61 sangat indah dipadukan dengan karya teknis hidrolis berupa bendungan yang
sangat besar serta PLTA. Usaha Kepariwisataan dilaksanakan dengan memanfaatkan fasilitas purna proyek serba guna Jatiluhur yang berada di
sekitar waduk Jatiluhur untuk penginapan, pertemuan, olahraga dan rekreasi air. Tahun 2002 dilengkapi dengan gedung serba guna yang dapat
menampung lebih dari 300 orang peserta, disamping bisa digunakan perhelatan seperti pesta perkawinan dan lain - lain. Di bidang wisata air telah
diperbaharui sebuah kapal motor. d. Usaha lain-lainnya adalah sebagai berikut :
1 Pemanfaaatan lahan. Dalam upaya pengamanan dari pemanfaatan tanpa ijin dan
mengoptimalisasikan pemanfaatan lahan negara, PJT II menyediakan jasa pemanfaatan lahan dengan cara sewa dalam waktu tertentu atau kerjasama
usaha. 2 Pelayanan rekayasa teknik dan jasa laboratorium.
Bagi pemanfaat potensi di lingkungan perusahaan, PJT II menyediakan pelayanan rekayasa tehnik antara lain penyelidikan tanah, pengukuran,
dan perencanaan teknis untuk bangunan pengairan. Di samping itu, PJT II menyediakan jasa pelayanan laboratorium untuk penelitian kualitas air
yang merupakan salah satu laboratorium rujukan di Jawa Barat. 3 Jasa alat-alat berat.
PJT II memiliki berbagai jenis alat berat untuk pemeliharaan jaringan pengairan, dapat disewakan kepada pihak lain untuk kegiatan di
lingkungan daerah kerja PJT II.
2. Pelayanan Umum Pengelolaan Irigasi
Dalam rangka penyediaan bahan pangan nasional terutama beras, perusahaan senantiasa mengupayakan penyediaan air rata-rata sejumlah
5,75 miliar m³ setiap tahun. PJT II mengelola dan menyediakan air irigasi untuk sawah seluas 296.000 ha di Pantura, meliputi 242.000 ha sawah
mendapatkan air dari Waduk Jatiluhur irigasi Jatiluhur dan 54.000 ha sawah dari sumber setempat irigasi selatan Jatiluhur.
62 Dari lahan sawah tersebut dihasilkan 2,9 juta ton gabah kering pungut,
setara dengan 40 produksi Jawa Barat atau 8 produksi nasional. Jika harga dasar gabah Rp. 1.200,- per kg, maka lahan sawah irigasi yang
dikelola PJT II menghasilakan pendapatan sebesar Rp. 3,522 triliun. Menurut pakar pertanian, penyediaan air untuk produksi padi adalah 20
dengan demikian kontribusi PJT II dalam penyediaan air bernilai lebih kurang Rp. 710 miliyartahun.
Dalam pengelolaan DAS, PJT II mempunyai kewenangan pengelolaan dalam batas-batas aliran sungai in-stream, serta melaksanakan kegiatan
eksploitasi dan pemeliharaan sarana serta prasarana pengairan. Selain itu juga turut serta dalam upaya pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan
air dan sumber-sumber air dengan memberikan informasi, rekomendasi, penyuluhan atau bimbingan kepada pemanfaat air dan sumber-sumber air.
3. Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1232KMK.0131989, jo. Nomor : 316KMK.0161994 serta
petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi PPELK di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum tahun
1992 Nomor : UM.04.04 MN500, Perum Jasa Tirta II telah melaksanakan Program Pembinaan Pengusaha Kecil dan Koperasi sejak tahun 1991.
Dalam memberikan bimbingan dan bantuan kepada Koperasi dan Usaha Kecil serta Program Sarjana Pelaksana Konsultasi Manajemen Koperasi
PK MK, PJT II telah memberikan bantuan dana kepada KUD Desa tertinggal sebanyak 598 mitra binaan dengan jumlah dana yang disalurkan
sebesar Rp. 2,4 milyar. Pada tahun 1996 PUKK PJT II pada saat itu POJ mendapat penghargaan UPAKARTI dari Pemerintah.
3.2.5. Arah Pengembangan Perusahaan
Arah Pengembangan Perusahaan difokuskan pada : 1. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan prasarana produksi yang
ada.
63 2. Program peningkatan produksi air baku dan pariwisata diharapkan dapat
dilaksanakan dengan bermitra sektor swasta. 3. Peningkatan kemampuan dana perusahaan dalam melaksanakan tugas-tugas
pemerintah, khususnya mendukung pemenuhan pangan nasional melalui pengembangan pendapatan dari tarif pemanfaatan sumberdaya air.
4. Melaksanakan pengkajian tentang Pembentukan Badan Pengelolaan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane dan Way Seputih.
Selain itu, program kegiatan bidang pengembangan perusahaan meliputi pengembangan unit usaha, menambah kemampuan perusahaan, penugasan
pemerintah, pemanfaatan lahan, pengembangan sumberdaya air dan pengendalian banjir.
a. Pengembangan Unit Usaha
1. Tarif Energi Air PJT II akan menjajagi kemungkinan pengenaan tarif kepada PLTA Saguling
dan PLTA Cirata. Perhitungan tarif, sementara ini adalah Rp. 5,-kWh 2. Operasi Minihydro di Curug
Minihydro di Curug selesai tahun 2002 dengan kapasitas pembangkitan 6,3 MW. Sebagian dari produksi listrik yaitu sebesar 3,0 MW dapat dipasarkan ke
PLN dan sebagian lagi yaitu sebesar 3,3 MW untuk dipakai sendiri. 3. Peningkatan air baku untuk Bandung Raya dari 340 literdetik menjadi 1.500
literdetik dengan membangun saluran terowongan antara SWS Interbasin Cibutarua dioperasikan mulai tahun 2001, bekerjasama dengan investor
swasta. 4. Peningkatan pariwisata diupayakan melalui kerjasama dengan swasta untuk
investasi pembangunan fasilitas bermain anak-anak, pembangunan agro wisata, conference room dan rehabilitasi kolam renang.
5. Perubahan Kepmen PU No. 3751993 jo No. 3611996 tentang pemanfaatan lahan dan situ diperlukan untuk investasi jangka panjang.
6. Penambahan modal perusahaan untuk memberdayakan lahan-lahan potensial.
64 7. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 131998 dimungkinkan mendirikan
anak perusahaan. Calon anak perusahaan direncanakan adalah kegiatan pariwisata dan jasa konsultansi.
b. Peningkatan Kemampuan Perusahaan
Peraturan Menteri No. 52PRT1991 menetapkan bahwa biaya operasi pemeliharaan OP jaringan irigasi bersumber dari pemerintah. Mengingat selama
ini biaya OP jaringan irigasi bersumber dari subsidi silang PJT II, maka diharapkan dengan tersedianya dana dari pemerintah tersebut dapat meningkatkan
kemampuan perusahaan. Selain itu, dilaksanakan program berupa konstruksi fisik, pelatihan, desain dan studi terdiri dari :
a. Metropolitan Bandung Urban Development Program. Proyek prioritas I pada periode RJP berkaitan dengan pengembangan sumber daya air yaitu
Cibutarua Interbasin Canal, untuk menaikan kehandalan pasok air sungai Cisangkuy untuk PDAM Kabupaten Bandung dan peningkatan pasok air
sungai Citarik di Kecamatan Tanjung Sari. b. Rehabilitasi Pompa Tarum Timur. Rehabilitasi 6 unit pompa telah beroperasi
sejak tahun 1968 dengan sumber dana bantuan Pemerintah Perancis. Penandatanganan kontrak pelaksanaan pada bulan Agustus 1995 dan
diselesaikan 2001. c. Pembangunan Minihydro Power Plant Bendung Curug. Pekerjaan desain,
manufacturing dan pemasangan mini hydro 2x3 MW yang dibiayai oleh dana bilateral dari pemerintah Perancis, yang semula dijadwalkan selesai
pertengahan tahun 1998, baru selesai akhir tahun 2002. d. Pengendalian Banjir Sungai Citarum. Pelaksanaan Proyek Pengendalian
Banjir mendesak di Citarum Hulu dana bantuan dari OECF dan ADB. e. Rehabilitasi Situ Lembang. Dalam rangka mengantisipasi peningkatan
permintaan pasok air baku di daerah Cimahi, maka diperlukan peningkatan daya tampung Situ Lembang sehingga mampu menambah pasokan air baku
sebesar 200 literdetik 2003. f. Rehabilitasi situ-situ yang masih berfungsi sebagai penyediaan air irigasi dan
pengendalian banjir.
65 g. Jatiluhur Water Resources Management Project Preparation Study.
Menyangkut penyiapan desain teknik peningkatan Saluran Induk Tarum Barat, Tarum Timur, termasuk pembangunan sypon kali Bekasi, Bendungan
Cikarang dan Cibeet untuk meningkatkan kualitas air baku ke PT.Thames PAM Jaya dan peningkatan kapasitas pemompaan ke Saluran Tarum Barat.
3.3. Unit Bisnis Pembangkitan Saguling
PT. Indonesia Power adalah salah satu anak perusahaan listrik milik PT. PLN Persero yang didirikan pada tanggal 3 Oktober 1995 dengan nama PT.
PLN Pembangkit Tenaga Listrik Jawa Bali PT.PLN PJB I dan II dan pada tanggal 3 Oktober 2000 PT.PLN PJB I resmi berganti nama menjadi PT.
Indonesia Power. PT. Indonesia Power meiliki unit bisnis pembangkitan dan pemeliharaan. Unit-unit bisnis pembangkit tersebut adalah : Unit Bisnis
Pembangkit Suralaya, Tanjung Priok, Saguling, Kamojang, Mrica, Semarang, Perak, Grati dan Bali serta unit jasa pemeliharaan. Kiprah PT. Indonesia Power
dalam pengembangan usaha penunjang di bidang pembangkit tenaga listrik juga dilakukan dengan membentuk anak perusahaan PT. Cogindo Daya Perkasa
saham 99,9 yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan dan manajemen sinergi dengan penerapan konsep Cogeneration dan Distributed Generation, juga
PT. Indonesia Power mempunyai saham 60 di PT. Arta Daya Coalindo yang bergerak di bidang usaha perdagangan batu bara. Aktivitas kedua anak perusahaan
ini diharapkan dapat lebih menunjang peningkatan pendapatan perusahaan di masa mendatang.
UBP Saguling merupakan salah satu Unit Pelaksana Pengusahaan yang berada di bawah PT. Indonesia Power dan sebelumnya bernama PLN Sektor
Saguling terbentuk sesuai dengan surat PLN Pusat No. 064DIR1984 tanggal 10 Mei 1984 yang mengelola PLTA Saguling. Dengan adanya perubahan Struktur
Organisasi dalam rangka menuju kearah spesialisasi, maka keluar surat keputusan Pemimpin PLN Pembangkit dan Penyaluran Jawa bagian Barat NO.
006.K023KJB1991 tanggal 28 Pebruari 1991 dan SK Direksi PT. PLN PJB I
66 No. 001.K030DIR1995 tanggal 16 Oktober 1995, yaitu yang semula mengelola
1 unit ditambah 7 unit hingga 8 unit PLTA, seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Delapan PLTA yang termasuk dalam UBP Saguling.
No PLTA
Tahun Operasi Daya Terpasang
Total MW 1.
2. 3.
4. 5.
6. 7.
8. Saguling
Kracak Ubrug
Pleangan Lamajan
Cikalong Bengkok Dago
Pasir Kondang 1985,1986
1827,1958 1924, 1950
1922,1982,1996 1925,1934
1961 1923
1955 4 x 175,17
3 x 6,30 2 x 5.94, 1 x 6,48
3 x 1.08, 1 x 2.02, 1 x 1,61 3 x 6,52
3 x 1,05 3 x 1.05, 1 x 0.70
2 x 2.49, 2 x 2,46 700,72
18,90 18,36
6,87 19,56
19,20 3,85
9,90
Sumber : Profil UBP Saguling, 2006.
Sedangkan misi dari Unit Bisnis Pembangkit Saguling ialah ”Mengelola Bisnis Pembangkit Hidro dan Memberdayakan Sumberdaya Melalui Kemitraan,
Guna Menjamin Kontinuitas Dan Pertumbuhan Perusahaan Dalam Jangka Panjang”, dan mottonya adalah ”Mari.......Kita Bersinergi”.
3.3.1. Struktur Organisasi dan Manajemen UBP Saguling.
Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling.
Sumber : Profil UBP Saguling, 2006.
MNGR SISTEM
SDM MNGR
KEU MNGR
PEMELIHARAAN MNGR SUB
UNIT BISNIS ANEKA USAHA
MNGR OPR
NIAGA GENERAL MANAJER
- ENJINER PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN - ENJINER LINGKUNGAN, ASURANSI DAN KS
MANAJER HUMAS
PLTA SAGULING
700.72 MW PLTA UBRUG
18.36 MW PLTA
LAMAJAN 19.56 MW
PLTA BENGKOK
3.85 MW PLTA
SAGULING 700.72 MW
PLTA UBRUG 18.36 MW
PLTA LAMAJAN
19.56 MW PLTA
BENGKOK 3.85
67 Dengan komitmen dan kebijakan yang dicanangkan tahun 1999 Strategi
Rencana Jangka Panjang Tahun 2001–2005 dan ditindaklanjuti didalam Rencana Kerja dan Anggaran serta Kontrak Manajemen Tahun berjalan didapat hasil
dengan diraihnya sertifikat : a. Sertifikat Zero Accident Nihil kecelakaan periode 1996-2004.
b. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bendera Emas Tahun 2001 dan 2004.
c. Sertifikat System Manajemen Mutu ISO 9001 Versi 2000 Tahun 2004. d. Sertifikat System Manajemen Lingkungan ISO 14001 Tahun 2001.
e. Penghargaan Forum Efficiency Drive Program Terbaik I Tahun 2001. f. Penghargaan Terbaik I Kategori “Bersahabat Dengan Lingkungan” Tahun
2001. Memberdayakan sumberdaya seperti tanah, bangunan, fasilitas bengkel
dan SDM untuk memperoleh pendapatan lain di luar bisnis utama dengan mengembangkan usaha-usaha komersil antara lain :
a. Pengelolaan pemberdayaan dengan dikelola sendiri, bekerjasama dengan pihak kedua dengan cara bagi hasil maupun kemitraan.
b. Penelitian kualitas air waduk, danau, dan kawasan terbuka hijau untuk melihat tingkat pencemaran, kerjasama dengan PPSDAL – LP UNPAD dan ITB
dilaksanakan per triwulan. c. Pemantauan dan pengukuran sedimentasi di waduk dilaksanakan per semester
serta penghijauan disekitar waduk. d. Pasang rambu pengaman dan patok batas dipinggir waduk.
Peduli lingkungan melalui program community development pemanfaatan aset lahan surutan di pinggir waduk oleh masyarakat sekitarnya diantaranya ialah:
a. Pengobatan medis dan alternatif secara gratis dan donor darah. b. Mengadakan khitanan massal.
c. Bea siswa dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi dan pertandingan olah raga serta perbaikan sarana umum MCK, jalan, fasilitas ibadah, dan
lain - lain.
68
3.3.2. PLTA Saguling
PLTA Saguling terletak sekitar 30 km sebelah barat Kota Bandung dan 100 km sebelah tenggara DKI Jakarta dengan kapasitas terpasang 4 x 175,18 MW
dan produksi listrik rata-rata per tahun = 2,158 GWh CF = 35,12. Fungsi PLTA Saguling dalam kelistrikan se-Jawa dan Bali, selain untuk memikul beban
puncak juga berfungsi sebagai pengatur frekuensi sistem. Hal ini dimungkinkan dengan diterapkannya peralatan LFC Load Frequency Control di PLTA
Saguling. Sampai saat ini telah beroperasi 3 PLTA Sistem Kaskade di aliran sungai Citarum dan salah satunya adalah PLTA Saguling yang lokasinya berada
paling hulu. Sedangkan bagian hilirnya berturut-turut adalah PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur. Energi listrik yang dihasilkan PLTA Saguling disalurkan melalui
GITET gardu induk tegangan ekstra tinggi Saguling dan diinterkoneksikan ke sistem se-Jawa dan Bali melalui saluran udara tegangan ekstra tinggi
SUTET 500 KV untuk selanjutnya melalui GITET dan Gardu Distribusi disalurkan ke konsumen.
Untuk menjaga keandalan unit pembangkit, maka dilaksanakan pemeliharaan, baik yang bersifat rutin, predictive maintenance maupun periodik.
Begitu pula untuk mengetahui lebih dini jika terjadi kelainan-kelainan pada kondisi bangunan air, secara rutin dilaksanakan pemantauan instrumentasi
monitoring yang meliputi pemantauan survai, geoteknik, instrumentasi DAM dan sedimentasi. Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan,
generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling disajikan pada Tabel 6. Dalam rangka pelestarian lingkungan, dilakukan pemantauan kualitas air
waduk, penghijauan daerah aliran sungai dan pembersihan sampah dan gulma air secara rutin. Sedangkan untuk pemantauan curah hujan di DAS Citarum DTA
Saguling dan debit air masuk waduk serta air keluar pembangkit dipantau dengan sistem telemetering.
69 Tabel 6. Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan
turbin yang digunakan pada PLTA Saguling.
Uraian Dimensi Merek
Waduk Duga Muka Air Maksimum
Duga Muka Air Minimum Luas Waduk + 643 m
Isi seluruhnya
Isi Efktif :
: :
: :
+ 643,00 m + 623,00 m
48.695 ha 875 juta m³
611,5 juta m³
Bendungan Type
Tinggi
Elevasi Puncak Bendungan Panjang Puncak
Isi Tubuh Bendungan
: :
: :
: Urugan batu dengan inti kedap air
99,00 m 650,20 m
301,40 m 2,79 juta m³
Generator Merk
Type Kapasitas
Tegangan Arus
Frekuensi Putaran
: :
: :
: :
: Mitsubishi
Setengah Payung, 3 Phase, Synchronous 4 x 206,1 MVA
16,5 kV 7.212 Amp.
50 Hz 333 Rpm
Turbin Merk
Type Kapasitas
Putaran Debit pada Head Normal
Head Maks, Normal, Min :
: :
: :
: Toshiba
Francis Vertical 4 x 178,8 MW
333 Rpm 4 x 54,8 m³det.
363,6 m maks, 355,7 m normal, 343,4 m min
Sumber : Profil UBP Saguling, 2006.
3.4. Unit Pembangkitan Cirata 3.4.1. Latar Belakang
Daerah pengaliran sungai DPS Citarum merupakan daerah yang subur, bergunung-gunung dan dianugerahi curah hujan yang tinggi. Sungai Citarum tidak
pernah kering sepanjang tahun dan airnya digunakan penduduk untuk berbagai keperluan seperti rumahtangga, pengairan, pembangkit tenaga listrik dan lain -
lain. Dalam memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat, pemerintah menentukan kebijaksanaan penghematan penggunaan bahan bakar minyak. Pemanfaatan
potensi tenaga air sebagai energi listrik makin bertambah penting mengingat keterbatasan sumber energi primer disamping usaha konservasi air. Pembangunan
proyek PLTA Cirata merupakan salah satu pemanfaatan potensi tenaga air di
70 Sungai Citarum yang letaknya di wilayah Kabupaten Bandung, kurang lebih 60
km barat laut Kota Bandung atau 100 km dari Jakarta melalui jalan Purwakarta. PLN Proyek Induk Pembangkit Hidro Jawa Barat PIKITDRO JABAR
adalah unit PLN yang diserahi untuk menangani pembangunan pusat-pusat listrik tenaga air di wilayah Jawa Barat. Salah satu diantaranya adalah proyek PLTA
Cirata yang dapat membangkitkan energi listrik rata-rata sebesar 1,428 juta kilowatt jam per tahun. Untuk itu perlu dibangun sebuah bendungan tipe urugan
batu dengan permukaan berlapis beton sebagai bahan kedap air setinggi 125 meter, dengan ketinggian air maksimum 223 m diatas permukaan laut. PLTA
Cirata dibangun sejak bulan Januari 1984. Pada akhir bulan September 1988 telah dapat beroperasi dengan kapasitas penuh melalui kedelapan turbin dan
generatornya, sehingga Cirata dapat memiliki 8 unit pembangkit listrik dengan total daya terpasang 1.008 MW. Tenaga listrik yang dihasilkan PLTA Cirata
melalui generator dengan tegangan 16,5 kV dinaikkan menjadi 500 kV melalui trafo utama, kemudian melalui Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi 500 kV
GITET Cirata, energi tersebut disalurkan ke sistem interkoneksi 500 KV Jawa- Madura-Bali Jamali, Jaringan 500 kV tersebut dikendalikan oleh pusat
pengaturan dan penyaluran beban P3B Gandul Jakarta. UP Cirata merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara, dengan bangunan
Power House 4 lantai dibawah tanah yang pengoperasiannya dikendalikan dari ruang kontrol Switchyard berjarak ± 2 km dari mesin-mesin pembangkit yang
terletak di Power House. PLTA Cirata, sejak pertama dioperasikan pada tahun 1988 dikelola oleh PLN Persero Pembangkitan dan Penyaluran Jawa Bagian
Barat PLN JB Sektor Cirata. Pada tanggal 3 Oktober 1995 terjadi restrukturisasi di PLN Persero yang mengakibatkan pembentukan 2 anak perusahaan, yaitu PT
PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali I dan II PT.PJB I dan PT.PJB II, sehingga Sektor Cirata masuk wilayah kerja PT. PLN Pembangkitan Tenaga
Listrik Jawa Bali II. Kemudian pada tahun 1997, sektor Cirata berubah nama menjadi PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II Unit Pembangkitan
Cirata UP. Cirata. Dengan perkembangan organisasi sejak tanggal 3 Oktober 2000, PT.PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II berubah menjadi PT.
71 Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali, unit pembangkitan Cirata PT. PJB UP
Cirata.
3.4.2. Tahap Pelaksanaan
Tahap-tahap pelaksanaan pembangunan Proyek PLTA Cirata meliputi : 1. Survai pendahuluan, dimulai tahun 1975.
2. Studi kelayakan dilaksanakan tahun 1980-1981. 3. Studi analisis dampak lingkungan dimulai tahun 1981.
4. Perencanaan terinci dilaksanakan Pebruari 1981 – Oktober 1982. 5. Tahap pembangunan, dengan tahapan sebagai berikut :
a. Pekerjaan prasarana yang dimulai pada bulan April 1983, meliputi pembangunan jalan hantar, Base Camp, perbaikan dan peningkatan fasilitas
jalan, pemasangan jaringan listrik untuk konstruksi dan sebagainya. Disamping itu, terdapat pekerjaan-pekerjaan relokasi jalan, jembatan dan
fasilitas umum seperti terminal air, bangunan sekolah, balai desa, sarana mandi, cuci dan kakus MCK.
b. Pekerjaan utama meliputi : -LOT
I :
Pembuatan bendungan, bangunan pelimpah dan terowongan penggerak dilaksanakan oleh kontraktor Taisei
Co bekerjasama dengan PT. Pembangunan Perumahan dan Mitsubishi Co Jepang.
-LOT II : Pembuatan bangunan pengambilan air, terowongan tekan,
tangki pendatar air, rumah pembangkit, saluran pembuang, dilaksanakan oleh kontraktor Taisei Co Jepang
bekerjasama dengan PT. Pembangunan Perumahan dan Mitsubishi Co Jepang.
-LOT III
: Pekerjaan pipa pesat penstock, dilaksanakan oleh kontraktor Nissho Iwai Jepang bekerjasama dengan
PT.Boma Bisma Indra. -LOT IV
: Gate, Screen dan Valve pintu, saringan dan katup dilaksanakan oleh kontraktor Nissho Iwai Jepang
bekerjasama dengan PT.Boma Bisma Indra. -LOT
V : Turbin dilaksanakan oleh Kontraktor Voest Alpine
Austria bekerjasama dengan PT. Wasamitra.
72
Konsultan : NEW JEC New Japan Engineering Consultant bekerjasama dengan PT. Indra Karya. Dengan adanya System Joint Operation kerjasama
antara kontraktor asing dengan kontraktor nasional diharapkan akan didapat keuntungan-keuntungan bagi kontraktor nasional antara lain alih teknologi bagi
kontraktor nasional, memacu pertumbuhan kontraktor nasional, dan devisa negara untuk pekerjaan utama tidak seluruhnya diserap oleh perusahaan asing.
c. Pekerjaan telemetering hidrologi dan sistem peringatan banjir dilaksanakan oleh Puslitbang KIM-LIPI.
3.4.3. Kegiatan Usaha
Produksi dan sistem pengoperasian kegiatan usaha inti adalah pembangkit tenaga listrik dengan total daya terpasang 1.008 MW, terdiri atas Cirata I 4 unit
masing-masing operation daya terpasang 126 MW yang mulai dioperasikan tahun 1988 dengan total daya terpasang 504 MW. Cirata I dan II mampu
memproduksi energi listrik rata-rata 1,428 GWh per tahun dan disalurkan melalui jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi 500 kV ke sistem interkoneksi Jawa-
Madur-Bali Jamali. Kapasitas per unit PLTA disajikan pada Tabel 7. -LOT
VI : Generator dilaksanakan oleh kontraktor Elin Union
Austria bekerjasama dengan PT. Brantas Abipraya. -LOT
VII : Trafo utama dan serandang hubung switchyard, dilaksanakan oleh Kontraktor Cogelex Perancis
bekerjasama dengan PT. Cita Contrac. -LOT VIII : Jaringan transmisi dilaksanakan oleh kontraktor Brown
Boveri Jerman Barat bekerjasama dengan PT. Mega Eltra. -LOT IX
: Special equipment, terdiri dari beberapa paket pengadaan alat-alat berat, dan peralatan telekomunikasi dilaksanakan
oleh PT. United Tractors, PT. Triguna Utama, Sumitomo Co., PT. Natela, CV.3R Electronics.
73 Tabel 7. Kapasitas per unit PLTA.
Jenis Pembangkit Mulai Beroperasi Kapasitas
PLTA Unit 1 25 Mei 1988
126 MW PLTA Unit 2
29 Februari 1988 126 MW
PLTA Unit 3 10 Agustus 1988
126 MW PLTA Unit 4
15 Agustus 1988 126 MW
PLTA Unit 5 15 Agustus 1997
126 MW PLTA Unit 6
15 Agustus 1997 126 MW
PLTA Unit 7 15 April 1998
126 MW PLTA Unit 8
15 April 1998 126 MW
Total 1.008
MW
Sumber : Profil PJB Unit Cirata, 2006.
Untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1,428 GWh, dioperasikan 8 buah turbin dengan kapasitas masing-masing 129.000 kW dengan putaran 187,5
rpm. Adapun tinggi air jatuh efektif untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m³dt. Mengoperasikan unit pembangkit Cirata dapat
dilakukan dengan 3 mode sistem pengoperasian : 1. Mode operasi local manual, yaitu sistem pengoperasian yang dilakukan oleh
operator secara manual dari panel unit control Power House. 2. Mode operasi local auto, yaitu sistem pengoperasian yang dilakukan oleh
operator secara automatic dari panel unit control di ruang Power House. 3. Mode operasi remote, yaitu sistem pengoperasian yang menggunakan
teknologi tinggi berbasis komputer dimana unit dioperasikan dari kontrol desk di ruang kontrol Switchyard yang berjarak ± 2 km dari lokasi pembangkit
listrik. Dalam mengoperasikan seluruh unit pembangkit listrik PLTA Cirata
mengutamakan menggunakan mode operasi remote untuk mengoperasikan dan mengontrol semua sistem, karena lebih efisien dan efektif. Namun demikian
operator di lokasi rumah pembangkit selalu siap dengan mode operasi local auto maupun mode operasi local manual. Kinerja operasional Unit Pembangkitan
Cirata beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa hasil availability factor dan forced outrage rate diatas standar kelas dunia dari NERC EAF = 89,59 EFOR =
4,46 dan SOFF = 7,22. Pembangunan PLTA Cirata selain dibiayai langsung oleh
74 Pemerintah Indonesia melalui dana APBN dan non-APBN serta dana PLN juga
mendapat bantuan pinjaman dari luar negeri, yaitu : a. IBRD International Bank for Reconstruction and Development.
b. CDC Commonth Wealth Development Cooperation. c. SC Suppliers Credits.
d. Pemerintah Austria. Total biaya pembangunan PLTA Cirata meliputi Penyediaan dan Biaya
Pembangunan Cirata I sebesar :IBRD USD 241.300.000, CDC USD 18.800.000, SC USD 69.000.000, dan dari APBN + Non-APBN USD
235.900.000, sedangkan Cirata II sebesar Rp.132.272.182.016,00,-, Swiss Franc SFR 99.7291,00,- , Belanda NTD 207.933.845,00,-, Jepang Yen
2.791.593.431,00,-.
3.4.4. Organisasi
Organisasi UP Cirata, sejak 21 Oktober 1999 mengalami perubahan mengikuti perkembangan organisasi di PLN PJB yang fleksibel dan dinamis
sehingga mampu menghadapi dan menyesuaikan situasi bisnis yang selalu berubah. Perubahan yang mendasar dari unit pembangkit adalah dipisahkannya
fungsi operasi dan fungsi pemeliharaan, sehingga unit pembangkit menjadi organisasi yang clear and clean dan hanya mengoperasikan pembangkit untuk
menghasilkan GWh seperti yang disajikan pada Gambar 12.
a. Sumberdaya Manusia
Manusia adalah aset terpenting dalam perusahaan, sehingga UP Cirata memberikan kesempatan kepada seluruh pegawainya untuk mengikuti pendidikan
dan pelatihan yang berbasis kompetensi agar menjadi SDM yang profesional. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan kerja yang menggairahkan dan
memotivasi mereka untuk selalu bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Sikap profesionalisme para pegawai tetap dipertahankan dan ini terlihat dari hasil
kinerja perusahaan yang semakin membaik.
75
Gambar 13. Struktur organisasi unit pembangkitan Cirata.
Sumber : Profil PJB Unit Cirata, 2006.
b. Manajemen Sumberdaya Energi
Air merupakan sumber energi utama yang digunakan untuk memutar turbin pembangkit tenaga listrik sebanyak 8 unit. Oleh karena itu dibangun waduk
Cirata seluas 62 Km² dengan elevasi muka air banjir 223 m, elevasi muka air normal 220 m dan elevasi muka air rendah 205 m, sehingga volume air waduk
2,165 juta m³ dan isi efektif waduk 796 juta m³. Air waduk ini dikelola baik jumlah maupun mutunya agar tidak mengganggu atau merusak mesin-mesin
pembangkit.
MANAJER AUDITOR
Audit Manajemen Audit Keuangan
ENJINIRING
Root Cause Analysis O M Task Review Evahiare
Empowering
OPERASI Perencanaan Pengendalian Operasi
Produksi A,B,C,D Analis DBME
Analis Kinerja Unit LK3
Kesehatan dan keselamatan kerja Sistem manajemen mutu dan
Manajemen resiko Lingkungan
Akuntansi Anggaran Keuangan
Sistem Informasi Terpadu MANAJER
SDM Adm. Kepegawaian Pelatihan pengembangan SDM
Sekretariat, Humas Keamanan Pengadaan kontrak bisnis dan
Administrasi gudang Sarana
SDM ADMINISTRASI
PEMELIHARAAN Perencanaan Pengendalian Pemeliharaan
Pemeliharaan mesin Pemeliharaan listrik
Pemeliharaan instrumen kontrol Pemeliharaan sipil, monitoring DAM dan
Power house Inventory Control dan Catalogger
76
c. Manajemen Lingkungan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Ramah lingkungan merupakan trend dunia usaha yang berkembang dewasa ini, sehingga setiap industri dituntut untuk mengelola lingkungan dengan
baik berstandar internasional, aman serta berdampak positif bagi lingkungan sekitarnya. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan terhadap komponen :
a. Fisika dan kimia meliputi iklim dan kualitas udara serta fisiografi dan geologi. b. Kualitas air dengan parameter sesuai dengan peruntukannya.
c. Sedimentasi, berupaya penelitian tingkat erosi tahunan. d. Sosial ekonomi dan budaya yang meliputi pariwisata, pertanian pasang surut,
perikanan dan penghijauan di sekitar waduk. Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan prioritas utama dalam
menunjang keberhasilan setiap unit kerja. Oleh karena,dilaksanakan penyuluhan dan mensosialisasikan program zero accident serta membudayakan etos kerja
yang aman.
d. Aspek Lingkungan
Pembangunan Proyek PLTA Cirata membutuhkan tanah seluas kurang lebih 7.026 ha, untuk daerah konstruksi dan genangan air, sehingga menimbulkan
masalah kependudukan yang cukup besar. Kecuali itu genangan air akan menimbulkan pula perubahan lingkungan fisik dan biofisik lainnya. Sehubungan
dengan itu telah dilakukan studi analisis dampak lingkungan sejak awal perencanaan proyek, sehingga dapat diperkirakan dan dipantau perubahan
lingkungan yang akan terjadi, serta diusahakan untuk menghilangkan atau mengurangi dampak negatif dan memacu dampak positif pembangunan PLTA
Cirata. Dalam penanganan masalah lingkungan tersebut, telah dijalin kerjasama dengan berbagai instansi dan lembaga penelitian antara lain :
a. Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan UNPAD untuk studi analisis dampak lingkungan.
b. Pemerintah Daetah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Tingkat II Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta dalam menyelesaikan masalah pemindahan
penduduk dan pembebasan tanah.
77 c. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan untuk meneliti hidrologi dan
sedimentasi. d. Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan UNPAD bekerjasama
dengan ICLARM Internasional Center for Living Aquatic Resources Management Manila, untuk membantu Studi Pengembangan Akuakultur dan
Perikanan dalam rangka pemukiman kembali penduduk yang terkena proyek PLTA Saguling dan Cirata.
e. Dinas Perikanan dan Provinsi Jawa Barat dengan Unit Pelaksana Teknis untuk penanganan penyaluran penduduk dalam bidang perikanan.
f. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta dalam penelitian peninggalan sejarah dan penyelamatannya.
g. Kantor Wilayah VI Departemen Parpostel Jawa Barat untuk pendidikan dan latihan pariwisata dalam penelitian pengembangan pariwaisata.
h. Banyak penelitian lain yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah maupun swasta yang langsung maupun tidak langsung bermanfaat bagi PLTA Cirata.
3.4.5. Dampak Pembangunan PLTA Cirata
1. Dampak Positif a. Menghasilkan listrik dengan daya terpasang 1008 MW dan energi per
tahun sebesar 1,428 juta kWh, sehingga menambah daya dan keandalan pada sistem kelistrikan.
b. Menghemat bahan bakar minyak. c. Meningkatkan keandalan penyediaan air waduk Jatiluhur untuk air minum
dan irigasi. d. Memacu perkembangan industri dan perekonomian.
e. Mengembangkan usaha perikanan dan pariwisata. f. Menyediakan lapangan kerja baru.
2. Dampak Negatif a. Tergenangnya lahan
Luas tanah yang diperlukan untuk daerah genangan kurang lebih 6.334 ha yang meliputi Kabupaten Bandung 38, Kabupaten Cianjur 41, dan
Kabupaten Purwakarta 21. Selain itu masih diperlukan kurang lebih
78 692 ha tanah yang terletak diluar daerah genangan untuk pembangunan
konstruksi. Perincian tata guna lahan daerah tergenang : 1 Tanah desa perumahan
219 ha 2 Sawah
1.656 ha
3 Ladang dan
Perkebunan 3.584
ha 4 Kehutanan
689 ha 5 Tanah Negara jalan, sungai, dan lain-lain
186 ha Jumlah
6.334 ha
b. Pemindahan Penduduk Jumlah penduduk yang harus dipindahkan dari daerah genangan tercatat
6.335 kepala keluarga KK, yang tersebar di tiga Kabupaten yaitu : 1. Kabupaten Bandung
1.652 KK 2. Kabupaten Cianjur
3.818 KK 3. Kabupaten Purwakarta
865 KK Selain itu terdapat pula 3.766 KK penduduk yang terpengaruh proyek
yaitu mereka yang bertempat tinggal di atas daerah genangan yang mempunyai tanah atau mempunyai pekerjaan di daerah genangan, yang tersebar di tiga daerah
tersebut yaitu : 1. Kabupaten Bandung
596 KK 2. Kabupaten Cianjur
2.984 KK 3. Kabupaten Purwakarta
186 KK Pada dasarnya sasaran kebijakan pemindahan penduduk ialah
mengusahakan peningkatan kesejahteraan masyarakat atau paling tidak mempertahankan taraf kesejahteraan hidup yang sama dengan saat sebelum
masyarakat dipindahkan. Alternatif penyaluran penduduk serta sasaran yang digariskan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat adalah dengan jumlah 10.101
KK. Dampak negatif lain yang diperkirakan mempunyai potensi berkembang, sehingga perlu dipantau :
1.
Kemungkinan-kemungkinan eksplosi gulma air.
2.
Kemungkinan timbulnya berbagai penyakit karena adanya genangan air.
79
3.
Kemungkinan meningkatnya erosi, sampah dan limbah kota yang menyebabkan pencemaran serta mempercepat pendangkalan waduk.
3.4.6. Pengelolaan PLTA Cirata
PT.PJB UP Cirata diserahi tugas untuk menangani pengelolaan PLTA Cirata baik operasi dan pemeliharaan Unit-Unit Pembangkit dan alat bantunya
maupun bangunan – bangunan air dan lingkungannya. Operasi PLTA Cirata dikendalikan dari Ruang Kontrol di Switchyard yang berjarak 2 km dari mesin-
mesin pembangkit yang terdapat di rumah pembangkit di dalam tanah. Sistem tersebut dimungkinkan dengan adanya unit mikro processer ASCE automatic
sequence control equipment dan unit komputer SCE supervisory control equipment yang berfungsi mengatur dan mengawasi jalannya mesin pembangkit.
Operator dengan bantuan keyboard dan layar monitor dapat men-start dan stop unit, mengatur tegangan, MVAR dan beban. Event recorder akan selalu
memberikan informasi kondisi peralatan, parameter-parameternya dan data-data operasi yang diperlukan. Alarm timbul bila terjadi gangguan atau kondisi tidak
normal pada peralatan-peralatan unit, dan event recorder akan mencatat jenis gangguan tersebut secara otomatis. Tujuh buah kamera televisi ditempatkan pada
lokasi-lokasi penting di areal PLTA Cirata dan dapat dimonitor langsung dari Ruang Kontrol tersebut. Hubungan dengan Pusat Pengatur Beban di Gandul,
Jakarta, dapat dilakukan melalui radio, telepon, Jwatt dan telex. Pada bendungan Cirata terdapat DAM Control Centre DMCC yang dilengkapi dengan
hidrological monitoring telemetering system yang berfungsi untuk memantau secara tepat waktu real time kondisi hidrometeorologi di catchment area, tinggi
muka air waduk, debit air yang masuk waduk, meramalkan banjir yang akan tiba, dan memberikan tanda atau signal bila hujan atau debit yang masuk melebihi
batas tertentu. Data tersebut bersumber dari 15 stasiun pengukur hujan atau debit yang tersebar di Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta yang dipantau
secara Telemeteri melalui 3 stasiun pengulang repeater. Untuk komunikasi data sistem ini dihubungkan pula dengan DAM Control
Centre PLTA Saguling dan Puslitbang Air Departemen Pekerjaan Umum di Bandung. Di tepi sungai hilir bendungan dan Pusat Pembangkit, ditempatkan 12
80 buah Discharge Warning Station yang digunakan untuk memberikan peringatan
kepada masyarakat bila air akan dikeluarkan dari waduk maupun dari pusat pembangkit. Bangunan bendungan dan tumpukan di sekitarnya, rumah
pembangkit dan terowongan-terowongan pelengkapnya serta tebing-tebing disekitar PLTA, dipantau stabilitasnya dengan mempergunakan instrumen-
instrumen pengukur perubahan letak, perubahan tegangan - tegangan, rembesan, dan lain - lain. Sedimentasi yang terjadi didalam waduk diukur secara periodik
dan dipantau perkembangannya. Usaha - usaha untuk mencegah peningkatan sedimentasi dilakukan melalui pemantauan lingkungan hidup dan koordinasi
dengan instansi-instansi terkait.
3.5. PDAM Tirta Dharma Letak Daerah dan Topografi
Tirta Dharma adalah Perusahaan Daerah Air Minum PDAM Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Kabupaten Purwakarta secara geografis terletak di bagian
tengah Provinsi Jawa Barat yaitu 107º10’ - 107º30’ Bujur Timur dan 6º 25’ - 6º45’ Lintang Selatan, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Karawang, sebelah timur, berbatasan dengan Kabupaten Subang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur, dan sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Karawang. Luas Kabupaten Purwakarta adalah 971,72 km
2
dan luas Kota Purwakarta adalah 24,83 km
2
Topografi Kabupaten Purwakarta secara geografis diklasifikasikan dalam 3 wilayah yaitu Kabupaten Purwakarta Bagian Utara yang meliputi Kecamatan
Cempaka, Purwakarta, dengan ketinggian antara 25–500 m diatas permukaan laut dpl, Kabupaten Purwakarta Bagian Barat yang meliputi Kecamatan Jatiluhur
Sukatani, yang merupakan permukaan air danau Jatiluhur dengan ketinggian 107 m dpl. Sedangkan tanah daratan yang ada disekitarnya berda pada ketinggian
kurang lebih 400 m dpl dan Kabupaten Purwakarta Bagian Selatan dan timur meliputi Kecamatan Plered, Maniis, Tegalwaru, Sukatani Darangdan, Bojong dan
Wanayasa Kiara Pedes, Pasawahan, dengan ketinggian lebih dari 200 m dpl.
81
Iklim Daerah
Keadaaan Iklim di Kabupaten Purwakarta pada umumnya beriklim tropis dengan curah hujan yang relatif tinggi dengan curah hujan rata-rata 3.093 mmth.
Wilayah Kabupaten Purwakarta terbagi dalam 2 zona hari hujan yaitu : 1. Zona dengan suhu berkisar antara 22–28
C, meliputi wilayah Kecamatan Purwakarta, Campaka Plered, Jatiluhur, Tegalwaru, Pasawahan dan
Kecamatan Sukatani. 2. Zona Dengan suhu berkisar anatara 17-26
C, meliputi wilayah kecamatan Darangdan, Bojong dan Kecamatan Wanayasa.
Kependudukan
Jumlah rumahtangga dan penduduk di Kabupaten Purwakarta tahun 2000 hasil sensus penduduk tahun 2000 disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah rumah tangga dan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan tahun 2000.
No Kecamatan Rumah Tanga
KK Jumlah Penduduk
Jiwa 1.
2. 3.
4. 5.
6. 7.
8. 9.
10. 11.
Jatiluhur Maniis
Tegalwaru Plered
Sukatani Darangdan
Bojong Wanayasa
Pasawahan Purwakarta
Campaka 13.985
7.208 10.848
14.054 9.856
14.961 10.217
15.192 15.158
48.796 44.088
50.965 25.610
38.953 57.196
40.347 57.131
39.027 55.341
58.189
186.701 88.834
Jumlah 186.282
698.294 Sumber : Kantor Stastistik Kabupaten Purwakarta Purwakarta Dalam Angka, 2002.
Proyeksi pertumbuhan rata-rata penduduk Kabupaten Purwakarta antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 didasarkan pada hasil sensus penduduk
Kabupaten Purwakarta tahun 1999-2000 sebesar 2,25 per tahun. Berdasarkan angka perkiraan pertumbuhan penduduk seperti tersebut, maka pertumbuhan
penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan Tahun 2006 dapat diproyeksikan sebagaimana disajikan pada Tabel 9.
82 Tabel 9. Proyeksi penduduk Kabupaten Purwakarta Tahun 2000–2006.
No Kecamatan Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 11
Jatiluhur Maniis
Tegalwaru Plered
Sukatani Darangdan
Bojong Wanayasa
Pasawahan Purwakarta
Campaka 50.965
25.610 38.953
57.196 40.347
57.131 39.027
55.341 58.189
18.6701 88.834
51.903 26.232
39.728 58.311
41.360 58.348
39.737 56.287
59.341
191.854 91.179
52.858 26.870
40.519 59.448
42.398 59.591
40.461 57.250
60.516
197.149 93.586
53.830 27.523
41.325 60.608
43.462 60.860
41.947 58.229
61.714
202.590 96.057
54.821 28.192
42.147 61.789
44.553 62.156
42.710 59.225
62.936
208.182 98.593
55.830 28.877
42.986 62.994
45.671 63.480
43.487 60.237
64.182
213.928 101.196
60.053 29.578
43.842 64.223
46.818 64.832
44.279 61.267
65.453
219.832 103.867
Jumlah 698.294 714.281
730.645 747.395
764.541 782.091
800.057 Sumber : Kantor Stastistik Kabupaten Purwakarta Purwakarta Dalam Angka, 2002.
Perkembangan pembangunan sistem penyediaan air bersih untuk masyarakat Kabupaten Purwakarta dilakukan secara bertahap dan sampai saat ini
dari 11 Kecamatan yang ada, baru 6 Ibu Kota Kecamatan yang telah dilayani Air Bersih PDAM Kabupaten Purwakarta. Ibu Kota Kecamatan tersebut, adalah
Kecamatan Purwakarta Kota Purwakarta dan Desa Pasawahan, Kecamatan Jatiluhur Kota Jatiluhur, Kecamatan Wanayasa Kota Wanayasa, Kecamatan
Campaka Kota Campaka, Kecamatan Plered Kota Plered, dan Kecamatan Darangdan Pasir Angin.
3.5.4. Visi dan Misi PDAM Tirta Dharma
Tirta Dharma sebagai salah satu instansi yang bergerak dalam bidang pelayanan umum, dituntut untuk senantiasa meningkatkan pelayanan yang prima.
Untuk mewujudkannya dibutuhkan visi dan misi yang jelas. Visi dan misi PDAM Kabupaten Purwakarta adalah ”Menuju Pelayanan Prima Air Bersih Terhadap
Masyarakat”. Tujuan utama didirikan PDAM adalah mewujudkan dan meningkatkan pelayanan akan kebutuhan air minum bagi masyarakat secara adil
dan merata yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, berkesinambungan dan merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Sampai sejauh ini
pengelolaan sarana dan prasarana air bersih pada umumnya belum dilaksanakan secara efisien, sebagian besar PDAM belum mampu dengan baik melayani
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih, baik kuantitas, kualitas maupun kontuinitas. Salah satu penyebab antara lain adalah belum dimilikinya
83 perencanaan pengelolaan yang menyeluruh, yang disusun dengan memperhatikan
kondisi internal maupun eksternal PDAM.
PT. Thames PAM Jaya
PT. Thames PAM Jaya TPJ yang didirikan pada Februari 1998 merupakan perusahaan patungan yang 95 dimiliki oleh Thames Water. Dalam
perjanjian kerjasama 25 tahun dengan PAM Jaya, TPJ mengelola, mengoperasikan, memelihara dan mengembangkan sistem pasokan air air bersih
ke lebih dari 2,5 juta orang dan juga mendapat kewenangan untuk menangani seluruh aktivitas pananggihan rekening air kapada lebih dari 320.000 pelanggan
per September 2002 sementara kewenangan penetapan tarif air tetap pada Pemerintah Daerah. Kondisi sekilas TPJ 2002 disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Kondisi sekilas PT. Thames PAM Jaya 2002.
No. Komponen Keterangan
1. Investasi per akhir Maret 2002
Rp. 3090,8 milyar 2. Total pengembangan dan
perbaikan jaringan 965,7 km panjang total jaringan pada 1997
adalah 4.400 km 3. Total sambungan
327.445 total sambungan per tahun 1997 adalah 268.000
4. Penggantian meter air kecil
148.273 5.
Penggantian meter air besar 1.944
6. Total penggantian meter air
151.217 7.
Supervisi Analisa kualitas air 1.000 sampel air bulan
8. Penurunan jumlah air tak terhitung
Dari 57,6 menjadi 48,59 per September 2002
9. Kinerja pengolahan air Sertifikat ISO 9002 untuk manajemen proses
April 2000 10. Jumlah populasi yang terlayani 2,7 juta jumlah populasi di dalam area TPJ :
4,5 juta 11. Cakupan
layanan 60,35
12. Volume air yang terjual 529,7 juta m³ 1998 – September 2002
13. Kapasitas produksi
: o
Buaran I 2.000 liter per detik
o Buaran II
3.000 liter per detik o
Pulo Gadung 4.000 liter per detik
o Instalasi Kecil Condet
50 liter per detik
Sumber : Profil PT Thames PAM Jaya, 2006
84
3.6.1. Empat Kepedulian TPJ
Empat kepedulian TPJ dalam menjalankan strategi operasional perusahaan yaitu menerapkan standar internasional pada pengoperasian jaringan air di Jakarta,
membangun infrastruktur sebagai bagian dari investasi, pengembangan karyawan, dan peduli terhadap masyarakat.
a. Penerapan standar internasional
Komitmen TPJ untuk menerapkan standar internasional terbukti antara lain dengan mendapatkan ISO 9002 untuk manajemen proses pada bulan April
2000. Saat ini, air bersih yang diproduksi TPJ telah memenuhi ketentuan Departemen Kesehatan RI. Dalam meningkatkan efisiensi pelayanan, TPJ juga
telah mengimplementasikan teknologi baru, diantaranya adalah sistem informasi geografis GIS untuk kepentingan manajemen asset, peralatan deteksi suara
kebocoran di bawah tanah, dan alat pembaca meter genggam yang digunakan pembaca meter, yang secara otomatis dapat ditransfer ke sistem komputer. Selain
itu, terdapat 13 kantor pelayanan pelayanan KPP yang tersebar di lokasi yang mudah dicapai pelanggan dan siap melayani pelanggan selama jam kerja. TPJ
juga menyediakan Call Center 24 jam untuk melayani keluhan melalui telepon, baik untuk masalah rutin maupun darurat.
TPJ juga menerapkan standar internasional untuk bidang keselamatan dan kesehatan, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Thames Water
International untuk operasi di kawasan Asia Pasifik, antara lain prosedur keselamatan dan kesehatan yang terperinci dan juga pelatihan teratur bagi para
staf, dengan penekanan pada peranan tiap karyawan untuk menjaga keselamatan diri mereka dan orang lain serta mencegah terjadinya cedera.
b. Investasi di bidang infrastruktur
Komitmen kedua terlihat dari fakta bahwa sampai September 2002 telah diselesaikan pembangunan dan perbaikan lebih dari 960 km jaringan, penggantian
lebih dari Rp 390 milyar telah ditanamkan untuk pembangunan jaringan distribusi air. Dengan infrastruktur yang solid, TPJ berhasil menambah 59.000 sambungan
baru yang berarti memperluas daerah layanan hingga lebih dari 60.
85
c. Pengembangan karyawan
Merupakan kebijakan Thames Water untuk sebanyak mungkin mempekerjakan dan memajukan staf lokal. Untuk itu, pelatihan dan pendidikan
sudah menjadi prioritas. Di TPJ, hal ini dibuktikan dengan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengikuti program strata 2 Manajemen
Bidang Air di Universitas Indonesia dan baru-baru ini TPJ menjalankan Program Pengembangan Strata 1 yang dimulai pada September 2001. Selain itu, pegawai
TPJ tingkat tertentu juga diikutsertakan dalam Program Manajer Operasional selama 18 bulan yang diadakan Thames Water.
d. Peduli terhadap masyarakat dan sekitarnya.
Komitmen ke 4 merupakan tanggungjawab sosial perusahaan diwujudkan melalui kerjasama dengan masyarakat setempat dalam upaya memberikan
kontribusi yang membangun dengan manfaat yang tidak hanya akan dirasakan sesaat namun berjangka panjang. Salah satu contoh adalah proyek Marunda yang
telah mendapat penghargaan Wordaware Business Award 2000. Melalui proyek ini, sejak tahun 1999 rumahtangga kurang mampu di daerah ini dapat menikmati
sambungan air bersih, yang biayanya hanya sepertiga dari air eceran yang harus mereka beli sebelumnya. Pasokan air bersih ke rumah-rumah ini secara dramatis
telah meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang menerimanya. Sejalan dengan nilai-nilai tanggung jawab sosial yang dianut oleh Thames Water, TPJ telah
berkomitmen untuk membantu masyarakat kurang mampu dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.
3.6.2. Penggabungan Thames Water dan RWE
Penggabungan Thames Water dan RWE telah menciptakan satu perusahaan pengelolaan air bersih dan limbah ketiga terbesar di dunia dengan 43
juta pelanggan di seluruh dunia. Penggabungan ini memungkinkan Thames Water untuk menimba lebih banyak pengetahuan dan keahlian dari seluruh dunia,
sementara pengaruh dan kekuatan finansial RWE merupakan keuntungan bagi Thames Water untuk mengembangkan dan melebarkan bisnis secara global.
RWE adalah ”One Group, Multi Utilities” – Suatu Pemenuhan standar : Kepuasan Pelanggan.
86 Seratus tahun pengalaman, keahlian dan inovasi merupakan landasan
RWE Group dalam beroperasi. Seluruh bisnis utamanya yang meliputi listrik,gas,air dan pengelolaan limbah memiliki standar dunia. Nama RWE identik
dengan organisasi yang berorientasi pada pelanggan dapat diandalkan dan berpikiran maju. Budaya korporasi yang dijalankan oleh RWE adalah :
a. Struktur dan proses yang inovatif
Sebuah perusahaan induk yang memayungi seluruh operasi dan rantai kegiatan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kelompok ini. Tiap anak
perusahaan memfokuskan diri pada sebuah bisnis utama, yang terdiri mulai dari sumber daya dan produksi hingga penjualan dan distribusi. Pengelolaan biaya
yang efektif, kekuatan inovatif, pelayanan menyeluruh, hubungan baik dengan pelanggan seiring dengan layanan dan kualitas handal merupakan prioritas utama
dari tiap anak perusahaan.
b. Komitmen yang mendunia
Bisnis internasional merupakan bagian yang penting dari strategi pengembangan usaha di RWE. Saat ini, RWE berkiprah di lebih dari 120 negara
di seluruh dunia, dan bisnis internasional menyumbangkan sekitar sepertiga dari total pendapatannya. Selama tahun anggaran 2000-2001, RWE Group meraih
pendapatan sebesar kira-kira Euro 63 miliar dan mempekerjakan sekitar 170.000 karyawan di seluruh dunia.
c. Budaya baru TPJ ditentukan oleh 6 nilai utama
1. Hubungan kerja yang terbuka, saling percaya, mendengarkan dan memahami. 2. Komitmen kepada seluruh karyawan.
3. Bekerja sama secara team dalam memecahkan permasalahan. 4. Komitmen terhadap peningkatan kinerja melalui inovasi.
5. Mendukung sepenuhnya inisiatif-inisiatif yang muncul. 6. Komitmen yang kuat kepada pelanggan kita.
87
d. Ukuran keberhasilan
1. Target-target kerja yang jelas bagi setiap departemen. 2. Perbaikan proses kerja menuju peningkatan efisiensi kerja.
3. Penyusunan standar-standar kinerja hasil akhir,waktu. 4. Peningkatan kerjasama antar departemen.
5. Membangun semangat kerjasama dan kelompok kerja antar departemen. 6. Pemimpin-pemimpin kelompok dan proyek.
7. Membina hubungan-hubungan dengan pihak luar, membangun kesadaran masyarakat.
4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN
4.1. Latar Belakang
Sebagaimana diuraikan terdahulu Bab 1, DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan
dan perkebunan tanaman keras tahunan. Kecuali fungsi produksi ekonomi dan sosial, vegetasi tersebut juga memiliki fungsi perlindungan ekologi wilayah
DAS. Penggunaan lahan dan perubahannya dapat dijadikan indikator tingkat dan dinamika kegiatan manusia antropogenik pada suatu wilayah. Sandy 1982
menyatakan bahwa peningkatan kegiatan antropogenik tersebut menimbulkan peningkatan kebutuhan akan lahan dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya
perubahan tataguna lahan dan hutan landuse change and forestry. Pada umumnya, lahan yang diperuntukan untuk menampung aktivitas manusia tidak
mencukupi sehingga menggunakan areal peruntukan lain melalui konversi seperti halnya lahan hutan.
Perubahan penggunaan lahan tersebut telah menyebabkan perubahan terhadap penutup lahan land cover baik dalam bentuk kuantitas maupun
kualitasnya. Peranan penutup lahan dalam suatu ekosistem DAS sangat penting khususnya untuk perlindungan sumberdaya air dan habitat bagi keanekaragaman
hayati. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ditujukan untuk mengetahui perubahan penutup lahan DAS Citarum khususnya wilayah hulu pada periode
1992-2002.
4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian perubahan penutup lahan dilaksanakan terhadap Peta Tataguna Lahan dan Citra Satelit Multi Temporal DAS Citarum 1992 dan 2002 yang terdiri
dari tiga Sub DAS yaitu Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur. Ketiga Sub DAS tersebut berada dalam administrasi pemerintahan
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung dan Kota
89 Cimahi. Secara geografis, wilayah penelitian terletak pada 6º 30
′ LS - 7º 12′ LS serta 107º 00
′ BT - 107º 55′ BT. Pengolahan data dan interpretasi citra tersebut dilaksanakan di
Laboratorium Penginderaan Jauh, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan dan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian, Bogor. Penelitian berlangsung mulai Februari 2006 sampai dengan Mei 2006.
4.3. Bahan dan Metode Analisis Perubahan Penutup Lahan
Untuk mengetahui perubahan penutup lahan yang terjadi khususnya di DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1992-2002, maka dilakukan analisis penutup
lahan. Bahan yang diperlukan adalah : 1.
Peta tataguna lahan dan citra satelit multi temporal 1992 dan 2002. 2.
Peta rupa bumi Indonesia RBI atau Peta Topografi 1992. 3.
Satu unit komputer dan software ER-Mapper. Analisis penutup lahan tersebut dilakukan dengan menginterpretasi peta
tataguna lahan dan citra satelit 1992 dan 2002. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui jenis penutup lahan, komposisi dan distribusi spasialnya. Diagram alir,
tahapan analisis penutup lahan dan interpretasinya disajikan pada Gambar 14. Menurut Balsem and Buurman 1989 dalam Direktorat Jenderal Reboisasi
dan Rehabilitasi Lahan 1998, klasifikasi penutup lahan menggunakan sistem klasifikasi yang disusun oleh terdapat 12 kelas utama yaitu tegalan, persawahan,
perladangan, padang rumput, perkebunan, semak, wanatani, reboisasi, hutan, air, tanah tandus, dan pemukiman. Dalam penelitian ini, dilakukan penggolongan
penutup lahan sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu hutan, rawa, sawah tadah hujan, sawah irigasi, permukiman, perkebunan, tegalan dan waduk. Sebelum
menganalisis data mentah raw data citra satelit dan pembatasan wilayah kerja image cropping dilakukan koreksi terhadap kesalahan distorsion radiometri
dan geometri, sehingga diperoleh gambaran image yang lebih kontras sesuai dengan obyek, bentuk dan ukuran atau skalanya.
90
Gambar 14. Diagram alir analis perubahan penutup lahan tataguna lahan.
Teknik analisis digital analysis supervised classification digunakan untuk menganalisis data citra satelit melalui aplikasi software ER Mapper, dengan hasil
akhir disajikan dalam bentuk data spasial peta, data tabular dan naskah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001. Dalam penelitian
ini, analisis lebih lanjut tentang perubahan penutup lahan dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis overlaying, difokuskan pada penutup lahan
yang diduga signifikan pengaruhnya terhadap karakteristik hidrologis DAS yaitu dari penggunaan lahan untuk hutan dan pemukiman.
- Data landsat
Tahun 1992 -
Peta Topografi RBI Tahun 1990-an
- Peta Landuse -
Koreksi geometri - Penajaman
- Kroping
- Data landsat Tahun 2002
- Peta Topografi RBI Tahun 2002
Citra DAS Citarum Terkoreksi Tahun 1992
Citra DAS Citarum Terkoreksi Tahun 2002
Digital Analysis Supervised Classification
Peta Interpretasi Tataguna Lahan Tahun 1992
Peta Interpretasi Tataguna Lahan Tahun 2002
Konfirmasi dan Validasi lapangan
Peta Tataguna Lahan Tahun 1992
Peta Tataguna Lahan Tahun 2002
Overlay Perubahan Tataguna
Lahan Tahun 1992-2002
91
4.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Penutup Lahan
Interpretasi terhadap Peta Landuse dan Citra Satelit TM7 1992 dan 2002 menghasilkan data jenis penutup lahan, kuantifikasi dan perubahannya baik pada
masing-masing Sub DAS maupun secara keseluruhan DAS Citarum. Untuk memudahkan analisa, penutup lahan dikelompokkan ke dalam delapan jenis, yaitu
hutan, rawa, sawah tadah hujan, sawah irigasi, permukiman pemukiman, perkantoran, industri, infrastruktur, lapangan udara, lapangan golf dan lahan
terbuka, perkebunan karet, kakao, kina, teh, kebun bunga dan kebun campuran, tegalan sayuran dan palawija dan waduk. Peta penutup lahan DAS Citarum
disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16, dengan komposisi sebagaimana disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12.
Gambar 15. Peta penutup lahan DAS Citarum 1992.
92
Gambar 16. Peta penutup lahan DAS Citarum 2002. Berdasarkan hasil analisis digital peta tahun 1992 dan 2002 didapatkan
total luas DAS Citarum adalah 704.569 ha yang dapat dibagi dalam dua bagian wilayah, yaitu DAS Citarum Wilayah Hulu dan DAS Citarum Wilayah Hilir.
DAS Citarum Wilayah Hulu seluas 486.237 ha yang terdiri dari Sub DAS Saguling seluas 256.758 ha 52,81, Sub DAS Cirata seluas 157.118 ha
32,31 dan Sub DAS Jatiluhur seluas 72.361 ha 14,88 dan DAS Citarum Wilayah Hilir seluas 218.332 ha. Pembagian kedua wilayah tersebut didasarkan
pada Bendungan Ir. H. Djuanda Jatiluhur Bagian Utara dan Bagian Selatan. Batasan luas Sub DAS tersebut berpedoman pada batas-batas topografi igir-igir,
perbukitan dan pegunungan dan bendungan dam di wilayah hilir masing- masing Sub DAS. Akan tetapi dalam kaitannya dengan daerah tangkapan air
DTA atau catchment area, batas Sub DAS berpedoman pada tingkat pengaruh hidrologis Sub DAS yang berada di hulu terhadap Sub DAS wilayah hilir.
93 Tabel 11. Komposisi penutup lahan masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum
Wilayah Hulu 1992 dan 2002.
Jenis Penutup Lahan Komposisi Luas Sub DAS DAS
Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Wilayah
Hulu total ha ha ha ha
Tahun 1992
Hutan 65.752
25,61 43.373 27,61
8.551 11,82 117.676 24,20
Rawa 344
0,13 0 0,00 0 0,00 344 0,00
Sawah Tadah
Hujan 5.354
2,09 1.802 1,15
2.346 3,24 9.502 1,95
Sawah Irigasi
58.096 22,63
36.217 23,05 25.68 34,92
119.581 24,59 Permukiman
18.580 7,24
2.544 1,62 3.394 4,69
24.518 5,04 Kebun Perkebunan
16.295 6,35
24.821 15,80
13.627 18,83
54.743 11,26
Tegalan 88.321
34,40 40.011 25,47
11.987 16,57 140.319 28,86
Waduk 4.016
1,56 8.350 5,31
7.188 9,93 19.554 4,02
J u m l a h 256.758
100,00 157.118
100,00 72.61
100,00 486.237
100,00
Tahun 2002
Hutan 45.668 17,79
27.980 17,81
5.986 8,27
79.634 16,38
Rawa 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00
Sawah Tadah
Hujan 5.507 2,14 590 0,38 6.554 9,06
12.651 2,60 Sawah
Irigasi 42.114
16,40 39.385 25,07
10.868 15,02 92.367 19,00
Permukiman 36.598
14,25 6.756 4,30
5.209 7,20 48.563 9,99
Kebun Perkebunan 43.308
16,87 22.445
14,29 20.627
28,51 86.380
17,76 Tegalan
77.653 30,24
49.648 31,60 15.137 20,92
142.438 29,29 Waduk 5.910
2,30 10.314
6,56 7.980
11,03 24.204
4,98 J u m l a h
256.758 100,00
157.118 100,00
72.361 100,00
486.237 100,00
Sumber : Hasil interpretasi peta tata guna lahan dan citra satelit TM7 1992 dan 2002.
Penggunaan lahan land use merupakan wujud dan perpaduan dari aktivitas manusia di wilayah tertentu untuk memenuhi kebutuhan. Penggunaan
lahan dapat diketahui dengan menghitung intensitas dan laju penggunaan sumber daya lahan. Perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi tingkat
produktivitas sumber daya lahan dan kondisi ekosistem secara keseluruhan baik di wilayah hulu DAS maupun wilayah hilir. Perubahan penutup lahan land cover
berupa vegetasi hutan merupakan faktor yang sangat penting dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap sifat dan karakteristik DAS terutama fisik, kimia, biologi,
sedimentasi dan debit.
94 Tabel 12. Laju perubahan penutup lahan per tahun masing-masing Sub DAS dan
DAS Citarum Wilayah Hulu1992-2002.
Jenis Penutup Lahan Laju perubahan penutup lahan per tahun
Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Wilayah
Hulu total ha ha ha ha
Hutan -2.008,4 -3,05 -1.539,3 -3,55 -256,5 -3,00 -3.804,2 -3,23
Rawa -34,4 -10,00
0,0 0,00
0,0 0,00
-34,4 -10,00
Sawah Tadah Hujan 15,3
0,29 -121,2
-6,73 420,8
17,94 314,9
3,31 Sawah
Irigasi -1.598,2 -2,75 316,8 0,87 -1440,0 -5,70
-2.721,4 -2,28 Permukiman
1.801,8 9,70 421,2 16,56 181,5
5,35 2.404,5 9,81
Kebun Perkebunan 2.701,3
16,58 -237,6
-0,96 700,0
5,14 3.163,7
5,78 Tegalan
-1.066,8 -1,21 963,7
2,41 315,0 2,63 211,9 0,15
Waduk 189,4 4,72
196,4 2,35
79,2 1,10
465,0 2,38
Sumber : Hasil interpretasi peta tata guna lahan dan citra satelit TM7 1992 dan 2002.
Dari Tabel 12 didapatkan informasi secara umum bahwa kelompok permukiman dan perkebunan mengalami pertumbuhan luas positif penambahan,
sedangkan hutan dan sawah irigasi mengalami pertumbuhan luas negatif penurunan diseluruh wilayah DAS. Laju pertumbuhan per tahun pembukaan
lahan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan sarana sosial lainnya di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 9,7 1.801,8 ha, Sub DAS Cirata sebesar
16,56 421,2 ha, Sub DAS Jatiluhur sebesar 5,35 181,5 ha dan DAS Citarum 9,81 2.404,5 ha. Laju pertumbuhan per tahun pembukaan lahan untuk
kebutuhan perkebunan di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 16,58 2.701,3 ha, Sub DAS Jatiluhur sebesar 5,14 700,0 ha dan DAS Citarum
sebesar 5,78 3.165,7 ha. Laju pertumbuhan negatif penurunan luas penutup lahan di seluruh
wilayah DAS Citarum dialami oleh tipe penggunaan lahan untuk hutan dan sawah irigasi. Laju penurunan luas hutan per tahun di wilayah Sub DAS Saguling
sebesar 3,05 2.008,4 ha, Sub DAS Cirata 3,55 1.539,3 ha, Sub DAS Jatiluhur 3,0 256,5 ha dan DAS Citarum 3,23 3.804,2 ha. Luas sawah
irigasi mengalami laju penurunan per tahun di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 2,75 1.598,2 ha, Sub DAS Jatiluhur 5,70 1.440,0 ha dan DAS Citarum
2,28 2.721.4 ha.
95
Sub DAS Saguling
10,000 20,000
30,000 40,000
50,000 60,000
70,000 80,000
90,000 100,000
H R
ST H
SI Pe
rm KP
T W
Tutupan Lahan L
u as
h a
1992 2002
Sub DAS Cirata
10000 20000
30000 40000
50000 60000
H R
ST H
SI Pe
rm KP
T W
Tutupan Lahan Lu
a s
h a
1992 2002
Sub DAS Jatiluhur
5000 10000
15000 20000
25000 30000
H R
ST H
SI Pe
rm KP
T W
Tutupan Lahan L
u as
h a
1992 2002
DAS Citarum Wilayah Hulu
20,000 40,000
60,000 80,000
100,000 120,000
140,000 160,000
H R
ST H
SI Pe
rm KP
T W
Tutupan Lahan L
u as
h a
1992 2002
Gambar 17. Grafik perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu Tahun 1992 dan 2002.
Keterangan : H = Hutan, R = Rawa, STH = Sawah Tadah Hujan, SI = Sawah Irigasi, Perm = Permukiman, KP = Kebun Perkebunan, T = Tegalan, W = Waduk
Pada Tabel 13 disajikan matrik perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu tahun 1992 – 2002. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa konversi
hutan untuk penggunaan lain yang terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan kebun perkebunan 16.205 ha, berturut-turut tegalan 10.167 ha, permukiman
5.575 ha dan sawah tadah hujan 3.011 ha. Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyunto et.al 2003 yang menyatakan bahwa di DAS Citarum konversi lahan
hutan terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan perkebunan teh, karet dan kakao. Dari sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan permukiman konversi lahan
terbesar adalah lahan hutan 5.575 ha, tegalan 7.3814 ha, sawah irigasi 5.583 ha dan rawa termasuk situ 344 ha. Sebagian besar konversi lahan hutan menjadi
peruntukan lain secara umum berlangsung secara gradual, yaitu lahan hutan
96 dikonversi untuk kebutuhan perkebunan dan tegalan. Selanjutnya lahan
perkebunan dan tegalan dikonversi menjadi lahan permukiman. Tabel 13. Matrik perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu dari
tahun 1992 – 2002.
Penutup Lahan
1992-2002 Penutup Lahan ha
H R
STH SI
Perm KP T W
Total H
79.634 0 0 3.011 5.575 16.205 10.167
0 114.592 R
0 0 0 344 0 0 0 344
STH 0 0
12.651 1.672 90
1.388 179 0 15.980
SI -3.011 -1.672
92.367 5.583
5.014 3.269 0
101.550 Perm -5.575
-344 -90
-5.583 48.563 0
7.814 0 44.785
KP -16.205
0 -1.388 -5.014 0 86.380 11.946
0 75.719 T
-10.167 0 -179 -3.269 -7.814 -11.946 142.438 4.650 113.713
W 0 0 0 0 0
-4.650 24.204
19.554 Jumlah
44.676 -344 9.322 83.184 52.341 97.041 171.163 28.854 486.237
Keterangan : H = Hutan, R = Rawa, STH = Sawah Tadah Hujan, SI = Sawah Irigasi, Perm = Permukiman, KP = Kebun Perkebunan, T = Tegalan, W = Waduk
Boer et.al
2004, menyatakan bahwa perubahan tata guna lahan dan penutup lahan sangat besar pengaruhnya terhadap keseimbangan air di dalam
suatu DAS. Banyak studi menunjukkan bahwa deforestasi akan meningkatkan debit aliran puncak dan frekuensi terjadinya banjir. Deforestasi cenderung
menurunkan aliran dasar karena deforestasi dan pembukaan lahan akan menurunkan kapasitas infiltrasi sehingga aliran permukaan akan berlangsung
cepat yang menimbulkan banjir pada musim hujan, sebaliknya jumlah air yang masuk ke dalam tanah berkurang sehingga menurunkan air yang mengalir ke
sungai utama atau waduk. Selanjutnya Pawitan 2004 menyatakan bahwa dampak perubahan penutup lahan dalam skala luas akan mengakibatkan
perubahan fungsi hidrologis DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti hasil air DAS. Dari hasil pengamatan Pawitan 2004,
perubahan jangka panjang untuk DAS Citarum untuk masa 1896 – 1994 yang mengalami trend penurunan curah hujan dengan laju 10 mm per tahun dan diikuti
oleh penurunan debit limpasan sebesar 3 mm per tahun. Perubahan luas penutup lahan vegetasi hutan dan peningkatan luas area
terbangun pemukiman merupakan dua komponen utama yang sangat mempengaruhi karakteristik hidrologis baik pada masing-masing Sub DAS
97 maupun keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu. Kondisi perubahan
penggunaan lahan berupa sawah tadah hujan di wilayah DAS Citarum mengalami pertumbuhan dengan laju per tahun sebesar 3,31 314,9 ha dan tegalan 0,15
211,9 ha. Penambahan luas waduk terjadi diakibatkan oleh peningkatan luas genangan air peningkatan volume air waduk saat pengambilan foto citra satelit
pada bulan November 2002.
4.5. Simpulan
Dari hasil analisis perubahan penutup lahan dan penggunaannya di DAS Citarum Wilayah Hulu dapat disimpulkan bahwa selama periode 1992–2002
terjadi penurunan luas hutan dengan laju rata-rata per tahun sebesar 3,23 3.804,2 ha, hilangnya rawa seluas 34,4 ha dan sawah irigasi 2,28 2.721,4 ha.
Sedangkan pertambahan luas terjadi pada permukiman 9,1 2.404,5 ha, kebun- perkebunan 5,78 3.163,7 ha, sawah tadah hujan 3,31 314,9 ha, dan tegalan
0,15 211,9 ha per tahun. Penurunan penutup lahan tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan
kebunperkebunan, permukiman dan sarana sosial lainnya.
5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN 5.1.
Latar Belakang
Perubahan tataguna lahan di wilayah hulu dari 15 SWS di Jawa dan Madura Departemen Pekerjaan Umum dan Prasarana Wilayah, 2001 telah
menyebabkan kondisi kritis bagi penyediaan air baik dalam aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius pada musim
kemarau. Keadaan tersebut juga menyebabkan terjadinya erosi, sedimentasi dan pencemaran kimia air sungai atau waduk. Hal ini berdampak pada pendangkalan
waduk, korosivitas pada peralatan produksi PLTA dan PDAM dan kerugian bagi pengguna air di wilayah hilir.
Perubahan penutup lahan DAS Citarum di wilayah hulu up-stream akan menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologi wilayah tengah in-stream
dan wilayah hilir down-stream. Perubahan karakteristik tersebut meliputi defisit, volume dan sedimentasi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perubahan
karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu.
5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian perubahan karakteristik hidrologis debit, volume dan sedimen dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder di beberapa Bagian Lingkungan
Kantor UBP Saguling, PJB - UP Cirata dan Perum Jasa Tirta II. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Sumberdaya Air, Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2006 sampai bulan Juli 2006.
5.3. Bahan dan Metode Analisis Perubahan Fungsi Hidrologis DAS
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari seluruh data dan informasi historis historical data. Bahan-
bahan tersebut terdiri dari :
99 1. Data curah hujan harian, bulanan dan tahunan periode 1993–2003 Sub DAS
Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur. Data curah hujan tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika BMG dan laporan hasil
pengukuran UBP Saguling. 2. Data evaporasi harian diperoleh dari laporan hasil pengukuran UBP Saguling
1993-2003. 3. Data debit dan volume air masuk dan keluar diperoleh dari laporan hasil
pengukuran PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur 1993-2003. 4. Data sedimentasi diperoleh dari laporan hasil pemeruman Waduk Saguling
1985-2004, Waduk Cirata 1987-2002 dan Waduk Jatiluhur 1987-2000. Analisis terhadap data-data sekunder tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode regresi linear. Pendugaan perubahan karakteristik debit dan volume dan sedimentasi antara tahun 1993-2003 dilakukan simulasi dengan
menggunakan software GR4J.
5.3.1. Analisis Perubahan Debit dan Volume Pada Dua Sistem Penggunaaan
Lahan.
Analisis perubahan karakteristik hidrologis DAS dilakukan berdasarkan aplikasi model prediksi debit harian GR4J Perrin, 2003. Model ini merupakan
pengembangan lebih lanjut model GR3J yang dikembangkan oleh CEMAGREF, Perancis. Struktur model seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 Bab 2. Untuk
mensimulasi debit harian, model GR4J membutuhkan input data hujan, evapotranspirasi potensial ETP dan debit harian serta 4 parameter model yang
dibangkitkan saat validasi. Keempat parameter tersebut adalah : 1. X
1
; kapasitas maksimum simpanan produksi maximum capacity of the production store.
2. X
2
; koefisien tukar air water exchange coefficient. 3. X
3
; kapasitas maksimum simpanan pengalihan maximum capacity of the routing store.
4. X
4
; waktu dasar hidrograf satuan time base of unit hydrograph.
100 Dalam penelitian ini debit air terdiri dari 3 jenis yaitu debit air masuk
DAM, debit air keluar DAK dan debit air masuk lokal DAML. Debit air masuk adalah debit air yang bersumber dan mengalir dari wilayah hulu masing-
masing Sub DAS dan memasuki badan air sungai utama dan waduk. Debit air keluar adalah debit air yang keluar dari outlet masing-masing PLTA untuk
menggerakkan turbin. Debit air masuk lokal adalah debit air masuk yang bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub
DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari debit air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu sungai utama Citarum. Dengan demikian
DAK PLTA Saguling tidak merupakan DAML bagi PLTA Cirata dan DAK PLTA Cirata tidak merupakan DAML bagi PLTA Jatilihur.
Karena citra satelit foto yang digunakan dalam penelitian ini dibuat pada November 1992 maka untuk menduga pengaruh perubahan penutup lahan
kondisi biofisik DAS Citarum Wilayah Hulu 1992-2002 terhadap karakteristik hidrologis maka data yang digunakan dalam simulasi model GR4J adalah curah
hujan CH, evaporasi waduk ETP dan debit air masuk lokal DAML harian dari tahun 1993-2003. Pada Tabel 14 disajikan hasil simulasi dengan tahapan
pemodelan software GR4J adalah : a. Menentukan parameter simulasi X
1
, X
2
, X
3
dan X
4
dengan memasukkan input data CH, ETP dan DAML harian tahun inisial 1993 dengan hasil Q1.
Parameter default standar yang digunakan menurut Perrin 2003 adalah X
1
= 5,9, X
2
= 2,0, X
3
= 4,5 dan X
4
= 0,2. b. Validasi parameter tahun inisial 1993 dengan meng-input nilai parameter baku
ke dalam fungsi tranfer dan melakukan solver. Validasi terhadap parameter tersebut menghasilkan nilai kemiripan koefisien Nash dengan besaran antara
0-100. Model dinyatakan valid apabila koefisien Nash memiliki nilai yang lebih besar dari 50.
c. Parameter hasil validasi digunakan untuk mensimulasi tahun selanjutnya dengan input data tahun tersebut tanpa melakukan solver.
101 d. Besaran parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit dengan input data
curah hujan pada tahun selanjutnya 1994 dengan hasil sebesar Q2, tahun 1995 sebesar Q3, dan seterusnya sampai tahun 2003 sebesar Q11.
e. Nilai Q2 sampai dengan Q11 hasil simulasi dibandingkan dengan Q1 hasil validasi.
f. Perbedaan nilai-nilai dQ tersebut diduga merupakan pengaruh perlakuan perubahan penutup lahan DAS terhadap debit.
Tabel 14. Hasil simulasi debit dengan aplikasi model GR4J.
Parameter Kondisi Penutup
Lahan simulasi 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
x1 q1.1 q1.2 q1.3 q1.4 q1.5 q1.6 q1.7 q1.8 q1.9 q1.10 q1.11
x2 q2.1 q2.2 q2.3 q2.4 q2.5 q2.6 q2.7 q2.8 q2.9 q2.10 q2.11
x3 q3.1 q3.2 q3.3 q3.4 q3.5 q3.6 q3.7 q3.8 q3.9 q3.10 q3.11
x4 q4.1 q4.2 q4.3 q4.4 q4.5 q4.6 q4.7 q4.8 q4.9 q4.10 q4.11
Hasil Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11
dQ1 – dQ10 Q1-Q2 sampai dengan Q10-Q11
Validasi Q Q Aktual
Kalibrasi Parameter Standar Perrin 2003 dan Koefisien Nash
Sebagaimana diuraikan tedahulu bahwa untuk menganalisis adanya perubahan karakteristik debit akibat perubahan kondisi biofisiknya, terlebih
dahulu model GR4J divalidasi dengan menggunakan input data tahun inisial, yang dianggap merepresentasikan kondisi biofisik DAS saat belum mengalami
perubahan 1992. Setelah validasi, akan didapatkan parameter model pada tahun inisial, yang selanjutnya parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit
dengan menggunakan input data pada tahun selanjutnya yang diduga merepresentasikan kondisi biofisik DAS yang telah berubah 2002. Dengan
membandingkan debit pengukuran dengan debit simulasi melalui analisis neraca air DAS, tingkat perubahan aliran sungai akibat perubahan kondisi biofisik DAS
dapat diketahui. Permodelan GR4J telah diformulasikan dalam bahasa excel tahun 2003 oleh CEMAGREF Perancis. Hasil simulasi debit harian akan digunakan
untuk menghitung volume air harian dan tahunan. Regresi linear digunakan dalam pengujian hubungan CH, debit dan volume air hasil simulasi dengan nilai hasil
pengukuran.
102
5.3.2. Pendugaan Sedimentasi
Perilaku sedimen dipelajari dari dua hal yaitu berdasarkan data hasil pemeruman yang pernah dilakukan di ketiga waduk dan hasil perhitungan dengan
menggunakan rumus sedimen. Pemeruman adalah pengukuran tingkat perkembangan sedimentasi yang terjadi di dasar waduk terutama pada kapasitas
“tampung mati” dead storage. Jumlah sedimen yang terdapat di sungai atau waduk atau kolam penampungan juga dapat diprediksi melalui persamaan regresi
berganda dengan 4 variabel yaitu erosi lahan Ep, volume aliran permukaan Ro, faktor tanaman dan konservasi CP, dan luas Sub DAS A, pada tingkat akurasi
86,40 Sa’ad, 2002 dengan persamaan sebagai berikut :
Y = bo. Ep
b1
. Ro
b2
. CP
b3
. A
b4
;
Keterangan : Y
= sedimen sungai ton ha¯¹ Ep
= erosi permukaan dari soilpan ton ha¯¹ Ro
= volume aliran permukaan satu periode hujan m³ CP
= faktor tanaman tindakan konservasi tanah A
= luas Sub DAS ha bo, b1, b2, b3, b4 = konstanta
Dalam penelitian ini beberapa asumsi yang digunakan adalah : 1. Erosi permukaan pada soil pan Ep Sa’ad, 2002 sama dengan erosi lahan
yang besarnya berdasarkan penelitian Sutono et. al 2003 di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan Ro Sa’ad, 2002 sama dengan
volume air masuk lokal VAML hasil simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah CP Sa’ad, 2002, besarnya didasarkan
pada hasil penelitian Abdurahman et. al 1984, Ambar dan Syafrudin 1979 dalam Asdak 2004 dan Amarjan 2003 khusus pada nilai CP permukiman.
4. Luas Sub DAS A sama dengan luas masing-masing Sub DAS sesuai dengan hasil pengolahan digitasi peta tataguna lahan dan citra satelit 1992 dan 2002.
Penggunaan GIS dalam pendugaan sedimentasi waduk dengan penggunaan model telah digunakan di Thailand sebagaimana dilaporkan Lorsirirat 1997.
103
5.4. Hasil dan Pembahasan
5.4.1. Sifat hujan dan hubungannya dengan DAML dan VAML
a. Curah Hujan
Jumlah dan distribusi aliran permukaan di DAS Citarum Wilayah Hulu ditentukan oleh beberapa faktor antara lain curah hujan, karakteristik biofisik dan
manajemen DAS. Hasil pengolahan data curah hujan CH harian periode 1993 – 2003 didapatkan informasi bahwa curah hujan tahunan rata-rata di Sub DAS
Saguling adalah 2.250,48 mm, Sub DAS Cirata sebesar 3.495,46 mm, Sub DAS Jatiluhur sebesar 2.637,50 mm dan DAS Citarum Wilayah Hulu sebesar 2.186,62
mm per tahun. Pada periode pengamatan 1993 – 2003, walaupun CH tahunan di sub DAS
Saguling mengalami kenaikan rata-rata 2,39 mmth, namun secara keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu mengalami penurunan jumlah CH yang cukup tinggi
yaitu rata-rata sebesar 8,21 mmth. Penurunan jumlah CH tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pawitan 2004 yang menyatakan bahwa di DAS Citarum telah
terjadi penurunan CH tahunan sebesar 10 mmth selama periode pengamatan 1896 – 1994 dan akan menurunkan ketersediaan air untuk berbagai penggunaan di
wilayah tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan Boer et.al 2004 yang menyatakan bahwa penurunan curah hujan tahunan di wilayah DAS Citarum
sebesar 6 mmth. Secara umum pada periode 1993 - 2003 musim kemarau April-
September di wilayah DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki CH bulanan rata- rata sebesar 118,35 mm dengan simpangan baku 45,08 mm, dan musim hujan
Oktober-Maret, CH bulanan rata-rata sebesar 246,09 mm dengan simpangan baku 43,85 mm. Pada Tabel 15 ditampilkan Keragaman CH di DAS Citarum
Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003.
104 Tabel 15. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 –
2003. Wilayah
CH Bulanan mm Musim
mean-stdev mean mean+stdev stdev
Sub DAS Saguling MK
95,39 132,96
170,53 37,57
MH 198,02
242,12 286,22
44,1 Sub DAS Cirata
MK 151,03
215,77 280,51
64,74 MH
303,89 366,80
429,72 62,92
Sub DAS Jatiluhur MK
152,13 240,85
329,57 88,72
MH 286,59
365,40 444,21
78,81 DAS Citarum Wil. Hulu
MK 73,27
118,35 163,43
45,08 MH
202,24 246,09
289,94 43,85
Keterangan : MK=musim kemarau April-September, MH=musim hujan Oktober-Maret, mean- stdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah
simpangan baku, stdev=simpangan baku.
Secara grafis, keragaman CH bulanan yang terjadi di wilayah masing- masing Sub DAS disajikan pada Gambar 18. Dari Tabel 15 dan Gambar 18
diperoleh gambaran bahwa secara kuantitas jumlah CH bulanan rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu relatif kecil yaitu sebesar 118,35 mm MK dengan
keragaman yang cukup besar 45,08 mm dan 246,09 mm MH dengan keragaman 43,85 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau cenderung semakin
kering keragaman besar dan pada musim hujan cenderung semakin basah keragaman kecil. Keadaan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Boer et.al
2004 yang menyatakan bahwa ada kecenderungan CH musim hujan di wilayah selatan Indonesia khususnya Lampung, Jawa dan sebagaian kawasan Indonesia
timur akan semakin basah, sebaliknya CH musim kemarau akan semakin kering. Sebaliknya, untuk Indonesia bagian utara Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan
Sumatera bagian utara CH musim hujan akan semakin berkurang sedangkan CH musim kemarau akan semakin basah. Kondisi seperti hal tersebut
mengindikasikan telah terjadi perubahan iklim di Indonesia Boer et.al, 2004.
105
Ke ragaman CH Bulanan DAS Citarum Wil. Hulu
50 100
150 200
250 300
350 400
450 500
MK MH
MK MH
MK MH
MK MH
Saguling Cirata
Jatiluhur Citarum
CH Bu
la n
a n
m m
b ln
m ean+s tdev m ean
m ean-s tdev
Gambar 18. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003
.Keterangan : MK = musim kemarau April-September, MH = musim hujan Oktober-Maret, mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean
= rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku.
b. Debit dan Volume Air Masuk Lokal
Debit air masuk lokal DAML adalah debit air masuk yang semata-mata bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub
DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu. DAML harian rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu
adalah sebesar 151,98 m³dt MK dengan simpangan baku sebesar 44,45 m³dt dan 265,40 m³dt MH dengan simpangan baku sebesar 61,64 m³dt dan secara
rinci di ketiga Sub DAS disajikan pada Tabel 16. Besarnya keragaman debit dapat memberikan gambaran bahwa telah
terjadi fluktuasi DAML terutama yang berubah menjadi debit aliran run-off. Peningkatan keragaman debit aliran menunjukkan bahwa luas penutup lahan di
wilayah DAS hulu semakin menurun dan fraksi CH yamg berubah menjadi aliran permukaan semakin besar Boer et.al, 2004. Peningkatan luas penutup lahan di
wilayah hulu sangat penting artinya bagi penurunan perbedaan debit aliran musim hujan dan musim kemarau, sehingga dapat menekan resiko banjir dan kekeringan.
Akan tetapi Pawitan 2004 menyatakan bahwa pengamatan di Inggris dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penghutanan kembali padang rumput dengan pohon
106 pinus tidak hanya menurunkan aliran sungai sejumlah 440 mmth, tetapi juga
menurunkan aliran rendah sebesar 15 mmth. Sehingga disimpulkan bahwa pengaruh hutan terhadap aliran rendah sangat site spesific dan tidak ada jaminan
penghutanan akan meningkatkan aliran rendah pada musim kemarau. Tabel 16. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993-
2003. Wilayah
DAML harian m³dt Musim
mean-stdev mean mean+stdev stdev
Sub DAS Saguling MK
42,62 65,15
87,68 22,53
MH 92,15
117,20 142,25
25,05 Sub DAS Cirata
MK 47,11
60,25 73,39
13,14 MH
84,30 107,88
131,46 23,58
Sub DAS Jatiluhur MK
3,86 26,58
49,29 22,71
MH 11,92
40,32 68,72
28,40 DAS Citarum Wil. Hulu
MK 107,53
151,98 196,42
44,45 MH
203,76 265,40
327,04 61,64
Keterangan : MK=musim kemarau April-September, MH=musim hujan Oktober-Maret, mean- stdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah
simpangan baku, stdev=simpangan baku.
Dari Tabel 16 dan Gambar 19 diperoleh informasi bahwa keragaman debit MK dan MH Sub DAS Cirata lebih kecil dibandingkan dengan
Sub DAS Saguling dan Sub DAS Jatiluhur. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi luas hutan di wilayah Sub DAS Cirata 27,61 bagian hulu lebih besar
dibandingkan dengan Sub DAS Saguling 25,61 dan sub DAS Jatiluhur 11,82. Untuk mengetahui degradasi lingkungan di wilayah hulu DAS,
karakteristik CH dan DAML serta hubungan keduanya dapat digunakan. Hasil pengolahan data bahwa proporsi curah hujan yang berubah menjadi debit semakin
meningkat dari tahun ke tahun selama periode pengamatan 1993-2003, yaitu pada musim kemarau, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah
sebesar 1,2 mm 25,8 dengan laju peningkatan per tahun 4,4, pada musim hujan, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah sebesar 3,47 mm
42,4 dengan laju peningkatan per tahun 2,4. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan fraksi CH menjadi DAML. Kondisi seperti ini mengindikasikan
adanya degradasi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Dari Gambar 20, diperoleh
107
Keragaman DAML DAS Citarum Wil. Hulu
- 50
100 150
200 250
300 350
MK MH
MK MH
MK MH
MK MH
Saguling Cirata
Jatiluhur Citarum
DAM L
m 3
d t
m ean-s tdev m ean
m ean+s tdev
gambaran bahwa waktu yang diperlukan hujan untuk berubah menjadi debit aliran semakin kecil singkat. Hal ini juga merupakan indikator adanya kerusakan
ekosistem di wilayah hulu DAS terutama penurunan luas penutup lahan hutan. Secara grafis, hubungan antara CH harian dan DAML harian DAS Citarum
Wilayah Hulu tahun 1993 disajikan pada Gambar 21. Hasil pengolahan data sekunder menunjukan bahwa rata-rata DAML
harian Sub DAS Saguling sebesar 90,78 m³dt, Sub DAS Cirata 85,37 m³dt, Sub DAS Jatiluhur 34,40 m³dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu 210,55 m³dt. Laju
penurunan DAML harian selama periode 1993-2003 di Sub DAS Saguling adalah 5,15 4.67 m³dt, Sub DAS Cirata 4,19 3,57 m³dt, Sub DAS Jatiluhur
21,43 7,37 m³dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu 7,42 15,62 m³dt. Untuk mengetahui pengaruh CH terhadap DAML dilakukan uji-t sebagaimana pada
Tabel 17.
Gambar 19. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993 – 2003.
Keterangan : MK = musim kemarau April-September, MH = musim hujan Oktober-Maret, mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean =
rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku.
108
Karakteristik CH dan DAML DAS Citarum tahun 1993
5 10
15 20
25 30
1 13
25 37
49 61
73 85
97 109
121 133
145 157
169 181
193 205
217 229
241 253
265 277
289 301
313 325
337 349
361
hari m
m
ch daml
Karakteristik CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun 1993
5 10
15 20
25 30
35 40
1 13
25 37
49 61
73 85
97 109
121 133
145 157
169 181
193 205
217 229
241 253
265 277
289 301
313 325
337 349
361
hari m
m
ch daml
Karakteristik CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun 1993
10 20
30 40
50 60
70
1 13
25 37
49 61
73 85
97 109
121 133
145 157
169 181
193 205
217 229
241 253
265 277
289 301
313 325
337 349
361
hari m
m
ch daml
Karakteristik CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun 1993
10 20
30 40
50 60
70
1 13
25 37
49 61
73 85
97 109
121 133
145 157
169 181
193 205
217 229
241 253
265 277
289 301
313 325
337 349
361
hari m
m
ch daml
Gambar 20. Karakteristik CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993
109
Hub. CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun 1993
y = 0.2612x + 2.7118 R
2
= 0.227 0.00
10.00 20.00
30.00 40.00
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 CH mm
DA M
L m
m Series1
Linear Series1 Hub. CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun 1993
y = 0.4088x + 2.532 R
2
= 0.3712
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
CH mm DAM
L m
m Series1
Linear Series1
Hub. CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun 1993
y = 0.1162x + 8.9055 R
2
= 0.0294
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
CH mm DA
M L
m m
Series1 Linear Series1
Hub. CH dan DAML DAS Citarum Tahun 1993
y = 0.3611x + 2.7566 R
2
= 0.3913
0.00 5.00
10.00 15.00
20.00 25.00
30.00 35.00
0.00 5.00
10.00 15.00
20.00 25.00
30.00 35.00
CH mm DA
M L
m m
Series1 Linear Series1
Gambar 21. Hubungan CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993.
Tabel 17. Uji-t pengaruh CH harian terhadap DAML harian periode 1993 - 2003.
No Parameter Sub DAS
DAS Citarum Saguling Cirata Jatiluhur Wil.
Hulu 1. Korelasi
0,727 0,544
0,450 0,703
2. R kuadrat
0,529 0,295
0,203 0,494
3. Konstanta 30,768
52,000 16,442
77,674 4. Koefisien
0,322 0,138
0,062 0,504
5. Nilai t
11,978 7,327
5,702 11,183
6. Signifikansi 0,000
0,000 0,000
0,000 Keterangan : berpengaruh nyata pada signifikansi 0,05 t-tabel = 1,96.
Dari hasil uji-t tersebut dapat diketahui bahwa curah hujan mempunyai hubungan yang kuat dan berpengaruh signifikan baik di masing-masing Sub DAS
maupun DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel 1,96. Koefisien regresi menunjukkan tingkat pengaruh
curah hujan terhadap DAML. Setiap penambahan curah hujan harian 1 mm, akan menyebabkan peningkatan DAML harian sebesar 0,322 m³dt Sub DAS
110 Saguling, 0,138 m³dt Sub DAS Cirata, 0,062 m³dt Sub DAS Jatiluhur dan
0,504 m³dt DAS Citarum Wilayah Hulu. Pada Tabel 18 disajikan perkembangan VAML di DAS Citarum Wilayah
Hulu. Volume air masuk lokal VAML rata-rata tahunan adalah sebesar 2.865,29 juta m³ Sub DAS Saguling, 2.639,85 juta m³ Sub DAS Cirata, 1.048,66 juta m³
Sub DAS Jatiluhur dan 6.553,80 juta m³ DAS Citarum Wilayah Hulu. Tabel 18. Rata-rata volume air masuk lokal tahunan DAS Citarum Wilayah Hulu.
Tahun Sub DASDAS juta m³
Saguling Cirata
Jatiluhur Citarum Hulu
1993 3.589,04 3.075,24
2.646,24 9.310,52
1994 3.101,63 3.019,67
1.963,18 8.084,47
1995 2.933,36 2.871,28
1.111,38 6.916,02
1996 3.003,73 2.813,42
1.465,32 7.282,46
1997 1.701,11 1.814,91
1.668,12 5.184,14
1998 4.025,86 3.068,10
564,76 7.658,72
1999 2.701,53 2.640,14
352,29 5.693,96
2000 2.506,55 2.175,23
256,95 4.938,73
2001 3.477,43 3.181,68
492,84 7.151,95
2002 2.424,00 2.430,40
692,49 5.546,89
2003 2.053,90 1.948,33
321,71 4.323,94
Rata-Rata 2.865,29 2.639,85
1.048,66 6.553,80
Sumber : Hasil pengolahan data.
Laju penurunan per tahun VAML berturut-turut adalah sebesar 5,36 153,51 juta m³, 4,27 112,69 juta m³, 22,17 232,45 juta m³, dan 7,61
498,66 juta m³. Berdasarkan hasil analisa regresi Tabel 19 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DAML harian dengan VAML tahunan,
ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar 0,998 Sub DAS Saguling, 0,997 Sub DAS Cirata, 0,998 Sub DAS Jatiluhur dan 0,997 DAS Citarum Wilayah
Hulu. Variabel DAML berpengaruh nyata terhadap VAML di semua wilayah Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-
hitung yang lebih besar dari t-tabel 1,96. Pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan adalah sebesar
2.613.474 Sub DAS Saguling, 2.626.993 Sub DAS Cirata, 2.614.727 Sub DAS Jatiluhur dan 2.619.447 DAS Citarum Wilayah Hulu. Dengan kata lain,
setiap peningkatan 1 m³dt DAML harian akan menyebabkan peningkatan VAML tahunan sebesar 2.613.474 m³ Sub DAS Saguling, 2.626.993 m³ Sub DAS
Cirata, Saguling, 2.626.993 m³ Sub DAS Cirata, 2.614.727 m³ Sub DAS
111
CH_DAML_VAML Saguling
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
1 993
1 994
1 995
1 996
1 997
1 998
1 999
2 000
2 001
2 002
2 003
tahun
75 150
225 300
CH mmth DAML m3dthr
VOL juta m3th
Jatiluhur dan 2.619.447 m³ DAS Citarum Wilayah Hulu. Grafik hubungan CH tahunan, DAML harian dan VAML tahunan disajikan pada Gambar 22 Sub DAS
Saguling, Gambar 23 Sub DAS Cirata dan Gambar 24 Sub DAS Jatiluhur. Tabel 19. Uji-t pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan.
No Parameter Sub DAS
DAS Citarum Saguling
Cirata Jatiluhur
Wil. Hulu 1. Korelasi
0,998 0,997
0,998 0,997
2. R kuadrat
0,996 0,994
0,996 0,993
3. Konstanta 485.789,4
-862.568 -72.869,0
-130.252 4. Koefisien
2.613.474 2.626.993
2.614.727 2.619.447
5. Nilai t
180,005 147,580
181,384 139,434
6. Signifikansi 0,000
0,000 0,000
0,000 Keterangan : berpengaruh nyata pada signifikansi 0,05 t tabel = 1,96.
Gambar 22. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal DAML harian, dan volume air masuk lokal VAML tahunan Sub DAS Saguling.
Hasil analisis data dan kecenderugan diperoleh informasi bahwa CH, DAML dan VAML memiliki karakteristik yang hampir seragam homogen
kecuali pada: 1. Tahun 2001–2002 di Sub DAS Saguling, dengan tingkat CH yang relatif sama
dengan tahun sebelumnya menghasilkan DAML dan VAML yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin tingginya kerusakan lahan di
wilayah hulu Sub DAS Saguling, sehingga memperbesar porsi CH yang langsung menjadi aliran debit run off
112
CH_DAML_VAML_Cirata
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
19 93
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
tahun
75 150
225 300
CH mmth DAML m3dthr
VOL juta m3th
CH_DAML_VAML Jatiluhur
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
1993 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003
tahun
75 150
225 300
CH mmth DAML m3dthr
VOL juta m3th
Gambar 23. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal DAML harian, dan volume air masuk lokal VAML tahunan Sub DAS Cirata.
2. Tahun 1998–2001 di Sub DAS Jatiluhur, dengan CH yang tinggi menghasilkan DAML dan VAML yang relatif kecil. Hal ini kemungkinan
disebabkan tingginya pemakaian air oleh petani untuk sawah tadah hujan baru di wilayah hulu laju pertumbuhan sawah tadah hujan 17,94 dalam periode
1992-2002.
Gambar 24. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal DAML harian, dan volume air masuk lokal VAML tahunan Sub DAS Jatiluhur.
113
c. Fluktuasi Debit
Perbandingan fluktuasi antara debit air masuk lokal maksimum dengan debit air masuk lokal minimum rasio Qmax-min juga merupakan ukuran
indikator kondisi ekosistem dan lingkungan wilayah hulu DAS. Dari pengolahan data diperoleh rata-rata rasio Qmax-min Sub DAS Saguling sebesar 63,26 laju
kenaikan 5,19, Sub DAS Cirata 178,66 laju kenaikan 8,06 dan Sub DAS Jatiluhur 153,90 laju kenaikan 3,91. Nilai rasio Qmax-min yang tinggi lebih
besar dari 40 mengindikasikan wilayah hulu Sub DAS berada pada kondisi yang kritis Boer, 2004. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi ekosistem
DAS Citarum Wilayah Hulu termasuk kritis buruk. Secara rinci perkembangan rasio Qmax-min dari tahun ke tahun disajikan pada Tabel 20.
Pada Gambar 25 disajikan perkembangan rasio Q max-min masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993-2003. Dari Gambar 25 tersebut
dapat disimpulkan bahwa rasio Q max-min meningkat dari tahun ke tahun terutama pada periode 1999 –2003. Hal ini menunjukan bahwa laju kerusakan
ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya 1993–1998.
Tabel 20. Rasio Qmax-min 1993-2003.
No Tahun Sub DAS
Saguling Cirata Jatiluhur 1 1993 44,84 167,91 118,01
2 1994 78,8 185,24 168,01 3 1995 33,18 210,7 102,06
4 1996 45,16 139,78 199,01 5 1997 93,12 167,25 172,9
6 1998 56,85 81,85 114,23 7 1999 40,84 131,75 138,39
8 2000
71,51 152,9
163,64 9 2001 73,36 221,91 164,18
10 2002 80,57 194,09 174,36 11 2003 77,65 311,89 178,13
Rata-rata 63,26 178,66
153,9
114
Rasio Qmax-min
50 100
150 200
250 300
350
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun Qm
ax- m
in
Saguling Cirata
Jatiluhur
Gambar 25. Grafik rasio Qmax-min tahun 1993-2003.
5.4.2. Karakteristik Air Keluar
a. Debit dan Volume Air Keluar
Debit air keluar DAK dan volume air keluar VAK waduk merupakan gambaran besarnya volume air yang dibutuhkan untuk mengoperasikan turbin
PLTA sesuai dengan rencana operasi. Secara umum dari hasil pengolahan data diketahui bahwa pada periode 1993–2003 DAK rata-rata harian PLTA Saguling
adalah 83,59 m
3
dt, PLTA Cirata 164,65 m
3
dt, PLTA Jatiluhur 178,42 m
3
dt dan total 3 PLTA sebesar 426,67 m
3
dt, dengan laju penurunan berturut-turut adalah 4,20 3,51 m
3
dt, 4,05 6,66 m
3
dt, 5,86 10,45 m
3
dt dan 4,83 20,62 m
3
dt setiap tahun. Pada Tabel 21 disajikan keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu musim hujan dan musim kemarau serta secara grafis pada
Gambar 26. DAK harian di 3 waduk memiliki keragaman yang relatif sama antara MK
dengan MH yaitu keragaman DAK harian di waduk Saguling adalah 30,21 atau 22,16 m³dt MK, 21,03 atau 19,21 m³dt MH, waduk Cirata 23,01 atau
34,37 m³dt MK, 20,79 MH atau 36,26 m³dt dan waduk Jatiluhur 20,25 atau 35,32 m³dt MK serta 18,74 atau 33,56 m³dt MH. Keadaan tersebut
memperlihatkan bahwa keragaman DAK harian pada musim kemarau lebih besar
115
Keragaman DAK 3 Waduk di DAS Citarum Wil. Hulu
- 50
100 150
200 250
MK MH
MK MH
MK MH
Saguling Cirata
Jatiluhur
D A
K m
3 d
t
m ean-s tdev m ean
m ean+s tdev
daripada musim hujan. Dengan kata lain, dapat mengindikasikan adanya keragaman yang sama pada DAML dan CH.
Tabel 21. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993- 2003.
Waduk DAK harian m³dt
Musim mean-stdev mean mean+stdev stdev
Saguling MK 51.19 73.35 95.51 22.16 MH
72.38 91.65
110.93 19.27
Cirata MK 115.00 149.38 183.75
34.37 MH
138.17 174.43
210.70 36.26
Jatiluhur MK 136.85 172.17 207.50 35.32 MH
144.61 177.97
211.33 33.36
Keterangan : MK=musim kemarau April-September, MH=musim hujan Oktober-Maret, mean- stdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah
simpangan baku, stdev=simpangan baku.
Selain itu, keragaman DAK harian juga dipengaruhi oleh keputusan manajemen PJT II yang mengelola ketiga waduk, terutama bila dikaitkan dengan
pemenuhan kebutuhan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Namun demikian, kecilnya keragaman DAK harian dalam musim mengindikasikan bahwa
kebutuhan air untuk pertanian padi di wilayah hilir masih dapat dipasok melalui outlet turbin.
Gambar 26. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993 – 2003.
Keterangan : MK = musim kemarau April-September, MH = musim hujan Oktober-Maret, mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean =
rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku.
116 Tabel 22. Rata-rata VAK tahunan dan perubahannya di 3 PLTA 1993-2003.
Tahun PLTA juta m³
Total juta m³
Saguling Cirata
Jatiluhur 1993
3030,49 5812,39
7277,20 16120,08
1994 2915,23 5887,35
6523,06 15325,64
1995 2507,14 5176,79
6105,08 13789,01
1996 2407,24 5136,43
5356,09 12899,77
1997 1445,99 3161,02
4285,19 8892,20
1998 3582,20 6308,96
5688,37 15579,53
1999 2535,38 4986,86
4824,53 12346,77
2000 2446,10 5,055,04
5021,81 12522,94
2001 3222,18 5771,95
6019,51 15013,64
2002 2479,80 5007,79
5638,28 13125,87
2003 1924,50 3711,14
3982,69 9618,33
Rata-rata 2590,57 5092,34
5520,16 13203,07
Persentase 19,62 38,57
41,81 100,00
Dari Tabel 22 diketahui bahwa VAK yang digunakan untuk memutar turbin pada masing-masing PLTA adalah 2590,57 juta m
3
PLTA Saguling, 5092,34 juta m
3
PLTA Cirata, 5520,16 juta m
3
PLTA Jatiluhur dan total 3 PLTA 13203,07 juta m
3
, dengan laju penurunan VAK berturut-turut 4,27 110,60 juta m
3
, 4,13 210,13 juta m
3
, 5,97 329,45 juta m
3
dan 4,92 650,18 juta m
3
setiap tahun. Dari hasil sidik ragam anova sebagaimana pada Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa VAK di PLTA Jatiluhur berbeda nyata dengan
PLTA lainnya. Berdasarkan hasil uji-t Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara DAK dengan VAK, ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar 0,997 PLTA Saguling, 0,997 PLTA Cirata dan 0,997 PLTA
Jatiluhur. Variabel DAK berpengaruh nyata terhadap VAK di semua PLTA. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel 1.96. Pengaruh
DAK terhadap VAK adalah sebesar 2.572.066 PLTA Saguling, 2.581.403 PLTA Cirata, 2.616.895 PLTA Jatiluhur dan 2.584.969 3 PLTA. Dengan
kata lain, setiap peningkatan 1 m³dt DAK akan menyebabkan peningkatan VAK sebesar 2.572.066 m³ PLTA Saguling, 2.581.403 m³ PLTA Cirata, 2.616.895
m³ PLTA Jatiluhur dan 2.584.969 m³ 3 PLTA. Grafik hubungan antara CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA disajikan pada Gambar 27, 28 dan 29.
117
CH_DAK_VAK PLTA Saguling
2000 4000
6000 8000
10000
19 93
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
tahun
50 100
150 200
CH mmth DAK m3dthr
VOL juta m3th
Tabel 23. Uji-t pengaruh DAK terhadap VAK 3 PLTA. No Parameter
PLTA 3 PLTA
Saguling Cirata Jatiluhur 1. Korelasi
0,997 0,997
0,997 0,996
2. R kuadrat
0,995 0,994
0,994 0,993
3. Konstanta 4.012.673 6.833.500
1.961.124 2E+007 4. Koefisien
2.572.066 2.581.403 2.616.895 2.584.969
5. Nilai t
156,350 145,804 142,972 130,595 6. Signifikansi
0,000 0,000
0,000 0,000
Keterangan : berpengaruh nyata pada signifikansi 0,05. t tabel = 1.96.
Gambar 27. Grafik curah hujan, debit air keluar DAK, dan volume air keluar VAK PLTA Saguling.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA memiliki karakteristik yang relatif homogen. Hal ini dapat terjadi
disebabkan DAK dan VAK yang keluar dari outlet turbin yang dipergunakan untuk memutar turbin diatur dan direncanakan sesuai dengan kapasitas
sumberdaya air yang tersedia dalam waduk dan keputusan direksi pengelola PJT II.
118
CH_DAK_VAK PLTA Cirata
2000 4000
6000 8000
10000
1 993
1 994
1 995
1 996
1 997
1 998
1 999
2 000
2 001
2 002
2 003
tahun
100 200
300 400
500 600
700 800
CH mmth DAK m3dthr
VOL juta m3th
CH_DAK_VAK PLTA Jatiluhur
2000 4000
6000 8000
10000 12000
19 93
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
tahun
100 200
300 400
500 600
700 800
900 1000
CH mmth DAK m3dthr
VOL juta m3th
Gambar 28. Grafik curah hujan, debit air keluar DAK, dan volume air keluar VAK PLTA Cirata.
Gambar 29. Grafik curah hujan, debit air keluar DAK, dan volume air keluar VAK PLTA Jatiluhur.
b. Tinggi Duga Muka Air
Volume air dalam waduk dapat juga dihitung berdasarkan tinggi duga muka air DMA dan volume air dipengaruhi oleh dead storage kapasitas
tampungan mati dan effective atau life storage kapasitas tampungan efektif. Semakin tinggi DMA semakin besar volume air yang tersimpan di dalam waduk
119 dengan asumsi laju sedimentasi sangat rendah. Pada Tabel 24 disajikan DMA
pada ketiga waduk. Tabel 24. Rata-rata tinggi DMA Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur.
Tahun DMA Waduk m dpl
Saguling Cirata
Jatiluhur 1993 637,36
215,64 108,55
1994 636,6 215,91 101,24
1995 634,61 216,65 100,95
1996 631,76 213,81 101,44
1997 630,67 210,67 93,26 1998 635,95 214,6 97,14
1999 636,67 214,61 99,25 2000 635,58 213,2 98,28
2001 651,56 215,04
102,62 2002 635,04 213,65
100,32 2003 630,58 209,03 85,82
Rata-Rata 636,035 213,892
98,988 Dari tabel tersebut terlihat bahwa tinggi DMA di ketiga waduk mengalami
penurunan per tahun yang bervariasi yaitu Waduk Saguling 0,678 m, Waduk Cirata 0,661 m dan Waduk Jatiluhur 2,273 m. Penurunan DMA sebesar itu perlu
diwaspadai mengingat perbedaan antara DMA rata-rata dengan DMA batas operasi ketiga waduk tidak besar 7,792 m – 23,988 m. Apabila penurunan DMA
tersebut terus berlangsung dikhawatirkan DMA batas operasi akan tercapai dan menghentikan fungsi waduk sebagai pembangkit energi listrik. Apabila
diasumsikan laju sedimentasi waduk sangat rendah, maka dalam waktu yang singkat DMA batas operasi akan tercapai Waduk Saguling 14,8 tahun, Waduk
Cirata 11,78 tahun dan Waduk Jatiluhur 10,55 tahun sebagai akibat penurunan volume air dalam waduk yang terus berlangsung, walaupun perencanaan tingkat
produksi listrik disesuaikan dengan ketersediaan air dalam waduk dan keputusan manajemen Indonesia Power. Pengaturan tingkat produksi energi listrik tersebut
sangat diperlukan mengingat ketiga waduk merupakan waduk seri cascade dan banyaknya jenis penggunaan air terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi
pertanian, kebutuhan industri, PDAM dan lain sebagainya di wilayah hilir seperti Kabupaten Karawang, Bekasi, Subang, Indramayu dan DKI Jakarta. Keadaan
120 kritis tersebut telah menyebabkan kurang maksimalnya PLTA berproduksi bahkan
tidak beroperasi sama sekali, terutama pada musim kemarau. Frekuensi terjadinya DMA kritis di ketiga waduk disajikan pada Tabel 25, dan secara grafis pada
Gambar 30. Tabel 25. Frekuensi Terjadinya DMA Kritis
No Tahun
Produksi Jumlah
Hari Frekuensi DMA hariantahun
Saguling Cirata Jatiluhur
Kali Kali
Kali 1
1993 365
23 6,30 0,00
0,00 2
1994 365
28 7,67 1 0,27 0,00
3 1995
365 14 3,84
0,00 0,00
4 1996
366 5 1,37
0,00 0,00
5 1997
365 51 13,97 8 2,19
0,00 6
1998 365
0,00 0,00
0,00 7
1999 365
0,00 0,00
0,00 8
2000 366
5 1,37 0,00
0,00 9 2001 365 4
1,10 0,00
0,00 10
2002 365
40 10,96 0,00
0,00 11 2003 365 36
9,86 0,00
0,00 206 9 0
Keterangan : Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626,00 m, Waduk Cirata + 206,10 m, dan Waduk Jatiluhur + 75,00 m di atas permukaan laut.
Dari Tabel 25 tersebut, diketahui bahwa selama periode 1993 – 2003, PLTA Saguling mengalami 206 kali frekuensi tidak beroperasi maksimal dan
pada tahun 1997 dan 2002 merupakan kejadian tertinggi 51 dan 40 kali dalam setahun, disusul oleh PLTA Cirata sebanyak 9 kali 8 kali pada tahun 1997.
Tingginya frekuensi tidak beroperasinya PLTA secara maksimal pada tahun 1997 disebabkan rendahnya volume air waduk rendahnya CH pada tahun dimaksud
karena merupakan tahun terjadinya El-Nino. Disisi lain, PLTA Jatiluhur tidak mengalami DMA kritis. Hal ini terjadi dikarenakan pengelolaan 3 waduk
merupakan cascade seri yang kewenangan pengelolaannya diberikan kepada PJT II dan posisinya berada pada paling bawah. PJT II dapat meminta kepada
PLTA Saguling dan PLTA Cirata untuk mengirimkan air baik untuk kebutuhan PLTA Jatiluhur sendiri maupun terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi
pertanian di wilayah hilir.
121
DMA Sa guling
6 0 0 6 1 0
6 2 0 6 3 0
6 4 0 6 5 0
6 6 0
J a
n F
e b
M a
r A
p r
M a
y J
u n
J u
l A
u g
S e
p O
c t
N o
v D
e c
Bula n m
d p
l DMA
DMA Minim um DMA Efe k tif
DMA Cira ta
1 9 0 .0 0 1 9 5 .0 0
2 0 0 .0 0 2 0 5 .0 0
2 1 0 .0 0 2 1 5 .0 0
2 2 0 .0 0 2 2 5 .0 0
J a
n F
e b
M a
r A
p r
M a
y J
u n
J u
l A
u g
S e
p O
c t
N o
v D
e c
Bula n m
d p
l DMA
DMA Minim um DMA Efe k tif
DMA Jat iluhur
60 70
80 90
100 110
120
J a
n F
e b
M a
r A
p r
M a
y J
u n
J u
l A
u g
S e
p O
c t
N o
v D
e c
B ulan m
d p
l D MA
D MA Minim um D MA Efekt if
Gambar 30. Grafik DMA rata-rata bulanan pada musim kemarau April- September dan musim hujan Oktober-Maret di ketiga waduk
pada periode 1993 – 2003.
Keterangan : Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626,00 m, Waduk Cirata + 206,10 m, dan Waduk Jatiluhur + 75,00
m di atas permukaan laut.
Dari Gambar 30 diketahui pula bahwa PLTA Saguling mengalami DMA diatas batas operasi DMA banjir yang terjadi pada bulan Maret – Mei. Pengelola
Waduk Saguling mengeluarkan air dengan membuka saluran pengeluaran
122 spillway baik diminta oleh PJT II maupun tidak. Akan tetapi, PLTA Saguling
mengalami masalah DMA kritis pada bulan Oktober – November setiap tahun selama periode pengamatan 1993 – 2003. Pada pertengahan bulan Juni –
Agustus merupakan masa DMA kritis bagi PLTA Cirata, karena pada bulan-bulan tersebut PLTA Cirata tidak dapat beroperasi secara maksimal bahkan tidak dapat
beroperasi. Naiknya DMA Waduk Cirata pada menjelang September bulan kemarau disebabkan adanya kiriman air dari Waduk Saguling. Rendahnya DMA
operasi Waduk Jatiluhur pada musim hujan dan musim kemarau lebih disebabkan adanya kebijakan PJT II untuk mengutamakan pemenuhan irigasi pertanian padi
sawah di wilayah hilir musim tanam rendeng dan gadu. Walaupun secara umum ketiga waduk pada periode pengamatan 1993 – 2003 masih berada pada selang
batas operasi, namum kecenderungan penurunan tinggi DMA dari waktu ke waktu terus berlangsung. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan keberlanjutan
produksi energi listrik di masa-masa yang akan datang.
5.4.3. Pendugaan Perubahan Debit dan Volume Air Akibat Perubahan
Penutup Lahan Dengan Simulasi GR4J. a. Validasi model GR4J tahun 1993 dan tahun 2003
Karakteristik hidrologis dapat dipelajari lebih lanjut dengan prediksi melalui aplikasi model simulasi GR4J. Untuk mendapatkan parameter model
dilakukan validasi dengan menggunakan data tahun 1993. Data yang dibutuhkan meliputi data curah hujan, evaporasi ETP harian dan debit air masuk lokal
DAML harian. Data ETP diambil dari hasil pengukuran UBP Saguling terhadap waduk Saguling, curah hujan dan debit diambil dari hasil pengukuran masing-
masing Sub DAS secara rinci dapat dilihat pada Bab 5.3.1. Hasil validasi parameter model tahun 1993 dan 2003 Sub DAS Saguling dan DAS Citarum
Wilayah Hulu memiliki koefisien Nash lebih besar dari 50. Untuk membandingkan dua DAS DAS inisial 1993 dengan DAS simulasi 2003,
koefisien kemiripan Nash sering digunakan Andresian et.al, 2003. Menurut Perrin et.al 2003, wilayah DAS yang memiliki Koefisien Nash lebih besar dari
50 dapat menggambarkan kemiripan antara data pengukuran dan hasil simulasi.
123 Dengan kata lain, model yang dibangun dapat menjelaskan keadaan nyata fakta.
Parameter model hasil validasi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Parameter model hasil validasi berdasarkan data Sub DAS Saguling
dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993.
No Parameter Satuan Sub DAS Saguling
DAS Citarum Wilayah Hulu
1993 2003 1993 2003 1. X1
Kapasitas maksimum simpanan produksi
mm 84,14 2270,89
2472,87 2085,28 2.
X2 Koefisien
tukar air mm
7,23 1,15
6,47 1,00 3. X3
Kapasitas maksimum simpanan pengalihan
mm 256,59 61,71 198,81 48,49 4. X4
Waktu dasar hidrograf satuan
hari 1,41 2,13 0,51 1,17
Dari hasil simulasi GR4J diperoleh informasi bahwa DAML Sub DAS Saguling mengalami penurunan per tahun sebesar 2,62 m
3
dt, sub DAS Cirata naik 0,24 m
3
dt, sub DAS Jatiluhur naik 0,12 m
3
dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu naik sebesar 1,48 m
3
dt selama 10 tahun 1993-2003, atau -2,62 m
3
dt Sub DAS Saguling dan 1,48 m
3
dt DAS Citarum Wilayah Hulu per tahun. Penurunan DAML tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan kondisi
penutup lahan biofisik di wilayah yang bersangkutan. Hasil simulasi terhadap DAML di DAS disajikan pada Tabel 27. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi di Sub DAS Saguling. t-hit t tab 1,96. Hal ini berarti bahwa hasil
pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Demikian pula di DAS Citarum Wilayah Hulu, analisis
menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hit t tab -0,072 1,96.
Dengan kata lain hasil pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Karakteristik DAML simulasi DAS Citarum
Wilayah Hulu disajikan pada Gambar 31.
124 Tabel 27. Perbandingan antara debit pengukuran dan simulasi Sub DAS Saguling
dan DAS Citarum Wilayah Hulu.
Keterangan : DP=debit pengamatan. DS=debit simulasi
Pada Gambar 32 disajikan grafik hubungan DAML simulasi 1993 dengan simulasi 2003 DAS Citarum Wilayah Hulu. Dari Gambar 30 tersebut dapat
disimpulkan bahwa DAML simulasi tahun 1993 memiliki karakter yang relatif homogen dengan simulasi tahun 2003 dan DAML 1993 lebih besar daripada
DAML 2003. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan DAML selama periode pengamatan 1993-2003, yang diduga disebabkan oleh degradasi kualitas
lingkungan wilayah hulu DAS Citarum. Sedangkan dari Gambar 32 diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara DAML simulasi
tahun 1993 dengan 2003 yang dibuktikan dengan nilai korelasi R² yang di atas 50 kecuali sub DAS Jatiluhur.
NO Debit pengukuran dan debit simulasi m³dt
Saguling Cirata Jatiluhur
DAS Citarum
DP DS DS-
DP DP DS
DS- DP
DP DS DS-
DP DP DS
DS- DP
1 110,03 100,20 -9,83 97,52 100,18 2,67 84,00 86,39 2,39 291,25 295,04 3,78
2 98,19 96,60 -1,59 95,75 91,30 -4,45
61,63 65,83 4,19
255,37 262,99 7,62
3 93,02 94,24 1,23 91,05 91,15 0,10
35,36 34,12
-1,24 219,31
221,33 2,02 4
95,26 95,38 0,12 89,25 93,94 4,69 46,64
45,99 -0,65
230,99 235,67 4,68
5 53,94 51,56 -2,38 57,55 57,71 0,16
53,08 52,86
-0,22 164,39
166,65 2,27 6 127,66
128,58 0,92 97,29 98,66 1,38 17,97
18,35 0,38 242,86
239,50 -3,36 7
85,67 86,53 0,87 83,72 83,71 -0,01 11,21
11,62 0,41 180,55
185,36 4,81 8
79,61 81,28 1,66 69,21 69,09 -0,11 8,21 7,60 -0,61
157,00 155,35 -1,64
9 110,27 85,58 -24,68 100,89 97,75 -3,14 15,68 15,35 -0,34 226,79 221,27 -5,51
10 76,89 78,79 1,90 77,07 78,36 1,29 22,03
20,82 -1,22
175,91 173,63 -2,28
11 65,13 68,15 3,02 61,78 61,85 0,07 10,24 8,50
-1,74 137,11
140,96 3,84 Rata-
rata 90,51 87,90 -2,62 83,73 83,97 0,24
33,28 33,40 0,12
207,41 208,89 1,48
Jumlah QS-QP
-31,39 2,88
1,49 17,70
125
Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Saguling Tahun 1993 dan 2003
5 10
15 20
25 30
1 117
233 349
465 581
697 813
929 1045
1161 1277
1393 1509
1625 1741
1857 1973
2089 2205
2321 2437
2553 2669
2785 2901
3017 3133
3249 3365
3481 3597
3713 3829
3945 Hari
D A
M L
m m
DAML 1993 DAML 2003
Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Cirata Tahun 1993 dan 2003
20 40
60 80
100 120
140 160
1 118
235 352
469 586
703 820
937 1054
1171 1288
1405 1522
1639 1756
1873 1990
2107 2224
2341 2458
2575 2692
2809 2926
3043 3160
3277 3394
3511 3628
3745 3862
3979 Hari
D A
M L
m m
DAML 1993 DAML 2003
Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Jatiluhur Tahun 1993 dan 2003
10 20
30 40
50 60
70
1 117
233 349
465 581
697 813
929 1045
1161 1277
1393 1509
1625 1741
1857 1973
2089 2205
2321 2437
2553 2669
2785 2901
3017 3133
3249 3365
3481 3597
3713 3829
3945 Hari
D A
M L
m m
DAML 1993 DAML 2003
Karakteristik DAML Simulasi DAS Citarum Tahun 1993 dan 2003
5 10
15 20
25 30
35 40
45
1 117
233 349
465 581
697 813
929 1045
1161 1277
1393 1509
1625 1741
1857 1973
2089 2205
2321 2437
2553 2669
2785 2901
3017 3133
3249 3365
3481 3597
3713 3829
3945 Hari
D A
M L
m m
DAML 1993 DAML 2003
Gambar 31. Karakteristik DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada simulasi GR4J dengan menggunakan parameter model hasil validasi tahun
1993 dan 2003.
126
Hubungan DAML Sub DAS Saguling tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi
y = 0.3574x + 0.9907 R
2
= 0.737 5
10 15
20 25
30
5 10
15 20
25 30
DAM L
m m
Series1 Linear Series1
Hubungan DAML Sub DAS Cirata tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi
y = 1.4265x - 3.4463 R
2
= 0.9302
20 40
60 80
100 120
140
20 40
60 80
100 120
140
DAM L
m m
Series1 Linear Series1
Hubungan DAML Sub DAS Jatiluhur tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi
y = 0.4861x - 2.129 R
2
= 0.3068 10
20 30
40 50
60 70
10 20
30 40
50 60
70
DA ML
m m
Series1 Linear Series1
Hubungan DAML DAS Citarum tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi
y = 0.8933x - 0.6482 R
2
= 0.8437
5 10
15 20
25 30
35 40
45
5 10
15 20
25 30
35 40
45
DAM L
m m
Series1 Linear Series1
Gambar 32. Hubungan DAML Simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu Tahun 1993 dan 2003.
b. Neraca Air DAS Citarum Wilayah Hulu Hasil Simulasi
Untuk menduga volume air yang terdapat di DAS Citarum Wilayah Hulu, dilakukan simulasi terhadap debit pengukuran maupun debit simulasi dikali luas
masing-masing wilayah. VAML hasil simulasi 1993-2003 adalah 7,426 milyar m³ atau 658,746 juta m³ DAS Citarum Wilayah Hulu dan 3,049 milyar m
3
atau 907,32 juta m
3
Sub DAS Saguling per tahun. Jumlah selisih QS-QP Sub DAS Saguling adalah sebesar 907,32 juta m
3
dan DAS Citarum Wilayah Hulu 511,82 juta m
3
. Penurunan DAML dan VAML tersebut diduga disebabkan adanya perubahan kondisi penutup lahan biofisik di wilayah hulu DAS Citarum
Wilayah Hulu. Hasil simulasi tersebut disajikan pada Tabel 28.
127 Tabel 28. Hasil simulasi VAML Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah
Hulu.
No Tahun Sub DAS Saguling juta m³
DAS Citarum Wil. Hulu juta m³ QP QS
QS-QP QP QS
QS-QP 1 1993 3.469,75
3.159,79 -309,96
9.185,00 9.304,30
119,30 2 1994 3.096,55 3.046,31 -50,25 8.053,27 8.293,60 240,33
3 1995 2.933,36 2.972,05
38,70 6.916,02 6.979,87 63,86
4 1996 3.004,24 3.008,04 3,80 7.284,64 7.432,18 147,54
5 1997 1.701,11 1.626,00
-75,11 5.184,14
5.255,62 71,48 6 1998 4.025,86
4.054,83 28,97 7.658,72
7.552,79 -105,93
7 1999 2.701,53 2.728,83
27,30 5.693,96 5.845,56
151,60 8 2000 2.510,71
2.563,12 52,41 4.951,05
4.899,25 -51,80
9 2001 3.477,43 2.699,00
-778,43 7.151,95 6.978,12 -173,83
10 2002 2.424,69 2.484,59 59,90 5.547,58 5.475,61 -71,97
11 2003 2.053,90 2.149,25 95,36 4.323,94 4.445,18 121,24
Jumlah 31.399,12 30.491,80
-907,32 71.950,25
72.462,07 511,82
Rata-Rata 2.854,47 2.771,98
-82,48 6.540,93
6.587,46 46,53
Keterangan : QP = VAML pengukuran, QS = VAML simulasi.
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran dengan volume hasil simulasi di Sub DAS Saguling.
Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung t-tabel 0,300 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran volume dengan volume simulasi
menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran
dengan volume hasil simulasi di DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung t-tabel -0,072 1,96. Dengan demikian hasil pengukuran
volume dengan volume simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Melalui uji statistik tersebut diketahui bahwa nilai DAML dan VAML
pengukuran dan simulasi menyerupai hasil pengukuran langsung di lapangan. Dengan demikian, simulasi yang dibangkitkan berdasarkan validasi parameter
model tahun 1993 inisial mampu menjelaskan parameter model tahun 2003 simulasi. Perbedaan selisih DAML dan VAML antara 2003 dan 1993 diduga
disebabkan oleh perubahan kondisi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Grafik volume air hasil simulasi ditampilkan pada Gambar 33.
128
- 1,000
2,000 3,000
4,000 5,000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun V
A M
L S
im u
lasi ju
ta m 3
QP SGL QS SGL
QP CRT QS CRT
QP JTL QS JTL
Gambar 33. Grafik volume air berdasarkan hasil simulasi GR4J QS93 – QP03.
5.4.4. Volume Sedimen
a. Berdasarkan hasil pemeruman pengukuran
Tingkat sedimentasi pada badan air sungai dan waduk dapat dijadikan ukuran kondisi biofisik lahan di wilayah hulu terutama penutup lahannya land
coverage. Pengolahan data terhadap laju sedimentasi dari hasil pemeruman di waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur disajikan pada Tabel 29 dan Gambar 34.
Sedimentasi merupakan proses alam yang mengendapkan butiran atau partikel tanah atau batuan sebagai akibat terjadinya erosi. Laju sedimentasi dapat
diperoleh dengan menghitung total volume sedimen dibagi dengan luas Sub DAS dibagi jumlah tahun. Dari ketiga Tabel tersebut diketahui bahwa laju sedimentasi
waduk Saguling sejak tahun 1985 sd 2004 rata-rata sebesar 1,286 mmth, waduk Cirata sejak tahun 1987 sd 2002 rata-rata sebesar 1,607 mmth dan waduk
Jatiluhur sejak tahun 1987 sd 2000 rata-rata sebesar 0,361 mmth.
129 Tabel 29. Perkembangan volume sedimen di tiga waduk .
No Tahun Akumulasi volume sedimen waduk juta m³
Saguling Selisih Cirata Selisih
Jatiluhur Selisih Total Selisih 1
1993 25,57 4,16 21,93 6,39 487,50 12,25 535,00
22,80 2
1994 29,73 4,18 28,32 0,00 499,75 12,25 557,80
16,43 3
1995 33,91 4,17 28,32 6,39 512,00 2,00 574,23 12,56
4 1996 38,08 4,10 34,71 12,78 514,00 2,00 586,79 18,88 5
1997 42,18 4,14 47,49 5,11 516,00 2,00 605,67 11,25
6 1998 46,32 4,14 52,60 5,11 518,00 2,00 616,92
11,25 7
1999 50,45 4,69 57,71 5,11 520,00 2,00 628,16 11,80
8 2000 55,14 4,30 62,82 5,87 522,00 2,00 639,96
12,17 9
2001 59,44 4,19 68,69 3,23 524,00 2,00 652,13 9,42 10
2002 63,63 3,81 71,92 5,00 526,00 2,00 661,55 2,00 11 2003 67,44
- 76,92
- 528,00
- 663,55
- Rata-ratath 46.54 4,19 50,13 5,50 515,20 4,05 611,07
12,86 Keterangan : Pengolahan data sedimen hasil pemeruman pengukuran.
Laju sedimentasi waduk Jatiluhur periode 1964-1987 sangat tinggi 3,811 mmth disebabkan belum beroperasinya waduk Saguling dan Cirata Saguling
beroperasi 1987 dan Cirata beroperasi tahun 1988, secara drastis menurun 1987 sd 1995 menjadi 0,830 mmth dan 0,056 mmth pada 1995 - 2000 atau 0,361
mmth 1987-2000.
Akumulasi Sedimen
125 250
375 500
625 750
1 993
1 994
1 995
1 996
1 997
1 998
1 999
2 000
2 001
2 002
2 003
Tahun S
e di
m e
n jut
a m
3
Saguling Cirata
Jatiluhur Total
Gambar 34. Perkembangan volume sedimen waduk hasil pemeruman tahun 1993 - 2003.
Keterangan : Sedimen Citarum Wilayah Hulu = total sedimen di 3 waduk. data merupakan hasil pengolahan
130 Tingkat laju sedimentasi yang terjadi di waduk Saguling berada di atas
ambang batas perencanaan waduk 1,0 mmth, waduk Cirata mendekati ambang batas 1,78 mmth dan waduk Jatiluhur di bawah ambang batas 1,0 mmth.
Tingginya laju sedimentasi pada waduk akan menyebabkan penurunan umur pakai service life dari bendungan dan menurunkan produktivitas operasional turbin
PLTA. Basiran 1990 menyatakan bahwa umur pakai bendungan Jatiluhur bertambah 96 tahun menjadi 277,5 tahun dari perencanaan semula, disebabkan
telah beroperasinya waduk Saguling dan Cirata. Kedua waduk tersebut telah berfungsi sebagai penangkap sedimen sedimen trap sehingga memperpanjang
umur pakai waduk. Umur pakai waduk diukur dari lamanya waktu yang diperlukan untuk mengisi zona tampungan mati dead storage bendungan.
b. Berdasarkan hasil simulasi
Sedimen pada sungai waduk dapat diduga dengan menggunakan volume air hasil simulasi model GR4J, dengan beberapa asumsi sebagaimana pada Tabel
30. Hasil dugaan sedimen di tiga Sub DAS yang ada di DAS Citarum wilayah hulu dan perkembangannya dari 1993 – 2003 ditampilkan pada Tabel 31.
Tabel 30. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam memperkirakan volume sedimen di DAS Citarum Wilayah Hulu.
No Penggunaan Lahan
Ep Saguling
EP Cirata
EP Jatiluhur
Ep Citarum
CP SDR 1 Hutan
0,13 0,24
0,14 0,17
0,01 0,32 2 Sawah
Tadah Hujan
0,33 0,4
1,45 0,62
0,02 0,32 3 Sawah
Irigasi 0,33
0,4 1,45
0,59 0,02 0,32
4 Permukiman 0,03
0,02 0,15
0,05 0,00 0,32
5 KebunPerkebunan 8,40
15,4 36,86
18,66 0,12 0,32
6 Tegalan
22,02 61,31 40,05 34,76 0,23 0,32
Sumber : 1. Erosi permukaan pada soil pan Ep sama dengan erosi permukaan lapang, berdasarkan
penelitian Sutono et. al 2003 di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan Ro sama dengan volume air masuk lokal hasil
simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah CP, berdasarkan hasil penelitian Abdurahman et. al
1984, Ambar dan Syafrudin 1979 serta EXSA dan ECI 1989 dalam Asdak 2004 dan Amarjan 2003.
4. Luas Sub DAS A sama dengan luas masing-masing Sub DAS atau luas per penggunaan lahan sesuai dengan hasil interpretasi peta.
131 Tabel 31. Volume sedimen hasil simulasi.
No Tahun Volume Sedimen Hasil Simulasi per
Sub DAS-DAS juta m³ Saguling Selisih Cirata Selisih Jatiluhur Selisih
Citarum Selisih
Wil Hulu 1 1993
28,85 7,35 27,05
11,07 491,74
15,79 546,49 33,44
2 1994 36,20 7,31
38,12 4,68
507,52 14,57
579,94 25,93 3 1995
43,51 7,31 42,80
11,19 522,09
4,81 605,87 22,43
4 1996 50,82 6,21
53,99 16,35
526,90 5,03
628,29 26,75 5 1997
57,03 7,92 70,34
10,10 531,93
3,39 655,04 21,17
6 1998 64,95 7,06
80,44 9,68
535,32 3,13
676,21 19,64 7 1999
72,01 7,50 90,12
9,12 538,45
2,86 695,85 19,27
8 2000 79,51 7,20
99,24 11,02
541,30 3,35
715,13 21,55 9 2001
86,71 6,93 110,27
7,55 544,65
3,64 736,67 17,42
10 2002 93,64 6,30
117,82 8,72
548,29 2,91
754,10 8,98
11 2003
99,94 126,53
551,20 763,08
Rata-rata 64,83 7,11
77,88 9,95
530,85 5,95
668,79 21,66 Keterangan : Hasil simulasi, volume sedimen ton dapat dikonversi menjadi m
3
dengan membagi sebesar 1,3 kali. Simulasi dengan menggunakan volume air masuk lokal hasil model
GR4J dan rumus sedimentasi Sa’ad 2002.
Dari tabel tersebut diperoleh informasi bahwa volume sedimentasi hasil simulasi lebih tinggi bila dibandingan dengan hasil pengukuran walaupun
menurut hasil simulasi GR4J, kedua wilayah Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki koefisien Nash-nya melebihi 50 memiliki
kemiripan yang tinggi, menurut Andressian, 2003. Dengan demikian, berkaitan dengan pendugaan volume sedimen DAS inisial 1993 memiliki perbedaan yang
besar dibandingkan dengan DAS 2003 simulasi. Dari hasil pengolahan data pemeruman pengukuran dan simulasi didapatkan informasi bahwa laju
sedimentasi yang terjadi di Sub DAS Saguling adalah 4,19 – 7,11 juta m
3
th, Sub DAS Cirata 5,50 – 9,95 juta m
3
th, Sub DAS Jatiluhur 4,05 – 5,95 juta m
3
th dan DAS Citarum Wilayah Hulu 12,86 – 21,66 juta m
3
th. Laju sedimentasi Waduk Saguling sebesar 4,19 juta m
3
th tersebut sesuai dengan pendapat Asdak 2007 yang menyatakan bahwa rata-rata laju sedimentasi di waduk Saguling adalah
sebesar 4,0 juta m
3
th. Grafik perbandingan antara volume sedimen hasil pemeruman 3 waduk dengan volume sedimen hasil simulasi Sub DAS
Saguling, Sub DAS Cirata, Sub DAS Jatiluhur dan DAS Citarum Wilayah Hulu, 1993-2003 berdasarkan tahun inisial 1993 disajikan pada Gambar 35.
132
Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Saguling
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
110
T a hun
SP SS
Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Cirata
20 40
60 80
100 120
140
19 93
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
Tahun S
e di
m e
n jut
a m
3
SP SS
Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Jatiluhur
440 460
480 500
520 540
560
1993 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003
Tahun S
e d
ime n
ju ta
m3
SP SS
Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Citarum
100 200
300 400
500 600
700 800
900
1993 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003
Tahun S
e di
m e
n jut
a m
3
SP SS
Gambar 35. Grafik perbandingan antara volume sedimen hasil pemeruman 3
waduk dengan volume sedimen hasil simulasi Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata, Sub DAS Jatiluhur dan DAS Citarum Wilayah
Hulu, 1993-2003 berdasarkan tahun inisial 1993.
Tingginya laju sedimentasi tersebut mengindikasikan terjadinya penurunan kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu sebagai akibat semakin
tingginya konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain sehingga memperluas permukaan kedap air yang menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan
pengisian air bawah tanah dan meningkatkan aliran permukaan Pawitan, 2002 dalam Suryani et.al 2005. Sutono et.al 2003 dalam Kurnia et.al 2003
menyatakan bahwa sesuai dengan hasil penelitian pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap erosi di DAS Citarum, lahan hutan yang berubah
menjadi kebun campuran meningkatkan erosi 4 – 10 tonhath. Peningkatan erosi tersebut akan meningkatkan sedimen di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur.
5.5. Simpulan
CH di DAS Citarum Wilayah Hulu rata-rata pada musim kemarau adalah 118,35 mm dengan keragaman 45,08 mm dan musim hujan 246,09 mm dengan
keragaman 43,85 mm. Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa pada musim
133 kemarau cenderung semakin kering keragaman besar dan pada musim hujan
cenderung semakin basah keragaman kecil. Debit harian air masuk lokal DAML periode 1993-2003 mengalami
penurunan sebesar 4,67 m³dt atau 5,15 Sub DAS Saguling, 3,57 m³dt atau 4,19 Sub DAS Cirata, 7,37 m³dt atau 21,43 Sub DAS Jatiluhur dan secara
keseluruhan 15,62 m
3
dt atau 7,42 DAS Citarum Wilayah Hulu per tahun. DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada musim kemarau adalah 151,98 m³dt
dengan keragaman 44,45 m³dt dan musim hujan 265,40 dengan keragaman 61,64 m³dt. Hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi berkurangnya fraksi hujan
yang berubah menjadi debit aliran dan menurunnya luas penutup lahan hutan di wilayah hulu DAS.
Volume air masuk lokal VAML mengalami penurunan 153,51 juta m
3
atau 5,36 Sub DAS Saguling, 112,69 juta m³ atau 4,27 Sub DAS Cirata, 232,45 juta m³ atau 22,17 Sub DAS Jatiluhur dan 498,66 juta m³ atau 7,61
DAS Citarum Wilayah Hulu. Peningkatan 1 m³dt DAML akan menyebabkan peningkatan VAML sebesar 2.613.474 m³ Sub DAS Saguling, 2.626.993 m³
Sub DAS Cirata, 2.614.727 m³ Sub DAS Jatiluhur dan 2.619.447 m³ DAS Citarum Wilayah Hulu.
Rata-rata nilai rasio Qmax-min Sub DAS Saguling sebesar 63,26, Sub DAS Cirata 178,66, Sub DAS Jatiluhur 153,90 dan keseluruhan DAS Citarum
Wilayah Hulu sebesar 131,94. Nilai rasio Qmax-min seperti ini mengindikasikan kondisi penutup lahan hutan di wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu sangat
buruk. Penambahan luas hutan menurunkan nilai rasio Qmax-min sedangkan penambahan luas permukiman menaikkan nilai rasio Qmax-min.
Debit air keluar DAK harian mengalami penurunan per tahun sebesar 3,51 m³dt atau 4,2 PLTA Saguling, 6,66 m³dt atau 4,05 PLTA Cirata,
10,45 m³dt atau 5,86 PLTA Jatiluhur dan 20,62 m³dt atau 4,83 3 PLTA. Volume air keluar VAK mengalami penurunan sebesar 110 juta m³ atau 4,27
PLTA Saguling, 210,12 juta m³ atau 4,13 PLTA Cirata, 329,43 juta m³ atau 5,97 PLTA Jatiluhur dan 650,18 juta m³ atau 4,92 3 PLTA. DAK harian
rata-rata pada musim kering di ketiga waduk berturut-turut adalah 73,35 m³dt
134 Saguling, 149,38 m³dt Cirata dan 172,17 m³dt Jatiluhur, sedangkan pada
musim hujan adalah 91,65 m³dt Saguling, 174,43 m³dt Cirata, dan 177,79 m³dt Jatiluhur. Keragaman DAK musim kemarau lebih besar daripada musim
hujan. Hal ini mengindikasikan adanya keragaman yang sama pada debit air masuk lokal dan curah hujan.
Hasil simulasi terhadap DAML dan VAML menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan hasil pengukuran hasil simulasi
menyerupai hasil pengukuran di lapangan. Dengan kata lain, model GR4J yang dikembangkan dengan menggunakan parameter hasil validasi tahun 1993
memiliki tingkat validitas yang tinggi. Kemiripan antara simulasi dengan pengamatan ditunjukkan dengan nilai koefisien Nash lebih besar dari 50. Sub
DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. Artinya, DAS inisial 1993 memiliki kemiripan yang tinggi dengan DAS simulasi 2003. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa pada periode 1993-2003 terjadi penurunan debit 46,75 mm Sub DAS Saguling dan 88,62 mm DAS Citarum Wilayah Hulu per tahun.
Kehilangan volume air selama 10 tahun 1993-2003 adalah 1,32 miliar m³ di Sub DAS Saguling dan 4,739 miliar m³ di DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini diduga
disebabkan oleh perubahan penutup lahan kondisi biofisik DAS Citarum Wilayah Hulu.
Laju sedimentasi yang terjadi di Sub DAS Saguling adalah 4,19 – 7,11 juta m
3
th, Sub DAS Cirata 5,50 – 9,95 juta m
3
th, Sub DAS Jatiluhur 4,05 – 5,95 juta m
3
th dan DAS Citarum Wilayah Hulu 12,86 – 21,66 juta m
3
th. Tingkat sedimentasi tersebut berada di atas ambang batas perencanaan waduk Saguling
1,0 mmth, mendekati ambang batas waduk Cirata 1,78 mmth dan di bawah ambang batas perencanaan Waduk Jatiluhur 1,0 mmth. Tingginya laju
sedimentasi di ketiga waduk diduga disebabkan oleh penurunan luas penutup lahan terutama hutan dan tanaman tahunan serta peningkatan luas permukiman di
masing-masing Sub DAS.
6. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KUALITAS AIR 6.1.
Latar Belakang
Pada dasarnya kualitas lingkungan perairan kualitas air yang terdapat disuatu perairan akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota yang hidup
dalam ekosistem tersebut. Kecuali itu, penurunan kualitas air juga mempengaruhi dayaguna sumberdaya air bagi pengguna jasa di wilayah hilir baik untuk
penggunaan domestik, industri maupun sebagai sumber energi pembangkitan. Penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh perubahan penutup lahan
dan pencemaran lingkungan dari berbagai sumber pencemar di wilayah hulu. Perubahan penutup lahan menimbulkan erosi dan sedimentasi, sedangkan sumber
pencemar antara lain industri, pertanian, perikanan, rumah tangga, transportasi dan lain-lain. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak perubahan
penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap karakteristik kualitas air sungai dan Waduk Citarum baik aspek fisik, kimia maupun biologi.
6.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan data sekunder kualitas air dilakukan di kantor UBP Saguling, PJB UP Cirata, Perum Jasa Tirta II, Kantor PDAM Purwakarta dan Bagian
Produksi PT. Thames PAM Jaya. Pengambilan data primer dilakukan di 7 titik yaitu inlet Waduk Saguling bagian hulu, outlet PLTA Saguling, inlet Waduk
Cirata bagian hulu, outlet PLTA Cirata, inlet Waduk Jatiluhur bagian hulu inlet PDAM Purwakarta dan inlet PT. Thames PAM Jaya. Analisis sampel air
dilakukan di Laboratorium Kimia, Fisik dan Lingkungan, Jurusan Kimia, FMIPA, IPB Bogor. Penelitian karakteristik kualitas air dilakukan mulai bulan Juni 2006
sampai September 2006.
136
6.3. Bahan dan Metode
Bahan yang diperlukan untuk menganalisis kimia air adalah data sekunder dan data primer. Jenis dan sumber data sekunder adalah :
1. Laporan hasil pemantauan kualitas air triwulanan Waduk Saguling
1994-2003, Waduk Cirata 1994-2003, Waduk Jatiluhur 1993-2003, kualitas air baku intake PDAM Purwakarta 1999-2003 dan PT. Thames
PAM Jaya 2001-2005. 2.
Laporan hasil penelitian pihak ketiga dan Bagian Lingkungan masing-masing PLTA.
Data primer diperoleh dari hasil pengambilan dan pengukuran contoh air pada lokasi :
1. Inlet dan outlet Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur.
2. Intake PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya.
Parameter kimia air dan metode analisis serta alat yang digunakan ditampilkan pada Tabel 32. Hasil pengolahan data sekunder dan primer tersebut
dibandingkan dengan standar baku mutu lingkungan BML sebagai pembanding Saeni 1989 dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air.
6.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Kualitas Air
Kualitas air waduk sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan DTA wilayah hulu, sedangkan kualitas lingkungan wilayah hulu dipengaruhi oleh
perubahan pada penutup lahan dan penggunaan dari lahan itu sendiri. Keragaman limbah polusi dan intensitasnya akan mempengaruhi kehidupan biologi perairan
Odum, 1996, proses teknis pembangkitan energi listrik Litbang PJT-II, 2003 dan proses penjernihan air baku PDAM. Pengolahan data sekunder dan primer
terhadap parameter kualitas air ditampilkan pada Tabel 33 sampai Tabel 37.
137 Tabel 32. Parameter kualitas air yang diukur pada PLTA dan PDAM.
No Parameter Satuan
PLTA PDAM
Metode Analisis dan Alat
Fisik 1. Suhu
o
C V
V Termometer 2. Padatan
terlarut mgl
X V Gravimetri
3. Padatan tersuspensi
mgl X
V Gravimetri
4. Daya hantar listrik
µ mhoscm V
V Konduktometri
5. Warna Unit
Pt.Co X
V Colorimetri
6. Bau X
V -
7. Kekeruhan NTU
X V
Turbidimetri 8. Rasa
- X V
- Kimia
9. pH -
V V
pH Meter
10. N sebagai NH
3
, NO
2
⎯,dan NO
3
⎯ mgl X V Brusin Sulfat
11. Boron mgl
V X AAS
12. Kadmium mgl
V V AAS
13. Khrom 6
mgl V
V AAS 14. Tembaga
mgl V
V AAS 15. H
2
S Sulfida mgl
X V
Iodometri 16. H
2
SO
4
mgl X
V Titrimetri
17. Kesadahan Ca
CO
3
mgl X
V Titrimetri EDTA
18 Mg++ mgl
V V
- 19. Fe++
mgl X
V AAS 20. Timbal
mgl V
V AAS 21. Air
raksa mgl
V V AAS
22. Seng mgl
X V AAS
23. Selenium mgl
X V AAS
24. Nikel mgl
V X AAS
25. Arsen mgl
V V AAS
26. Sianida mgl
X V AAS
Mikrobiologi 27. Fecal
coliform Eschericia coli
MPN 100 ml X
V MPN 28.
Total coliform MPN 100 ml
X V MPN
Keterangan : V = dianalisa, dan X = tidak dianalisa
Parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap kehidupan biota dan proses teknis PLTA dan PDAM dapat digolongkan menjadi parameter kualitas
fisik, kimia dan biologi. Hasil pengolahan dan interpretasi data
primer dan sekunder diperoleh informasi bahwa secara umum telah terjadi penurunan kualitas air di ketiga waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur dan
PDAM PT. Tirta Dharma Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya Jakarta.
138 Penurunan kualitas air waduk Saguling jauh lebih berat dibandingkan dengan
waduk Cirata dan Jatiluhur. Tabel 33. Perubahan kualitas air Waduk Saguling.
No. Parameter Satuan
Kualitas Air 1994 2003
Perubahan 2006
Inlet Outlet 1. Suhu
ºC 27,10 27,22
0,12 28,9
29,0 2. Zat
tersuspensi mgl
132,00 56,26 -75,74
320 280
3. DHL µmhoscm 198,45 357,65 159,20
310 290
4. Kekeruhan Skala
NTU 42,03 241,12 199,09 -
- 5. pH
8,07 7,83
-0,24 6,55
6,6 6. DO
mgl 4,06
2,83 -1,23
- -
7. COD mgl
21,57 13,31 -8,26
- -
8. BOD
5
mgl 6,23
4,16 -2,07
- -
9. Air Raksa Hg
mgl 0,00
0,01 0,01
ttd ttd
10. Nikel Ni
mgl 0,01
0,18 0,17
0,004 0,002
11. Tembaga Cu
mgl 0,00
0,00 0,00
0,015 0,009
12. Khrom mgl
0,00 0,01
0,01 0,001
ttd 13. Kadmium
Cd mgl
0,03 0,00
-0,03 0,001
ttd 14. Timbal
Pb mgl
0,01 0,00
-0,01 0,02
0,004 15. Arsen
As mgl
0,02 0,01
-0,01 ttd
ttd 16. Boron
B mgl
0,01 0,00
-0,01 0,002
0,001 17. Mangan
Mn mgl
- -
- 0,012
0,010
Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur,
ttd = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 10 stasiun pengukuran.
1 Suhu
Hasil pengolahan data suhu perairan di ketiga waduk diperoleh informasi bahwa suhu perairan waduk Saguling rata-rata naik sebesar 0,12ºC, waduk Cirata
sebesar 0,80ºC dan waduk Jatiluhur turun sebesar 0,90ºC. Kenaikan suhu Saguling dan Cirata dan penurunan suhu Jatiluhur tidak signifikan. Dari Tabel
42 dan 43 dapat diketahui bahwa suhu air baku pada intake PDAM Tirta Dharma 1999-2003 mengalami penurunan 0,5ºC sedangkan pada intake PT. Thames
PAM Jaya 2001-2005 mengalami kenaikan 0,33ºC. Suhu perairan merupakan salah satu parameter yang mengatur baik proses
fisika maupun proses kimia yang terjadi di dalam suatu perairan. Suhu perairan akan mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi subtrat, kekeruhan maupun
kecepatan reaksi kimia di dalam air. Suhu perairan juga mempengaruhi berbagai proses fisiologis dalam tubuh biota air seperti proses osmoregulasi dan penafasan
139 organisme perairan, sehingga meningkatnya suhu pada kondisi ekstrim dapat
menyebabkan kematian. Secara umum pengaruh suhu terhadap biota perairan mempengaruhi proses fisiologis secara langsung dalam hal reaksi enzimatik pada
organisme, sehingga akan menentukan besar kecilnya metabolisme dan pertumbuhan organisme. Selain pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dari
suhu bisa dalam bentuk terjadinya perubahan struktur dan dispersi hewan air Nontji, 1984.
Tabel 34. Perubahan kualitas air Waduk Cirata.
No. Parameter Satuan
Kualitas Air Perubahan
2006 1994 2003
Inlet Outlet 1. Suhu
C 26,67
27,51 0,84
28,0 28,5
2. Zat Tersuspensi
mgl 39,44 121,73
82,29 -
- 3. DHL
µmhoscm 174,43 272,04 97,61
290 285
4. Kekeruhan Skala
NTU 7,29 35,41
28,12 -
- 5. TDS
mgl 123,00 144,36
21,36 310
270 6. pH
8,27 7,17
-1,10 6,88
6,90 7. COD
mgl 11,05 28,18
17,13 -
- 8. BOD
5
mgl 6,59
13,11 6,52
- -
9. DO mgl
5,15 4,78
-0,37 -
- 10.
Air Raksa Hg mgl
0,00 0,00
0,00 ttd
ttd 11. Nikel
Ni mgl
0,00 0,02
0,02 0,008
0,004 12. Tembaga
Cu mgl
0,29 0,01
-0,28 0,022
0,008 13. Khromium
Cr mgl
0,04 0,01
-0,03 ttd
ttd 14. Kadmium
Cd mgl
0,00 0,00
0,00 ttd
ttd 15. Timbal
Pb mgl
0,00 0,02
0,02 0,01
0,002 16. Arsen
As mgl
0,00 0,42
0,42 ttd
ttd 17. Boron
B mgl
0,58 0,00
-0,58 0,006
0,003 18. Mangan
mgl -
- -
0,022 0,015
Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur,
ttd = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 11 stasiun pengukuran.
Hal ini sesuai dengan pendapat Pescod 1975 dalam Prihadi 2005 yang mengatakan bahwa suhu akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan biota
air, yakni akan menetukan kehadiran spesies–spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan dan penetasan, aktivitas dan pertumbuhan.
Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan. Dalam hal ini intensitas cahaya
yang masuk ke dalam suatu perairan akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, semakin
140 tinggi suhu airnya. Namun semakin bertambah kedalaman, akan menurunkan
suhu perairan Welch, 1980. Menurut Nontji 1987 suhu yang terdeteksi di permukaan air dipengaruhi oleh keadaan meteorologi seperti curah hujan,
penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi sinar matahari.
Tabel 35. Perubahan kualitas air Waduk Jatiluhur.
No. Parameter Satuan
Kualitas air Perubahan
2006 1993 2003
Inlet Outlet 1. Suhu
º C
27,42 26,52 -0,90
28,5 29,0
2. Zat tersuspensi
mgl 81,81 18,91 -62,90
460 410
3. DHL µmhoscm 165,72
- -
ttd 320
4. Kekeruhan Skala
NTU 69,83 38,25 -31,58 -
- 5. pH
7,32 7,84
0,52 ttd
6,78 6. DO
mgl 7,42
5,69 -1,73
- -
7. COD mgl
8,82 12,29 3,47
- -
8. BOD
5
mgl 4,40
6,83 2,43
- -
9. Air Raksa
mgl ttd
ttd - ttd
ttd 10. Nikel
mgl 0,005
- - ttd
0,006 11. Tembaga
Cu mgl
ttd ttd
0,00 0,001 0,019
12. Kromium Cr
mgl ttd
ttd 0,00 0,002 ttd
13. Kadmium Cd
mgl ttd
ttd 0,00 ttd
0,003 14. Timbal
Pb mgl
- -
0,00 0,002 0,023
15. Arsen mgl
ttd ttd
- ttd 0,002
16. Boron B
mgl 0,01
ttd 0,00 ttd
0,041 17. Mangan
mgl ttd
ttd - ttd
0,026
Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur,
ttd = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 25 stasiun pengukuran.
2 Warna Perairan
Warna air waduk Saguling mengalami kenaikan 141,60 satuan NTU pada periode 1994-2003, air waduk Cirata naik 0,10 satuan PtCo pada periode
1993-2003, dan air waduk Jatiluhur naik 0,37 satuan PtCo pada periode 1993-2003, sedangkan pada air baku PDAM Tirta Dharma terjadi kenaikan warna
kekeruhan sebesar 0,50 NTU 1999-2003 dan pada air baku PT. Thames PAM Jaya turun sebesar 5,03 NTU 2001-2005.
Pada umumnya warna perairan dibagi menjadi dua yakni warna sesungguhnya yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan kimia terlarut serta
warna yang tampak yang merupakan hasil perpaduan antara bahan terlarut dan bahan tersuspensi. Secara umum warna perairan merupakan hasil perpaduan
141 warna yang berasal dari bahan organik dan bahan anorganik yang ada dalam
perairan, warna plankton, humus dan ion-ion logam serta bahan-bahan lain yang terdapat dalam perairan tersebut. Warna perairan dapat diamati secara visual,
namun akan lebih akurat jika diamati dengan membandingkan air sampel dengan warna standar. Warna pada umunya dapat menghambat penetrasi sinar matahari
serta dapat mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis oleh jasad autotrof di dalam air.
Tabel 36. Perubahan kualitas air baku intake PT. Tirta Dharma Purwakarta.
No. Parameter Satuan
Kualitas Air
1999 2003
Perubahan 2006 BML 1. Suhu
º C
28,00 27,5 -0,5
- --
2. Kekeruhan skala
NTU 2,35
1,7 -0,65
0,77 5
3. Warna skala
NTU 3,50
4 0,5
5,33 15
4. TDS mgl
- -
- 460
1000 5. pH
7,10 7
-0,1 -
- 6. Air
raksa mgl
- -
- Ttd
0,001 7. Tembaga
mgl -
- -
0,001 1,0
8. Khromium mgl
- -
- 0,002
0,05 9. Kadmium
mgl -
- -
Ttd 0,005
10. Timbal mgl
- -
- 0,002
0,05 11. Arsen
mgl -
- -
Ttd 0,05
12. Kesadahan total
mgl 68,85 65,555
-3,295 31,58
500 13. Nitrit
mgl 0,01
- -
0,0203 1,0
14. Sianida mgl
- -
- 0,001
0,1 15. Selenium
mgl -
- -
0,001 0,01
16. Seng mgl
- -
- 0,005
5 17. Nitrat
mgl -
- -
0,1245 10
18. Sulfat mgl
- -
- Ttd
400 19. Sulfida
mgl -
- -
3,6 0,05
20. Total Koliform
MPN100 ml
- -
- 3
Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur, ttd = tidak terdeteksi.
3 pH
Pada periode 1994-2003, tingkat pH air waduk Saguling mengalami penurunan sebesar 0,24, air waduk Cirata turun 1,10 dan waduk Jatiluhur turun
0,52 pH di ketiga waduk masih berada pada status netral berkisar pH=7,0 sehingga cukup baik bagi berlangsungnya proses biologi dan kimia dalam
perairan. pH air baku PDAM Tirta Dharma 1999-2003 mengalami penurunan sebesar 0,1, sedangkan air baku PDAM PT. Thames PAM Jaya 2001-2005
mengalami kenaikan sebesar 0,16. pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion
142 hidrogen dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa
air. Menurut Mackereth et. al. 1989 pH terkait sangat erat dengan kandungan karbon dioksida dan alkalinitas. Pada pH yang kurang dari 5 alkalinitasnya bisa
tidak terdeteksi. Makin tinggi nilai pH semakin tinggi nilai alkalinitas dan makin rendah kandungan karbon dioksida.
Tabel 37. Perubahan kualitas air baku intake PT. Thames PAM Jaya Jakarta.
No. Parameter Satuan
Kualitas Air 2001 2005
Perubahan 2006
BML 1. Suhu
o
C 28,94 29,27
0,33 -
- 2. Kekeruhan
Skala NTU
275,53 372,83 97,30
1,28 5
3. Warna Skala
TCU 20,09
15,06 -5,03
5,65 15 4. TDS
mgl 116,42 103,61
-12,80 550 1000
5. DHL µmhoscm
260,25 200,80 -59,45
- -
6. pH 6,95
7,11 0,16
- -
7. COD mgl
17,38 21,93
4,55 -
- 8. BOD
5
mgl 15,22
9,82 -5,40
- -
9. Air raksa
mgl 0,00 0,0005
- Ttd 0,001
10. Khrom mgl
0,02 0,02
0,00 ttd
0,05 11. Tembaga
mgl 0,05
0,03 -0,02
0,002 1,0 12. Kadmium
mgl 0,01
0,02 0,01
Ttd 0,005 13. Timbal
mgl 0,07
0,03 -0,04
0,005 0,05 14. Arsen
mgl 0,01
0,0005 -
Ttd 0,05 15. Nitrat
mgl 1,70
1,55 -0,15
0,4421 10 16. Nitrit
mgl 0,05
0,06 0,02
0,0707 1,0 17. Seng
mgl 0,08
0,15 0,07
0,006 5
18. Bahan Organik
mgl 16,27
17,62 1,35
- -
19. Kesadahan mgl
- -
- 37,600 500
20. Sulfat mgl
- -
- 7,6621 400
21. Sulfida mgl
- -
- 4,4 0,05
22. Total Koliform
MPN100 ml 89 x 10³
57,82 -
1,0 3
Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur, ttd = tidak terdeteksi.
Pada umumnya sebagian biota air sensitif terhadap perubahan pH, dan hampir semua biota menyukai pH 7 – 8,5. Besaran pH sangat mempengaruhi
proses biokimia yang terjadi di suatu perairan, sebagai contoh proses nitrifikasi akan terhenti manakala pH perairan rendah. Selain itu toksisitas dari logam berat
pun sangat dipengaruhi oleh besaran pH perairan. Jika dalam suatu perairan terdapat kandungan bahan organik yang tinggi,
maka bahan organik tersebut harus diuraikan, untuk ini diperlukan oksigen. Dalam keadaan ada oksigen akan dihasilkan karbon dioksida, uap air , dan nitrat.
Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hidrogen sulfida H
2
S,
143 amoniaNH
3
dan metana CH
4
. Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam yang pada akhirnya dapat menurunkan pH. Zat tersebut akan
digunakan untuk proses fotosintesis, sehingga kandungan karbon dioksida akan menurun, dan ion bikarbonat HCO
3
akan berubah menjadi CO
2
dan ion OH
-
. Adanya dominasi ion hidroksil ini mengakibatkan pH air meningkat.
Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya adalah karbon dioksida. Di dalam
air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat Moss,1993, keadaan ini juga bisa terjadi jika 1 dari karbondioksida bereaksi dengan air, sehingga
membentuk asam karbonat Cole, 1988. Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan pH perairan menurun.
4 Oksigen terlarut DO
Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen yang terlarut dalam air pada umumya berasal dari hasil fotosintesis jasad autotrof yang
ada dalam air seperti fitoplankton dan tumbuhan air yang hidup di dalam perairan tersebut. Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem
kehidupan di perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dan mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari
hasil fotosintesis. Selain itu juga mempunyai peranan yang penting dalam penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang
bersifat aerobik APHA, 1989, sehingga jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi akan mengakibatkan lingkungan perairan dan kehidupan dalam
perairan menjadi terganggu, sekaligus menurunkan kualitas air. Menurut Wardoyo 1975 kelarutan oksigen di perairan sangat dipengaruhi
oleh suhu, tekanan parsial gas yang ada di udara serta tekanan parsial gas terlarut dalam air tersebut. Sealin itu juga dipengaruhi oleh aliran masuk run off dari
hujan dan pergerakan air dari hulu. Kadar oksigen terlarut dalam air, selain penting untuk kehidupan, juga bisa dijadikan sebagai indikator untuk melihat
pencemaran yang terjadi pada suatu perairan yakni jika kandungan oksigen dalam perairan lebih dari 5 mgl mengandung arti bahwa perairan tersebut tercemar
144 ringan, jika kandungannya 2-5 mgl berarti tercemar sedang dan 0–2 ppm berarti
perairan tersebut tercemar berat Sutamihardja, 1978. Tingkat oksigen terlarut yang terdapat dalam perairan di ketiga waduk
mengalami penurunan masing-masing: waduk Saguling sebesar 3,23 mgl, waduk Cirata turun sebesar 0,37 mgl dan waduk Jatiluhur menurun sebesar 1,73 mgl.
5 BOD
5
BOD
5
Biological Oxygen Demand
5
adalah banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik selama 5
hari. Nilai BOD
5
merupakan parameter yang menunjukan besarnya oksigen yang di butuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses
dekomposisi secara biokimia Boyd, 1982. Lama waktu mikroba untuk melakukan dekomposisi sampai mencapai stabilitas sempurna tergantung dari
keadaan alami subtrat dan kemampuan hidup organisme Azad, 1976. Dengan demikian, maka BOD
5
hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis biodegradable. Nilai BOD
5
suatu perairan dipengaruhi faktor-faktor lain yang ada di lingkungannya, yakni suhu, densitas
plankton, keberadaan mikroba serta jenis dan kandungan bahan organik. Pada perairan alami yang belum terlalu banyak campur tangan manusia,
sumber bahan organik yang masuk ke dalam perairan berasal dari pembusukan tanaman, sehingga nilai BOD
5
-nya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeffries dan Mills 1996 dalam Prihadi 2005 yang mengatakan bahwa perairan alami
memiliki nilai BOD
5
antara 0,5–7,0 mgl. Perairan yang memiliki nilai BOD
5
lebih dari 10 mg1 dianggap telah mengalami pencemaran. Berdasarkan nilai BOD
5
, maka suatu perairan bisa di kategorikan kualitas airnya menjadi perairan tidak tercemar atau tercemar ringan jika mempunyai BOD
5
kurang dari 3 mg1, perairan diklasifikasikan sebagai perairan tercemar ringan jika mempunyai nilai
BOD
5
3 – 4,9 mg1. Perairan tercemar sedang mempunyai BOD
5
5,0–15,0 mg1 serta perairan yang mempunyai BPD lebih dari 15 mg1 dikategorikan pada
perairan tercemar berat Lee, Wang dan Quo, 1978. Dari analisis terhadap data tahun 1993, 1998 dan 2003, diperoleh nilai BOD
5
dalam air waduk Saguling mengalami kenaikan 30,8 mgl, Cirata menurun 5,67 mgl, Jatiluhur naik 6,52
145 mgl dan air baku Thames Jaya nilai BOD
5
pada tahun 2005 menurun 5,40 mgl dari 15,22 mgl pada tahun 2001.
6 COD
COD chemical oxygen demand menggambarkan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi dengan oksidator
kalium dikromat. Dengan adanya oksidator kalium dikromat ini seringkali mengakibatkan kemampuan oksidasi yang lebih tinggi, karena dalam uji coba
COD bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat teroksidasi, sehingga nilai COD lebih tinggi dari BOD. Sebagai contoh serat
selulosa yang sukar terurai melalui reaksi biokimia pada uji BOD, baru bisa terurai melalui reaksi kimia. Dari analisis data sekunder, diperoleh hasil bahwa
kadar COD dalam air waduk Saguling mengalami penurunan 17,41 mgl, Cirata naik 28,18 mgl, Jatiluhur naik 11,10 mgl, pada air baku Thames Jaya kadar COD
naik sebesar 4,55 mgl.
7 Bahan Organik dan Muatan Padatan Tersuspensi
Dalam keadaan anaerobic, yakni konsentrasi oksigen rendah atau bahkan tidak terdeteksi, maka mikroorganisme aerobic tidak dapat berkembangbiak,
tetapi sebaliknya karena tidak adanya oksigen, karena tidak adanya oksigen, maka organisme yang bersifat anaerobik akan aktif memecah bahan tersebut secara
anaerob. Muatan padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi yang tidak larut dalam air. Bahan-bahan ini baik organik maupun anorganik yang
keberadaannya anatara lain berbentuk partikel dan tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi juga mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air.
Menurut Wardoyo 1981 padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan perairan. Zat padat yang berada dalam suspensi dapat dibedakan
menurut ukuran partikelnya sebagai partikel tersuspensi koloid dan partikel tersuspensi biasa. Zat padat tersuspensi dapat diklasifikasikan menjadi zat
terapung dan melayang yang bersifat organik dan zat padat organik dan anorganik. Canter 1977 memperlihatkan hubungan antara indeks kualitas air
dengan kandungan muatan padatan tersuspensi. Kandungan muatan padatan tersuspensi tersebut kemudian dapat menjelaskan kondisi perairannya seperti pada
146 Tabel 46. Kadar residu terlarut 1994-2003 dalam air waduk Saguling naik
sebesar 71,75 mgl, waduk Cirata turun sebesar 93,38 mgl 1993-1998, Jatiluhur turun sebesar 62,90 mgl 1993-2003 dan air baku Thames Jaya menurun 12,80
mgl. Tabel 38. Baku mutu kualitas air berdasarkan PP Nomor. 82 tahun 2001.
No Parameter Satuan
Baku Mutu Kelas II
Kelas III 1 Kekeruhan
NTU 25
- 2
pH 6,0 - 9,0
6,0 - 9,0 3 DO
mg1 6
3 4 BOD
mg1 2
6 5 COD
mg1 10
50 6 Amonium
mg1 0,5
- 7 Nitrat
mg1 10
20 8 Nitrit
mg1 1
0,06 9 Fenol
mg1 -
0,22 10 Sulfida
mg1 400
- Keterangan : Kelas II sesuai untuk air baku air minum dan Kelas III sesuai untuk pertanian dalam
arti luas.
8 Kekeruhan
Kekeruhan adalah gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar yang dipancarkan dan diserap oleh
partikel-partikel yang ada dalam air tersebut. Kekeruhan juga disebabkan oleh partikel tersuspensi, bahan organik dan mikroorganisme perairan.
Kekeruhan perairan dapat bersifat permanen dan sementara. Kekeruhan yang bersifat permanen disebabkan oleh bahan-bahan yang sulit terurai seperti
pencemaran oleh hidrokarbon yaitu minyak dan lemak. Sedangkan kekeruhan yang mudah terurai dapat disebabkan partikel organik yang terbawa oleh hujan,
banjir, aliran drainase dan gerakan angin. Dari hasil analisis data sekunder pada tahun 1993, 1998 dan 2003, kekeruhan yang terjadi pada air waduk Saguling naik
35,90 NTU, air waduk Cirata naik 50,12 NTU 1998-2003, Jatiluhur turun 31,97 NTU 1998-2003. Pada air baku Tirta Dharma kekeruhan menurun
0,65 NTU dan PT. Thames PAM Jaya naik 97,30 NTU.
147
9 Logam Berat
Logam dapat digolongkan kedalam dua kategori yaitu logam berat dan logam ringan. Logam berat adalah logam yang untuk setiap cm³ mempunyai bobot
5 gram atau lebih, bobot ini lima kali dari berat air, sehingga logam yang beratnya kurang dari 5 gram termasuk logam ringan.
Jika sejumlah logam mencemari lingkungan, maka logam tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada mahluk hidup, karena beberapa jenis
logam sangat berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan dalam air, tanah dan udara, karena logam tersebut mempunyai sifat
yang merusak jaringan tubuh mahluk hidup. Logam berat merupakan suatu unsur yang mempunyai daya hantar panas dan daya hantar listrik yang tinggi serta
mempunyai densitas lebih dari 5 Hutagalung, 1991 Logam berat biasanya bernomor atom 22–92 dan periode 3 sampai 7 dalam susunan berkala unsur–unsur
kimia. Beberapa unsur logam berat tersebut antara lain merkuri Hg, timbal Pb, kadmium Cd, seng Zn dan tembaga Cu. Pada umumnya semua logam berat
tersebar diseluruh permukaan bumi, baik di udara, tanah maupun air. Logam berat ini dapat berbentuk bahan organik, bahan anorganik terlarut yang terikat dalam
suatu partikel Harahap, 1991. Logam berat yang masuk kedalam lingkungan perairan berasal dari
debu–debu akibat kegiatan gunung berapi, erosi dan pelapukan tebing dan tanah, dan berbagai aktivitas manusia meliputi pertambangan batu bara, peleburan dan
penyulingan minyak, penggunaan pestisida, penggunaan bahan bakar, dan sebagainya. Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan merupakan suatu
proses yang erat hubunganya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Berdasarkan kegunaanya, logam berat dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
unsur–unsur tertentu dengan konsentrasi tertentu yang berfungsi sebagai haramikro yang bermanfaat bagi kehidupan organismi perairan seperti Zn, Fe, Cu
dan unsur –unsur yang tidak diketahui sama sekali manfaatnya seperti Hg, Pb dan Cd Lu, 1995. Kenyataanya semua logam, termasuk logam – logam haramikro
yang esensial, jika berada dalam tubuh mahluk hidup dalam jumlah yang berlebih akan bersifat racun bagi organisme Laws, 1993.
148 Logam yang dapat menyebabkan keracunan adalah jenis logam berat.
Logam ini termasuk logam yang esensial seperti Cu, Zn, Se dan yang non-esensial seperti Hg, Pb, Cd, Cr dan As. Keracunan logam berat yang paling sering terjadi,
biasanya dimulai dengan pencemaran lingkungan oleh logam berat, seperti penggunaan logam sebagai pembasmi hama pestisida, pemupukan maupun
karena pembuangan limbah pabrik yang menggunakan logam. Logam esensial seperti Cu dan Zn dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada
hewan, tetapi logam non-esensial seperti Hg, Pb, Cu dan As sama sekali belum diketahui kegunaanya walaupun dalam jumlah relatif sedikit dapat menyebabkan
keracunan pada hewan Darmono, 2001. Menurut Connel 1995 ion – ion logam pada kelas B yang paling toksik
menunjukkan mekanisme toksisitas yang berspektrum luas. Logam–logam ini berikatan dengan gugus SH misalnya, sistein dan kelompok yang mengandung
nitrogen misalnya, lisin dan histidin imidazol lebih efektif. Selain itu logam–logam ini dapat mengganti ion–ion endogen pada garis batas misal, Zn
²+
dari metallo-enzim, yang menyebabkan enzim tidak aktif melalui perubahan secara konformasi. Logam kelas B bersama–sama dengan beberapa ion pada garis
batas, membentuk ion-ion organometalik yang larut dalam lemak, sebagai contoh Hg dan Pb yang mampu menembus membran biologis dan berakumulasi di dalam
sel dan organel. Logam golongan B di dalam metalo-protein bisa mengalami reaksi baik oksidasi maupun reduksi, sebagai contoh, Cu menjadi Cu
2+
dan Cu
+
dapat mengubah integritas secara fungsional dan struktural. Pengaruh keberadan logam berat terhadap biota umumnya digolongkan
kedalam kategori, yaitu dapat menyebabkan toksisitas letal secara langsung sehingga menimbulkan kematian dan dapat mengakibatkan terjadinya toksisitas
sub letal yaitu terjadinya kerusakan pada proses fisiologis atau bahkan pada perilaku suatu mahluk hidup. Ochiai 1997 dalam Connel 1995 membagi
mekanisme toksisitas ion-ion logam kedalam tiga kategori yaitu dapat menahan gugus fungsi biologis yang esensial dalam biomolekul misalnya protein dan
enzim, dapat menggantikan ion logam esensial dalam biomolekul, dan dapat mengubah aktivitas biomolekul.
149 Dari data sekunder kualitas air waduk tahun 1993, 1998 dan 2003, logam
berat yang mengalami kenaikan kadarnya dalam air waduk Saguling antara lain Hg sebesar 0,43 mgl, nikel : 0,17 mgl dan selenium : 0,01 mgl; dalam air waduk
Cirata As : 0,42 mgl, Mg : 3,11 mgl, Fe : 0,52 mgl, Mn : 0,6 mgl, Ni : 0,02 mgl, Pb : 0,02 mgl, Zn : 0,12 mgl, dalam air waduk Jatiluhur besi 0,09 mgl dan
Mn 0,03 mgl.
10 Limbah Domestik
Dari Tabel 33 sampai dengan Tabel 37 dapat diketahui bahwa pada periode 1993-2003 telah terjadi peningkatan pencemaran air waduk dan air baku
PDAM yang bersumber dari limbah domestik. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan kadar senyawa-senyawa kimia seperti fenol, minyak dan lemak dan fecal
coliform.
11 Budidaya Ikan dalam Karamba Jaring Apung
Dilihat dari tingkat kesuburannya, waduk atau danau di Indonesia umumnya bersifat oligotrofik kesuburan rendah hingga mesotrofik kesuburan
sedang, sehingga dilihat dari tingkat kesuburanya, maka waduk atau danau sangat potensial untuk pengembangan budidaya ikan secara intensif dalam kolam jaring
apung KJA. Budidaya ikan dalam karamba adalah budidaya di perairan umum dengan
menggunakan wadah yang umumnya terbuat dari jaring, pada karamba tersebut ditebar ikan kecil atau ikan muda yang berukuran sedikit lebih besar dari ukuran
mata jaring. Ikan yang dipelihara di KJA biasanya diberi pakan berupa pelet yang umumnya kaya hara. Pemberian pakan pelet ini biasanya diberikan pada pagi,
siang dan sore hari. KJA berada pada perairan umum yang airnya relatif sedikit mengalir dan diberikan pakan cukup banyak, sehingga ikan yang dipelihara di
dalamnya tumbuh dengan cepat dan dalam waktu kurang dari tiga bulan biasanya sudah dipanen Ryding, 1989 dalam Prihadi, 2005.
KJA biasanya dipergunakan untuk memelihara ikan di danausituwaduk. Di Indonesia, karamba jaring apung pertama kali digunakan di waduk Jatiluhur
pada tahun 1974 untuk keperluan penelitian, dan baru pada tahun 1986 dilakukan budidaya ikan secara intensif dalam karamba jaring apung di waduk Saguling,
150 diikuti oleh petani ikan di Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, Waduk
Kedung Ombo, bahkan juga budidaya di laut seperti Teluk Pare-Pare, Teluk Banten dan di Kepulauan Riau.
Budidaya KJA berkembang pesat di beberapa perairan dan danau sejak tahun 1986 yakni di Jawa Barat dilakukan di Waduk Saguling, Cirata dan
Jatiluhur yang pada tahun 1995 jumlahnya mencapai 14.215 unit, sehingga produksi ikan meningkat dari 2.654 ton pada tahun 1988 menjadi 19.000 ton pada
tahun 1995 dengan peningkatan rata-rata 75 per tahun Kartamihardja, 1998. Sistem budidaya ikan pada KJA di waduk umumnya dilakukan dengan sistem
insentif, dalam hal ini seluruh kebutuhan pakan ikan seluruhnya berasal dari pelet pakan komersial dengan protein tinggi yaitu lebih dari 20, dengan nilai gizi
yang hampir lengkap. Budidaya ikan dalam KJA umumnya dilakukan pada jaring yang
berukuran minimal 7 x 7 x 1,5 m³, padat penebarannya ikan mas 25-200 ekorm² atau 4-5 kgm². Adapun bobot awal ikan yang ditebar umumnya
60-195 gekor. Lama pemeliharaan ikan biasanya 2-6 bulan, tergantung pada keadaan dan pertumbuhan ikan, namun umumnya ikan yang dijual berukuran
220-653 gekor, sehingga konversi pakannya 1,6 - 3,4 Hardjamulia et al., 1991. Dalam beberapa tahun terakhir ini, dikembangkan terus teknologi KJA
yang lebih efisien. Dalam hal ini dikenal ada dua jenis teknologi KJA, yakni teknologi KJA yang volumenya kecil ukuran mini, namun ditebar ikan dengan
kepadatan yang tinggi yang menggunakan keramba jaring ukuran mini 1-10 m³ degan padat penebaran tinggi 400-500 m³. Teknologi berikutnya, adalah
teknologi budidaya KJA dua lapis yang dikenal dengan KJA ganda kar ukuran mini karena pada teknologi ini digunakan dua kantung jaring yakni di
sebelah atas dan lapisan bawah. Kedua jaring ini ditebar ikan namun dengan jenis yang berbeda. Dalam hal ini hanya ikan utama ikan mas yang dipelihara pada
jaring lapisan atas yang diberi makan, sedang lapisan bawahnya yang biasanya ditebar ikan nila tidak diberi makan lagi, karena ikan ini akan memanfaatkan
pakan yang terbuang dari jaring yang ada di bagian atasnya. Teknologi jaring ganda ini dikembangkan karena pada budidaya KJA yang dilakukan di waduk
151 yang berada di Jawa Barat teridentifikasi bahwa pakan yang terbuang ke perairan
mencapai 30-40 Kartamihardja et.al, 1988. Teknologi KJA ganda ini selain digunakan untuk memanfaatkan pakan yang terbuang ke perairan, juga bertujuan
untuk menekan pencemaran limbah organik yang berasal dari pakan.
6.5 Simpulan
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas kimiawi air di tiga waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur dan dua
sumber air baku PDAM Tirta Dharma Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya kadar indikator utama kimia air waduk dan
intake PDAM seperti kekeruhan, BOD
5,
logam berat, senyawa organik dan limbah domestik, serta turunnya DO, COD dan pH. Penurunan kualitas kimiawi air
tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan penutup lahan dan peningkatan pencemaran industri dan limbah domestik yang memasuki sungai atau waduk di
DAS Citarum Wilayah Hulu.
7. PERUBAHAN PRODUKSI 7.1.
Latar Belakang
Faktor utama yang mempengaruhi produksi energi listrik PLTA dan air minum PDAM adalah ketersedian sumberdaya air baik dalam kuantitas maupun
kualitas. Kuantitas debit dan volume air dalam waduk yang mencukupi setiap waktu sangat diperlukan untuk mengoperasikan alat-alat produksi seperti turbin
pada PLTA dan water treatment plant WTP pada PDAM pada kapasitas yang maksimal. Kulitas air juga sangat menentukan produktivitas alat-alat produksi
energi listrik PLTA dan air minum PDAM. Penurunan kualitas air pada tingkat tertentu akan menyebabkan korosif pada turbin dan masuknya partikel sedimen
pada cooler-nya sehingga menyebabkan kehilangan kesempatan berproduksi pada saat pemeliharaan. Kecuali itu, tingginya sedimentasi pada sungai dan
waduk akan menurunkan umur pakai bendungan PLTA. Tingginya volume sedimen pada air baku air minum PDAM akan menyebabkan intensitas
pemeliharaan WTP pengerukan atau penggelontoran sehingga menyebabkan kehilangan kesempatan berproduksi dan membutuhkan tambahan waktu pada
proses pengolahan air. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan
karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap produksi energi listrik PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur dan air minum PDAM Purwakarta
dan PT. Thames PAM Jaya. 7.2.
Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian perubahan produksi energi listrik dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder Bagian Produksi pada PLTA Saguling, PLTA
Cirata dan PLTA Jatiluhur serta perubahan produksi air minum pada Bagian Produksi PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Penelitian berlangsung
selama 3 tiga bulan mulai bulan April 2006 sampai dengan Juli 2006.
153
7.3. Bahan Dan Metode
Bahan yang diperlukan untuk menganalisis perubahan produksi energi listrik dan produksi air minum adalah data sekunder. Jenis data sekunder dan
sumbernya sebagai berikut : 1. Laporan produksi tahunan PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur
1993-2003. 2. Laporan produksi tahunan PDAM Purwakarta 1999-2003 dan PT. Thames
PAM Jaya 1998-2005. 3. Laporan hasil penelitian pihak ketiga baik terhadap PLTA maupun PDAM
tersebut. Pengolahan data dilakukan dengan metode regresi linear dan pendugaan
potensi kehilangan produksi energi dengan menggunakan DAML hasil simulasi GR4J.
7.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Produksi
7.4.1. Produksi Energi Listrik
Produksi energi listrik PLTA selain ditentukan oleh faktor kapasitas terpasang peralatan produksi terutama turbin tetapi juga sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan volume air, sedimen yang masuk ke dalam partisi cooler turbin dan keputusan manajemen PJT II. Penurunan volume air, tidak beroperasinya turbin
akibat pemeliharaan cooler dan pengaturan alokasi air akan meningkatkan potensi kehilangan kesempatan produksi energi listrik bagi PLTA. Perkembangan
produksi energi listrik dan penurunannya secara komulatif dan uji statistik pengaruh VAK terhadap produksi energi listrik disajikan pada Tabel 39 dan 40.
Dari Tabel-Tabel tersebut dapat diketahui bahwa produksi energi listrik tahun 1993 - 2003 PLTA Saguling mengalami penurunan sebesar 4,12 atau
sebesar 97.163,70 MWhth, PLTA Cirata sebesar 4,69 atau sebesar 65.064,90 MWhth dan PLTA Jatiluhur sebesar 6,22 50.411,11 MWhth. Penurunan
produksi energi listrik di ketiga PLTA tersebut terutama disebabkan turunnya debit dan volume air yang terdapat di dalam waduk. Faktor utama lain adalah
tidak beroperasinya turbin akibat besarnya sedimen yang masuk dalam cooler
154 turbin sehingga perlu di-overhaull. Dari PLTA Saguling diperoleh informasi
bahwa cooler turbin telah mengalami overhaull 1 kali padahal menurut spesifikasi teknisnya garansi perbaikan overhaull dilakukan 1 kali dalam 30 - 35 tahun.
Kedua faktor ini volume air dan sedimentasi merupakan faktor utama penyebab kehilangan kesempatan produksi listrik PLTA. Pada Gambar 36 disajikan grafik
produksi energi listrik di ketiga PLTA. Tabel 39. Produksi energi listrik PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur periode
1993-2003.
Tahun Produksi Energi Listrik PLTA MWh
Total 3 PLTA Citarum Cirata Jatiluhur MWh
1993 2,718,481.98 1,607,459.00 1,032,168.48
5,358,109.46 1994 2,875,933.60
1,488,516.00 767,316.60 5,131,766.20
1995 2,254,604.84 1,402,533.00 732,601.20
4,389,739.04 1996 2,431,664.00
1,481,659.00 506,581.64 4,419,904.64
1997 1,325,910.00 858,039.70 640,676.00 2,824,625.70
1998 2,948,197.00 1,731,667.70 969,019.50
5,648,884.20 1999 2,313,016.00
1,357,189.00 876,989.00 4,547,194.00
2000 2,263,457.00 1,292,114.10 900,984.50
4,456,555.60 2001 2,798,344.00
1,691,325.20 908,809.00 5,398,478.20
2002 2,269,604.00 1,369,796.00 1,046,210.47
4,685,610.47 2003 1,746,845.00
956,810.00 528,057.43 3,231,712.43 Total
25,946,057.42 15,237,108.70 8,909,413.82 50,092,579.94
Rata-Rata 2,358,732.49 1,385,191.70 809,946.71
4,553,870.90 Rata-rata penurunan
97.163,70 65.064,90
50.411,11 212.639,70
Laju penurunan 4,12
4,69 6,12
4,63 Keterangan : Hasil pengolahan data
Berdasarkan uji-t sebagaimana pada Tabel 40 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara VAML dengan produksi listrik kecuali di
PLTA Jatiluhur. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi sebesar 0,81 PLTA Saguling, 0,62 PLTA Cirata, 0,004 PLTA Jatiluhur dan 0,71 3 PLTA. Hasil
uji-t menunjukkan variabel VAML berpengaruh signifikan terhadap produksi listrik di 2 PLTA, dengan nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel. Besarnya
pengaruh VAML dapat dihitung dari besarnya nilai koefisien yaitu 476,28 PLTA Saguling, 219,54 PLTA Cirata, 1,01 PLTA Jatiluhur dan 306,63 3 PLTA.
Dengan kata lain, setiap penambahan volume air 1 juta m
3
menyebabkan
155
1500000 3000000
4500000 6000000
7500000 9000000
1 993
1 994
1 995
1 996
1 997
1 998
1 999
2 000
2 001
2 002
2 003
Tahun P
rod uksi
L is
tr ik
M WH
Saguling Cirata
Jatiluhur Citarum
peningkatan produksi listrik sebesar 476,28 MWh PLTA Saguling, 219,54 MWh PLTA Cirata, 1,01 MWh PLTA Jatiluhur dan 306,63 MWh 3 PLTA.
Gambar 36. Rata-rata produksi listrik PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur tahun 1993-2003.
Penurunan produksi energi listrik sebagaimana pada Tabel 39 disebabkan oleh penurunan volume air masuk lokal ke dalam waduk, tingginya
sedimen yang mengisi partisi cooler turbin dan keputusan manajemen PJT II berkaitan dengan alokasi air Citarum. Dari Gambar 35 dan Tabel 39 dapat
disimpulkan bahwa penurunan produksi energi listrik yang terbesar terjadi pada tahun 1997 dan 2002 terutama UBP Saguling dan UP. Cirata. Hal ini diduga
disebabkan oleh rendahnya curah hujan pada tahun 1997 dan 2002 yang secara umum disebut El-Nino.
Sedangkan pada tahun 1998 terjadi kenaikan produksi energi listrik yang terbesar dan penyebabnya diduga adalah tersedianya air dalam jumlah yang tinggi
sebagai akibat curah hujan yang besar bersamaan dengan terjadinya La-Nina. Akan tetapi, bagi PLTA Jatiluhur, penurunan curah hujan pada saat El-Nino
1997 dan peningkatan curah hujan pada saat La-Nina 1998 tidak mempengaruhi tingkat produksi energi listrik secara signifikan. Hal ini
disebabkan PJT II sebagai unit pengelola waduk cascade dapat meminta pengiriman air dari Waduk Saguling dan Cirata.
156
Karakteristik PEL Simulasi 1993 dan 2003 PLTA Saguling
20000 40000
60000 80000
100000 120000
1 125 249 373 497 621 745 869 993 1117 1241 1365 1489 1613 1737 1861 1985 2109 2233 2357 2481 2605 2729 2853 2977 3101 3225 3349 3473 3597 3721 3845 3969
Hari PE
L M
W h
1993 2003
Tabel 40. Uji-t pengaruh VAML terhadap produksi listrik.
No Parameter PLTA
Saguling Cirata
Jatiluhur 1. Korelasi
0,813 0,629
0,004 2. R
kuadrat 0,660
0,395 0,000
3. Konstanta 82.828,66
67.136,09 2907,81 4. Koefisien
476,28 219,54
1,01 5.
Nilai t 15,897
9,221 0,044
6. Signifikansi 0,000
0,000 0,965
Keterangan : beda nyata pada α = 5.
Untuk menduga pengaruh perubahan karakteristik hidrologis terutama debit dan volume terhadap produksi energi listrik PEL, dilakukan pendugaan
dengan menggunakan DAML hasil simulasi GR4J pada kondisi penutup lahan tahun 1993 dan 2003. Perubahan karakteristik PEL tersebut memberikan
gambaran tentang adanya pengaruh penutup lahan terhadap karakteristik PEL dengan karakteristik curah hujan periode 1993-2003. Pada Gambar.... disajikan
dugaan perubahan karakteristik PEL harian pada PLTA UBP. Saguling dan hubungan antara DAML dan PEL hasil simulasi pada Gambar 37, sedangkan
perubahan PEL ditampilkan pada Tabel 41.
Gambar 37. Karakteristik PEL harian di PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada
kondisi penutup lahan tahun 1993 dan 2003.
Keterangan : UBP Saguling meningkatkan kapasitas produksinya dimulai pada tahun 1994.
157
Hubungan PEL Simulasi 1993 dan 2003 PLTA Saguling
y = 0.6185x + 3275.3 R
2
= 0.7535
20000 40000
60000 80000
100000 120000
20000 40000
60000 80000
100000 120000
Series1 Linear Series1
Linear Series1
Gambar 38. Hubungan PEL harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan tahun 1993 dan 2003.
Dari Gambar 38 tersebut diketahui bahwa produksi energi listrik hasil simulasi 1993 penutup lahan 1993 adalah sebesar 5,328 juta MWh lebih tinggi
dibandingkan dengan produksi energi listrik pada simulasi 2003 kondisi penutup lahan 2003 yaitu sebesar 4,490 juta MWh. Dengan kata lain, telah terjadi
penurunan produksi energi listrik selama periode 1993-2003 sebagai akibat perubahan karakteristik hidrologis dan penutup lahan di wilayah hulu sebesar
837,396 ribu MWh setiap tahun. Penurunan produksi tersebut terjadi sebagai akibat dari peningkatan hilangnya potensi berproduksi dari waktu ke waktu baik
karena penurunan debit maupun peningkatan sedimnen. Penurunan debit atau volume dan peningkatan sedimen merupakan dampak penurunan penutup lahan
DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya, PLTA Saguling tidak kehilangan kesempatan produksi energi listrik sebesar
837,396 ribu MWh setiap tahun dengan asumsi selama periode 1993-2003 kondisi penutup lahan dan karakter hidrologis tetap seperti kondisi tahun 1993.
158
7.4.2. Produksi Air Minum
Produksi air minum PDAM Tirta Dharma Purwakarta yang diteliti adalah yang bersumber air baku dari Ubrug waduk Jatiluhur. Dari sisi produksi, PDAM
Tirta Dharma Purwakarta memproduksi air minum sebesar 2,35 juta m³th, dengan kenaikan rata-rata 7,2 0,17 juta m³ per tahun. Peningkatan produksi tersebut
belum dapat memenuhi peningkatan kebutuhan masyarakat Purwakarta yaitu sebesar 12 per tahun. Secara grafis, kecenderungan kenaikan produksi air
bersih PDAM Tirta Dharma Purwakarta disajikan pada Gambar 39. Produksi air minum PT. Thames PAM Jaya relatif stabil pada tingkat 143,5 juta m³ dengan
kenaikan 0,07 10,05 juta m³ per tahun sejak 1998 sd 2005 PDAM-Jaya diakuisisi oleh PT Thames Water 1987. Secara grafis, kecenderungan produksi
air bersih PT. Thames PAM Jaya disajikan pada Gambar 40. Pada Tabel 41 dan 42 disajikan data Produksi Air Minum di PT. Tirta Dharma Purwakarta dan PT.
Thames PAM Jaya Jakarta. Tabel 41. Produksi air minum PT. Tirta Dharma Purwakarta.
No Bulan Volume Air Bersih ribu m³
Total m³ 1999 2001 2003
1 Januari 132,88
228,02 208,16
569,06 2 Februari
109,24 212,31
198,74 520,28
3 Maret 151,71
215,78 219,84
587,34 4 April
131,28 209,82
224,83 565,93
5 Mei 190,15
204,31 251,78
646,23 6 Juni
153,12 219,88
257,08 630,08
7 Juli 169,28
225,57 241,24
636,09 8 Agustus
167,80 227,87
189,61 585,28
9 September 167,32 245,96
159,70 572,99
10 Oktober 176,98
222,97 165,41
565,36 11 November 187,89
215,63 174,55
578,07 12 Desember
200,39 222,60
163,21 586,21
Jumlah 1.938,04 2.650,72
2.454,15 7.
042,92 Rata-rata 161,50
220,89 204,51
586,91
Dari grafik pada gambar 39 diketahui bahwa terjadi kenaikan produksi antara tahun 1999–2001 yang disebabkan adanya penambahan sumber air baku air
minum selain WTP – Ubrug dan penurunan pada tahun 2001–2003 akibat
159
1000 2000
3000
1999 2000
2001 2002
2003 Tahun
Vo lu
m e
Ai r M
in u
m
R ibuan m
3
perbaikan kolam tampung di WTP Ubrug. Akibat penurunan volume produksi ini, pihak manajemen Tirta Dharma melakukan penggantian buka–tutup pada
pelanggan. Gambar 39. Rata-rata volume air bersih PDAM Purwakarta 1999-2003.
Tabel 42. Produksi air minum PT. Thames PAM Jaya.
No Bulan Volume Air Bersih juta m³
Rata-rata Total
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 juta m³ juta
m³ 1 Jan
12,5 11,2 10,0 12,1 12,1 12,2 13,3 13,4 12,1 108,9
2 Feb 11,8 11,2 9,3 10,9 10,4 11,1 12,6 11,5
11,1 88,8
3 Mar 13,2 12,4 9,8 12,0 11,3 12,1 13,8 13,0
12,2 97,7
4 Apr 12,8 11,9 9,9 11,5 11,1 11,7 12,6 12,7
11,8 94,1
5 May 13,0 12,3 10,5 10,9 11,4 11,8 13,4 13,2
12,1 96,5
6 Jun 12,6 11,7 10,2 11,9 11,1 11,5 13,6 12,8
11,9 95,4
7 Jul 12,2 11,8 10,0 12,4 11,6 11,8 13,7 13,0
12,1 96,6
8 Aug 12,9 11,1 10,6 12,3 11,9 11,9 13,3 12,1
12,0 96,1
9 Sep 12,2 10,5 10,0 12,5 11,7 12,0 12,5 12,6
11,7 93,9
10 Oct 12,4 10,5 11,3 12,3 12,2 12,4 13,7 13,2
12,3 98,2
11 Nov 12,1 10,5 11,4 12,2 11,8 12,8 13,1 12,4
12,0 96,3
12 Dec 11,5 10,2 11,9 12,4 11,9 13,5 13,1 13,4
12,2 97,9
Jumlah 149,1 135,3 124,9 143,5 138,5 144,9 158,7 153,4
143,5 1,148,3 Rata-Rata
12,4 11,3 10,4 12,0 11,5 12,1 13,2 12,8 12,0
95,7 Laju
-10,15 -8,35 12,94 -3,60 4,42 8,72 -3,48 -
- 0,07
Sumber : Profil PT. Thames PAM Jaya 2006 pengolahan data.
Dari Tabel 42 dan Gambar 40 dapat diketahui bahwa pada periode 1998 – 2000 terjadi penurunan produksi, 2000 – 2004 mengalami kenaikan dan menurun
kembali pada tahun 2004 – 2005. Penurunan produksi pada 1998 – 2000 dikarenakan adanya konsolidasi perusahaan PDAM DKI Jaya diakuisisi oleh
Thames Water Ltd, sedangkan pada periode 2004 – 2005 penurunan produksi
160
50000 100000
150000 200000
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Vo lu
m e
Ai r M
in u
m
R ibuan m
3
disebabkan oleh pengalihan sumber air baku air minum dari yang semula Sungai Ciliwung menjadi Sungai Citarum Kanal Tarum Barat.
Gambar 40. Rata-rata volume air minum produksi PT. Thames PAM Jaya 1998- 2005.
7.5. Simpulan
Rata-rata per tahun produksi energi listrik adalah sebesar 2,36 juta MWh PLTA Saguling, 1,39 juta MWh PLTA Cirata, 0,81 juta MWh PLTA
Jatiluhur dan 4,55 juta MWh 3 PLTA. Laju penurunan produksi energi listrik rata-rata per tahun adalah 4,12 atau 97,16 ribu MWh PLTA Saguling, 4,69
atau 65,06 ribu MWh PLTA Cirata dan 6,22 atau 50,41 ribu MWh PLTA Jatiluhur dan 4,67 atau 212,64 ribu MWh total 3 PLTA. Penurunan produksi
energi listrik memiliki hubungan yang kuat dan secara nyata sangat dipengaruhi oleh penurunan VAML. Potensi produksi energi listrik yang hilang sebagai akibat
penurunan volume air berdasarkan simulasi GR4J bagi PLTA Saguling sangat besar yaitu 837,396 ribu MWh per tahun selama periode 1993–2003. Rata-rata
produksi air minum PDAM Purwakarta adalah sebesar 2,35 juta m³ dengan kenaikan 7,2 dan PT. Thames PAM Jaya sebesar 143,5 juta m³ dengan
kenaikan 0,07 per tahun.
8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN 8.1.
Latar Belakang
Perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terutama debit, volume, sedimentasi dan pencemaran kimiawi air menyebabkan hilangnya
kesempatan berproduksi, peningkatan intensitas pemeliharaan peralatan produksi energi listrik PLTA turbin dan cooler-nya dan menurunkan umur pakai waduk.
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan akibat kenaikan biaya pemeliharaan dan kehilangan kesempatan berproduksi energi
listrik PLTA. Bagi PDAM, faktor utama yang menyebabkan peningkatan biaya adalah semakin tingginya sedimen dan pencemaran kimiawi air baku air minum.
Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan WTP dan peningkatan biaya pengolahan air karena peningkatan penggunaan bahan kimia.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap biaya lingkungan
atau biaya eksternalitas pengguna air Citarum PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur, PDAM Purwakarta dan DKI Jakarta.
8.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian perubahan biaya lingkungan dilakukan dengan menggunakan data sekunder di bagian Akuntansi UBP Saguling dan Bagian Keuangan PT.
Thames PAM Jaya. Penelitian berlangsung pada bulan April 2006 sampai dengan Juli 2006. Untuk mengetahui kesanggupan masyarakat willingness to
pay masyarakat, dilakukan survey sosial ekonomi terhadap penduduk yang
berada di sekeliling Waduk Saguling yang paling terikat dengan keberadaan waduk yang meliputi empat Kecamatan yaitu Kecamatan Batujajar, Kecamatan
Cipongkor, Kecamatan Cililin, dan Kecamatan Cihampelas, di Kabupaten Bandung.
162
8.3. Bahan Dan Metode 8.3.1. Bahan
Bahan yang diperlukan untuk menganalisis perubahan biaya lingkungan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan adalah
sebagai berikut : 1.
Laporan produksi tahunan PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur 1993-2003.
2. Laporan produksi tahunan PDAM Purwakarta 1999-2003 dan PT. Thames
PAM Jaya 1998-2005. 3.
Laporan biaya pemeliharaan peralatan produksi dan harga jual produksi energi 2005 UBP Saguling.
4. Laporan pemeliharaan peralatan WTP dan penggunaan bahan kimia oleh
PDAM Purwakarta 1988-2003 dan PT. Thames PAM Jaya 1998-2005. 5.
Laporan hasil penelitian pihak ketiga baik terhadap PLTA maupun PDAM tersebut.
8.3.2. Metode Perhitungan Biaya Marginal Lingkungan PLTA dan PDAM
Untuk menghitung potensi kerugian ekonomi yang ditanggung oleh PLTA dan PDAM sebagai akibat kerusakan lingkungan di DAS Citarum
Wilayah Hulu, maka dilakukan perhitungan dengan rumus :
a. Biaya Lingkungan Produksi Listrik PLTA:
BLPL = BKP + BP
, keterangan :
BLPL = biaya lingkungan produksi listrik Rp MWh BKP = biaya kehilangan produksi Rp MWh
BP = biaya pemeliharaan Rp MWh
a1. Biaya Kehilangan Produksi
BKP = P
t+1
– P
t
x HP
, keterangan :
BKP = biaya kehilangan produksi Rp MWh P
t
= Produksi listrik pada tahun t MWh
P
t+1
= Produksi listrik pada tahun t+1 MWh t =
tahun HP
= harga penjualan Rp MWh
163
a.2. Biaya Pemeliharaan Turbin dan peralatan lain
BPT = JPT x BP, keterangan :
BPT = biaya pemeliharaan turbin Rptahun,
JPT = jumlah pemeliharaan turbin kalitahun,
BP = biaya pemeliharaan Rpkali
b. Biaya Lingkungan Produksi Air PDAM:
BLPA = BPK PA, keterangan :
BLPA = biaya lingkungan produksi air Rp m³, BPK = biaya penggunaan bahan kimia Rp,
PA = produksi air m³.
c. Pendugaan biaya lingkungan denga penggunaan simulasi GR4J hasil validasi.
8.3.3. Metode Perhitungan Kesediaan Membayar Metode contingent valuation method CVM digunakan untuk menilai
ekonomi barang publik air dengan menanyakan langsung kepada masyarakat seberapa besar kesediaan membayar willingness to pay - WTP sebagai akibat
kerusakan lingkungan. Kesedian membayar merupakan gambaran dari tingkat preferensi dan pendapatan individu Pearce et al, 1994. Dalam penelitian ini
CVM menyangkut dua hal yaitu kesediaan pengguna jasa membayar air WTP khusunya pada musim kemarau dan persepsi dari perilaku masyarakat pengguna
jasa lingkungan terhadap bentuk kesediaan membayar kompensasi lingkungan. Kuesioner yang digunakan dalam CVM meliputi :
1. Deskripsi rinci tentang jasa lingkungan yang divaluasi, persepsi penilaian
publik, kesedian membayar WTP dan alat pembayaran. 2.
Karakteristik sosial demografis responden seperti usia, pendidikan, pendapatan, dan lain-lain.
Pada CVM ini, masyarakat yang menjadi responden adalah masyarakat di 4 kecamatan Batujajar, Cipongkor, Cililin dan Cihampelas Kabupaten Bandung
yang berada di sekeliling Waduk Saguling dan dipilih secara purposive dengan jumlah populasi contoh sebanyak 120 responden 30 respondenKecamatan.
Pengolahan data kuesioner menggunakan fungsi logit dengan alat bantu software SPSS dengan rumus-rumus Jordan dan Elnagleeb, 1993 Pearce et al, 1994.
164
8.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Biaya Lingkungan 8.4.1.
Potensi Kerugian Ekonomi PLTA a. Kerugian akibat kehilangan kesempatan produksi
Untuk mengetahui pengaruh penurunan kualitas lingkungan terhadap biaya produksi PLTA dilakukan perhitungan terhadap 1 besarnya biaya hilangnya
kesempatan produksi opportunity cost akibat rendahnya volume air waduk, berhenti beroperasi selama pemeliharaan dan keputusan manajemen PJT II, 2
besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan berupa biaya pemeliharaan peralatan utama produksi dan 3 biaya penggunaan bahan kimia
terutama dalam penanganan gas H
2
S dan pencegahan peralatan masinalpipa dari karat. Pada Tabel 43 disajikan nilai penjualan listrik dan potensi kerugian
ekonomi PLTA, selama 10 tahun akibat penurunan produksi listrik. Tabel 43. Nilai penjualan energi listrik di PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur
1993-2003 .
No. Tahun Pendapatan Rp. Miliar
Total Saguling
Cirata Jatiluhur
Rp. Miliar 1 1993 450,32
266,28 170,98
887,58 2 1994 476,4
246,57 127,11
850,08 3 1995 373,48
232,33 121,36
727,17 4 1996 402,81
245,44 83,92
732,17 5 1997 219,64
142,13 106,13
467,9 6 1998 488,37
286,85 160,52
935,74 7 1999 383,15
224,82 145,27
753,24 8 2000 374,94
214,04 149,25
738,23 9 2001 463,55
280,17 150,54
894,26 10 2002 375,96
226,91 173,3
776,17 11 2003 289,36
158,5 87,47
535,33 Jumlah 4297,98
2524,04 1475,85
8297,87 Rata-rata 390,72
229,45 134,168
754,35 Rata-rata penurunan Rp
16,097 10,776
8,35 35,223
Rata-rata penurunan 4,11
4,69 6,22
4,67 Diasumsikan harga berdasarkan harga jual energi listrik UBP Saguling kepada P3B yaitu
Rp 165,65kwh 2005.
Dari Tabel 43 diketahui bahwa selama 1993-2003 ketiga PLTA mengalami penurunan penjualan pendapatan yang hilang yang cukup tinggi,
yaitu sebesar Rp. 16,097 miliar PLTA Saguling, Rp. 10,776 miliar PLTA Cirata, Rp. 8,35 miliar PLTA Jatiluhur dan Rp. 35,223 miliar 3 PLTA setiap
tahun. Pendapatan 3 PLTA hasil penjualan energi listrik disajikan pada Gambar 41.
165
Nilai Penjualan di 3 PLTA
- 200
400 600
800 1,000
19 93
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
Tahun Penda
p at
an R
p M
il ia
r Saguling
Cirata Jatiluhur
Total
Gambar 41. Grafik pendapatan PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur 1993 – 2003.
Untuk menduga pengaruh perubahan PEL terhadap pendapatan pada kondisi penutup lahan 1993 dan 2003 dilakukan simulasi perubahan pendapatan
dengan menggunakan PEL hasil simulasi dikali dengan harga penjualan PEL UBP Saguling kepada P3B yaitu sebesar Rp. 165,65,-kWh atau Rp. 165.650,-
per MWh. Karakteristik pendapatan harian sebagai akibat perubahan PEL harian periode simulasi 1993-2003 disajikan pada Gambar 42, sedangkan hubungan
pendapatan hasil simulasi tahun 1993 dan 2003 pada Gambar 43. Dari gambar tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan PLTA UBP Saguling tahun 1993
sebesar Rp 882,323 miliar lebih besar dibandingkan dengan pendapatan tahun 2003 yaitu sebesar Rp 743,926 miliar. Artinya, PLTA UBP Saguling mengalami
penurunan pendapatan atau kerugian sebesar Rp 138,617 miliar setiap tahun. Potensi keuntungan yang hilang tersebut merupakan kerugian sebagai akibat
kehilangan kesempatan produksi energi listrik dengan trend yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kondisi penutup lahan dan
karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu selama periode 1993-2003 dapat dipertahankan seperti pada kondisi 1993 tidak mengalami degradasi
menjadi seperti tahun 2003 maka PLTA Saguling tidak mengalami kerugian atau kehilangan keuntungan opportunity benefit sebesar Rp 138,617 miliar
setiap tahun sebagai akibat kehilangan kesempatan berproduksi.
166
Karakteristik Pendapatan Harian PLTA Saguling Tahun 1993-2003
- 2
4 6
8 10
12 14
16 18
20
1 11
21 9
32 8
43 7
54 6
65 5
76 4
87 3
98 2
10 91
12 00
13 09
14 18
15 27
16 36
17 45
18 54
19 63
20 72
21 81
22 90
23 99
25 08
26 17
27 26
28 35
29 44
30 53
31 62
32 71
33 80
34 89
35 98
37 07
38 16
39 25
Hari P
e n
dapat a
n R
p M il
iar
1993 2003
Hubungan Pendapatan Harian PLTA Saguling Tahun 1993-2003
y = 0.6182x + 5E+08 R
2
= 0.753
- 2,000
4,000 6,000
8,000 10,000
12,000 14,000
16,000 18,000
20,000
- 2,
000 4,
000 6,
000 8,
000 10,
000 12,
000 14,
000 16,
000 18,
000 20,
000
M ill
io n
s
Millions
Series1 Linear Series1
Gambar 42. Karakteristik pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil
simulasi pada kondisi penutup lahan1993 dan 2003.
Keterangan: UBP Saguling meningkatkan kapasitas produksinya dimulai pada tahun 1994.
Gambar 43. Hubungan pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi
pada kondisi penutup lahan1993 dan 2003.
b. Biaya pemeliharaan
Untuk menjaga kontiunitas produksi energi listrik pada tingkat tertentu diperlukan pemeliharaan terhadap peralatan produksi terutama turbin dan water
cooler , pembelian bahan kimia tertentu dan pemeliharaan waduk. Pemeliharaan
turbin dan water cooler dilakukan satu kali dalam 7-10 tahun dan pemeliharaan
167 waduk dilakukan rutin setiap tahun. Pada Tabel 44 disajikan biaya pemeliharaan
peralatan produksi PLTA. Tabel 44. Biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA Saguling yang diduga
paling rentan terhadap perubahan kualitas air.
No. Komponen Biaya
Besar Rp juta Tahun Jumlah
1999-2000 2001-2002
2003-2005 Rp
1 Pembersihan sampah dan Gulma,
1.869,37 1.143,53
2.882,86 5.895,76
pemeliharaan Trassboom dan penanggulangan erosi
2 Penelitian Kualitas Air Triwulan
76,82 188,31
237,58 502,71
I, II, III dan IV 3
Pekerjaan Retubing Air Cooler, 183,05
1.752,87 245,39
2.181,31 Generator dan perbaikannya
4 Pengadaan, Penggantian, dan
1.200,90 1.310,17
440,43 2.951,50
Perbaikan Air Cooler Generator 5
Pengadaan Oil Cooler Lower -
4.444,15 698,50
5.142,65 Fin Ring Air Cooler,
Tube, Belzone 6
Penggantian spare part dan -
- 413,80
413,80 pemeliharaan turbin
7 Rebuilt Coating Spiral Case
- -
1.887,49 1.887,49
Stay Vane Stay Ring 2 8
Pengadaan Tyristor Stack -
193,88 -
193,88 dan Toprogge
Jumlah 3.330,14
9.032,90 6.806,04
19.169,08 Rata-Rata
2.738,44
Sumber : Bagian Akutansi UBP Saguling, 2006.
c. Biaya Eksternalitas
Biaya eksternalitas adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan PLTA untuk mempertahankan kegunaan sumberdaya air pada tingkat tertentu.
Besarnya biaya eksternalitas tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penghasil sumberdaya air di DAS Citarum Wilayah Hulu. Biaya eksternalitas
meningkat apabila terjadi penurunan volume air, peningkatan sedimen yang memasuki partisi cooler sehingga tidak beroperasi yang kedua-duanya
menyebabkan kesempatan tidak berproduksi PLTA semakin besar, peningkatan biaya pemeliharaan dan kebijakan manajemen PJT II dalam mengalokasikan air.
Pada Tabel 45 disajikan biaya eksternalitas 3 PLTA baik berdasarkan pengamatan maupun simulasi kondisi penutup lahan 1993 dengan asumsi biaya
pemeliharaan ketiga PLTA sama dengan biaya pemeliharaan UBP Saguling.
168 Tabel 45. Biaya eksternalitas rata-rata per tahun 3 PLTA.
No Uraian Biaya
Biaya Eksternalitas PLTA miliar Rpth
Jumlah Rp Saguling Cirata Jatiluhur
Perhitungan 1.
Kehilangan kesempatan berproduksi
16,097 10,776 8,35 35,223
2. Pemeliharaan peralatan
produksi, pengadaan bahan kimia dan
pemeliharaan waduk. 2,738 5,4761 4,080
12,294 Total
18,855 16,252
12,43 47,517
Simulasi perubahan penutup lahan 1993 dan 2003 1.
Potensi kehilangan kesempatan berproduksi
138,617 92,770 71,904 303,318
2. Pemeliharaan peralatan
produksi, pengadaan bahan kimia dan
pemeliharaan waduk. 2,738 5,476 4,080 12,294
Total 141,355 98,246
75,984 315,612
Keterangan : = biaya pemeliharaan per unit turbin PLTA UP. Cirata dan Jatiluhur didasarkan pada total biaya pemeliharaan UBP. Saguling dibagi dengan jumlah turbin
4 turbin. = didasarkan pada hasil simulasi PLTA Saguling secara proporsional. Asumsi biaya pemeliharaan pada simulasi tetap.
Besarnya biaya eksternalitas tersebut diduga akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang sebagai akibat penurunan pendapatan dan
peningkatan biaya pemeliharaan. Penurunan pendapatan disebabkan oleh peningkatan besarnya kehilangan kesempatan berproduksi, baik sebagai akibat
penurunan volume air masuk lokal, peningkatan sedimentasi dan waduk maupun peningkatan frekuensi pemeliharaan alat utama produksi turbin dan cooler.
Apabila diasumsikan bahwa biaya perawatan alat utama produksi energi listrik turbin di ketiga PLTA adalah sama seperti PLTA Saguling, maka total
biaya pemeliharaannya adalah sebesar Rp 12,294 miliar per tahun. Besarnya total kerugian akibat penurunan pendapatan adalah Rp. 47,517 milyar per tahun
Rp. 35,223 miliar + Rp 12,294 miliar. Apabila dibandingkan dengan produksi energi listrik dan volume air yang digunakan masing-masing PLTA diperoleh
hasil sebagaimana pada Tabel 45. Dengan demikian, kerugian ekonomi yang di derita 3 PLTA sebagai akibat penurunan produksi energi listrik dan peningkatan
biaya pemeliharaan adalah Rp. 47,517 miliar per tahun.
169 Untuk menduga potensi kerugian PLTA sebagai akibat perubahan
penutup lahan dilakukan pengurangan pendapatan hasil simulasi penutup lahan tahun 1993 dengan penutup lahan tahun 2003 dengan hasil sebagaimana
pada Tabel 46. Dari tabel tersebut diketahui bahwa potensi kerugian atau potensi keuntungan yang hilang sebagai akibat perubahan penutup lahan sangat
besar yaitu Rp.141,355 miliar PLTA Saguling, Rp.98,246 miliar PLTA Cirata, Rp.75,984 miliar PLTA Jatiluhur dan Rp.315,612 miliar 3 PLTA
setiap tahun dengan asumsi volume air masuk lokal yang tersedia dan turbin dioperasionalkan secara memaksimal oleh PLTA serta biaya pemeliharaan tetap.
Potensi kerugian tersebut merupakan nilai guna manfaat sumberdaya air yang hilang sebagai akibat perubahan penutup lahan dari tahun 1993-2003. Dengan
kata lain, dengan mempertahankan penutup lahan pada kondisi 1993, ketiga PLTA telah mendapatkan potensi keuntungan opportunity benefit yang sangat
besar. Besarnya perbedaan antara kerugian menurut perhitungan aktual dengan hasil simulasi model GR4J diduga disebabkan tidak maksimalnya PLTA
beroperasi, penurunan DAML dan VAML dan kebijakan alokasi air oleh manajemen PJT-II selama peride 1993-2003. Dengan membagi biaya
kerugian terhadap produksi energi listrik dan air yang digunakan oleh PLTA, diperoleh biaya marjinal lingkungan environmental marginal cost atau biaya
eksternalitas bagi pengguna air Citarum. Hasil analisis terhadap Tabel 46 didapatkan informasi bahwa secara
umum potensi kerugian ketiga PLTA sebagai akibat degradasi kualitas jasa lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar Rp. 47,517 - Rp.
315,612 milyar setiap tahun atau sebesar Rp. 2.789,11 - Rp. 10.434,42 per MWh listrik yang dihasilkan atau Rp. 3,60 – Rp. 16,95 per m³ air yang
digunakan. Besarnya potensi kerugian yang dialami oleh ketiga PLTA Rp. 315,612 miliar per tahun diperkirakan disebabkan oleh perubahan penutup lahan
dan karakteristik hidrologis periode 1993 -2003.
170 Tabel 46. Biaya marginal lingkungan PLTA berdasarkan perhitungan per tahun.
No Uraian PLTA
3 PLTA Saguling Cirata Jatiluhur
1. Potensi PEL MWhth
2,358,732.49 1,385,191.70
809,946.71 4,553,870.90
2. Potensi
VAML m³th 2,590,570,000 5,092,340,000 5,520,160,000 13,203,070,000
3. Potensi kerugian
Rpth 18,835,440,000 16,252,000,000 12,430,000,000
47,517,000,000 4.
BML per unit output 3 : 1 RpMWh
7,985.41 11,732.67 15,346.69 10,434.42
5. BML per m³VAML
3 : 2 Rpm³ 7.27 3.19 2.25
3.60
Simulasi 1993
No Uraian PLTA
3 PLTA Saguling Cirata Jatiluhur
1. Potensi PEL MWhth
58,611,796.53 34,420,424.71
20,126,246.61 113,158,467.85
2. Potensi VAML
m³th 3,652,598,448.64 7,179,992,505 7,783,201,323.36 18,615,792,277.10
3. Potensi kerugian
Rpth 141,355,000,000 98,246,139,840 75,984,823,880 315,611,797,800
4. BML per unit output
3 : 1 RpMWh 2,411.72 2,854.30 3,775.41
2,789.11 5.
BML per m³VAML 3 : 2 Rpm³
38.70 13.68 9.76
16.95
Keterangan : PEL = Produksi energi listrik, VAML = volume air masuk lokal, BML = Biaya marginal lingkungan.
Dengan kata lain, apabila kondisi penutup lahan dan karakteristik hidrologis tidak berubah seperti kondisi tahun 1993, maka ketiga PLTA akan
mendapatkan potensi keuntungan sebesar potensi kerugiannya. Biaya tersebut merupakan compensation variation dan equivalent variation ketiga PLTA dalam
upaya mempertahankan utilitas sumberdaya air sebagai energi pembangkit pada tingkat produksi yang ditetapkan. Dengan kata lain, biaya tersebut merupakan
willingness to pay wilayah hilir pengguna jasa atas perbaikan kualitas
lingkungan wilayah hulu penyedia jasa. Secara grafik, biaya marjinal lingkungan 3 PLTA seperti pada Gambar 44.
171
P e r ba ndinga n BML S a guling Ta hun 1993 da n 2003
- 10,000
20,000 30,000
40,000 50,000
60,000 70,000
80,000 90,000
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
P r oduksi MWh 2003
1993 P e r ba ndinga n BML Cir a t a Ta hun 1993 da n 2003
- 20,000
40,000 60,000
80,000 100,000
120,000 140,000
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
P r oduksi MWh 2003
1993
P e r ba ndinga n BML J a t iluhur Ta hun 1993 da n 2003
- 50,000
100,000 150,000
200,000
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
P r oduksi MWh 2003
1993 P e r ba ndinga n BML Cit a r um 3 P LTA Ta hun 1993 da n 2003
- 50,000
100,000 150,000
200,000 250,000
300,000 350,000
400,000
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
P r oduksi MWh 2003
1993
Gambar 44. Biaya marginal lingkungan 3 PLTA. 8.4.2. Kerugian Ekonomi PDAM
Komponen biaya yang diteliti dalam pengolahan air baku menjadi air bersih minum adalah 1 pemeliharaan peralatan produksi dan 2 penggunaan
bahan kimia. Tabel 47. Biaya pemeliharaan WTP Ubrug PDAM Tirta Dharma.
No Tahun Komponen Biaya
Biaya 1
1988 Reposisi level pompa intake
2.255.000 2
1993 Pencucian pasir di WTP
104.741.000 3
1994 Pengangkutan kapasitor instalasi
814.939.000 pengelolaan air bersih IPA PDAM Kab. Purwakarta
4 1995
Pengawasan proyek pengangkutan kapasitor instalasi 49.071.000
pengelolaan air bersih IPA PDAM Purwakarta 5
1996 Pencucian pasir di WTP
5.790.000 6
1998 Pencucian pasir di WTP
11.961.000 7
2002 Evaluasi up-rating WTP, pengawasan pekerjaan
49.500.000 up-rating WTP dan assesment WTP Ubrug
8 2003
Up-rating WTP lanjutan PDAM Purwakarta 724.725
Total Biaya Pemeliharaan WTP Ubrug 1.038.981.725
Rata-rata per tahun 41.559.269
Sumber : Laporan keuangan PDAM Tirta Dharma 1999-2003.
172 Pada Tabel 47 dan 48 disajikan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh
PDAM Tirta Dharma Purwakarta sumber air baku dari Ubrug setiap tahun sebesar Rp 41.559.000,- laju kenaikan sebesar 4,0 per tahun. Penggunaan
bahan kimia oleh PDAM Tirta Dharma Purwakarta mengalami kenaikan 1999- 2003 antara 0.93 sodium, -56 asam sulfat. Penggunaan bahan kimia
yang semakin meningkat, menunjukkan penurunan kualitas air yang diproses PDAM.
Tabel 48. Pemakaian bahan kimia pembantu umum dalam pengolahan air bersih PDAM Purwakarta.
No Bulan Bahan Kimia Kg
1999 2001
2003 Chor Kaporit
Shodium Alum Shodium Alum Sulfat
1 Januari -
15 930
4.740 2.520
5.675 2 Februari
- 30
1.770 4.865
1.930 6.300
3 Maret -
30 1.810
3.930 2.335
6.955 4 April
- 11
1.125 6.230
2.375 8.175
5 Mei -
60 1.470
5.515 2.220
7.225 6 Juni
- 95
1.465 4.320
2.335 6.325
7 Juli -
- 2.325
3.700 2.330
6.300 8 Agustus
- -
2.765 3.823
3.380 6.750
9 September - -
2.520 4.150
1.410 8.400
10 Oktober - - 2.638
4.200 1.500
10.450 11
November - -
2.226 3.850
1.095 10.500
12 Desember - -
1.974 3.900
1.210 11.100
Jumlah - 241
23.018 53.223
24.640 94.155
Rata-Rata - 40 1.918
4.435 2.053
7.846 Sumber : Bagian keuangan PDAM Purwakarta.
PT. Thames PAM Jaya mengalami kenaikan komponen biaya bahan kimia sebesar Rp. 87,317 juta per tahun selama kurun waktu 1998-2005 atau
laju kenaikan biaya untuk pengadaan bahan kimia sebesar 10,61 per tahun atau Rp 64,00,- per m³ biaya produksi air minum. Peningkatan penggunaan bahan
kimia oleh PT. Thames PAM Jaya Jakarta menunjukkan semakin rendahnya kualitas air baku dari Tarum Kanal BaratCitarum yang diproses. Kesediaan
PDAM untuk membayar biaya marginal tambahan sebesar tersebut merupakan avoid cost
untuk mempertahankan utility sumberdaya air pada tingkat tertentu. Biaya marginal lingkungan tersebut dikompensasi oleh PDAM dari
pendapatannya.
173
200 400
600 800
1000 1200
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Tahun Ju
m la
h B ia
y a
B a
ha n
K im
ia hhh
h
R p
m 3
Dari Tabel 49, Gambar 45 dan Tabel 50 dapat disimpulkan bahwa tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh PT. Thames PAM Jaya persatuan
produksi m
3
terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terutama pada periode 2003-2006, yang mana pada periode tersebut produksi air minum
relatif menurun. Kondisi ini mengindikasikan adanya peningkatan pencemaran air baku air minum air dari Sungai Citarum-Kanal Tarum Barat. Peningkatan
pencemaran tersebut terutama disebabkan penurunan kualitas lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu.
Tabel 49. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005.
Sumber : Bagian keuangan PT. Thames PAM Jaya Unit Pabuaran, 2006.
Gambar 45. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi
tahun 1998-2005.
No BLN Biaya Bahan Kimia 1000 m³ Rp juta
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 Jan
437,44 646,85 689,99 793,88 1.092,85 701,84 1.167,91 1.133,86
2 Feb
460,76 557,98 551,25 566,61 772,11 735,58 901,61 1.189,19
3 Mar
625,63 658,13 654,12 801,45 821,34 811,46 941,26 1.355,27
4 Apr
553,49 638,29 692,18 939,50 1.011,89 764,85 1.262,71 1.140,14
5 May
502,54 803,95 783,03 787,49 722,15 824,27 1.122,38 1.044,20
6 Jun
870,54 524,26 686,82 957,57 718,26 692,67 858,63 1.132,02
7 Jul
882,73 544,26 827,95 926,27 826,72 676,36 974,41 1.009,80
8 Aug
850,70 546,63 709,68 718,00 684,84 685,07 916,84 1.026,04
9 Sep
619,51 495,42 627,76 967,81 636,81 693,59 949,98 1.011,83
10 Oct
837,97 821,43 672,22 1.115,08 649,74 907,48 1.071,40 1.389,21
11 Nov
562,45 617,06 779,82 1.001,84 711,76 836,50 1.140,17 1.188,63
12 Dec
599,73 675,06 678,50 781,58 731,48 792,32 1.338,52 1.195,93
Jumlah
7.803,48 7.529,32 8.353,30 10.357,08 9.379,96 9.121,99 12.645,82 13.816,13
Rata-rata
650,29 627,44 696,11 863,09 781,66 760,17 1.053,82 1.151,34
174 Peningkatan penggunaan bahan kimia sebagai akibat degradasi kualitas
air baku air minum PT. Thames PAM Jaya meliputi pemakaian alum sulfat cair, PAC, gas klor, karbon aktif, kapur padam, proestol TR 611, magnoflok LT 20,
dan magnoflok LT 7994. Tabel 50. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi
PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005.
No Bulan Biaya Bahan Kimia Rpm³ Tahun
1998 1999 2000
2001 2002
2003 2004 2005
1 Januari 35,03
57,90 68,76 65,79 90,25 57,59 87,79 84,46 2
Februari 39,16 49,82 59,36 52,05 74,28 65,99 71,64 103,44
3 Maret 47,57
52,87 66,94
66,62 72,52
67,02 69,81 103,95
4 April 43,36
53,73 70,05 81,66 91,56 65,30
100,04 89,64 5
Mei 38,69 65,32 74,86 72,23 63,28 69,83 83,63 78,91
6 Juni 69,26
44,79 67,02
80,51 64,94
60,16 63,20
88,19 7
Juli 71,57 46,02
82,39 74,76
70,96 57,44 71,30 77,90
8 Agustus 65,92
49,44 67,07 58,21 57,43 57,40 69,05 78,28
9 September 50,77 47,37
62,78 77,34
54,52 57,86
75,84 80,57 10
Oktober 67,61 77,89 59,29 90,49
53,30 73,04 77,99 105,09 11
November 46,3 58,74
68,59 82,11
60,56 65,12
86,96 95,96 12
Desember 52,29 65,94 57,04
62,89 61,25
58,59 102,51 89,17
Jumlah 627,53 669,83 804,15 864,66 814,85 755,34 959,76 1075,56
Rata-rata tahun 821,46
Laju 42,3 134,32
60,51 -49,81
-59,51 204,42
115,8 Laju rata-rata
64,004 Sumber : Bagian keuangan PT. Thames PAM Jaya Unit Pabuaran, 2006.
Tabel 51. Sidik ragam Anova penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya.
No Keragaman Jumlah
Kuadrat Derajat
Bebas Nilai Tengah
Kuadrat F Hitung
Signifikansi 1. Antar
Kelompok 11.954,764 7 1.707,823 16,001 0,000
2. Dalam Kelompok
9.285,734 87 106,733
3. Total 1.240,498 94
Keterangan : berbeda nyata pada α = 5
Dari hasil sidik ragam anova sebagaimana pada Tabel 53 dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya berbeda
nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung yang lebih besar dari F-tabel dan nilai signifikansi lebih kecil dari 5. Secara grafis biaya marginal
lingkungan atau eksternalitas PDAM ditampilkan pada Gambar 46.
175
Biaya Marginal Lingkungan 2 PDAM
- 100
200 300
400 500
600 700
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Produksi Air Minum M
3
BM L
Rp
Tirta Dharma Thames PAM Jaya
Gambar 46. Biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM Tirta Dharma dan PT. Thames PAM Jaya.
8.4.3. Kesediaan Membayar Masyarakat Hulu
Untuk mengetahui nilai jasa air bagi masyarakat hulu, dilakukan survey contingent valuation method
CVM terhadap 120 Kepala Keluarga di 4 Kecamatan yang merupakan wilayah hulu DTA Saguling
8.4.4. Karakteristik Responden
Pengguna jasa lingkungan disebut hilir dan penyedia disebut hulu. Dengan definisi tersebut, masyarakat di sekitar waduk Saguling juga merupakan
pengguna jasa lingkungan yang disediakan oleh DTA Sub DAS wilayah hulu berupa air. Pengguna jasa lingkungan air yang lain adalah PLTA, PDAM,
industri, hotel dan restoran, rumah tangga, instansi pemerintah, dll. Pada penelitian ini, jasa lingkungan yang dimaksud berupa air minum. Ketersediaan
air minum sangat tergantung oleh kondisi lingkungan di DAS hulu Citarum. Sehingga masyarakat hilir yang menggunakan jasa lingkungan secara tidak
langsung mempunyai kewajiban dalam membayar kompensasi untuk rehabilitasi wilayah hulu melalui masyarakat. Menurut Leimona 2004, masyarakat yang
berpenghidupan dari hasil alam atau dengan mengelola lahan merupakan ujung tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok
masyarakat ini diistilahkan dengan ”masyarakat penyedia jasa lingkungan” environmental services providers, yang atas usaha perlindungan dan
pengelolaannya dapat dikategorikan sebagai pelindung guardian dan pengelola stewardship. Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan
176 serta gagalnya pendekatan di masa lalu, telah memicu berkembangnya suatu
sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan recognition and reward. Prinsip dasar dari
konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha yang telah mereka lakukan, di lain pihak, pengguna
jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan. Masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam penelitian ini terdiri atas
masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling tersebar di 4 Kecamatan dengan total responden 120 kepala keluarga 40KKKecamatan. Masyarakat
hilir yang menjadi responden merupakan masyarakat yang mengambil jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Karakteristik responden dalam
penelitian ini terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dan usia. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat
menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling. Berikut karakteristik responden masing-masing Kecamatan.
a. Jenis kelamin
Responden dalam penelitian ini adalah para penduduk yang menggunakan jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Banyaknya
responden masing-masing Kecamatan adalah 40 KK dan ternyata lebih dari 95 115 KK adalah laki-laki dan perempuan kurang dari 5 5 KK. Hal ini
disebabkan bahwa responden pada umumnya adalah kepala keluarga.
b. Tingkat pendidikan
Berdasarkan data yang didapat, dapat dilihat bahwa persentase tingkat pendidikan yang paling tinggi adalah SD 97 KK, SMP 15 KK , SMU 4 KK,
tidak sekolah 3KK dan PT 1KK. Kondisi tersebut dapat dipahami karena 4 Kecamatan wilayah studi adalah wilayah pedesaan yang masih tergolong daerah
tertinggal.
c. Tingkat pendapatan
Berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan rata-rata Rp 100.000 – Rp 300.000 per bulan
177 56 KK, Rp 300.000 keatas 40 KK dan 24 KK berpenghasilan kurang dari
Rp 100.000 per bulan.
d. Jumlah tanggungan
Jumlah tanggungan 2-4 orangKK merupakan yang tertinggi yaitu 101 KK, 5 - 7 orangKK 2 KK, kurang dari 2 orangKK 7 KK.
e. Usia
Kelompok usia dibagi menjadi 5 golongan yaitu usia dibawah 30 tahun, usia antara 30-40 tahun, usia antara 40-50 tahun, usia antara 50-60 tahun dan
usia diatas 60 tahun. Distribusi jumlah KK pada setiap golongan umur dari tertinggi sampai terendah adalah 41 KK 30 - 40 th, 30 KK 30 th, 22 KK 50
- 60 th, 21 KK 40 - 50 th dan 6 KK 60 th.
f. Kebutuhan dan sumber air bersih responden
Di wilayah studi ditemukan bahwa 72 KK sebagian besar masih menjadikan sumur sebagai sumber air minum, 25 KK mata air, 23 KK sumur
dan mata air dan tidak ada responden yang menjadikan waduk sebagai sumber air minumnya. Hal ini disebabkan oleh masih tersedianya air tanah permukaan
walaupun pada waktu musim kemarau. Kebutuhan air minum per KK responden bervariasi antara
≤ 30 m³bln - ≥ 90 m³bln. Sebagian besar responden yaitu 52 KK membutuhkan 71 - 90 m³bln, 28 KK membutuhkan 51-70 m³bln, 9 KK
membutuhkan ≥ 91 m³bln dan 6 KK membutuhkan ≤ 30 m³bln.
g. Mata pencaharian responden
Sebagian besar yaitu 53 KK responden memiliki mata pencaharian sebagai petani, 21 KK sebagai pedagang, 14 KK sebagai buruh, 10 KK sebagai
penambang pasir, 10 KK sebagai pengojek, 9 KK sebagai petambak dan 3 KK sebagai peternak. Walaupun jumlah KJA di waduk Saguling sangat besar lebih
dari 12.000 KJA, namun masyarakat setempat yang memiliki tidaklah banyak hanya sekitar 7, yang lainnya hanya sebagai buruh KJA.
h. Kesediaan membayar masyarakat hulu DTA Saguling
Kepada responden ditanyakan berapa rupiah mereka bersedia membayar jika kualitas air ditingkatkan. Hasil kuesioner adalah 72 KK menyatakan sebesar
≤ Rp 20m³, 28 KK sebesar Rp 20m³ – Rp 40m³, 17 KK sebesar Rp 40m³ – Rp
178 50m³, dan 3 KK sebesar Rp 80m³ – Rp 100m³. Secara umum kesediaan
membayar yang dinyatakan adalah rata-rata sebesar Rp 28,33m³air bersih.
8.4.5. Persepsi Terhadap Jasa Lingkungan
a. Dampak perubahan iklim terhadap perubahan hujan.
Selama periode 1850 sampai 1990 diperkirakan sebesar 270 Gt karbon telah dilepaskan ke atmosfer. Sekitar 40 dari karbon yang dilepaskan berasal
dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan industri 67 dan konversi lahan 33, sedangkan 60 berasal dari proses
alami. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk sekaligus aktivitas manusia dalam mengkonsumsi energi maka akan semakin menigkat pula
konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer. Meingkatnya gas rumah kaca di atmosfer, diikuti dengan perubahan penigkatan iklim global. Studi yang
dilakukan LAPAN dalam Boer et all 2003, menunjukkan bahwa apabila konsentrasi CO2 dinaikkan 2 kali lipat dari kondisi saat ini, maka diperkirakan
kejadian El Nino and Shoutern Oscilallation ENSO, yang terjadi sekali dalam 3-7 tahun akan menigkat menjadi sekali dalam 2-5 tahun. Kejadian ENSO
menyebabkan tingkat resiko terhadap kejadian kekeringan akan semakin besar. Di Indonesia berdasarkan data hujan bulanan historis 1931-1990 yang
dibagi menjadi 2 periode yaitu tahun 1931-1960 dan 1961-1990, diperoleh kecenderungan bahwa curah hujan di wilayah selatan Indonesia, khususnya
Lampung, Jawa dan sebagian kawasan Timur akan semakin basah, sebaliknya hujan pada musim kemarau akan semakin kering. Berdasarkan data hujan
tahunan, secara umum wilayah selatan Indonesia, khususnya Jawa Barat cenderung basah. Berdasarkan kajian Boer dan Subbiah 2003 menunjukkan
bahwa dari 43 kejadian kekeringan yang telah terjadi di Indonesia sejak tahun 1844, hanya 6 yang tidak bersamaan kejadian fenomenal ENSO. Hal ini
menunjukkan perubahan hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO.
Berdasarkan hasil analisis oleh Boer 2004 menunjukkan bahwa pada tahun 2000 dengan tingkat pengambilan air permukaan 10 dari total jumlah
aliran per tahun, hampir semua kecamatan yang ada di DAS Citarum mengalami
179 kekurangan air. Pada tahun 2020, banyaknya kecamatan yang akan mengalami
kekurangan air akan semakin bertambah. Dengan meningkatkan tingkat pengambilan air permukaan 10 menjadi 25 sebagaian besar kebutuhan air
kecamatan dapat dipenuhi kecuali beberapa kecamatan seperti Bandung, Karawang, Bekasi dan Sumedang. Namun demikian, tingkat pengambilan air
25 dari total sudah jauh melampaui debit andalan sehingga resiko kekurangan air, khususnya pada musim kemarau akan tetap tinggi.
Sementara itu, berdasarkan data yang didapatkan dari Purwakarta dan DKI Jakarta akan terjadi penigkatan terhadap permintaan air minum. Di Kota
Purwakarta didapatkan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan terhadap air minum mulai tahun 2000 sebanyak 2900 m³. Keadaan ini diproyeksi sampai
dengan kebutuhan tahun 2006 sebanyak 5500 m³. Hal ini menunjukkan akan terjadi peningkatan permintaan air minum seiring dengan pertambahan waktu
dan peningkatan jumlah penduduk. Keadaan ini juga terjadi di Kota Jakarta, namun terjadi permintaan akan air minum yang lebih banyak pada Kota Jakarta
sebanyak 7500 m³ pada tahun 2006. Pada Tabel 52 disajikan neraca kebutuhan air di DAS Citarum.
Tabel 52. Neraca kebutuhan air DAS Citarum.
Uraian 1990 2005 2025
m³det 10
6
m³ m³det 10
6
m³ m³det
10
6
m³ 1. Sumber
Citarum Sungai Lain
182,33 60,25
5.750,00 1.900,00
182,33 61,83
5.750,00 1.950,00
182,33 63,42
5.750,00 2.000,00
7.650,00 7.700,00 7.750,00 2. Kebutuhan
Irigasi Industri
Air minum Perikanan
Penggelontoran Beban puncak
listrik 177,33
7,91 9,77
1,00 2,00
9,51 5.591,71
249,45 308,11
31,54 63,07
300,00 175,00
15,00 21,30
10,00 10,00
3,17 5.518,80
473,04 671,72
315,36 315,36
100,00 168,00
25,00 45,00
20,00 15,00
5.298,05 788,40
1.419,12 630,72
473,04
6.543,88 7.394,28 8.609,33 3. Neraca
Sumber Kebutuhan
242,58 207,49
7.650,00 6.543,88
244,16 234,47
7.700,00 7.394,28
245,75 273,00
7.750,00 8.609,33
1.106,12 305,72
859,33 Sumber : PJT II Jatiluhur 2002.
180 Jelaslah bahwa permintaan air untuk pertanian, industri dan rumah tangga
terus meningkat, sementara suplai air dari Citarum terus menurun. Pada kondisi ini konflik penggunaan air akan meningkat pula. Keadaan ini juga menunjukkan
bahwa peningkatan permintaan air seiring dengan konflik antara pengguna air akan meningkat dan kelangkaan akan air akan menjadi permasalahan yang
serius. Hernowo 2001 memperkirakan pada tahun 2010, DAS Citarum tidak akan lagi dapat memenuhi permintaan air. Berdasarkan data yang didapat dari
PJT II Jatiluhur, didapatkan bahwa pada tahun 2025 secara umum akan terjadi defisit air untuk berbagai kebutuhan yang berasal dari DAS Citarum hulu.
Keadaan akan kurangnya ketersediaan air pada masa yang akan datang dapat mulai diantisipasi dengan memperbaiki kondisi lingkungan di DAS Citarum
Wilayah Hulu. Persentase persepsi terhadap ketersediaan air yang cenderung buruk di
Jakarta Utara dan sedang di Purwakarta menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan air minum mulai merasa kurangnya ketersediaan air.
Kurangnya ketersediaan air minum khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kualitas lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah
Hulu sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air minum Jasa Tirta II, 2002. Sehingga
jelaslah untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air minum, khususnya pada saat musim kemarau perlu dilakukan perbiakan lingkungan di
hulu DAS Citarum Wilayah Hulu.
b. Tanggapan responden terhadap keberadaan Waduk Saguling
Responden di 4 Kecamatan sebagian besar atau 97 117 KK menyatakan keberadaan waduk Saguling sangat penting bagi mereka dan sangat
sedikit 3 KK yang menyatakan tidak penting. Akan tetapi hanya 52 KK 43 yang selalu berpartisipasi dalam upaya perbaikan lingkungan hulu DTA,
sedangkan 68 KK 57 tidak berpartisipasi. Hal ini, dikarenakan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh UBP Saguling dalam upaya peningkatan
kualitas lingkungan tidak mengikutkan semua wargapenduduk di wilayah
181 sekitar waduk. UBP Saguling membentuk kader-kader pelestari lingkungan di
setiap desaKecamatan di seluruh wilayah DTA Saguling.
c. Hasil analisa logit kesediaan membayar kompensasi perbaikan
lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu.
Intepretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai resiko oddsnya. Rasio odds adalah ukuran asosiasi yang
memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh peubah-peubah penjelas terhadap respon. Jika suatu peubah penjelas mempunyai tanda koefisien positif,
maka nilai rasio oddsnya akan lebih besar dari satu, sebaliknya jika tanda koefisien negatif, maka nilai rasio oddsnya akan lebih kecil dari satu.
Hosmer, 1989. Pada hasil analisis regresi logit kesediaan masyarakat dalam membayar perbaikan lingkungan di hulu DTA Saguling ada tiga variabel yang
signifikan yaitu kebutuhan air, jumlah tanggungan dan pendapatan, sedangkan pendidikan dan umur tidak signifikan Tabel 53.
Tabel 53. Hasil Analisa Logit WTP.
Variabel Masyarakat DTA Hulu
Koefisien Signifikansi
Rasio Odds X1 Kebutuhan Air
0,05735 0,017
1,06 X2 Jumlah Tanggungan
-1,1831 0,005
0,31 X3 Pendapatan
0,00065 0,000
1,00 X4 Pendidikan
-0,0749 0,578
0,93 X5 Umur
0,0491 0,437
1,02 nyata pada
α = 52 , R = 83 .
d. Persepsi terhadap ketersediaan air minum
Koefisien positif pada persepsi seseorang terhadap ketersediaan air minum menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang maka akan
semakin tinggi pula kesediaan dalam membayar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesediaan membayar sebesar 1,06 kali pada persepsi yang lebih baik.
Bentuk kesediaan dalam membayar yang dinyatakan dengan terdapatnya peluang membayar, dapat diartikan sebagai bentuk mulai dirasakannya kurangnya
ketersediaan air minum terutama pada saat musim kemarau. Keadaan ini dikarenakan kondisi lingkungan yang semakin memburuk sehingga secara tidak
langsung dapat mempengaruhi ketersediaan air. Apabila kondisi ini dibiarkan
182 maka akan berakibat defisitnya sumber air sehingga tidak tecukupinya
kebutuhan akan air.
e. Pendapatan
Koefisien yang positif terdapat pada pekerjaan. Keadaan ini menunjukkan bahwa pekerjaan seseorang sebagai petani lebih mempunyai
peluang membayar yang lebih besar dibandingkan dengan mata pencaharian lain. Keadaan ini diasumsikan karena masyarakat yang mempunyai pekerjaan sebagai
petani mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi dan stabil dibandingkan dengan yang mempunyai pekerjaan lain. Dari hasil analisis logit
diketahui bahwa peluang membayar sebagai petani 1,00 kali lebih besar dibandingkan dengan profesi lainnya.
f. Jumlah tanggungan
Lain halnya kondisi jumlah tanggungan yang mempunyai koefisien negatif -1,1831. Keadaan ini menunjukkan semakin banyak jumlah tanggungan
seseorang maka akan semakin rendah keinginan seseorang dalam membayar kompensasi. Nilai ratio odd sebesar 0,31 dapat diartikan semakin sedikit jumlah
tanggungan responden maka keinginan membayar akan semakin besar 3 kali.
8.5. Simpulan
Kerugian ekonomi yang menjadi tambahan biaya marginal cost akibat kerusakan lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu masing-masing PLTA per
tahun adalah sebesar Rp. 18,835 miliar atau Rp. 7.985MWh atau Rp. 7,27m
3
PLTA Saguling, Rp. 16,252 miliar atau Rp. 11.732MWh atau Rp. 3,19m
3
PLTA Cirata, Rp 12,430 miliar atau Rp 15.346MWh atau Rp 2,25m³ PLTA Jatiluhur dan Rp. 47,517 miliar atau Rp. 10.434MWh atau Rp. 3,60m
3
3 PLTA. Biaya bahan kimia yang dikeluarkan oleh PDAM Tirta Dharma adalah
sebesar Rp 212,43 per m³ air minum yang diproduksi dan PT. Thames PAM Jaya sebesar Rp 821,46 per m³ air minum yang diproduksi dengan kenaikan
marjinal per tahun Rp 64,0 per m³. Kesediaan membayar masyarakat hulu Sub DAS Saguling untuk peningkatan kualitas sumberdaya air adalah sebesar Rp
28,33m³ air yang digunakan.
9. PEMBAHASAN UMUM 9.1. Perubahan Tutupaan Lahan dan Karakteristik Hidrologis
Masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya air adalah kuantitas, kualitas, penyebaran dan waktu aliran. Kekeringan dan banjir merupakan dua
contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi terutama hujan. Pembangunan
waduk, kecuali untuk PLTA juga dimaksudkan untuk menampung aliran air hujan ketika musim hujan di wilayah hulu dan mengalirkannya kembali pada musim
kemarau, sehingga pasokan air untuk irigasi di wilayah hilir dapat stabil pada kuantitas tertentu. Pengelolaan vegetasi di wilayah hulu DAS juga dapat
menurunkan aliran sedimen yang masuk kedalam waduk sehingga meningkatkan umur pemanfaatan service life waduk. Vegetasi hutan juga dapat mengatur
aliran air stream regulator yaitu dengan menyimpan air selama musim hujan dan mengalirkannya pada musim kemarau.
Perubahan tataguna lahan DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1992–2002 telah menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologis berupa
terjadinya kecenderungan penurunan debit dan volume air air masuk lokal dan air keluar, fluktuasi debit air masuk lokal yang ditandai dengan meningkatnya rasio
Q max-min dan peningkatan laju sedimentasi dari tahun ke tahun. Dengan demikian, kondisi ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu telah mengalami
degradasi yang cukup kritis ditandai dengan tingginya laju perubahan penutup lahan dan pengalihan fungsi tataguna.
9.1.1. Perubahan Penutup Lahan dan Curah Hujan
Sebagaimana diuraikan pada Bab 5, pada periode pengamatan 1993 – 2003 secara keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu mengalami penurunan jumlah
CH yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 8,21 mmth. Pada periode yang sama, musim kemarau April-September di wilayah DAS Citarum Wilayah Hulu
memiliki CH bulanan rata-rata sebesar 118,35 mm dengan simpangan baku 45,08 mm, dan musim hujan Oktober-Maret, CH bulanan rata-rata sebesar 246,09 mm
dengan simpangan baku 43,85 mm. Adanya kecenderungan penurunan curah
184 hujan dan kaitannya dengan perubahan penutup lahan land cover akibat
perubahan tata guna lahan land use tersebut dapat diterangkan sebagai berikut. Perubahan penutup lahan vegetasi di Pulau Jawa telah berlangsung sejak
awal abad lalu akibat konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain. Dampak perubahan penutup lahan dalam skala luas ini nampak dari perubahan fungsi
hidrologis DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti dengan penurunan hasil air DAS Pawitan, 2004. Penggundulan hutan secara luas
di suatu DAS akan menurunkan kelembaban dengan berkurangnya evapotranspirasi dan menyebabkan penurunan curah hujan lokal. Penelitian di
Amazon Asdak, 2004 menunjukan bahwa 50 dari total hujan di wilayah hutan berasal dari hasil evapotranspirasi hutan yang ada di wilayah tersebut.
9. 1. 2. Perubahan Penutup Lahan, Debit dan Volume Air