip oleh Koeshendrajana 2007. Laporan Tahunan Ditjen Perikanan Budidaya , 2005
t.a.d = tidak ada data,
Perkembangan industri perikanan kerapu budi daya di Indonesia sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1, masih belum seperti yang diharapkan,
tercermin dari lambatnya peningkatan volume produksi dan jumlah usaha budi daya kerapu. Perkembangan produksi penangkapan kerapu sesuai dengan
provinsi dapat dilihat di Lampiran 1, sedangkan perkembangan produksi asal budi daya per provinsi dapat dilihat di Lampiran 2, dan perkembangan produksi
benih kerapu, khususnya kerapu macan dan kerapu bebek dapat dilihat di Lampiran 3.
Sebagian besar produksi ikan kerapu Indonesia baik melalui penangkapan maupun budi daya diekspor ke luar negeri, terutama Hong Kong. Perkembangan
volume dan jenis kerapu yang diimpor oleh Hong Kong dari Indonesia tahun 2002 dan 2006 dapat dilihat pada Gambar 1. Dapat dilihat pula bahwa volume
impor kerapu Hong Kong tersebut sangat berfluktuasi sesuai dengan perkembangan permintaan pasar pada musim tertentu yang dikaitkan dengan
perayaan hari-hari besar di kawasan tersebut. Meskipun demikian, prospek pasar ikan kerapu di masa yang akan datang sangat cerah karena masyarakat etnis cina
tersebar di berbagai negara. Data lebih rinci mengenai perkembangan impor Hong Kong untuk kerapu asal Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 4.
Fluktuasi permintaan yang juga mempengaruhi tingkat harga pada gilirannya menentukan tingkat keuntungan yang diperoleh produsen ikan
3 kerapu. Sering terjadi kondisi bahwa ikan yang telah siap dipanen tidak dapat
diserap pasar karena permintaan sedang turun, atau sebaliknya permintaan tinggi tetapi tidak tersedia pasokan dari produsen. Sementara itu, untuk
memproduksi ikan kerapu diperlukan jangka waktu setidaknya 1 tahun sejak benih ikan ditebarkan. Benih tersebut harus dipesan dari pembenihan hatchery
yang belum tentu “ready stock” karena juga dipengaruhi musim. Kondisi seperti ini mencerminkan ketidakpastian dalam melaksanakan usaha pembenihan,
pembesaran maupun pascapanen, sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya agroindustri kerapu budi daya di Indonesia secara pesat.
10,000 20,000
30,000 40,000
50,000 60,000
70,000
Jan 02
Ap r
Ju l
Oc t
Jan 03
Ap r
Ju l
Oc t
Jan 04
Ap r
Ju l
Oc t
Jan 05
Ap r
Ju l
Oc t
Jan 06
Ap r
BulanTahun V
o lu
m e
K g
B u
la n
Kerapu Tikus Kerapu Lumpur
Kerapu Macan Kerapu Malabar
Kerapu Sunu Leopard Kerapu Sunu Totol
Napoleon
Sumber: Hong Kong Trade Statistics, 2006. Gambar 1 Impor Hong Kong untuk kerapu asal Indonesia tahun 2002-2006.
Permasalahan yang dihadapi dalam agroindustri kerapu budi daya sebagaimana dijelaskan di atas terjadi karena masih belum terbentuknya
keterkaitan yang erat antar pelaku-pelaku usaha yang terlibat di dalam rantai produksi perikanan kerapu. Aliran informasi tentang permintaan pasar masih
belum transparan, sehingga pembudidaya tidak mengetahui secara pasti kapan
4 harus mulai memproduksi agar sesuai kebutuhan pasar. Demikian pula halnya
dengan produsen benih yang tidak dapat mengantisipasi kapan harus menyediakan benih sesuai kebutuhan. Hal ini menunjukkan adanya
ketidakpastian dalam pelaksanaan kegiatan usaha bagi pelaku dalam rantai produksi agroindustri kerapu budi daya.
Ketidakpastian dalam kegiatan usaha dalam agroindustri kerapu budi daya diindikasikan dengan terjadinya fluktuasi harga kerapu sepanjang tahun. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 2, yang menunjukkan fluktuasi harga kerapu di tingkat pedagang pengumpul di Kepulauan Riau selama tahun 2002-2003. Dapat dilihat
bahwa perubahan harga ikan kerapu berubah setiap bulan dengan fluktuasi yang cukup besar. Perubahan tersebut sangat ditentukan oleh kondisi permintaan pasar
di Hong Kong. Tingkat fluktuasi harga yang sangat besar ini jelas menyulitkan produsen ikan kerapu untuk memperoleh keuntungan secara pasti.
- 10,000
20,000 30,000
40,000 50,000
60,000 70,000
80,000 90,000
100,000
Janu ar
i0 2
Ma re
t Me
i Jul
i S
ep tem
be r
No pe
mb er
Ja nu
ari 3
Ma re
t Me
i Jul
i S
ep te
m be
r N
op em
be r
Bulan Rp
k g
Rata-rata Harga Macan
Sunu Halus Lumpur
Napoleon
Sumber: PT Trimina Dinasti Agung – Tanjung Pinang. Gambar 2 Perkembangan harga kerapu tahun 2002-2003 di tingkat pedagang
pengumpul di Kepulauan Riau.
5 Selain permasalahan yang terjadi pada rantai pasokan agroindustri kerapu
budi daya yang diakibatkan oleh faktor eksternal sebagaimana diuraikan di atas, permasalahan yang bersifat internal terutama menyangkut belum dikuasainya
teknologi pembenihan, pembesaran, dan pascapanen ikut mempengaruhi kinerja pelaku usaha di bidang agroindustri kerapu budi daya. Belum dikuasainya
teknologi antara lain berimplikasi pada masih tingginya tingkat kematian mortality rate ikan dan rendahnya produktivitas pada usaha pembenihan
maupun pembesaran. Mengingat agroindustri perikanan budi daya kerapu sangat potensial
sebagai sumber pendapatan dan penyediaan lapangan pekerjaan, sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian daerah, maka pengembangannya di
masa yang akan datang perlu didukung oleh perencanaan komprehensif yang mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Perencanaan tersebut perlu
dituangkan dalam suatu konsep manajemen yang meningkatkan keterkaitan antar pelaku yang terlibat dalam agroindustri kerapu budi daya dan meningkatkan
penguasaan teknologi oleh pelaku usaha. Dengan demikian akan menjamin tumbuhnya industri perikanan yang berkelanjutan yang memberikan keuntungan
yang maksimum bagi para pelaku usaha, baik pembenih, pembudidaya maupun pascapanen, sekaligus memberikan efek pengganda multiplier effect terhadap
berkembangnya kegiatan ekonomi lainnya. Manajemen industri perikanan melibatkan interaksi rumit antara proses
biologis, lingkungan yang bervariasi, kelompok pengguna yang berbeda, dan tujuan manajemen yang bertentangan. Selain itu, industri perikanan berhubungan
dengan perilaku yang berubah menurut waktu sehingga bersifat dinamis Johnson 1995. Pemecahan masalah yang kompleks tidak dapat dilakukan dengan cara
sederhana dengan menggunakan penyebab tunggal, tetapi dengan menerapkan pendekatan sistem yang dapat memberikan dasar untuk memahami penyebab
ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem Marimin 2005. Selanjutnya Eriyatno 1999 menyatakan bahwa keunggulan pendekatan sistem adalah dapat
mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahannya secara menyeluruh.
Pemecahan masalah malalui pendekatan sistem dilakukan antara lain melalui tahap pembuatan model pemodelan dan simulasi. Model tersebut dapat
6 diklasifikasikan sebagai model statik dan model dinamik. Dalam model statis,
perubahan input memiliki pengaruh langsung terhadap output, karena tidak melibatkan waktu tunda delays atau konstanta waktu time constant.
Sebaliknya model dinamis melibatkan umpan balik dan waktu tunda informasi untuk memahami perilaku dinamis suatu sistem yang kompleks Laurikkala et al.
2001. Sejalan dengan pendapat di atas, Coyle 1995 menyatakan bahwa sistem
dinamis adalah suatu pendekatan sistem yang memperhatikan aspek umpan balik
feedback dan waktu tunda untuk mengetahui perilaku sistem yang kompleks
secara keseluruhan. Permodelan sistem dinamis bertujuan untuk menjelaskan
sistem dan memahami, melalui model kualitatif dan model kuantitatif, bagaimana umpan balik feedback informasi mempengaruhi perilaku sistem tersebut, dan
mendisain struktur umpan balik informasi yang tepat serta kebijakan pengontrolan melalui simulasi dan optimalisasi Coyle 1995.
1.2 Tujuan