158 untuk memelihara larva benar-benar steril sehingga tidak semua orang dapat
masuk ke dalam ruangan tersebut tanpa melalui jalur sterilisasi terlebih dahulu. Selain itu, larva ikan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan sehingga
kedisiplinan pegawai dalam memonitor dan menjaga kualitas air dalam bak larva perlu ditekankan.
Dalam kegiatan operasional pembesaran dan pascapanen, kematian pada ikan dapat terjadi apabila lingkungan tempat hidup ikan tidak terjaga dengan
baik. Bertumpuknya kotoran dan hewan air pada jaring dapat mengakibatkan penyumbatan pada mata jaring yang dapat mengganggu sirkulasi air dan akhirnya
dapat mengakibatkan kematian ikan karena kekurangan oksigen. Untuk itu perlu ditetapkan jangka waktu berapa lama jaring harus dibersihkan atau diganti untuk
mencegah penumpukan. Demikian pula jadwal yang tetap untuk pemberian pakan perlu ditentukan sehingga menjamin keberhasilan kegiatn produksi.
Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah dapat menginformasikan kepada masyarakat tentang prosedur operasi terstandar kegiatan pembenihan atau
pembesaran melalui kerjasama dengan lembaga penelitian. Dari segi teknologi, perlu dikembangkan penelitian yang mengarah pada penciptaan sistem
otomatisasi untuk memonitor kualitas air, otomatisasi pemberian pakan, dan peralatan yang dapat meningkatkan ketelitian dan presisi dalam kegiatan budi
daya ikan kerapu.
9.3 Kebijakan Penciptaan Iklim Kondusif
Selain kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan efisiensi teknis operasional, dalam pengembangan agroindustri kerapu budi daya diperlukan pula
kebijakan yang bersifat non teknis yang mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi pengembangan agroindustri perikanan kerapu di masa yang akan
datang.
9.3.1 Aspek perdagangan dan pemasaran
Ditinjau dari aspek perdagangan, hal yang perlu diperhatikan adalah aspek pemilihan spesies kerapu yang menjadi spesialisasi Indonesia. Hal ini
diperlukan mengingat bahwa spesies ikan kerapu yang diperdagangkan di pasaran Asia yang berasal dari kawasan Oceania termasuk Australia cukup beragam.
Masing-masing negara memiliki spesialisasi spesies karena lingkungan ekologis yang berbeda. Sebagai contoh, Australia dengan “great barrier reef” nya
159 mempunyai spesialisasi pada jenis kerapu sunu. Indonesia sebenarnya memiliki
spesialisasi pada kerapu tikus Cromileptes altivelis dan kerapu macan Epinephelus striatus. Spesialisasi spesies ini perlu dikaji baik dari segi potensi
sumbedayanya maupun dari prospek pasarnya. Dengan spesialisasi maka kegiatan penelitian dan pengembangan akan dapat dilakukan secara lebih
terfokus. Mulai berkembangnya konsumsi ikan kerapu untuk “sashimi” di negara
Jepang, merupakan salah satu pertanda baik bagi perkembangan permintaan pasar kerapu yang selama ini dikonsumsi dalam keadaan hidup. Untuk pembuatan
sashimi tidak diperlukan kerapu hidup, sehingga pasar ikan kerapu dapat berkembang untuk kerapu yang diawetkan dalam es. Untuk mengantisipasi
perkembangan ini maka diperlukan penelitian lebih lanjut tentang jenis-jenis kerapu dan persyaratan mutu yang harus dipenuhi sehingga Indonesia dapat
memanfaatkan peluang pasar tersebut secara maksimal. Pengembangan produk unggulan perlu pula didukung oleh informasi yang
akurat tentang preferensi masyarakat terhadap produk yang dihasilkan dan volume permintaan yang diinginkan. Melalui pengembangan informasi pasar,
didukung oleh promosi di luar dan dalam negeri diharapkan akan mampu memacu peningkatan permintaan eskpor maupun di dalam negeri, yang pada
gilirannya akan memacu peningkatan produksi kerapu melalui pembenihan dan budi daya serta industri pendukungnya.
Aspek penting lain yang perlu diperhatikan dalam ekspor produk perikanan adalah adanya embargo dari negara importir, dengan menggunakan
isue keamanan pangan dan kandungan bahan berbahaya. Untuk produk perikanan kerapu yang diperdagangkan dalam keadaan hidup perlu terus dijaga
agar terhindar dari penggunaan bahan kimia dan obat-obatan yang dilarang. Untuk mengatasi penyakit sebaginya digunakan vaksin yang tidak memberikan
efek kandungan zat berbahaya yang dipermasalahkan negara pengimpor.
9.3.2 Pengaturan kapasitas produksi agregat