6. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KUALITAS AIR 6.1.
Latar Belakang
Pada dasarnya kualitas lingkungan perairan kualitas air yang terdapat disuatu perairan akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota yang hidup
dalam ekosistem tersebut. Kecuali itu, penurunan kualitas air juga mempengaruhi dayaguna sumberdaya air bagi pengguna jasa di wilayah hilir baik untuk
penggunaan domestik, industri maupun sebagai sumber energi pembangkitan. Penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh perubahan penutup lahan
dan pencemaran lingkungan dari berbagai sumber pencemar di wilayah hulu. Perubahan penutup lahan menimbulkan erosi dan sedimentasi, sedangkan sumber
pencemar antara lain industri, pertanian, perikanan, rumah tangga, transportasi dan lain-lain. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak perubahan
penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap karakteristik kualitas air sungai dan Waduk Citarum baik aspek fisik, kimia maupun biologi.
6.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan data sekunder kualitas air dilakukan di kantor UBP Saguling, PJB UP Cirata, Perum Jasa Tirta II, Kantor PDAM Purwakarta dan Bagian
Produksi PT. Thames PAM Jaya. Pengambilan data primer dilakukan di 7 titik yaitu inlet Waduk Saguling bagian hulu, outlet PLTA Saguling, inlet Waduk
Cirata bagian hulu, outlet PLTA Cirata, inlet Waduk Jatiluhur bagian hulu inlet PDAM Purwakarta dan inlet PT. Thames PAM Jaya. Analisis sampel air
dilakukan di Laboratorium Kimia, Fisik dan Lingkungan, Jurusan Kimia, FMIPA, IPB Bogor. Penelitian karakteristik kualitas air dilakukan mulai bulan Juni 2006
sampai September 2006.
136
6.3. Bahan dan Metode
Bahan yang diperlukan untuk menganalisis kimia air adalah data sekunder dan data primer. Jenis dan sumber data sekunder adalah :
1. Laporan hasil pemantauan kualitas air triwulanan Waduk Saguling
1994-2003, Waduk Cirata 1994-2003, Waduk Jatiluhur 1993-2003, kualitas air baku intake PDAM Purwakarta 1999-2003 dan PT. Thames
PAM Jaya 2001-2005. 2.
Laporan hasil penelitian pihak ketiga dan Bagian Lingkungan masing-masing PLTA.
Data primer diperoleh dari hasil pengambilan dan pengukuran contoh air pada lokasi :
1. Inlet dan outlet Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur.
2. Intake PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya.
Parameter kimia air dan metode analisis serta alat yang digunakan ditampilkan pada Tabel 32. Hasil pengolahan data sekunder dan primer tersebut
dibandingkan dengan standar baku mutu lingkungan BML sebagai pembanding Saeni 1989 dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air.
6.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Kualitas Air
Kualitas air waduk sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan DTA wilayah hulu, sedangkan kualitas lingkungan wilayah hulu dipengaruhi oleh
perubahan pada penutup lahan dan penggunaan dari lahan itu sendiri. Keragaman limbah polusi dan intensitasnya akan mempengaruhi kehidupan biologi perairan
Odum, 1996, proses teknis pembangkitan energi listrik Litbang PJT-II, 2003 dan proses penjernihan air baku PDAM. Pengolahan data sekunder dan primer
terhadap parameter kualitas air ditampilkan pada Tabel 33 sampai Tabel 37.
137 Tabel 32. Parameter kualitas air yang diukur pada PLTA dan PDAM.
No Parameter Satuan
PLTA PDAM
Metode Analisis dan Alat
Fisik 1. Suhu
o
C V
V Termometer 2. Padatan
terlarut mgl
X V Gravimetri
3. Padatan tersuspensi
mgl X
V Gravimetri
4. Daya hantar listrik
µ mhoscm V
V Konduktometri
5. Warna Unit
Pt.Co X
V Colorimetri
6. Bau X
V -
7. Kekeruhan NTU
X V
Turbidimetri 8. Rasa
- X V
- Kimia
9. pH -
V V
pH Meter
10. N sebagai NH
3
, NO
2
⎯,dan NO
3
⎯ mgl X V Brusin Sulfat
11. Boron mgl
V X AAS
12. Kadmium mgl
V V AAS
13. Khrom 6
mgl V
V AAS 14. Tembaga
mgl V
V AAS 15. H
2
S Sulfida mgl
X V
Iodometri 16. H
2
SO
4
mgl X
V Titrimetri
17. Kesadahan Ca
CO
3
mgl X
V Titrimetri EDTA
18 Mg++ mgl
V V
- 19. Fe++
mgl X
V AAS 20. Timbal
mgl V
V AAS 21. Air
raksa mgl
V V AAS
22. Seng mgl
X V AAS
23. Selenium mgl
X V AAS
24. Nikel mgl
V X AAS
25. Arsen mgl
V V AAS
26. Sianida mgl
X V AAS
Mikrobiologi 27. Fecal
coliform Eschericia coli
MPN 100 ml X
V MPN 28.
Total coliform MPN 100 ml
X V MPN
Keterangan : V = dianalisa, dan X = tidak dianalisa
Parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap kehidupan biota dan proses teknis PLTA dan PDAM dapat digolongkan menjadi parameter kualitas
fisik, kimia dan biologi. Hasil pengolahan dan interpretasi data
primer dan sekunder diperoleh informasi bahwa secara umum telah terjadi penurunan kualitas air di ketiga waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur dan
PDAM PT. Tirta Dharma Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya Jakarta.
138 Penurunan kualitas air waduk Saguling jauh lebih berat dibandingkan dengan
waduk Cirata dan Jatiluhur. Tabel 33. Perubahan kualitas air Waduk Saguling.
No. Parameter Satuan
Kualitas Air 1994 2003
Perubahan 2006
Inlet Outlet 1. Suhu
ºC 27,10 27,22
0,12 28,9
29,0 2. Zat
tersuspensi mgl
132,00 56,26 -75,74
320 280
3. DHL µmhoscm 198,45 357,65 159,20
310 290
4. Kekeruhan Skala
NTU 42,03 241,12 199,09 -
- 5. pH
8,07 7,83
-0,24 6,55
6,6 6. DO
mgl 4,06
2,83 -1,23
- -
7. COD mgl
21,57 13,31 -8,26
- -
8. BOD
5
mgl 6,23
4,16 -2,07
- -
9. Air Raksa Hg
mgl 0,00
0,01 0,01
ttd ttd
10. Nikel Ni
mgl 0,01
0,18 0,17
0,004 0,002
11. Tembaga Cu
mgl 0,00
0,00 0,00
0,015 0,009
12. Khrom mgl
0,00 0,01
0,01 0,001
ttd 13. Kadmium
Cd mgl
0,03 0,00
-0,03 0,001
ttd 14. Timbal
Pb mgl
0,01 0,00
-0,01 0,02
0,004 15. Arsen
As mgl
0,02 0,01
-0,01 ttd
ttd 16. Boron
B mgl
0,01 0,00
-0,01 0,002
0,001 17. Mangan
Mn mgl
- -
- 0,012
0,010
Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur,
ttd = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 10 stasiun pengukuran.
1 Suhu
Hasil pengolahan data suhu perairan di ketiga waduk diperoleh informasi bahwa suhu perairan waduk Saguling rata-rata naik sebesar 0,12ºC, waduk Cirata
sebesar 0,80ºC dan waduk Jatiluhur turun sebesar 0,90ºC. Kenaikan suhu Saguling dan Cirata dan penurunan suhu Jatiluhur tidak signifikan. Dari Tabel
42 dan 43 dapat diketahui bahwa suhu air baku pada intake PDAM Tirta Dharma 1999-2003 mengalami penurunan 0,5ºC sedangkan pada intake PT. Thames
PAM Jaya 2001-2005 mengalami kenaikan 0,33ºC. Suhu perairan merupakan salah satu parameter yang mengatur baik proses
fisika maupun proses kimia yang terjadi di dalam suatu perairan. Suhu perairan akan mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi subtrat, kekeruhan maupun
kecepatan reaksi kimia di dalam air. Suhu perairan juga mempengaruhi berbagai proses fisiologis dalam tubuh biota air seperti proses osmoregulasi dan penafasan
139 organisme perairan, sehingga meningkatnya suhu pada kondisi ekstrim dapat
menyebabkan kematian. Secara umum pengaruh suhu terhadap biota perairan mempengaruhi proses fisiologis secara langsung dalam hal reaksi enzimatik pada
organisme, sehingga akan menentukan besar kecilnya metabolisme dan pertumbuhan organisme. Selain pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dari
suhu bisa dalam bentuk terjadinya perubahan struktur dan dispersi hewan air Nontji, 1984.
Tabel 34. Perubahan kualitas air Waduk Cirata.
No. Parameter Satuan
Kualitas Air Perubahan
2006 1994 2003
Inlet Outlet 1. Suhu
C 26,67
27,51 0,84
28,0 28,5
2. Zat Tersuspensi
mgl 39,44 121,73
82,29 -
- 3. DHL
µmhoscm 174,43 272,04 97,61
290 285
4. Kekeruhan Skala
NTU 7,29 35,41
28,12 -
- 5. TDS
mgl 123,00 144,36
21,36 310
270 6. pH
8,27 7,17
-1,10 6,88
6,90 7. COD
mgl 11,05 28,18
17,13 -
- 8. BOD
5
mgl 6,59
13,11 6,52
- -
9. DO mgl
5,15 4,78
-0,37 -
- 10.
Air Raksa Hg mgl
0,00 0,00
0,00 ttd
ttd 11. Nikel
Ni mgl
0,00 0,02
0,02 0,008
0,004 12. Tembaga
Cu mgl
0,29 0,01
-0,28 0,022
0,008 13. Khromium
Cr mgl
0,04 0,01
-0,03 ttd
ttd 14. Kadmium
Cd mgl
0,00 0,00
0,00 ttd
ttd 15. Timbal
Pb mgl
0,00 0,02
0,02 0,01
0,002 16. Arsen
As mgl
0,00 0,42
0,42 ttd
ttd 17. Boron
B mgl
0,58 0,00
-0,58 0,006
0,003 18. Mangan
mgl -
- -
0,022 0,015
Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur,
ttd = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 11 stasiun pengukuran.
Hal ini sesuai dengan pendapat Pescod 1975 dalam Prihadi 2005 yang mengatakan bahwa suhu akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan biota
air, yakni akan menetukan kehadiran spesies–spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan dan penetasan, aktivitas dan pertumbuhan.
Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan. Dalam hal ini intensitas cahaya
yang masuk ke dalam suatu perairan akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, semakin
140 tinggi suhu airnya. Namun semakin bertambah kedalaman, akan menurunkan
suhu perairan Welch, 1980. Menurut Nontji 1987 suhu yang terdeteksi di permukaan air dipengaruhi oleh keadaan meteorologi seperti curah hujan,
penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi sinar matahari.
Tabel 35. Perubahan kualitas air Waduk Jatiluhur.
No. Parameter Satuan
Kualitas air Perubahan
2006 1993 2003
Inlet Outlet 1. Suhu
º C
27,42 26,52 -0,90
28,5 29,0
2. Zat tersuspensi
mgl 81,81 18,91 -62,90
460 410
3. DHL µmhoscm 165,72
- -
ttd 320
4. Kekeruhan Skala
NTU 69,83 38,25 -31,58 -
- 5. pH
7,32 7,84
0,52 ttd
6,78 6. DO
mgl 7,42
5,69 -1,73
- -
7. COD mgl
8,82 12,29 3,47
- -
8. BOD
5
mgl 4,40
6,83 2,43
- -
9. Air Raksa
mgl ttd
ttd - ttd
ttd 10. Nikel
mgl 0,005
- - ttd
0,006 11. Tembaga
Cu mgl
ttd ttd
0,00 0,001 0,019
12. Kromium Cr
mgl ttd
ttd 0,00 0,002 ttd
13. Kadmium Cd
mgl ttd
ttd 0,00 ttd
0,003 14. Timbal
Pb mgl
- -
0,00 0,002 0,023
15. Arsen mgl
ttd ttd
- ttd 0,002
16. Boron B
mgl 0,01
ttd 0,00 ttd
0,041 17. Mangan
mgl ttd
ttd - ttd
0,026
Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur,
ttd = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 25 stasiun pengukuran.
2 Warna Perairan
Warna air waduk Saguling mengalami kenaikan 141,60 satuan NTU pada periode 1994-2003, air waduk Cirata naik 0,10 satuan PtCo pada periode
1993-2003, dan air waduk Jatiluhur naik 0,37 satuan PtCo pada periode 1993-2003, sedangkan pada air baku PDAM Tirta Dharma terjadi kenaikan warna
kekeruhan sebesar 0,50 NTU 1999-2003 dan pada air baku PT. Thames PAM Jaya turun sebesar 5,03 NTU 2001-2005.
Pada umumnya warna perairan dibagi menjadi dua yakni warna sesungguhnya yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan kimia terlarut serta
warna yang tampak yang merupakan hasil perpaduan antara bahan terlarut dan bahan tersuspensi. Secara umum warna perairan merupakan hasil perpaduan
141 warna yang berasal dari bahan organik dan bahan anorganik yang ada dalam
perairan, warna plankton, humus dan ion-ion logam serta bahan-bahan lain yang terdapat dalam perairan tersebut. Warna perairan dapat diamati secara visual,
namun akan lebih akurat jika diamati dengan membandingkan air sampel dengan warna standar. Warna pada umunya dapat menghambat penetrasi sinar matahari
serta dapat mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis oleh jasad autotrof di dalam air.
Tabel 36. Perubahan kualitas air baku intake PT. Tirta Dharma Purwakarta.
No. Parameter Satuan
Kualitas Air
1999 2003
Perubahan 2006 BML 1. Suhu
º C
28,00 27,5 -0,5
- --
2. Kekeruhan skala
NTU 2,35
1,7 -0,65
0,77 5
3. Warna skala
NTU 3,50
4 0,5
5,33 15
4. TDS mgl
- -
- 460
1000 5. pH
7,10 7
-0,1 -
- 6. Air
raksa mgl
- -
- Ttd
0,001 7. Tembaga
mgl -
- -
0,001 1,0
8. Khromium mgl
- -
- 0,002
0,05 9. Kadmium
mgl -
- -
Ttd 0,005
10. Timbal mgl
- -
- 0,002
0,05 11. Arsen
mgl -
- -
Ttd 0,05
12. Kesadahan total
mgl 68,85 65,555
-3,295 31,58
500 13. Nitrit
mgl 0,01
- -
0,0203 1,0
14. Sianida mgl
- -
- 0,001
0,1 15. Selenium
mgl -
- -
0,001 0,01
16. Seng mgl
- -
- 0,005
5 17. Nitrat
mgl -
- -
0,1245 10
18. Sulfat mgl
- -
- Ttd
400 19. Sulfida
mgl -
- -
3,6 0,05
20. Total Koliform
MPN100 ml
- -
- 3
Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur, ttd = tidak terdeteksi.
3 pH
Pada periode 1994-2003, tingkat pH air waduk Saguling mengalami penurunan sebesar 0,24, air waduk Cirata turun 1,10 dan waduk Jatiluhur turun
0,52 pH di ketiga waduk masih berada pada status netral berkisar pH=7,0 sehingga cukup baik bagi berlangsungnya proses biologi dan kimia dalam
perairan. pH air baku PDAM Tirta Dharma 1999-2003 mengalami penurunan sebesar 0,1, sedangkan air baku PDAM PT. Thames PAM Jaya 2001-2005
mengalami kenaikan sebesar 0,16. pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion
142 hidrogen dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa
air. Menurut Mackereth et. al. 1989 pH terkait sangat erat dengan kandungan karbon dioksida dan alkalinitas. Pada pH yang kurang dari 5 alkalinitasnya bisa
tidak terdeteksi. Makin tinggi nilai pH semakin tinggi nilai alkalinitas dan makin rendah kandungan karbon dioksida.
Tabel 37. Perubahan kualitas air baku intake PT. Thames PAM Jaya Jakarta.
No. Parameter Satuan
Kualitas Air 2001 2005
Perubahan 2006
BML 1. Suhu
o
C 28,94 29,27
0,33 -
- 2. Kekeruhan
Skala NTU
275,53 372,83 97,30
1,28 5
3. Warna Skala
TCU 20,09
15,06 -5,03
5,65 15 4. TDS
mgl 116,42 103,61
-12,80 550 1000
5. DHL µmhoscm
260,25 200,80 -59,45
- -
6. pH 6,95
7,11 0,16
- -
7. COD mgl
17,38 21,93
4,55 -
- 8. BOD
5
mgl 15,22
9,82 -5,40
- -
9. Air raksa
mgl 0,00 0,0005
- Ttd 0,001
10. Khrom mgl
0,02 0,02
0,00 ttd
0,05 11. Tembaga
mgl 0,05
0,03 -0,02
0,002 1,0 12. Kadmium
mgl 0,01
0,02 0,01
Ttd 0,005 13. Timbal
mgl 0,07
0,03 -0,04
0,005 0,05 14. Arsen
mgl 0,01
0,0005 -
Ttd 0,05 15. Nitrat
mgl 1,70
1,55 -0,15
0,4421 10 16. Nitrit
mgl 0,05
0,06 0,02
0,0707 1,0 17. Seng
mgl 0,08
0,15 0,07
0,006 5
18. Bahan Organik
mgl 16,27
17,62 1,35
- -
19. Kesadahan mgl
- -
- 37,600 500
20. Sulfat mgl
- -
- 7,6621 400
21. Sulfida mgl
- -
- 4,4 0,05
22. Total Koliform
MPN100 ml 89 x 10³
57,82 -
1,0 3
Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur, ttd = tidak terdeteksi.
Pada umumnya sebagian biota air sensitif terhadap perubahan pH, dan hampir semua biota menyukai pH 7 – 8,5. Besaran pH sangat mempengaruhi
proses biokimia yang terjadi di suatu perairan, sebagai contoh proses nitrifikasi akan terhenti manakala pH perairan rendah. Selain itu toksisitas dari logam berat
pun sangat dipengaruhi oleh besaran pH perairan. Jika dalam suatu perairan terdapat kandungan bahan organik yang tinggi,
maka bahan organik tersebut harus diuraikan, untuk ini diperlukan oksigen. Dalam keadaan ada oksigen akan dihasilkan karbon dioksida, uap air , dan nitrat.
Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hidrogen sulfida H
2
S,
143 amoniaNH
3
dan metana CH
4
. Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam yang pada akhirnya dapat menurunkan pH. Zat tersebut akan
digunakan untuk proses fotosintesis, sehingga kandungan karbon dioksida akan menurun, dan ion bikarbonat HCO
3
akan berubah menjadi CO
2
dan ion OH
-
. Adanya dominasi ion hidroksil ini mengakibatkan pH air meningkat.
Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya adalah karbon dioksida. Di dalam
air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat Moss,1993, keadaan ini juga bisa terjadi jika 1 dari karbondioksida bereaksi dengan air, sehingga
membentuk asam karbonat Cole, 1988. Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan pH perairan menurun.
4 Oksigen terlarut DO
Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen yang terlarut dalam air pada umumya berasal dari hasil fotosintesis jasad autotrof yang
ada dalam air seperti fitoplankton dan tumbuhan air yang hidup di dalam perairan tersebut. Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem
kehidupan di perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dan mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari
hasil fotosintesis. Selain itu juga mempunyai peranan yang penting dalam penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang
bersifat aerobik APHA, 1989, sehingga jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi akan mengakibatkan lingkungan perairan dan kehidupan dalam
perairan menjadi terganggu, sekaligus menurunkan kualitas air. Menurut Wardoyo 1975 kelarutan oksigen di perairan sangat dipengaruhi
oleh suhu, tekanan parsial gas yang ada di udara serta tekanan parsial gas terlarut dalam air tersebut. Sealin itu juga dipengaruhi oleh aliran masuk run off dari
hujan dan pergerakan air dari hulu. Kadar oksigen terlarut dalam air, selain penting untuk kehidupan, juga bisa dijadikan sebagai indikator untuk melihat
pencemaran yang terjadi pada suatu perairan yakni jika kandungan oksigen dalam perairan lebih dari 5 mgl mengandung arti bahwa perairan tersebut tercemar
144 ringan, jika kandungannya 2-5 mgl berarti tercemar sedang dan 0–2 ppm berarti
perairan tersebut tercemar berat Sutamihardja, 1978. Tingkat oksigen terlarut yang terdapat dalam perairan di ketiga waduk
mengalami penurunan masing-masing: waduk Saguling sebesar 3,23 mgl, waduk Cirata turun sebesar 0,37 mgl dan waduk Jatiluhur menurun sebesar 1,73 mgl.
5 BOD
5
BOD
5
Biological Oxygen Demand
5
adalah banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik selama 5
hari. Nilai BOD
5
merupakan parameter yang menunjukan besarnya oksigen yang di butuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses
dekomposisi secara biokimia Boyd, 1982. Lama waktu mikroba untuk melakukan dekomposisi sampai mencapai stabilitas sempurna tergantung dari
keadaan alami subtrat dan kemampuan hidup organisme Azad, 1976. Dengan demikian, maka BOD
5
hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis biodegradable. Nilai BOD
5
suatu perairan dipengaruhi faktor-faktor lain yang ada di lingkungannya, yakni suhu, densitas
plankton, keberadaan mikroba serta jenis dan kandungan bahan organik. Pada perairan alami yang belum terlalu banyak campur tangan manusia,
sumber bahan organik yang masuk ke dalam perairan berasal dari pembusukan tanaman, sehingga nilai BOD
5
-nya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeffries dan Mills 1996 dalam Prihadi 2005 yang mengatakan bahwa perairan alami
memiliki nilai BOD
5
antara 0,5–7,0 mgl. Perairan yang memiliki nilai BOD
5
lebih dari 10 mg1 dianggap telah mengalami pencemaran. Berdasarkan nilai BOD
5
, maka suatu perairan bisa di kategorikan kualitas airnya menjadi perairan tidak tercemar atau tercemar ringan jika mempunyai BOD
5
kurang dari 3 mg1, perairan diklasifikasikan sebagai perairan tercemar ringan jika mempunyai nilai
BOD
5
3 – 4,9 mg1. Perairan tercemar sedang mempunyai BOD
5
5,0–15,0 mg1 serta perairan yang mempunyai BPD lebih dari 15 mg1 dikategorikan pada
perairan tercemar berat Lee, Wang dan Quo, 1978. Dari analisis terhadap data tahun 1993, 1998 dan 2003, diperoleh nilai BOD
5
dalam air waduk Saguling mengalami kenaikan 30,8 mgl, Cirata menurun 5,67 mgl, Jatiluhur naik 6,52
145 mgl dan air baku Thames Jaya nilai BOD
5
pada tahun 2005 menurun 5,40 mgl dari 15,22 mgl pada tahun 2001.
6 COD
COD chemical oxygen demand menggambarkan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi dengan oksidator
kalium dikromat. Dengan adanya oksidator kalium dikromat ini seringkali mengakibatkan kemampuan oksidasi yang lebih tinggi, karena dalam uji coba
COD bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat teroksidasi, sehingga nilai COD lebih tinggi dari BOD. Sebagai contoh serat
selulosa yang sukar terurai melalui reaksi biokimia pada uji BOD, baru bisa terurai melalui reaksi kimia. Dari analisis data sekunder, diperoleh hasil bahwa
kadar COD dalam air waduk Saguling mengalami penurunan 17,41 mgl, Cirata naik 28,18 mgl, Jatiluhur naik 11,10 mgl, pada air baku Thames Jaya kadar COD
naik sebesar 4,55 mgl.
7 Bahan Organik dan Muatan Padatan Tersuspensi
Dalam keadaan anaerobic, yakni konsentrasi oksigen rendah atau bahkan tidak terdeteksi, maka mikroorganisme aerobic tidak dapat berkembangbiak,
tetapi sebaliknya karena tidak adanya oksigen, karena tidak adanya oksigen, maka organisme yang bersifat anaerobik akan aktif memecah bahan tersebut secara
anaerob. Muatan padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi yang tidak larut dalam air. Bahan-bahan ini baik organik maupun anorganik yang
keberadaannya anatara lain berbentuk partikel dan tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi juga mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air.
Menurut Wardoyo 1981 padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan perairan. Zat padat yang berada dalam suspensi dapat dibedakan
menurut ukuran partikelnya sebagai partikel tersuspensi koloid dan partikel tersuspensi biasa. Zat padat tersuspensi dapat diklasifikasikan menjadi zat
terapung dan melayang yang bersifat organik dan zat padat organik dan anorganik. Canter 1977 memperlihatkan hubungan antara indeks kualitas air
dengan kandungan muatan padatan tersuspensi. Kandungan muatan padatan tersuspensi tersebut kemudian dapat menjelaskan kondisi perairannya seperti pada
146 Tabel 46. Kadar residu terlarut 1994-2003 dalam air waduk Saguling naik
sebesar 71,75 mgl, waduk Cirata turun sebesar 93,38 mgl 1993-1998, Jatiluhur turun sebesar 62,90 mgl 1993-2003 dan air baku Thames Jaya menurun 12,80
mgl. Tabel 38. Baku mutu kualitas air berdasarkan PP Nomor. 82 tahun 2001.
No Parameter Satuan
Baku Mutu Kelas II
Kelas III 1 Kekeruhan
NTU 25
- 2
pH 6,0 - 9,0
6,0 - 9,0 3 DO
mg1 6
3 4 BOD
mg1 2
6 5 COD
mg1 10
50 6 Amonium
mg1 0,5
- 7 Nitrat
mg1 10
20 8 Nitrit
mg1 1
0,06 9 Fenol
mg1 -
0,22 10 Sulfida
mg1 400
- Keterangan : Kelas II sesuai untuk air baku air minum dan Kelas III sesuai untuk pertanian dalam
arti luas.
8 Kekeruhan
Kekeruhan adalah gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar yang dipancarkan dan diserap oleh
partikel-partikel yang ada dalam air tersebut. Kekeruhan juga disebabkan oleh partikel tersuspensi, bahan organik dan mikroorganisme perairan.
Kekeruhan perairan dapat bersifat permanen dan sementara. Kekeruhan yang bersifat permanen disebabkan oleh bahan-bahan yang sulit terurai seperti
pencemaran oleh hidrokarbon yaitu minyak dan lemak. Sedangkan kekeruhan yang mudah terurai dapat disebabkan partikel organik yang terbawa oleh hujan,
banjir, aliran drainase dan gerakan angin. Dari hasil analisis data sekunder pada tahun 1993, 1998 dan 2003, kekeruhan yang terjadi pada air waduk Saguling naik
35,90 NTU, air waduk Cirata naik 50,12 NTU 1998-2003, Jatiluhur turun 31,97 NTU 1998-2003. Pada air baku Tirta Dharma kekeruhan menurun
0,65 NTU dan PT. Thames PAM Jaya naik 97,30 NTU.
147
9 Logam Berat
Logam dapat digolongkan kedalam dua kategori yaitu logam berat dan logam ringan. Logam berat adalah logam yang untuk setiap cm³ mempunyai bobot
5 gram atau lebih, bobot ini lima kali dari berat air, sehingga logam yang beratnya kurang dari 5 gram termasuk logam ringan.
Jika sejumlah logam mencemari lingkungan, maka logam tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada mahluk hidup, karena beberapa jenis
logam sangat berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan dalam air, tanah dan udara, karena logam tersebut mempunyai sifat
yang merusak jaringan tubuh mahluk hidup. Logam berat merupakan suatu unsur yang mempunyai daya hantar panas dan daya hantar listrik yang tinggi serta
mempunyai densitas lebih dari 5 Hutagalung, 1991 Logam berat biasanya bernomor atom 22–92 dan periode 3 sampai 7 dalam susunan berkala unsur–unsur
kimia. Beberapa unsur logam berat tersebut antara lain merkuri Hg, timbal Pb, kadmium Cd, seng Zn dan tembaga Cu. Pada umumnya semua logam berat
tersebar diseluruh permukaan bumi, baik di udara, tanah maupun air. Logam berat ini dapat berbentuk bahan organik, bahan anorganik terlarut yang terikat dalam
suatu partikel Harahap, 1991. Logam berat yang masuk kedalam lingkungan perairan berasal dari
debu–debu akibat kegiatan gunung berapi, erosi dan pelapukan tebing dan tanah, dan berbagai aktivitas manusia meliputi pertambangan batu bara, peleburan dan
penyulingan minyak, penggunaan pestisida, penggunaan bahan bakar, dan sebagainya. Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan merupakan suatu
proses yang erat hubunganya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Berdasarkan kegunaanya, logam berat dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
unsur–unsur tertentu dengan konsentrasi tertentu yang berfungsi sebagai haramikro yang bermanfaat bagi kehidupan organismi perairan seperti Zn, Fe, Cu
dan unsur –unsur yang tidak diketahui sama sekali manfaatnya seperti Hg, Pb dan Cd Lu, 1995. Kenyataanya semua logam, termasuk logam – logam haramikro
yang esensial, jika berada dalam tubuh mahluk hidup dalam jumlah yang berlebih akan bersifat racun bagi organisme Laws, 1993.
148 Logam yang dapat menyebabkan keracunan adalah jenis logam berat.
Logam ini termasuk logam yang esensial seperti Cu, Zn, Se dan yang non-esensial seperti Hg, Pb, Cd, Cr dan As. Keracunan logam berat yang paling sering terjadi,
biasanya dimulai dengan pencemaran lingkungan oleh logam berat, seperti penggunaan logam sebagai pembasmi hama pestisida, pemupukan maupun
karena pembuangan limbah pabrik yang menggunakan logam. Logam esensial seperti Cu dan Zn dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada
hewan, tetapi logam non-esensial seperti Hg, Pb, Cu dan As sama sekali belum diketahui kegunaanya walaupun dalam jumlah relatif sedikit dapat menyebabkan
keracunan pada hewan Darmono, 2001. Menurut Connel 1995 ion – ion logam pada kelas B yang paling toksik
menunjukkan mekanisme toksisitas yang berspektrum luas. Logam–logam ini berikatan dengan gugus SH misalnya, sistein dan kelompok yang mengandung
nitrogen misalnya, lisin dan histidin imidazol lebih efektif. Selain itu logam–logam ini dapat mengganti ion–ion endogen pada garis batas misal, Zn
²+
dari metallo-enzim, yang menyebabkan enzim tidak aktif melalui perubahan secara konformasi. Logam kelas B bersama–sama dengan beberapa ion pada garis
batas, membentuk ion-ion organometalik yang larut dalam lemak, sebagai contoh Hg dan Pb yang mampu menembus membran biologis dan berakumulasi di dalam
sel dan organel. Logam golongan B di dalam metalo-protein bisa mengalami reaksi baik oksidasi maupun reduksi, sebagai contoh, Cu menjadi Cu
2+
dan Cu
+
dapat mengubah integritas secara fungsional dan struktural. Pengaruh keberadan logam berat terhadap biota umumnya digolongkan
kedalam kategori, yaitu dapat menyebabkan toksisitas letal secara langsung sehingga menimbulkan kematian dan dapat mengakibatkan terjadinya toksisitas
sub letal yaitu terjadinya kerusakan pada proses fisiologis atau bahkan pada perilaku suatu mahluk hidup. Ochiai 1997 dalam Connel 1995 membagi
mekanisme toksisitas ion-ion logam kedalam tiga kategori yaitu dapat menahan gugus fungsi biologis yang esensial dalam biomolekul misalnya protein dan
enzim, dapat menggantikan ion logam esensial dalam biomolekul, dan dapat mengubah aktivitas biomolekul.
149 Dari data sekunder kualitas air waduk tahun 1993, 1998 dan 2003, logam
berat yang mengalami kenaikan kadarnya dalam air waduk Saguling antara lain Hg sebesar 0,43 mgl, nikel : 0,17 mgl dan selenium : 0,01 mgl; dalam air waduk
Cirata As : 0,42 mgl, Mg : 3,11 mgl, Fe : 0,52 mgl, Mn : 0,6 mgl, Ni : 0,02 mgl, Pb : 0,02 mgl, Zn : 0,12 mgl, dalam air waduk Jatiluhur besi 0,09 mgl dan
Mn 0,03 mgl.
10 Limbah Domestik
Dari Tabel 33 sampai dengan Tabel 37 dapat diketahui bahwa pada periode 1993-2003 telah terjadi peningkatan pencemaran air waduk dan air baku
PDAM yang bersumber dari limbah domestik. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan kadar senyawa-senyawa kimia seperti fenol, minyak dan lemak dan fecal
coliform.
11 Budidaya Ikan dalam Karamba Jaring Apung
Dilihat dari tingkat kesuburannya, waduk atau danau di Indonesia umumnya bersifat oligotrofik kesuburan rendah hingga mesotrofik kesuburan
sedang, sehingga dilihat dari tingkat kesuburanya, maka waduk atau danau sangat potensial untuk pengembangan budidaya ikan secara intensif dalam kolam jaring
apung KJA. Budidaya ikan dalam karamba adalah budidaya di perairan umum dengan
menggunakan wadah yang umumnya terbuat dari jaring, pada karamba tersebut ditebar ikan kecil atau ikan muda yang berukuran sedikit lebih besar dari ukuran
mata jaring. Ikan yang dipelihara di KJA biasanya diberi pakan berupa pelet yang umumnya kaya hara. Pemberian pakan pelet ini biasanya diberikan pada pagi,
siang dan sore hari. KJA berada pada perairan umum yang airnya relatif sedikit mengalir dan diberikan pakan cukup banyak, sehingga ikan yang dipelihara di
dalamnya tumbuh dengan cepat dan dalam waktu kurang dari tiga bulan biasanya sudah dipanen Ryding, 1989 dalam Prihadi, 2005.
KJA biasanya dipergunakan untuk memelihara ikan di danausituwaduk. Di Indonesia, karamba jaring apung pertama kali digunakan di waduk Jatiluhur
pada tahun 1974 untuk keperluan penelitian, dan baru pada tahun 1986 dilakukan budidaya ikan secara intensif dalam karamba jaring apung di waduk Saguling,
150 diikuti oleh petani ikan di Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, Waduk
Kedung Ombo, bahkan juga budidaya di laut seperti Teluk Pare-Pare, Teluk Banten dan di Kepulauan Riau.
Budidaya KJA berkembang pesat di beberapa perairan dan danau sejak tahun 1986 yakni di Jawa Barat dilakukan di Waduk Saguling, Cirata dan
Jatiluhur yang pada tahun 1995 jumlahnya mencapai 14.215 unit, sehingga produksi ikan meningkat dari 2.654 ton pada tahun 1988 menjadi 19.000 ton pada
tahun 1995 dengan peningkatan rata-rata 75 per tahun Kartamihardja, 1998. Sistem budidaya ikan pada KJA di waduk umumnya dilakukan dengan sistem
insentif, dalam hal ini seluruh kebutuhan pakan ikan seluruhnya berasal dari pelet pakan komersial dengan protein tinggi yaitu lebih dari 20, dengan nilai gizi
yang hampir lengkap. Budidaya ikan dalam KJA umumnya dilakukan pada jaring yang
berukuran minimal 7 x 7 x 1,5 m³, padat penebarannya ikan mas 25-200 ekorm² atau 4-5 kgm². Adapun bobot awal ikan yang ditebar umumnya
60-195 gekor. Lama pemeliharaan ikan biasanya 2-6 bulan, tergantung pada keadaan dan pertumbuhan ikan, namun umumnya ikan yang dijual berukuran
220-653 gekor, sehingga konversi pakannya 1,6 - 3,4 Hardjamulia et al., 1991. Dalam beberapa tahun terakhir ini, dikembangkan terus teknologi KJA
yang lebih efisien. Dalam hal ini dikenal ada dua jenis teknologi KJA, yakni teknologi KJA yang volumenya kecil ukuran mini, namun ditebar ikan dengan
kepadatan yang tinggi yang menggunakan keramba jaring ukuran mini 1-10 m³ degan padat penebaran tinggi 400-500 m³. Teknologi berikutnya, adalah
teknologi budidaya KJA dua lapis yang dikenal dengan KJA ganda kar ukuran mini karena pada teknologi ini digunakan dua kantung jaring yakni di
sebelah atas dan lapisan bawah. Kedua jaring ini ditebar ikan namun dengan jenis yang berbeda. Dalam hal ini hanya ikan utama ikan mas yang dipelihara pada
jaring lapisan atas yang diberi makan, sedang lapisan bawahnya yang biasanya ditebar ikan nila tidak diberi makan lagi, karena ikan ini akan memanfaatkan
pakan yang terbuang dari jaring yang ada di bagian atasnya. Teknologi jaring ganda ini dikembangkan karena pada budidaya KJA yang dilakukan di waduk
151 yang berada di Jawa Barat teridentifikasi bahwa pakan yang terbuang ke perairan
mencapai 30-40 Kartamihardja et.al, 1988. Teknologi KJA ganda ini selain digunakan untuk memanfaatkan pakan yang terbuang ke perairan, juga bertujuan
untuk menekan pencemaran limbah organik yang berasal dari pakan.
6.5 Simpulan