176 serta gagalnya pendekatan di masa lalu, telah memicu berkembangnya suatu
sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan recognition and reward. Prinsip dasar dari
konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha yang telah mereka lakukan, di lain pihak, pengguna
jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan. Masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam penelitian ini terdiri atas
masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling tersebar di 4 Kecamatan dengan total responden 120 kepala keluarga 40KKKecamatan. Masyarakat
hilir yang menjadi responden merupakan masyarakat yang mengambil jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Karakteristik responden dalam
penelitian ini terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dan usia. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat
menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling. Berikut karakteristik responden masing-masing Kecamatan.
a. Jenis kelamin
Responden dalam penelitian ini adalah para penduduk yang menggunakan jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Banyaknya
responden masing-masing Kecamatan adalah 40 KK dan ternyata lebih dari 95 115 KK adalah laki-laki dan perempuan kurang dari 5 5 KK. Hal ini
disebabkan bahwa responden pada umumnya adalah kepala keluarga.
b. Tingkat pendidikan
Berdasarkan data yang didapat, dapat dilihat bahwa persentase tingkat pendidikan yang paling tinggi adalah SD 97 KK, SMP 15 KK , SMU 4 KK,
tidak sekolah 3KK dan PT 1KK. Kondisi tersebut dapat dipahami karena 4 Kecamatan wilayah studi adalah wilayah pedesaan yang masih tergolong daerah
tertinggal.
c. Tingkat pendapatan
Berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan rata-rata Rp 100.000 – Rp 300.000 per bulan
177 56 KK, Rp 300.000 keatas 40 KK dan 24 KK berpenghasilan kurang dari
Rp 100.000 per bulan.
d. Jumlah tanggungan
Jumlah tanggungan 2-4 orangKK merupakan yang tertinggi yaitu 101 KK, 5 - 7 orangKK 2 KK, kurang dari 2 orangKK 7 KK.
e. Usia
Kelompok usia dibagi menjadi 5 golongan yaitu usia dibawah 30 tahun, usia antara 30-40 tahun, usia antara 40-50 tahun, usia antara 50-60 tahun dan
usia diatas 60 tahun. Distribusi jumlah KK pada setiap golongan umur dari tertinggi sampai terendah adalah 41 KK 30 - 40 th, 30 KK 30 th, 22 KK 50
- 60 th, 21 KK 40 - 50 th dan 6 KK 60 th.
f. Kebutuhan dan sumber air bersih responden
Di wilayah studi ditemukan bahwa 72 KK sebagian besar masih menjadikan sumur sebagai sumber air minum, 25 KK mata air, 23 KK sumur
dan mata air dan tidak ada responden yang menjadikan waduk sebagai sumber air minumnya. Hal ini disebabkan oleh masih tersedianya air tanah permukaan
walaupun pada waktu musim kemarau. Kebutuhan air minum per KK responden bervariasi antara
≤ 30 m³bln - ≥ 90 m³bln. Sebagian besar responden yaitu 52 KK membutuhkan 71 - 90 m³bln, 28 KK membutuhkan 51-70 m³bln, 9 KK
membutuhkan ≥ 91 m³bln dan 6 KK membutuhkan ≤ 30 m³bln.
g. Mata pencaharian responden
Sebagian besar yaitu 53 KK responden memiliki mata pencaharian sebagai petani, 21 KK sebagai pedagang, 14 KK sebagai buruh, 10 KK sebagai
penambang pasir, 10 KK sebagai pengojek, 9 KK sebagai petambak dan 3 KK sebagai peternak. Walaupun jumlah KJA di waduk Saguling sangat besar lebih
dari 12.000 KJA, namun masyarakat setempat yang memiliki tidaklah banyak hanya sekitar 7, yang lainnya hanya sebagai buruh KJA.
h. Kesediaan membayar masyarakat hulu DTA Saguling
Kepada responden ditanyakan berapa rupiah mereka bersedia membayar jika kualitas air ditingkatkan. Hasil kuesioner adalah 72 KK menyatakan sebesar
≤ Rp 20m³, 28 KK sebesar Rp 20m³ – Rp 40m³, 17 KK sebesar Rp 40m³ – Rp
178 50m³, dan 3 KK sebesar Rp 80m³ – Rp 100m³. Secara umum kesediaan
membayar yang dinyatakan adalah rata-rata sebesar Rp 28,33m³air bersih.
8.4.5. Persepsi Terhadap Jasa Lingkungan
a. Dampak perubahan iklim terhadap perubahan hujan.
Selama periode 1850 sampai 1990 diperkirakan sebesar 270 Gt karbon telah dilepaskan ke atmosfer. Sekitar 40 dari karbon yang dilepaskan berasal
dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan industri 67 dan konversi lahan 33, sedangkan 60 berasal dari proses
alami. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk sekaligus aktivitas manusia dalam mengkonsumsi energi maka akan semakin menigkat pula
konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer. Meingkatnya gas rumah kaca di atmosfer, diikuti dengan perubahan penigkatan iklim global. Studi yang
dilakukan LAPAN dalam Boer et all 2003, menunjukkan bahwa apabila konsentrasi CO2 dinaikkan 2 kali lipat dari kondisi saat ini, maka diperkirakan
kejadian El Nino and Shoutern Oscilallation ENSO, yang terjadi sekali dalam 3-7 tahun akan menigkat menjadi sekali dalam 2-5 tahun. Kejadian ENSO
menyebabkan tingkat resiko terhadap kejadian kekeringan akan semakin besar. Di Indonesia berdasarkan data hujan bulanan historis 1931-1990 yang
dibagi menjadi 2 periode yaitu tahun 1931-1960 dan 1961-1990, diperoleh kecenderungan bahwa curah hujan di wilayah selatan Indonesia, khususnya
Lampung, Jawa dan sebagian kawasan Timur akan semakin basah, sebaliknya hujan pada musim kemarau akan semakin kering. Berdasarkan data hujan
tahunan, secara umum wilayah selatan Indonesia, khususnya Jawa Barat cenderung basah. Berdasarkan kajian Boer dan Subbiah 2003 menunjukkan
bahwa dari 43 kejadian kekeringan yang telah terjadi di Indonesia sejak tahun 1844, hanya 6 yang tidak bersamaan kejadian fenomenal ENSO. Hal ini
menunjukkan perubahan hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO.
Berdasarkan hasil analisis oleh Boer 2004 menunjukkan bahwa pada tahun 2000 dengan tingkat pengambilan air permukaan 10 dari total jumlah
aliran per tahun, hampir semua kecamatan yang ada di DAS Citarum mengalami
179 kekurangan air. Pada tahun 2020, banyaknya kecamatan yang akan mengalami
kekurangan air akan semakin bertambah. Dengan meningkatkan tingkat pengambilan air permukaan 10 menjadi 25 sebagaian besar kebutuhan air
kecamatan dapat dipenuhi kecuali beberapa kecamatan seperti Bandung, Karawang, Bekasi dan Sumedang. Namun demikian, tingkat pengambilan air
25 dari total sudah jauh melampaui debit andalan sehingga resiko kekurangan air, khususnya pada musim kemarau akan tetap tinggi.
Sementara itu, berdasarkan data yang didapatkan dari Purwakarta dan DKI Jakarta akan terjadi penigkatan terhadap permintaan air minum. Di Kota
Purwakarta didapatkan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan terhadap air minum mulai tahun 2000 sebanyak 2900 m³. Keadaan ini diproyeksi sampai
dengan kebutuhan tahun 2006 sebanyak 5500 m³. Hal ini menunjukkan akan terjadi peningkatan permintaan air minum seiring dengan pertambahan waktu
dan peningkatan jumlah penduduk. Keadaan ini juga terjadi di Kota Jakarta, namun terjadi permintaan akan air minum yang lebih banyak pada Kota Jakarta
sebanyak 7500 m³ pada tahun 2006. Pada Tabel 52 disajikan neraca kebutuhan air di DAS Citarum.
Tabel 52. Neraca kebutuhan air DAS Citarum.
Uraian 1990 2005 2025
m³det 10
6
m³ m³det 10
6
m³ m³det
10
6
m³ 1. Sumber
Citarum Sungai Lain
182,33 60,25
5.750,00 1.900,00
182,33 61,83
5.750,00 1.950,00
182,33 63,42
5.750,00 2.000,00
7.650,00 7.700,00 7.750,00 2. Kebutuhan
Irigasi Industri
Air minum Perikanan
Penggelontoran Beban puncak
listrik 177,33
7,91 9,77
1,00 2,00
9,51 5.591,71
249,45 308,11
31,54 63,07
300,00 175,00
15,00 21,30
10,00 10,00
3,17 5.518,80
473,04 671,72
315,36 315,36
100,00 168,00
25,00 45,00
20,00 15,00
5.298,05 788,40
1.419,12 630,72
473,04
6.543,88 7.394,28 8.609,33 3. Neraca
Sumber Kebutuhan
242,58 207,49
7.650,00 6.543,88
244,16 234,47
7.700,00 7.394,28
245,75 273,00
7.750,00 8.609,33
1.106,12 305,72
859,33 Sumber : PJT II Jatiluhur 2002.
180 Jelaslah bahwa permintaan air untuk pertanian, industri dan rumah tangga
terus meningkat, sementara suplai air dari Citarum terus menurun. Pada kondisi ini konflik penggunaan air akan meningkat pula. Keadaan ini juga menunjukkan
bahwa peningkatan permintaan air seiring dengan konflik antara pengguna air akan meningkat dan kelangkaan akan air akan menjadi permasalahan yang
serius. Hernowo 2001 memperkirakan pada tahun 2010, DAS Citarum tidak akan lagi dapat memenuhi permintaan air. Berdasarkan data yang didapat dari
PJT II Jatiluhur, didapatkan bahwa pada tahun 2025 secara umum akan terjadi defisit air untuk berbagai kebutuhan yang berasal dari DAS Citarum hulu.
Keadaan akan kurangnya ketersediaan air pada masa yang akan datang dapat mulai diantisipasi dengan memperbaiki kondisi lingkungan di DAS Citarum
Wilayah Hulu. Persentase persepsi terhadap ketersediaan air yang cenderung buruk di
Jakarta Utara dan sedang di Purwakarta menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan air minum mulai merasa kurangnya ketersediaan air.
Kurangnya ketersediaan air minum khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kualitas lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah
Hulu sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air minum Jasa Tirta II, 2002. Sehingga
jelaslah untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air minum, khususnya pada saat musim kemarau perlu dilakukan perbiakan lingkungan di
hulu DAS Citarum Wilayah Hulu.
b. Tanggapan responden terhadap keberadaan Waduk Saguling