Pelayanan Umum Pengelolaan Irigasi PEMBAHASAN UMUM 1. Perubahan Tutupaan Lahan dan Karakteristik Hidrologis

61 sangat indah dipadukan dengan karya teknis hidrolis berupa bendungan yang sangat besar serta PLTA. Usaha Kepariwisataan dilaksanakan dengan memanfaatkan fasilitas purna proyek serba guna Jatiluhur yang berada di sekitar waduk Jatiluhur untuk penginapan, pertemuan, olahraga dan rekreasi air. Tahun 2002 dilengkapi dengan gedung serba guna yang dapat menampung lebih dari 300 orang peserta, disamping bisa digunakan perhelatan seperti pesta perkawinan dan lain - lain. Di bidang wisata air telah diperbaharui sebuah kapal motor. d. Usaha lain-lainnya adalah sebagai berikut : 1 Pemanfaaatan lahan. Dalam upaya pengamanan dari pemanfaatan tanpa ijin dan mengoptimalisasikan pemanfaatan lahan negara, PJT II menyediakan jasa pemanfaatan lahan dengan cara sewa dalam waktu tertentu atau kerjasama usaha. 2 Pelayanan rekayasa teknik dan jasa laboratorium. Bagi pemanfaat potensi di lingkungan perusahaan, PJT II menyediakan pelayanan rekayasa tehnik antara lain penyelidikan tanah, pengukuran, dan perencanaan teknis untuk bangunan pengairan. Di samping itu, PJT II menyediakan jasa pelayanan laboratorium untuk penelitian kualitas air yang merupakan salah satu laboratorium rujukan di Jawa Barat. 3 Jasa alat-alat berat. PJT II memiliki berbagai jenis alat berat untuk pemeliharaan jaringan pengairan, dapat disewakan kepada pihak lain untuk kegiatan di lingkungan daerah kerja PJT II.

2. Pelayanan Umum Pengelolaan Irigasi

Dalam rangka penyediaan bahan pangan nasional terutama beras, perusahaan senantiasa mengupayakan penyediaan air rata-rata sejumlah 5,75 miliar m³ setiap tahun. PJT II mengelola dan menyediakan air irigasi untuk sawah seluas 296.000 ha di Pantura, meliputi 242.000 ha sawah mendapatkan air dari Waduk Jatiluhur irigasi Jatiluhur dan 54.000 ha sawah dari sumber setempat irigasi selatan Jatiluhur. 62 Dari lahan sawah tersebut dihasilkan 2,9 juta ton gabah kering pungut, setara dengan 40 produksi Jawa Barat atau 8 produksi nasional. Jika harga dasar gabah Rp. 1.200,- per kg, maka lahan sawah irigasi yang dikelola PJT II menghasilakan pendapatan sebesar Rp. 3,522 triliun. Menurut pakar pertanian, penyediaan air untuk produksi padi adalah 20 dengan demikian kontribusi PJT II dalam penyediaan air bernilai lebih kurang Rp. 710 miliyartahun. Dalam pengelolaan DAS, PJT II mempunyai kewenangan pengelolaan dalam batas-batas aliran sungai in-stream, serta melaksanakan kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan sarana serta prasarana pengairan. Selain itu juga turut serta dalam upaya pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan air dan sumber-sumber air dengan memberikan informasi, rekomendasi, penyuluhan atau bimbingan kepada pemanfaat air dan sumber-sumber air.

3. Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1232KMK.0131989, jo. Nomor : 316KMK.0161994 serta petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi PPELK di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum tahun 1992 Nomor : UM.04.04 MN500, Perum Jasa Tirta II telah melaksanakan Program Pembinaan Pengusaha Kecil dan Koperasi sejak tahun 1991. Dalam memberikan bimbingan dan bantuan kepada Koperasi dan Usaha Kecil serta Program Sarjana Pelaksana Konsultasi Manajemen Koperasi PK MK, PJT II telah memberikan bantuan dana kepada KUD Desa tertinggal sebanyak 598 mitra binaan dengan jumlah dana yang disalurkan sebesar Rp. 2,4 milyar. Pada tahun 1996 PUKK PJT II pada saat itu POJ mendapat penghargaan UPAKARTI dari Pemerintah.

3.2.5. Arah Pengembangan Perusahaan

Arah Pengembangan Perusahaan difokuskan pada : 1. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan prasarana produksi yang ada. 63 2. Program peningkatan produksi air baku dan pariwisata diharapkan dapat dilaksanakan dengan bermitra sektor swasta. 3. Peningkatan kemampuan dana perusahaan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintah, khususnya mendukung pemenuhan pangan nasional melalui pengembangan pendapatan dari tarif pemanfaatan sumberdaya air. 4. Melaksanakan pengkajian tentang Pembentukan Badan Pengelolaan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane dan Way Seputih. Selain itu, program kegiatan bidang pengembangan perusahaan meliputi pengembangan unit usaha, menambah kemampuan perusahaan, penugasan pemerintah, pemanfaatan lahan, pengembangan sumberdaya air dan pengendalian banjir.

a. Pengembangan Unit Usaha

1. Tarif Energi Air PJT II akan menjajagi kemungkinan pengenaan tarif kepada PLTA Saguling dan PLTA Cirata. Perhitungan tarif, sementara ini adalah Rp. 5,-kWh 2. Operasi Minihydro di Curug Minihydro di Curug selesai tahun 2002 dengan kapasitas pembangkitan 6,3 MW. Sebagian dari produksi listrik yaitu sebesar 3,0 MW dapat dipasarkan ke PLN dan sebagian lagi yaitu sebesar 3,3 MW untuk dipakai sendiri. 3. Peningkatan air baku untuk Bandung Raya dari 340 literdetik menjadi 1.500 literdetik dengan membangun saluran terowongan antara SWS Interbasin Cibutarua dioperasikan mulai tahun 2001, bekerjasama dengan investor swasta. 4. Peningkatan pariwisata diupayakan melalui kerjasama dengan swasta untuk investasi pembangunan fasilitas bermain anak-anak, pembangunan agro wisata, conference room dan rehabilitasi kolam renang. 5. Perubahan Kepmen PU No. 3751993 jo No. 3611996 tentang pemanfaatan lahan dan situ diperlukan untuk investasi jangka panjang. 6. Penambahan modal perusahaan untuk memberdayakan lahan-lahan potensial. 64 7. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 131998 dimungkinkan mendirikan anak perusahaan. Calon anak perusahaan direncanakan adalah kegiatan pariwisata dan jasa konsultansi.

b. Peningkatan Kemampuan Perusahaan

Peraturan Menteri No. 52PRT1991 menetapkan bahwa biaya operasi pemeliharaan OP jaringan irigasi bersumber dari pemerintah. Mengingat selama ini biaya OP jaringan irigasi bersumber dari subsidi silang PJT II, maka diharapkan dengan tersedianya dana dari pemerintah tersebut dapat meningkatkan kemampuan perusahaan. Selain itu, dilaksanakan program berupa konstruksi fisik, pelatihan, desain dan studi terdiri dari : a. Metropolitan Bandung Urban Development Program. Proyek prioritas I pada periode RJP berkaitan dengan pengembangan sumber daya air yaitu Cibutarua Interbasin Canal, untuk menaikan kehandalan pasok air sungai Cisangkuy untuk PDAM Kabupaten Bandung dan peningkatan pasok air sungai Citarik di Kecamatan Tanjung Sari. b. Rehabilitasi Pompa Tarum Timur. Rehabilitasi 6 unit pompa telah beroperasi sejak tahun 1968 dengan sumber dana bantuan Pemerintah Perancis. Penandatanganan kontrak pelaksanaan pada bulan Agustus 1995 dan diselesaikan 2001. c. Pembangunan Minihydro Power Plant Bendung Curug. Pekerjaan desain, manufacturing dan pemasangan mini hydro 2x3 MW yang dibiayai oleh dana bilateral dari pemerintah Perancis, yang semula dijadwalkan selesai pertengahan tahun 1998, baru selesai akhir tahun 2002. d. Pengendalian Banjir Sungai Citarum. Pelaksanaan Proyek Pengendalian Banjir mendesak di Citarum Hulu dana bantuan dari OECF dan ADB. e. Rehabilitasi Situ Lembang. Dalam rangka mengantisipasi peningkatan permintaan pasok air baku di daerah Cimahi, maka diperlukan peningkatan daya tampung Situ Lembang sehingga mampu menambah pasokan air baku sebesar 200 literdetik 2003. f. Rehabilitasi situ-situ yang masih berfungsi sebagai penyediaan air irigasi dan pengendalian banjir. 65 g. Jatiluhur Water Resources Management Project Preparation Study. Menyangkut penyiapan desain teknik peningkatan Saluran Induk Tarum Barat, Tarum Timur, termasuk pembangunan sypon kali Bekasi, Bendungan Cikarang dan Cibeet untuk meningkatkan kualitas air baku ke PT.Thames PAM Jaya dan peningkatan kapasitas pemompaan ke Saluran Tarum Barat.

3.3. Unit Bisnis Pembangkitan Saguling

PT. Indonesia Power adalah salah satu anak perusahaan listrik milik PT. PLN Persero yang didirikan pada tanggal 3 Oktober 1995 dengan nama PT. PLN Pembangkit Tenaga Listrik Jawa Bali PT.PLN PJB I dan II dan pada tanggal 3 Oktober 2000 PT.PLN PJB I resmi berganti nama menjadi PT. Indonesia Power. PT. Indonesia Power meiliki unit bisnis pembangkitan dan pemeliharaan. Unit-unit bisnis pembangkit tersebut adalah : Unit Bisnis Pembangkit Suralaya, Tanjung Priok, Saguling, Kamojang, Mrica, Semarang, Perak, Grati dan Bali serta unit jasa pemeliharaan. Kiprah PT. Indonesia Power dalam pengembangan usaha penunjang di bidang pembangkit tenaga listrik juga dilakukan dengan membentuk anak perusahaan PT. Cogindo Daya Perkasa saham 99,9 yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan dan manajemen sinergi dengan penerapan konsep Cogeneration dan Distributed Generation, juga PT. Indonesia Power mempunyai saham 60 di PT. Arta Daya Coalindo yang bergerak di bidang usaha perdagangan batu bara. Aktivitas kedua anak perusahaan ini diharapkan dapat lebih menunjang peningkatan pendapatan perusahaan di masa mendatang. UBP Saguling merupakan salah satu Unit Pelaksana Pengusahaan yang berada di bawah PT. Indonesia Power dan sebelumnya bernama PLN Sektor Saguling terbentuk sesuai dengan surat PLN Pusat No. 064DIR1984 tanggal 10 Mei 1984 yang mengelola PLTA Saguling. Dengan adanya perubahan Struktur Organisasi dalam rangka menuju kearah spesialisasi, maka keluar surat keputusan Pemimpin PLN Pembangkit dan Penyaluran Jawa bagian Barat NO. 006.K023KJB1991 tanggal 28 Pebruari 1991 dan SK Direksi PT. PLN PJB I 66 No. 001.K030DIR1995 tanggal 16 Oktober 1995, yaitu yang semula mengelola 1 unit ditambah 7 unit hingga 8 unit PLTA, seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Delapan PLTA yang termasuk dalam UBP Saguling. No PLTA Tahun Operasi Daya Terpasang Total MW 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Saguling Kracak Ubrug Pleangan Lamajan Cikalong Bengkok Dago Pasir Kondang 1985,1986 1827,1958 1924, 1950 1922,1982,1996 1925,1934 1961 1923 1955 4 x 175,17 3 x 6,30 2 x 5.94, 1 x 6,48 3 x 1.08, 1 x 2.02, 1 x 1,61 3 x 6,52 3 x 1,05 3 x 1.05, 1 x 0.70 2 x 2.49, 2 x 2,46 700,72 18,90 18,36 6,87 19,56 19,20 3,85 9,90 Sumber : Profil UBP Saguling, 2006. Sedangkan misi dari Unit Bisnis Pembangkit Saguling ialah ”Mengelola Bisnis Pembangkit Hidro dan Memberdayakan Sumberdaya Melalui Kemitraan, Guna Menjamin Kontinuitas Dan Pertumbuhan Perusahaan Dalam Jangka Panjang”, dan mottonya adalah ”Mari.......Kita Bersinergi”.

3.3.1. Struktur Organisasi dan Manajemen UBP Saguling.

Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling disajikan pada Gambar 12. Gambar 12. Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling. Sumber : Profil UBP Saguling, 2006. MNGR SISTEM SDM MNGR KEU MNGR PEMELIHARAAN MNGR SUB UNIT BISNIS ANEKA USAHA MNGR OPR NIAGA GENERAL MANAJER - ENJINER PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN - ENJINER LINGKUNGAN, ASURANSI DAN KS MANAJER HUMAS PLTA SAGULING 700.72 MW PLTA UBRUG 18.36 MW PLTA LAMAJAN 19.56 MW PLTA BENGKOK 3.85 MW PLTA SAGULING 700.72 MW PLTA UBRUG 18.36 MW PLTA LAMAJAN 19.56 MW PLTA BENGKOK 3.85 67 Dengan komitmen dan kebijakan yang dicanangkan tahun 1999 Strategi Rencana Jangka Panjang Tahun 2001–2005 dan ditindaklanjuti didalam Rencana Kerja dan Anggaran serta Kontrak Manajemen Tahun berjalan didapat hasil dengan diraihnya sertifikat : a. Sertifikat Zero Accident Nihil kecelakaan periode 1996-2004. b. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bendera Emas Tahun 2001 dan 2004. c. Sertifikat System Manajemen Mutu ISO 9001 Versi 2000 Tahun 2004. d. Sertifikat System Manajemen Lingkungan ISO 14001 Tahun 2001. e. Penghargaan Forum Efficiency Drive Program Terbaik I Tahun 2001. f. Penghargaan Terbaik I Kategori “Bersahabat Dengan Lingkungan” Tahun 2001. Memberdayakan sumberdaya seperti tanah, bangunan, fasilitas bengkel dan SDM untuk memperoleh pendapatan lain di luar bisnis utama dengan mengembangkan usaha-usaha komersil antara lain : a. Pengelolaan pemberdayaan dengan dikelola sendiri, bekerjasama dengan pihak kedua dengan cara bagi hasil maupun kemitraan. b. Penelitian kualitas air waduk, danau, dan kawasan terbuka hijau untuk melihat tingkat pencemaran, kerjasama dengan PPSDAL – LP UNPAD dan ITB dilaksanakan per triwulan. c. Pemantauan dan pengukuran sedimentasi di waduk dilaksanakan per semester serta penghijauan disekitar waduk. d. Pasang rambu pengaman dan patok batas dipinggir waduk. Peduli lingkungan melalui program community development pemanfaatan aset lahan surutan di pinggir waduk oleh masyarakat sekitarnya diantaranya ialah: a. Pengobatan medis dan alternatif secara gratis dan donor darah. b. Mengadakan khitanan massal. c. Bea siswa dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi dan pertandingan olah raga serta perbaikan sarana umum MCK, jalan, fasilitas ibadah, dan lain - lain. 68

3.3.2. PLTA Saguling

PLTA Saguling terletak sekitar 30 km sebelah barat Kota Bandung dan 100 km sebelah tenggara DKI Jakarta dengan kapasitas terpasang 4 x 175,18 MW dan produksi listrik rata-rata per tahun = 2,158 GWh CF = 35,12. Fungsi PLTA Saguling dalam kelistrikan se-Jawa dan Bali, selain untuk memikul beban puncak juga berfungsi sebagai pengatur frekuensi sistem. Hal ini dimungkinkan dengan diterapkannya peralatan LFC Load Frequency Control di PLTA Saguling. Sampai saat ini telah beroperasi 3 PLTA Sistem Kaskade di aliran sungai Citarum dan salah satunya adalah PLTA Saguling yang lokasinya berada paling hulu. Sedangkan bagian hilirnya berturut-turut adalah PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur. Energi listrik yang dihasilkan PLTA Saguling disalurkan melalui GITET gardu induk tegangan ekstra tinggi Saguling dan diinterkoneksikan ke sistem se-Jawa dan Bali melalui saluran udara tegangan ekstra tinggi SUTET 500 KV untuk selanjutnya melalui GITET dan Gardu Distribusi disalurkan ke konsumen. Untuk menjaga keandalan unit pembangkit, maka dilaksanakan pemeliharaan, baik yang bersifat rutin, predictive maintenance maupun periodik. Begitu pula untuk mengetahui lebih dini jika terjadi kelainan-kelainan pada kondisi bangunan air, secara rutin dilaksanakan pemantauan instrumentasi monitoring yang meliputi pemantauan survai, geoteknik, instrumentasi DAM dan sedimentasi. Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling disajikan pada Tabel 6. Dalam rangka pelestarian lingkungan, dilakukan pemantauan kualitas air waduk, penghijauan daerah aliran sungai dan pembersihan sampah dan gulma air secara rutin. Sedangkan untuk pemantauan curah hujan di DAS Citarum DTA Saguling dan debit air masuk waduk serta air keluar pembangkit dipantau dengan sistem telemetering. 69 Tabel 6. Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling. Uraian Dimensi Merek Waduk Duga Muka Air Maksimum Duga Muka Air Minimum Luas Waduk + 643 m Isi seluruhnya Isi Efktif : : : : : + 643,00 m + 623,00 m 48.695 ha 875 juta m³ 611,5 juta m³ Bendungan Type Tinggi Elevasi Puncak Bendungan Panjang Puncak Isi Tubuh Bendungan : : : : : Urugan batu dengan inti kedap air 99,00 m 650,20 m 301,40 m 2,79 juta m³ Generator Merk Type Kapasitas Tegangan Arus Frekuensi Putaran : : : : : : : Mitsubishi Setengah Payung, 3 Phase, Synchronous 4 x 206,1 MVA 16,5 kV 7.212 Amp. 50 Hz 333 Rpm Turbin Merk Type Kapasitas Putaran Debit pada Head Normal Head Maks, Normal, Min : : : : : : Toshiba Francis Vertical 4 x 178,8 MW 333 Rpm 4 x 54,8 m³det. 363,6 m maks, 355,7 m normal, 343,4 m min Sumber : Profil UBP Saguling, 2006. 3.4. Unit Pembangkitan Cirata 3.4.1. Latar Belakang Daerah pengaliran sungai DPS Citarum merupakan daerah yang subur, bergunung-gunung dan dianugerahi curah hujan yang tinggi. Sungai Citarum tidak pernah kering sepanjang tahun dan airnya digunakan penduduk untuk berbagai keperluan seperti rumahtangga, pengairan, pembangkit tenaga listrik dan lain - lain. Dalam memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat, pemerintah menentukan kebijaksanaan penghematan penggunaan bahan bakar minyak. Pemanfaatan potensi tenaga air sebagai energi listrik makin bertambah penting mengingat keterbatasan sumber energi primer disamping usaha konservasi air. Pembangunan proyek PLTA Cirata merupakan salah satu pemanfaatan potensi tenaga air di 70 Sungai Citarum yang letaknya di wilayah Kabupaten Bandung, kurang lebih 60 km barat laut Kota Bandung atau 100 km dari Jakarta melalui jalan Purwakarta. PLN Proyek Induk Pembangkit Hidro Jawa Barat PIKITDRO JABAR adalah unit PLN yang diserahi untuk menangani pembangunan pusat-pusat listrik tenaga air di wilayah Jawa Barat. Salah satu diantaranya adalah proyek PLTA Cirata yang dapat membangkitkan energi listrik rata-rata sebesar 1,428 juta kilowatt jam per tahun. Untuk itu perlu dibangun sebuah bendungan tipe urugan batu dengan permukaan berlapis beton sebagai bahan kedap air setinggi 125 meter, dengan ketinggian air maksimum 223 m diatas permukaan laut. PLTA Cirata dibangun sejak bulan Januari 1984. Pada akhir bulan September 1988 telah dapat beroperasi dengan kapasitas penuh melalui kedelapan turbin dan generatornya, sehingga Cirata dapat memiliki 8 unit pembangkit listrik dengan total daya terpasang 1.008 MW. Tenaga listrik yang dihasilkan PLTA Cirata melalui generator dengan tegangan 16,5 kV dinaikkan menjadi 500 kV melalui trafo utama, kemudian melalui Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi 500 kV GITET Cirata, energi tersebut disalurkan ke sistem interkoneksi 500 KV Jawa- Madura-Bali Jamali, Jaringan 500 kV tersebut dikendalikan oleh pusat pengaturan dan penyaluran beban P3B Gandul Jakarta. UP Cirata merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara, dengan bangunan Power House 4 lantai dibawah tanah yang pengoperasiannya dikendalikan dari ruang kontrol Switchyard berjarak ± 2 km dari mesin-mesin pembangkit yang terletak di Power House. PLTA Cirata, sejak pertama dioperasikan pada tahun 1988 dikelola oleh PLN Persero Pembangkitan dan Penyaluran Jawa Bagian Barat PLN JB Sektor Cirata. Pada tanggal 3 Oktober 1995 terjadi restrukturisasi di PLN Persero yang mengakibatkan pembentukan 2 anak perusahaan, yaitu PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali I dan II PT.PJB I dan PT.PJB II, sehingga Sektor Cirata masuk wilayah kerja PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II. Kemudian pada tahun 1997, sektor Cirata berubah nama menjadi PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II Unit Pembangkitan Cirata UP. Cirata. Dengan perkembangan organisasi sejak tanggal 3 Oktober 2000, PT.PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II berubah menjadi PT. 71 Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali, unit pembangkitan Cirata PT. PJB UP Cirata.

3.4.2. Tahap Pelaksanaan

Tahap-tahap pelaksanaan pembangunan Proyek PLTA Cirata meliputi : 1. Survai pendahuluan, dimulai tahun 1975. 2. Studi kelayakan dilaksanakan tahun 1980-1981. 3. Studi analisis dampak lingkungan dimulai tahun 1981. 4. Perencanaan terinci dilaksanakan Pebruari 1981 – Oktober 1982. 5. Tahap pembangunan, dengan tahapan sebagai berikut : a. Pekerjaan prasarana yang dimulai pada bulan April 1983, meliputi pembangunan jalan hantar, Base Camp, perbaikan dan peningkatan fasilitas jalan, pemasangan jaringan listrik untuk konstruksi dan sebagainya. Disamping itu, terdapat pekerjaan-pekerjaan relokasi jalan, jembatan dan fasilitas umum seperti terminal air, bangunan sekolah, balai desa, sarana mandi, cuci dan kakus MCK. b. Pekerjaan utama meliputi : -LOT I : Pembuatan bendungan, bangunan pelimpah dan terowongan penggerak dilaksanakan oleh kontraktor Taisei Co bekerjasama dengan PT. Pembangunan Perumahan dan Mitsubishi Co Jepang. -LOT II : Pembuatan bangunan pengambilan air, terowongan tekan, tangki pendatar air, rumah pembangkit, saluran pembuang, dilaksanakan oleh kontraktor Taisei Co Jepang bekerjasama dengan PT. Pembangunan Perumahan dan Mitsubishi Co Jepang. -LOT III : Pekerjaan pipa pesat penstock, dilaksanakan oleh kontraktor Nissho Iwai Jepang bekerjasama dengan PT.Boma Bisma Indra. -LOT IV : Gate, Screen dan Valve pintu, saringan dan katup dilaksanakan oleh kontraktor Nissho Iwai Jepang bekerjasama dengan PT.Boma Bisma Indra. -LOT V : Turbin dilaksanakan oleh Kontraktor Voest Alpine Austria bekerjasama dengan PT. Wasamitra. 72 Konsultan : NEW JEC New Japan Engineering Consultant bekerjasama dengan PT. Indra Karya. Dengan adanya System Joint Operation kerjasama antara kontraktor asing dengan kontraktor nasional diharapkan akan didapat keuntungan-keuntungan bagi kontraktor nasional antara lain alih teknologi bagi kontraktor nasional, memacu pertumbuhan kontraktor nasional, dan devisa negara untuk pekerjaan utama tidak seluruhnya diserap oleh perusahaan asing. c. Pekerjaan telemetering hidrologi dan sistem peringatan banjir dilaksanakan oleh Puslitbang KIM-LIPI.

3.4.3. Kegiatan Usaha

Produksi dan sistem pengoperasian kegiatan usaha inti adalah pembangkit tenaga listrik dengan total daya terpasang 1.008 MW, terdiri atas Cirata I 4 unit masing-masing operation daya terpasang 126 MW yang mulai dioperasikan tahun 1988 dengan total daya terpasang 504 MW. Cirata I dan II mampu memproduksi energi listrik rata-rata 1,428 GWh per tahun dan disalurkan melalui jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi 500 kV ke sistem interkoneksi Jawa- Madur-Bali Jamali. Kapasitas per unit PLTA disajikan pada Tabel 7. -LOT VI : Generator dilaksanakan oleh kontraktor Elin Union Austria bekerjasama dengan PT. Brantas Abipraya. -LOT VII : Trafo utama dan serandang hubung switchyard, dilaksanakan oleh Kontraktor Cogelex Perancis bekerjasama dengan PT. Cita Contrac. -LOT VIII : Jaringan transmisi dilaksanakan oleh kontraktor Brown Boveri Jerman Barat bekerjasama dengan PT. Mega Eltra. -LOT IX : Special equipment, terdiri dari beberapa paket pengadaan alat-alat berat, dan peralatan telekomunikasi dilaksanakan oleh PT. United Tractors, PT. Triguna Utama, Sumitomo Co., PT. Natela, CV.3R Electronics. 73 Tabel 7. Kapasitas per unit PLTA. Jenis Pembangkit Mulai Beroperasi Kapasitas PLTA Unit 1 25 Mei 1988 126 MW PLTA Unit 2 29 Februari 1988 126 MW PLTA Unit 3 10 Agustus 1988 126 MW PLTA Unit 4 15 Agustus 1988 126 MW PLTA Unit 5 15 Agustus 1997 126 MW PLTA Unit 6 15 Agustus 1997 126 MW PLTA Unit 7 15 April 1998 126 MW PLTA Unit 8 15 April 1998 126 MW Total 1.008 MW Sumber : Profil PJB Unit Cirata, 2006. Untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1,428 GWh, dioperasikan 8 buah turbin dengan kapasitas masing-masing 129.000 kW dengan putaran 187,5 rpm. Adapun tinggi air jatuh efektif untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m³dt. Mengoperasikan unit pembangkit Cirata dapat dilakukan dengan 3 mode sistem pengoperasian : 1. Mode operasi local manual, yaitu sistem pengoperasian yang dilakukan oleh operator secara manual dari panel unit control Power House. 2. Mode operasi local auto, yaitu sistem pengoperasian yang dilakukan oleh operator secara automatic dari panel unit control di ruang Power House. 3. Mode operasi remote, yaitu sistem pengoperasian yang menggunakan teknologi tinggi berbasis komputer dimana unit dioperasikan dari kontrol desk di ruang kontrol Switchyard yang berjarak ± 2 km dari lokasi pembangkit listrik. Dalam mengoperasikan seluruh unit pembangkit listrik PLTA Cirata mengutamakan menggunakan mode operasi remote untuk mengoperasikan dan mengontrol semua sistem, karena lebih efisien dan efektif. Namun demikian operator di lokasi rumah pembangkit selalu siap dengan mode operasi local auto maupun mode operasi local manual. Kinerja operasional Unit Pembangkitan Cirata beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa hasil availability factor dan forced outrage rate diatas standar kelas dunia dari NERC EAF = 89,59 EFOR = 4,46 dan SOFF = 7,22. Pembangunan PLTA Cirata selain dibiayai langsung oleh 74 Pemerintah Indonesia melalui dana APBN dan non-APBN serta dana PLN juga mendapat bantuan pinjaman dari luar negeri, yaitu : a. IBRD International Bank for Reconstruction and Development. b. CDC Commonth Wealth Development Cooperation. c. SC Suppliers Credits. d. Pemerintah Austria. Total biaya pembangunan PLTA Cirata meliputi Penyediaan dan Biaya Pembangunan Cirata I sebesar :IBRD USD 241.300.000, CDC USD 18.800.000, SC USD 69.000.000, dan dari APBN + Non-APBN USD 235.900.000, sedangkan Cirata II sebesar Rp.132.272.182.016,00,-, Swiss Franc SFR 99.7291,00,- , Belanda NTD 207.933.845,00,-, Jepang Yen 2.791.593.431,00,-.

3.4.4. Organisasi

Organisasi UP Cirata, sejak 21 Oktober 1999 mengalami perubahan mengikuti perkembangan organisasi di PLN PJB yang fleksibel dan dinamis sehingga mampu menghadapi dan menyesuaikan situasi bisnis yang selalu berubah. Perubahan yang mendasar dari unit pembangkit adalah dipisahkannya fungsi operasi dan fungsi pemeliharaan, sehingga unit pembangkit menjadi organisasi yang clear and clean dan hanya mengoperasikan pembangkit untuk menghasilkan GWh seperti yang disajikan pada Gambar 12.

a. Sumberdaya Manusia

Manusia adalah aset terpenting dalam perusahaan, sehingga UP Cirata memberikan kesempatan kepada seluruh pegawainya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi agar menjadi SDM yang profesional. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan kerja yang menggairahkan dan memotivasi mereka untuk selalu bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Sikap profesionalisme para pegawai tetap dipertahankan dan ini terlihat dari hasil kinerja perusahaan yang semakin membaik. 75 Gambar 13. Struktur organisasi unit pembangkitan Cirata. Sumber : Profil PJB Unit Cirata, 2006.

b. Manajemen Sumberdaya Energi

Air merupakan sumber energi utama yang digunakan untuk memutar turbin pembangkit tenaga listrik sebanyak 8 unit. Oleh karena itu dibangun waduk Cirata seluas 62 Km² dengan elevasi muka air banjir 223 m, elevasi muka air normal 220 m dan elevasi muka air rendah 205 m, sehingga volume air waduk 2,165 juta m³ dan isi efektif waduk 796 juta m³. Air waduk ini dikelola baik jumlah maupun mutunya agar tidak mengganggu atau merusak mesin-mesin pembangkit. MANAJER AUDITOR Audit Manajemen Audit Keuangan ENJINIRING Root Cause Analysis O M Task Review Evahiare Empowering OPERASI Perencanaan Pengendalian Operasi Produksi A,B,C,D Analis DBME Analis Kinerja Unit LK3 Kesehatan dan keselamatan kerja Sistem manajemen mutu dan Manajemen resiko Lingkungan Akuntansi Anggaran Keuangan Sistem Informasi Terpadu MANAJER SDM Adm. Kepegawaian Pelatihan pengembangan SDM Sekretariat, Humas Keamanan Pengadaan kontrak bisnis dan Administrasi gudang Sarana SDM ADMINISTRASI PEMELIHARAAN Perencanaan Pengendalian Pemeliharaan Pemeliharaan mesin Pemeliharaan listrik Pemeliharaan instrumen kontrol Pemeliharaan sipil, monitoring DAM dan Power house Inventory Control dan Catalogger 76

c. Manajemen Lingkungan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Ramah lingkungan merupakan trend dunia usaha yang berkembang dewasa ini, sehingga setiap industri dituntut untuk mengelola lingkungan dengan baik berstandar internasional, aman serta berdampak positif bagi lingkungan sekitarnya. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan terhadap komponen : a. Fisika dan kimia meliputi iklim dan kualitas udara serta fisiografi dan geologi. b. Kualitas air dengan parameter sesuai dengan peruntukannya. c. Sedimentasi, berupaya penelitian tingkat erosi tahunan. d. Sosial ekonomi dan budaya yang meliputi pariwisata, pertanian pasang surut, perikanan dan penghijauan di sekitar waduk. Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan prioritas utama dalam menunjang keberhasilan setiap unit kerja. Oleh karena,dilaksanakan penyuluhan dan mensosialisasikan program zero accident serta membudayakan etos kerja yang aman.

d. Aspek Lingkungan

Pembangunan Proyek PLTA Cirata membutuhkan tanah seluas kurang lebih 7.026 ha, untuk daerah konstruksi dan genangan air, sehingga menimbulkan masalah kependudukan yang cukup besar. Kecuali itu genangan air akan menimbulkan pula perubahan lingkungan fisik dan biofisik lainnya. Sehubungan dengan itu telah dilakukan studi analisis dampak lingkungan sejak awal perencanaan proyek, sehingga dapat diperkirakan dan dipantau perubahan lingkungan yang akan terjadi, serta diusahakan untuk menghilangkan atau mengurangi dampak negatif dan memacu dampak positif pembangunan PLTA Cirata. Dalam penanganan masalah lingkungan tersebut, telah dijalin kerjasama dengan berbagai instansi dan lembaga penelitian antara lain : a. Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan UNPAD untuk studi analisis dampak lingkungan. b. Pemerintah Daetah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Tingkat II Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta dalam menyelesaikan masalah pemindahan penduduk dan pembebasan tanah. 77 c. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan untuk meneliti hidrologi dan sedimentasi. d. Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan UNPAD bekerjasama dengan ICLARM Internasional Center for Living Aquatic Resources Management Manila, untuk membantu Studi Pengembangan Akuakultur dan Perikanan dalam rangka pemukiman kembali penduduk yang terkena proyek PLTA Saguling dan Cirata. e. Dinas Perikanan dan Provinsi Jawa Barat dengan Unit Pelaksana Teknis untuk penanganan penyaluran penduduk dalam bidang perikanan. f. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta dalam penelitian peninggalan sejarah dan penyelamatannya. g. Kantor Wilayah VI Departemen Parpostel Jawa Barat untuk pendidikan dan latihan pariwisata dalam penelitian pengembangan pariwaisata. h. Banyak penelitian lain yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah maupun swasta yang langsung maupun tidak langsung bermanfaat bagi PLTA Cirata.

3.4.5. Dampak Pembangunan PLTA Cirata

1. Dampak Positif a. Menghasilkan listrik dengan daya terpasang 1008 MW dan energi per tahun sebesar 1,428 juta kWh, sehingga menambah daya dan keandalan pada sistem kelistrikan. b. Menghemat bahan bakar minyak. c. Meningkatkan keandalan penyediaan air waduk Jatiluhur untuk air minum dan irigasi. d. Memacu perkembangan industri dan perekonomian. e. Mengembangkan usaha perikanan dan pariwisata. f. Menyediakan lapangan kerja baru. 2. Dampak Negatif a. Tergenangnya lahan Luas tanah yang diperlukan untuk daerah genangan kurang lebih 6.334 ha yang meliputi Kabupaten Bandung 38, Kabupaten Cianjur 41, dan Kabupaten Purwakarta 21. Selain itu masih diperlukan kurang lebih 78 692 ha tanah yang terletak diluar daerah genangan untuk pembangunan konstruksi. Perincian tata guna lahan daerah tergenang : 1 Tanah desa perumahan 219 ha 2 Sawah 1.656 ha 3 Ladang dan Perkebunan 3.584 ha 4 Kehutanan 689 ha 5 Tanah Negara jalan, sungai, dan lain-lain 186 ha Jumlah 6.334 ha b. Pemindahan Penduduk Jumlah penduduk yang harus dipindahkan dari daerah genangan tercatat 6.335 kepala keluarga KK, yang tersebar di tiga Kabupaten yaitu : 1. Kabupaten Bandung 1.652 KK 2. Kabupaten Cianjur 3.818 KK 3. Kabupaten Purwakarta 865 KK Selain itu terdapat pula 3.766 KK penduduk yang terpengaruh proyek yaitu mereka yang bertempat tinggal di atas daerah genangan yang mempunyai tanah atau mempunyai pekerjaan di daerah genangan, yang tersebar di tiga daerah tersebut yaitu : 1. Kabupaten Bandung 596 KK 2. Kabupaten Cianjur 2.984 KK 3. Kabupaten Purwakarta 186 KK Pada dasarnya sasaran kebijakan pemindahan penduduk ialah mengusahakan peningkatan kesejahteraan masyarakat atau paling tidak mempertahankan taraf kesejahteraan hidup yang sama dengan saat sebelum masyarakat dipindahkan. Alternatif penyaluran penduduk serta sasaran yang digariskan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat adalah dengan jumlah 10.101 KK. Dampak negatif lain yang diperkirakan mempunyai potensi berkembang, sehingga perlu dipantau : 1. Kemungkinan-kemungkinan eksplosi gulma air. 2. Kemungkinan timbulnya berbagai penyakit karena adanya genangan air. 79 3. Kemungkinan meningkatnya erosi, sampah dan limbah kota yang menyebabkan pencemaran serta mempercepat pendangkalan waduk.

3.4.6. Pengelolaan PLTA Cirata

PT.PJB UP Cirata diserahi tugas untuk menangani pengelolaan PLTA Cirata baik operasi dan pemeliharaan Unit-Unit Pembangkit dan alat bantunya maupun bangunan – bangunan air dan lingkungannya. Operasi PLTA Cirata dikendalikan dari Ruang Kontrol di Switchyard yang berjarak 2 km dari mesin- mesin pembangkit yang terdapat di rumah pembangkit di dalam tanah. Sistem tersebut dimungkinkan dengan adanya unit mikro processer ASCE automatic sequence control equipment dan unit komputer SCE supervisory control equipment yang berfungsi mengatur dan mengawasi jalannya mesin pembangkit. Operator dengan bantuan keyboard dan layar monitor dapat men-start dan stop unit, mengatur tegangan, MVAR dan beban. Event recorder akan selalu memberikan informasi kondisi peralatan, parameter-parameternya dan data-data operasi yang diperlukan. Alarm timbul bila terjadi gangguan atau kondisi tidak normal pada peralatan-peralatan unit, dan event recorder akan mencatat jenis gangguan tersebut secara otomatis. Tujuh buah kamera televisi ditempatkan pada lokasi-lokasi penting di areal PLTA Cirata dan dapat dimonitor langsung dari Ruang Kontrol tersebut. Hubungan dengan Pusat Pengatur Beban di Gandul, Jakarta, dapat dilakukan melalui radio, telepon, Jwatt dan telex. Pada bendungan Cirata terdapat DAM Control Centre DMCC yang dilengkapi dengan hidrological monitoring telemetering system yang berfungsi untuk memantau secara tepat waktu real time kondisi hidrometeorologi di catchment area, tinggi muka air waduk, debit air yang masuk waduk, meramalkan banjir yang akan tiba, dan memberikan tanda atau signal bila hujan atau debit yang masuk melebihi batas tertentu. Data tersebut bersumber dari 15 stasiun pengukur hujan atau debit yang tersebar di Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta yang dipantau secara Telemeteri melalui 3 stasiun pengulang repeater. Untuk komunikasi data sistem ini dihubungkan pula dengan DAM Control Centre PLTA Saguling dan Puslitbang Air Departemen Pekerjaan Umum di Bandung. Di tepi sungai hilir bendungan dan Pusat Pembangkit, ditempatkan 12 80 buah Discharge Warning Station yang digunakan untuk memberikan peringatan kepada masyarakat bila air akan dikeluarkan dari waduk maupun dari pusat pembangkit. Bangunan bendungan dan tumpukan di sekitarnya, rumah pembangkit dan terowongan-terowongan pelengkapnya serta tebing-tebing disekitar PLTA, dipantau stabilitasnya dengan mempergunakan instrumen- instrumen pengukur perubahan letak, perubahan tegangan - tegangan, rembesan, dan lain - lain. Sedimentasi yang terjadi didalam waduk diukur secara periodik dan dipantau perkembangannya. Usaha - usaha untuk mencegah peningkatan sedimentasi dilakukan melalui pemantauan lingkungan hidup dan koordinasi dengan instansi-instansi terkait.

3.5. PDAM Tirta Dharma Letak Daerah dan Topografi

Tirta Dharma adalah Perusahaan Daerah Air Minum PDAM Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Kabupaten Purwakarta secara geografis terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Barat yaitu 107º10’ - 107º30’ Bujur Timur dan 6º 25’ - 6º45’ Lintang Selatan, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karawang, sebelah timur, berbatasan dengan Kabupaten Subang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Karawang. Luas Kabupaten Purwakarta adalah 971,72 km 2 dan luas Kota Purwakarta adalah 24,83 km 2 Topografi Kabupaten Purwakarta secara geografis diklasifikasikan dalam 3 wilayah yaitu Kabupaten Purwakarta Bagian Utara yang meliputi Kecamatan Cempaka, Purwakarta, dengan ketinggian antara 25–500 m diatas permukaan laut dpl, Kabupaten Purwakarta Bagian Barat yang meliputi Kecamatan Jatiluhur Sukatani, yang merupakan permukaan air danau Jatiluhur dengan ketinggian 107 m dpl. Sedangkan tanah daratan yang ada disekitarnya berda pada ketinggian kurang lebih 400 m dpl dan Kabupaten Purwakarta Bagian Selatan dan timur meliputi Kecamatan Plered, Maniis, Tegalwaru, Sukatani Darangdan, Bojong dan Wanayasa Kiara Pedes, Pasawahan, dengan ketinggian lebih dari 200 m dpl. 81 Iklim Daerah Keadaaan Iklim di Kabupaten Purwakarta pada umumnya beriklim tropis dengan curah hujan yang relatif tinggi dengan curah hujan rata-rata 3.093 mmth. Wilayah Kabupaten Purwakarta terbagi dalam 2 zona hari hujan yaitu : 1. Zona dengan suhu berkisar antara 22–28 C, meliputi wilayah Kecamatan Purwakarta, Campaka Plered, Jatiluhur, Tegalwaru, Pasawahan dan Kecamatan Sukatani. 2. Zona Dengan suhu berkisar anatara 17-26 C, meliputi wilayah kecamatan Darangdan, Bojong dan Kecamatan Wanayasa. Kependudukan Jumlah rumahtangga dan penduduk di Kabupaten Purwakarta tahun 2000 hasil sensus penduduk tahun 2000 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah rumah tangga dan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan tahun 2000. No Kecamatan Rumah Tanga KK Jumlah Penduduk Jiwa 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Jatiluhur Maniis Tegalwaru Plered Sukatani Darangdan Bojong Wanayasa Pasawahan Purwakarta Campaka 13.985 7.208 10.848 14.054 9.856 14.961 10.217 15.192 15.158 48.796 44.088 50.965 25.610 38.953 57.196 40.347 57.131 39.027 55.341 58.189 186.701 88.834 Jumlah 186.282 698.294 Sumber : Kantor Stastistik Kabupaten Purwakarta Purwakarta Dalam Angka, 2002. Proyeksi pertumbuhan rata-rata penduduk Kabupaten Purwakarta antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 didasarkan pada hasil sensus penduduk Kabupaten Purwakarta tahun 1999-2000 sebesar 2,25 per tahun. Berdasarkan angka perkiraan pertumbuhan penduduk seperti tersebut, maka pertumbuhan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan Tahun 2006 dapat diproyeksikan sebagaimana disajikan pada Tabel 9. 82 Tabel 9. Proyeksi penduduk Kabupaten Purwakarta Tahun 2000–2006. No Kecamatan Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jatiluhur Maniis Tegalwaru Plered Sukatani Darangdan Bojong Wanayasa Pasawahan Purwakarta Campaka 50.965 25.610 38.953 57.196 40.347 57.131 39.027 55.341 58.189 18.6701 88.834 51.903 26.232 39.728 58.311 41.360 58.348 39.737 56.287 59.341 191.854 91.179 52.858 26.870 40.519 59.448 42.398 59.591 40.461 57.250 60.516 197.149 93.586 53.830 27.523 41.325 60.608 43.462 60.860 41.947 58.229 61.714 202.590 96.057 54.821 28.192 42.147 61.789 44.553 62.156 42.710 59.225 62.936 208.182 98.593 55.830 28.877 42.986 62.994 45.671 63.480 43.487 60.237 64.182 213.928 101.196 60.053 29.578 43.842 64.223 46.818 64.832 44.279 61.267 65.453 219.832 103.867 Jumlah 698.294 714.281 730.645 747.395 764.541 782.091 800.057 Sumber : Kantor Stastistik Kabupaten Purwakarta Purwakarta Dalam Angka, 2002. Perkembangan pembangunan sistem penyediaan air bersih untuk masyarakat Kabupaten Purwakarta dilakukan secara bertahap dan sampai saat ini dari 11 Kecamatan yang ada, baru 6 Ibu Kota Kecamatan yang telah dilayani Air Bersih PDAM Kabupaten Purwakarta. Ibu Kota Kecamatan tersebut, adalah Kecamatan Purwakarta Kota Purwakarta dan Desa Pasawahan, Kecamatan Jatiluhur Kota Jatiluhur, Kecamatan Wanayasa Kota Wanayasa, Kecamatan Campaka Kota Campaka, Kecamatan Plered Kota Plered, dan Kecamatan Darangdan Pasir Angin.

3.5.4. Visi dan Misi PDAM Tirta Dharma

Tirta Dharma sebagai salah satu instansi yang bergerak dalam bidang pelayanan umum, dituntut untuk senantiasa meningkatkan pelayanan yang prima. Untuk mewujudkannya dibutuhkan visi dan misi yang jelas. Visi dan misi PDAM Kabupaten Purwakarta adalah ”Menuju Pelayanan Prima Air Bersih Terhadap Masyarakat”. Tujuan utama didirikan PDAM adalah mewujudkan dan meningkatkan pelayanan akan kebutuhan air minum bagi masyarakat secara adil dan merata yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, berkesinambungan dan merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Sampai sejauh ini pengelolaan sarana dan prasarana air bersih pada umumnya belum dilaksanakan secara efisien, sebagian besar PDAM belum mampu dengan baik melayani masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih, baik kuantitas, kualitas maupun kontuinitas. Salah satu penyebab antara lain adalah belum dimilikinya 83 perencanaan pengelolaan yang menyeluruh, yang disusun dengan memperhatikan kondisi internal maupun eksternal PDAM. PT. Thames PAM Jaya PT. Thames PAM Jaya TPJ yang didirikan pada Februari 1998 merupakan perusahaan patungan yang 95 dimiliki oleh Thames Water. Dalam perjanjian kerjasama 25 tahun dengan PAM Jaya, TPJ mengelola, mengoperasikan, memelihara dan mengembangkan sistem pasokan air air bersih ke lebih dari 2,5 juta orang dan juga mendapat kewenangan untuk menangani seluruh aktivitas pananggihan rekening air kapada lebih dari 320.000 pelanggan per September 2002 sementara kewenangan penetapan tarif air tetap pada Pemerintah Daerah. Kondisi sekilas TPJ 2002 disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Kondisi sekilas PT. Thames PAM Jaya 2002. No. Komponen Keterangan 1. Investasi per akhir Maret 2002 Rp. 3090,8 milyar 2. Total pengembangan dan perbaikan jaringan 965,7 km panjang total jaringan pada 1997 adalah 4.400 km 3. Total sambungan 327.445 total sambungan per tahun 1997 adalah 268.000 4. Penggantian meter air kecil 148.273 5. Penggantian meter air besar 1.944 6. Total penggantian meter air 151.217 7. Supervisi Analisa kualitas air 1.000 sampel air bulan 8. Penurunan jumlah air tak terhitung Dari 57,6 menjadi 48,59 per September 2002 9. Kinerja pengolahan air Sertifikat ISO 9002 untuk manajemen proses April 2000 10. Jumlah populasi yang terlayani 2,7 juta jumlah populasi di dalam area TPJ : 4,5 juta 11. Cakupan layanan 60,35 12. Volume air yang terjual 529,7 juta m³ 1998 – September 2002 13. Kapasitas produksi : o Buaran I 2.000 liter per detik o Buaran II 3.000 liter per detik o Pulo Gadung 4.000 liter per detik o Instalasi Kecil Condet 50 liter per detik Sumber : Profil PT Thames PAM Jaya, 2006 84

3.6.1. Empat Kepedulian TPJ

Empat kepedulian TPJ dalam menjalankan strategi operasional perusahaan yaitu menerapkan standar internasional pada pengoperasian jaringan air di Jakarta, membangun infrastruktur sebagai bagian dari investasi, pengembangan karyawan, dan peduli terhadap masyarakat.

a. Penerapan standar internasional

Komitmen TPJ untuk menerapkan standar internasional terbukti antara lain dengan mendapatkan ISO 9002 untuk manajemen proses pada bulan April 2000. Saat ini, air bersih yang diproduksi TPJ telah memenuhi ketentuan Departemen Kesehatan RI. Dalam meningkatkan efisiensi pelayanan, TPJ juga telah mengimplementasikan teknologi baru, diantaranya adalah sistem informasi geografis GIS untuk kepentingan manajemen asset, peralatan deteksi suara kebocoran di bawah tanah, dan alat pembaca meter genggam yang digunakan pembaca meter, yang secara otomatis dapat ditransfer ke sistem komputer. Selain itu, terdapat 13 kantor pelayanan pelayanan KPP yang tersebar di lokasi yang mudah dicapai pelanggan dan siap melayani pelanggan selama jam kerja. TPJ juga menyediakan Call Center 24 jam untuk melayani keluhan melalui telepon, baik untuk masalah rutin maupun darurat. TPJ juga menerapkan standar internasional untuk bidang keselamatan dan kesehatan, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Thames Water International untuk operasi di kawasan Asia Pasifik, antara lain prosedur keselamatan dan kesehatan yang terperinci dan juga pelatihan teratur bagi para staf, dengan penekanan pada peranan tiap karyawan untuk menjaga keselamatan diri mereka dan orang lain serta mencegah terjadinya cedera.

b. Investasi di bidang infrastruktur

Komitmen kedua terlihat dari fakta bahwa sampai September 2002 telah diselesaikan pembangunan dan perbaikan lebih dari 960 km jaringan, penggantian lebih dari Rp 390 milyar telah ditanamkan untuk pembangunan jaringan distribusi air. Dengan infrastruktur yang solid, TPJ berhasil menambah 59.000 sambungan baru yang berarti memperluas daerah layanan hingga lebih dari 60. 85

c. Pengembangan karyawan

Merupakan kebijakan Thames Water untuk sebanyak mungkin mempekerjakan dan memajukan staf lokal. Untuk itu, pelatihan dan pendidikan sudah menjadi prioritas. Di TPJ, hal ini dibuktikan dengan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengikuti program strata 2 Manajemen Bidang Air di Universitas Indonesia dan baru-baru ini TPJ menjalankan Program Pengembangan Strata 1 yang dimulai pada September 2001. Selain itu, pegawai TPJ tingkat tertentu juga diikutsertakan dalam Program Manajer Operasional selama 18 bulan yang diadakan Thames Water.

d. Peduli terhadap masyarakat dan sekitarnya.

Komitmen ke 4 merupakan tanggungjawab sosial perusahaan diwujudkan melalui kerjasama dengan masyarakat setempat dalam upaya memberikan kontribusi yang membangun dengan manfaat yang tidak hanya akan dirasakan sesaat namun berjangka panjang. Salah satu contoh adalah proyek Marunda yang telah mendapat penghargaan Wordaware Business Award 2000. Melalui proyek ini, sejak tahun 1999 rumahtangga kurang mampu di daerah ini dapat menikmati sambungan air bersih, yang biayanya hanya sepertiga dari air eceran yang harus mereka beli sebelumnya. Pasokan air bersih ke rumah-rumah ini secara dramatis telah meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang menerimanya. Sejalan dengan nilai-nilai tanggung jawab sosial yang dianut oleh Thames Water, TPJ telah berkomitmen untuk membantu masyarakat kurang mampu dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.

3.6.2. Penggabungan Thames Water dan RWE

Penggabungan Thames Water dan RWE telah menciptakan satu perusahaan pengelolaan air bersih dan limbah ketiga terbesar di dunia dengan 43 juta pelanggan di seluruh dunia. Penggabungan ini memungkinkan Thames Water untuk menimba lebih banyak pengetahuan dan keahlian dari seluruh dunia, sementara pengaruh dan kekuatan finansial RWE merupakan keuntungan bagi Thames Water untuk mengembangkan dan melebarkan bisnis secara global. RWE adalah ”One Group, Multi Utilities” – Suatu Pemenuhan standar : Kepuasan Pelanggan. 86 Seratus tahun pengalaman, keahlian dan inovasi merupakan landasan RWE Group dalam beroperasi. Seluruh bisnis utamanya yang meliputi listrik,gas,air dan pengelolaan limbah memiliki standar dunia. Nama RWE identik dengan organisasi yang berorientasi pada pelanggan dapat diandalkan dan berpikiran maju. Budaya korporasi yang dijalankan oleh RWE adalah :

a. Struktur dan proses yang inovatif

Sebuah perusahaan induk yang memayungi seluruh operasi dan rantai kegiatan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kelompok ini. Tiap anak perusahaan memfokuskan diri pada sebuah bisnis utama, yang terdiri mulai dari sumber daya dan produksi hingga penjualan dan distribusi. Pengelolaan biaya yang efektif, kekuatan inovatif, pelayanan menyeluruh, hubungan baik dengan pelanggan seiring dengan layanan dan kualitas handal merupakan prioritas utama dari tiap anak perusahaan.

b. Komitmen yang mendunia

Bisnis internasional merupakan bagian yang penting dari strategi pengembangan usaha di RWE. Saat ini, RWE berkiprah di lebih dari 120 negara di seluruh dunia, dan bisnis internasional menyumbangkan sekitar sepertiga dari total pendapatannya. Selama tahun anggaran 2000-2001, RWE Group meraih pendapatan sebesar kira-kira Euro 63 miliar dan mempekerjakan sekitar 170.000 karyawan di seluruh dunia.

c. Budaya baru TPJ ditentukan oleh 6 nilai utama

1. Hubungan kerja yang terbuka, saling percaya, mendengarkan dan memahami. 2. Komitmen kepada seluruh karyawan. 3. Bekerja sama secara team dalam memecahkan permasalahan. 4. Komitmen terhadap peningkatan kinerja melalui inovasi. 5. Mendukung sepenuhnya inisiatif-inisiatif yang muncul. 6. Komitmen yang kuat kepada pelanggan kita. 87

d. Ukuran keberhasilan

1. Target-target kerja yang jelas bagi setiap departemen. 2. Perbaikan proses kerja menuju peningkatan efisiensi kerja. 3. Penyusunan standar-standar kinerja hasil akhir,waktu. 4. Peningkatan kerjasama antar departemen. 5. Membangun semangat kerjasama dan kelompok kerja antar departemen. 6. Pemimpin-pemimpin kelompok dan proyek. 7. Membina hubungan-hubungan dengan pihak luar, membangun kesadaran masyarakat.

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4.1. Latar Belakang

Sebagaimana diuraikan terdahulu Bab 1, DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan tanaman keras tahunan. Kecuali fungsi produksi ekonomi dan sosial, vegetasi tersebut juga memiliki fungsi perlindungan ekologi wilayah DAS. Penggunaan lahan dan perubahannya dapat dijadikan indikator tingkat dan dinamika kegiatan manusia antropogenik pada suatu wilayah. Sandy 1982 menyatakan bahwa peningkatan kegiatan antropogenik tersebut menimbulkan peningkatan kebutuhan akan lahan dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan tataguna lahan dan hutan landuse change and forestry. Pada umumnya, lahan yang diperuntukan untuk menampung aktivitas manusia tidak mencukupi sehingga menggunakan areal peruntukan lain melalui konversi seperti halnya lahan hutan. Perubahan penggunaan lahan tersebut telah menyebabkan perubahan terhadap penutup lahan land cover baik dalam bentuk kuantitas maupun kualitasnya. Peranan penutup lahan dalam suatu ekosistem DAS sangat penting khususnya untuk perlindungan sumberdaya air dan habitat bagi keanekaragaman hayati. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ditujukan untuk mengetahui perubahan penutup lahan DAS Citarum khususnya wilayah hulu pada periode 1992-2002.

4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian perubahan penutup lahan dilaksanakan terhadap Peta Tataguna Lahan dan Citra Satelit Multi Temporal DAS Citarum 1992 dan 2002 yang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur. Ketiga Sub DAS tersebut berada dalam administrasi pemerintahan Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung dan Kota 89 Cimahi. Secara geografis, wilayah penelitian terletak pada 6º 30 ′ LS - 7º 12′ LS serta 107º 00 ′ BT - 107º 55′ BT. Pengolahan data dan interpretasi citra tersebut dilaksanakan di Laboratorium Penginderaan Jauh, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan dan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Penelitian berlangsung mulai Februari 2006 sampai dengan Mei 2006.

4.3. Bahan dan Metode Analisis Perubahan Penutup Lahan

Untuk mengetahui perubahan penutup lahan yang terjadi khususnya di DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1992-2002, maka dilakukan analisis penutup lahan. Bahan yang diperlukan adalah : 1. Peta tataguna lahan dan citra satelit multi temporal 1992 dan 2002. 2. Peta rupa bumi Indonesia RBI atau Peta Topografi 1992. 3. Satu unit komputer dan software ER-Mapper. Analisis penutup lahan tersebut dilakukan dengan menginterpretasi peta tataguna lahan dan citra satelit 1992 dan 2002. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui jenis penutup lahan, komposisi dan distribusi spasialnya. Diagram alir, tahapan analisis penutup lahan dan interpretasinya disajikan pada Gambar 14. Menurut Balsem and Buurman 1989 dalam Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan 1998, klasifikasi penutup lahan menggunakan sistem klasifikasi yang disusun oleh terdapat 12 kelas utama yaitu tegalan, persawahan, perladangan, padang rumput, perkebunan, semak, wanatani, reboisasi, hutan, air, tanah tandus, dan pemukiman. Dalam penelitian ini, dilakukan penggolongan penutup lahan sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu hutan, rawa, sawah tadah hujan, sawah irigasi, permukiman, perkebunan, tegalan dan waduk. Sebelum menganalisis data mentah raw data citra satelit dan pembatasan wilayah kerja image cropping dilakukan koreksi terhadap kesalahan distorsion radiometri dan geometri, sehingga diperoleh gambaran image yang lebih kontras sesuai dengan obyek, bentuk dan ukuran atau skalanya. 90 Gambar 14. Diagram alir analis perubahan penutup lahan tataguna lahan. Teknik analisis digital analysis supervised classification digunakan untuk menganalisis data citra satelit melalui aplikasi software ER Mapper, dengan hasil akhir disajikan dalam bentuk data spasial peta, data tabular dan naskah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001. Dalam penelitian ini, analisis lebih lanjut tentang perubahan penutup lahan dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis overlaying, difokuskan pada penutup lahan yang diduga signifikan pengaruhnya terhadap karakteristik hidrologis DAS yaitu dari penggunaan lahan untuk hutan dan pemukiman. - Data landsat Tahun 1992 - Peta Topografi RBI Tahun 1990-an - Peta Landuse - Koreksi geometri - Penajaman - Kroping - Data landsat Tahun 2002 - Peta Topografi RBI Tahun 2002 Citra DAS Citarum Terkoreksi Tahun 1992 Citra DAS Citarum Terkoreksi Tahun 2002 Digital Analysis Supervised Classification Peta Interpretasi Tataguna Lahan Tahun 1992 Peta Interpretasi Tataguna Lahan Tahun 2002 Konfirmasi dan Validasi lapangan Peta Tataguna Lahan Tahun 1992 Peta Tataguna Lahan Tahun 2002 Overlay Perubahan Tataguna Lahan Tahun 1992-2002 91

4.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Penutup Lahan

Interpretasi terhadap Peta Landuse dan Citra Satelit TM7 1992 dan 2002 menghasilkan data jenis penutup lahan, kuantifikasi dan perubahannya baik pada masing-masing Sub DAS maupun secara keseluruhan DAS Citarum. Untuk memudahkan analisa, penutup lahan dikelompokkan ke dalam delapan jenis, yaitu hutan, rawa, sawah tadah hujan, sawah irigasi, permukiman pemukiman, perkantoran, industri, infrastruktur, lapangan udara, lapangan golf dan lahan terbuka, perkebunan karet, kakao, kina, teh, kebun bunga dan kebun campuran, tegalan sayuran dan palawija dan waduk. Peta penutup lahan DAS Citarum disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16, dengan komposisi sebagaimana disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12. Gambar 15. Peta penutup lahan DAS Citarum 1992. 92 Gambar 16. Peta penutup lahan DAS Citarum 2002. Berdasarkan hasil analisis digital peta tahun 1992 dan 2002 didapatkan total luas DAS Citarum adalah 704.569 ha yang dapat dibagi dalam dua bagian wilayah, yaitu DAS Citarum Wilayah Hulu dan DAS Citarum Wilayah Hilir. DAS Citarum Wilayah Hulu seluas 486.237 ha yang terdiri dari Sub DAS Saguling seluas 256.758 ha 52,81, Sub DAS Cirata seluas 157.118 ha 32,31 dan Sub DAS Jatiluhur seluas 72.361 ha 14,88 dan DAS Citarum Wilayah Hilir seluas 218.332 ha. Pembagian kedua wilayah tersebut didasarkan pada Bendungan Ir. H. Djuanda Jatiluhur Bagian Utara dan Bagian Selatan. Batasan luas Sub DAS tersebut berpedoman pada batas-batas topografi igir-igir, perbukitan dan pegunungan dan bendungan dam di wilayah hilir masing- masing Sub DAS. Akan tetapi dalam kaitannya dengan daerah tangkapan air DTA atau catchment area, batas Sub DAS berpedoman pada tingkat pengaruh hidrologis Sub DAS yang berada di hulu terhadap Sub DAS wilayah hilir. 93 Tabel 11. Komposisi penutup lahan masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992 dan 2002. Jenis Penutup Lahan Komposisi Luas Sub DAS DAS Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Wilayah Hulu total ha ha ha ha Tahun 1992 Hutan 65.752 25,61 43.373 27,61 8.551 11,82 117.676 24,20 Rawa 344 0,13 0 0,00 0 0,00 344 0,00 Sawah Tadah Hujan 5.354 2,09 1.802 1,15 2.346 3,24 9.502 1,95 Sawah Irigasi 58.096 22,63 36.217 23,05 25.68 34,92 119.581 24,59 Permukiman 18.580 7,24 2.544 1,62 3.394 4,69 24.518 5,04 Kebun Perkebunan 16.295 6,35 24.821 15,80 13.627 18,83 54.743 11,26 Tegalan 88.321 34,40 40.011 25,47 11.987 16,57 140.319 28,86 Waduk 4.016 1,56 8.350 5,31 7.188 9,93 19.554 4,02 J u m l a h 256.758 100,00 157.118 100,00 72.61 100,00 486.237 100,00 Tahun 2002 Hutan 45.668 17,79 27.980 17,81 5.986 8,27 79.634 16,38 Rawa 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Sawah Tadah Hujan 5.507 2,14 590 0,38 6.554 9,06 12.651 2,60 Sawah Irigasi 42.114 16,40 39.385 25,07 10.868 15,02 92.367 19,00 Permukiman 36.598 14,25 6.756 4,30 5.209 7,20 48.563 9,99 Kebun Perkebunan 43.308 16,87 22.445 14,29 20.627 28,51 86.380 17,76 Tegalan 77.653 30,24 49.648 31,60 15.137 20,92 142.438 29,29 Waduk 5.910 2,30 10.314 6,56 7.980 11,03 24.204 4,98 J u m l a h 256.758 100,00 157.118 100,00 72.361 100,00 486.237 100,00 Sumber : Hasil interpretasi peta tata guna lahan dan citra satelit TM7 1992 dan 2002. Penggunaan lahan land use merupakan wujud dan perpaduan dari aktivitas manusia di wilayah tertentu untuk memenuhi kebutuhan. Penggunaan lahan dapat diketahui dengan menghitung intensitas dan laju penggunaan sumber daya lahan. Perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi tingkat produktivitas sumber daya lahan dan kondisi ekosistem secara keseluruhan baik di wilayah hulu DAS maupun wilayah hilir. Perubahan penutup lahan land cover berupa vegetasi hutan merupakan faktor yang sangat penting dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap sifat dan karakteristik DAS terutama fisik, kimia, biologi, sedimentasi dan debit. 94 Tabel 12. Laju perubahan penutup lahan per tahun masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu1992-2002. Jenis Penutup Lahan Laju perubahan penutup lahan per tahun Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Wilayah Hulu total ha ha ha ha Hutan -2.008,4 -3,05 -1.539,3 -3,55 -256,5 -3,00 -3.804,2 -3,23 Rawa -34,4 -10,00 0,0 0,00 0,0 0,00 -34,4 -10,00 Sawah Tadah Hujan 15,3 0,29 -121,2 -6,73 420,8 17,94 314,9 3,31 Sawah Irigasi -1.598,2 -2,75 316,8 0,87 -1440,0 -5,70 -2.721,4 -2,28 Permukiman 1.801,8 9,70 421,2 16,56 181,5 5,35 2.404,5 9,81 Kebun Perkebunan 2.701,3 16,58 -237,6 -0,96 700,0 5,14 3.163,7 5,78 Tegalan -1.066,8 -1,21 963,7 2,41 315,0 2,63 211,9 0,15 Waduk 189,4 4,72 196,4 2,35 79,2 1,10 465,0 2,38 Sumber : Hasil interpretasi peta tata guna lahan dan citra satelit TM7 1992 dan 2002. Dari Tabel 12 didapatkan informasi secara umum bahwa kelompok permukiman dan perkebunan mengalami pertumbuhan luas positif penambahan, sedangkan hutan dan sawah irigasi mengalami pertumbuhan luas negatif penurunan diseluruh wilayah DAS. Laju pertumbuhan per tahun pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan sarana sosial lainnya di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 9,7 1.801,8 ha, Sub DAS Cirata sebesar 16,56 421,2 ha, Sub DAS Jatiluhur sebesar 5,35 181,5 ha dan DAS Citarum 9,81 2.404,5 ha. Laju pertumbuhan per tahun pembukaan lahan untuk kebutuhan perkebunan di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 16,58 2.701,3 ha, Sub DAS Jatiluhur sebesar 5,14 700,0 ha dan DAS Citarum sebesar 5,78 3.165,7 ha. Laju pertumbuhan negatif penurunan luas penutup lahan di seluruh wilayah DAS Citarum dialami oleh tipe penggunaan lahan untuk hutan dan sawah irigasi. Laju penurunan luas hutan per tahun di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 3,05 2.008,4 ha, Sub DAS Cirata 3,55 1.539,3 ha, Sub DAS Jatiluhur 3,0 256,5 ha dan DAS Citarum 3,23 3.804,2 ha. Luas sawah irigasi mengalami laju penurunan per tahun di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 2,75 1.598,2 ha, Sub DAS Jatiluhur 5,70 1.440,0 ha dan DAS Citarum 2,28 2.721.4 ha. 95 Sub DAS Saguling 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000 100,000 H R ST H SI Pe rm KP T W Tutupan Lahan L u as h a 1992 2002 Sub DAS Cirata 10000 20000 30000 40000 50000 60000 H R ST H SI Pe rm KP T W Tutupan Lahan Lu a s h a 1992 2002 Sub DAS Jatiluhur 5000 10000 15000 20000 25000 30000 H R ST H SI Pe rm KP T W Tutupan Lahan L u as h a 1992 2002 DAS Citarum Wilayah Hulu 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 160,000 H R ST H SI Pe rm KP T W Tutupan Lahan L u as h a 1992 2002 Gambar 17. Grafik perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu Tahun 1992 dan 2002. Keterangan : H = Hutan, R = Rawa, STH = Sawah Tadah Hujan, SI = Sawah Irigasi, Perm = Permukiman, KP = Kebun Perkebunan, T = Tegalan, W = Waduk Pada Tabel 13 disajikan matrik perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu tahun 1992 – 2002. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa konversi hutan untuk penggunaan lain yang terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan kebun perkebunan 16.205 ha, berturut-turut tegalan 10.167 ha, permukiman 5.575 ha dan sawah tadah hujan 3.011 ha. Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyunto et.al 2003 yang menyatakan bahwa di DAS Citarum konversi lahan hutan terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan perkebunan teh, karet dan kakao. Dari sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan permukiman konversi lahan terbesar adalah lahan hutan 5.575 ha, tegalan 7.3814 ha, sawah irigasi 5.583 ha dan rawa termasuk situ 344 ha. Sebagian besar konversi lahan hutan menjadi peruntukan lain secara umum berlangsung secara gradual, yaitu lahan hutan 96 dikonversi untuk kebutuhan perkebunan dan tegalan. Selanjutnya lahan perkebunan dan tegalan dikonversi menjadi lahan permukiman. Tabel 13. Matrik perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu dari tahun 1992 – 2002. Penutup Lahan 1992-2002 Penutup Lahan ha H R STH SI Perm KP T W Total H 79.634 0 0 3.011 5.575 16.205 10.167 0 114.592 R 0 0 0 344 0 0 0 344 STH 0 0 12.651 1.672 90 1.388 179 0 15.980 SI -3.011 -1.672 92.367 5.583 5.014 3.269 0 101.550 Perm -5.575 -344 -90 -5.583 48.563 0 7.814 0 44.785 KP -16.205 0 -1.388 -5.014 0 86.380 11.946 0 75.719 T -10.167 0 -179 -3.269 -7.814 -11.946 142.438 4.650 113.713 W 0 0 0 0 0 -4.650 24.204 19.554 Jumlah 44.676 -344 9.322 83.184 52.341 97.041 171.163 28.854 486.237 Keterangan : H = Hutan, R = Rawa, STH = Sawah Tadah Hujan, SI = Sawah Irigasi, Perm = Permukiman, KP = Kebun Perkebunan, T = Tegalan, W = Waduk Boer et.al 2004, menyatakan bahwa perubahan tata guna lahan dan penutup lahan sangat besar pengaruhnya terhadap keseimbangan air di dalam suatu DAS. Banyak studi menunjukkan bahwa deforestasi akan meningkatkan debit aliran puncak dan frekuensi terjadinya banjir. Deforestasi cenderung menurunkan aliran dasar karena deforestasi dan pembukaan lahan akan menurunkan kapasitas infiltrasi sehingga aliran permukaan akan berlangsung cepat yang menimbulkan banjir pada musim hujan, sebaliknya jumlah air yang masuk ke dalam tanah berkurang sehingga menurunkan air yang mengalir ke sungai utama atau waduk. Selanjutnya Pawitan 2004 menyatakan bahwa dampak perubahan penutup lahan dalam skala luas akan mengakibatkan perubahan fungsi hidrologis DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti hasil air DAS. Dari hasil pengamatan Pawitan 2004, perubahan jangka panjang untuk DAS Citarum untuk masa 1896 – 1994 yang mengalami trend penurunan curah hujan dengan laju 10 mm per tahun dan diikuti oleh penurunan debit limpasan sebesar 3 mm per tahun. Perubahan luas penutup lahan vegetasi hutan dan peningkatan luas area terbangun pemukiman merupakan dua komponen utama yang sangat mempengaruhi karakteristik hidrologis baik pada masing-masing Sub DAS 97 maupun keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu. Kondisi perubahan penggunaan lahan berupa sawah tadah hujan di wilayah DAS Citarum mengalami pertumbuhan dengan laju per tahun sebesar 3,31 314,9 ha dan tegalan 0,15 211,9 ha. Penambahan luas waduk terjadi diakibatkan oleh peningkatan luas genangan air peningkatan volume air waduk saat pengambilan foto citra satelit pada bulan November 2002.

4.5. Simpulan

Dari hasil analisis perubahan penutup lahan dan penggunaannya di DAS Citarum Wilayah Hulu dapat disimpulkan bahwa selama periode 1992–2002 terjadi penurunan luas hutan dengan laju rata-rata per tahun sebesar 3,23 3.804,2 ha, hilangnya rawa seluas 34,4 ha dan sawah irigasi 2,28 2.721,4 ha. Sedangkan pertambahan luas terjadi pada permukiman 9,1 2.404,5 ha, kebun- perkebunan 5,78 3.163,7 ha, sawah tadah hujan 3,31 314,9 ha, dan tegalan 0,15 211,9 ha per tahun. Penurunan penutup lahan tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan kebunperkebunan, permukiman dan sarana sosial lainnya. 5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN 5.1. Latar Belakang Perubahan tataguna lahan di wilayah hulu dari 15 SWS di Jawa dan Madura Departemen Pekerjaan Umum dan Prasarana Wilayah, 2001 telah menyebabkan kondisi kritis bagi penyediaan air baik dalam aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius pada musim kemarau. Keadaan tersebut juga menyebabkan terjadinya erosi, sedimentasi dan pencemaran kimia air sungai atau waduk. Hal ini berdampak pada pendangkalan waduk, korosivitas pada peralatan produksi PLTA dan PDAM dan kerugian bagi pengguna air di wilayah hilir. Perubahan penutup lahan DAS Citarum di wilayah hulu up-stream akan menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologi wilayah tengah in-stream dan wilayah hilir down-stream. Perubahan karakteristik tersebut meliputi defisit, volume dan sedimentasi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu.

5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian perubahan karakteristik hidrologis debit, volume dan sedimen dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder di beberapa Bagian Lingkungan Kantor UBP Saguling, PJB - UP Cirata dan Perum Jasa Tirta II. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Sumberdaya Air, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2006 sampai bulan Juli 2006.

5.3. Bahan dan Metode Analisis Perubahan Fungsi Hidrologis DAS

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari seluruh data dan informasi historis historical data. Bahan- bahan tersebut terdiri dari : 99 1. Data curah hujan harian, bulanan dan tahunan periode 1993–2003 Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur. Data curah hujan tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika BMG dan laporan hasil pengukuran UBP Saguling. 2. Data evaporasi harian diperoleh dari laporan hasil pengukuran UBP Saguling 1993-2003. 3. Data debit dan volume air masuk dan keluar diperoleh dari laporan hasil pengukuran PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur 1993-2003. 4. Data sedimentasi diperoleh dari laporan hasil pemeruman Waduk Saguling 1985-2004, Waduk Cirata 1987-2002 dan Waduk Jatiluhur 1987-2000. Analisis terhadap data-data sekunder tersebut dilakukan dengan menggunakan metode regresi linear. Pendugaan perubahan karakteristik debit dan volume dan sedimentasi antara tahun 1993-2003 dilakukan simulasi dengan menggunakan software GR4J.

5.3.1. Analisis Perubahan Debit dan Volume Pada Dua Sistem Penggunaaan

Lahan. Analisis perubahan karakteristik hidrologis DAS dilakukan berdasarkan aplikasi model prediksi debit harian GR4J Perrin, 2003. Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model GR3J yang dikembangkan oleh CEMAGREF, Perancis. Struktur model seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 Bab 2. Untuk mensimulasi debit harian, model GR4J membutuhkan input data hujan, evapotranspirasi potensial ETP dan debit harian serta 4 parameter model yang dibangkitkan saat validasi. Keempat parameter tersebut adalah : 1. X 1 ; kapasitas maksimum simpanan produksi maximum capacity of the production store. 2. X 2 ; koefisien tukar air water exchange coefficient. 3. X 3 ; kapasitas maksimum simpanan pengalihan maximum capacity of the routing store. 4. X 4 ; waktu dasar hidrograf satuan time base of unit hydrograph. 100 Dalam penelitian ini debit air terdiri dari 3 jenis yaitu debit air masuk DAM, debit air keluar DAK dan debit air masuk lokal DAML. Debit air masuk adalah debit air yang bersumber dan mengalir dari wilayah hulu masing- masing Sub DAS dan memasuki badan air sungai utama dan waduk. Debit air keluar adalah debit air yang keluar dari outlet masing-masing PLTA untuk menggerakkan turbin. Debit air masuk lokal adalah debit air masuk yang bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari debit air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu sungai utama Citarum. Dengan demikian DAK PLTA Saguling tidak merupakan DAML bagi PLTA Cirata dan DAK PLTA Cirata tidak merupakan DAML bagi PLTA Jatilihur. Karena citra satelit foto yang digunakan dalam penelitian ini dibuat pada November 1992 maka untuk menduga pengaruh perubahan penutup lahan kondisi biofisik DAS Citarum Wilayah Hulu 1992-2002 terhadap karakteristik hidrologis maka data yang digunakan dalam simulasi model GR4J adalah curah hujan CH, evaporasi waduk ETP dan debit air masuk lokal DAML harian dari tahun 1993-2003. Pada Tabel 14 disajikan hasil simulasi dengan tahapan pemodelan software GR4J adalah : a. Menentukan parameter simulasi X 1 , X 2 , X 3 dan X 4 dengan memasukkan input data CH, ETP dan DAML harian tahun inisial 1993 dengan hasil Q1. Parameter default standar yang digunakan menurut Perrin 2003 adalah X 1 = 5,9, X 2 = 2,0, X 3 = 4,5 dan X 4 = 0,2. b. Validasi parameter tahun inisial 1993 dengan meng-input nilai parameter baku ke dalam fungsi tranfer dan melakukan solver. Validasi terhadap parameter tersebut menghasilkan nilai kemiripan koefisien Nash dengan besaran antara 0-100. Model dinyatakan valid apabila koefisien Nash memiliki nilai yang lebih besar dari 50. c. Parameter hasil validasi digunakan untuk mensimulasi tahun selanjutnya dengan input data tahun tersebut tanpa melakukan solver. 101 d. Besaran parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit dengan input data curah hujan pada tahun selanjutnya 1994 dengan hasil sebesar Q2, tahun 1995 sebesar Q3, dan seterusnya sampai tahun 2003 sebesar Q11. e. Nilai Q2 sampai dengan Q11 hasil simulasi dibandingkan dengan Q1 hasil validasi. f. Perbedaan nilai-nilai dQ tersebut diduga merupakan pengaruh perlakuan perubahan penutup lahan DAS terhadap debit. Tabel 14. Hasil simulasi debit dengan aplikasi model GR4J. Parameter Kondisi Penutup Lahan simulasi 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 x1 q1.1 q1.2 q1.3 q1.4 q1.5 q1.6 q1.7 q1.8 q1.9 q1.10 q1.11 x2 q2.1 q2.2 q2.3 q2.4 q2.5 q2.6 q2.7 q2.8 q2.9 q2.10 q2.11 x3 q3.1 q3.2 q3.3 q3.4 q3.5 q3.6 q3.7 q3.8 q3.9 q3.10 q3.11 x4 q4.1 q4.2 q4.3 q4.4 q4.5 q4.6 q4.7 q4.8 q4.9 q4.10 q4.11 Hasil Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11 dQ1 – dQ10 Q1-Q2 sampai dengan Q10-Q11 Validasi Q Q Aktual Kalibrasi Parameter Standar Perrin 2003 dan Koefisien Nash Sebagaimana diuraikan tedahulu bahwa untuk menganalisis adanya perubahan karakteristik debit akibat perubahan kondisi biofisiknya, terlebih dahulu model GR4J divalidasi dengan menggunakan input data tahun inisial, yang dianggap merepresentasikan kondisi biofisik DAS saat belum mengalami perubahan 1992. Setelah validasi, akan didapatkan parameter model pada tahun inisial, yang selanjutnya parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit dengan menggunakan input data pada tahun selanjutnya yang diduga merepresentasikan kondisi biofisik DAS yang telah berubah 2002. Dengan membandingkan debit pengukuran dengan debit simulasi melalui analisis neraca air DAS, tingkat perubahan aliran sungai akibat perubahan kondisi biofisik DAS dapat diketahui. Permodelan GR4J telah diformulasikan dalam bahasa excel tahun 2003 oleh CEMAGREF Perancis. Hasil simulasi debit harian akan digunakan untuk menghitung volume air harian dan tahunan. Regresi linear digunakan dalam pengujian hubungan CH, debit dan volume air hasil simulasi dengan nilai hasil pengukuran. 102

5.3.2. Pendugaan Sedimentasi

Perilaku sedimen dipelajari dari dua hal yaitu berdasarkan data hasil pemeruman yang pernah dilakukan di ketiga waduk dan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus sedimen. Pemeruman adalah pengukuran tingkat perkembangan sedimentasi yang terjadi di dasar waduk terutama pada kapasitas “tampung mati” dead storage. Jumlah sedimen yang terdapat di sungai atau waduk atau kolam penampungan juga dapat diprediksi melalui persamaan regresi berganda dengan 4 variabel yaitu erosi lahan Ep, volume aliran permukaan Ro, faktor tanaman dan konservasi CP, dan luas Sub DAS A, pada tingkat akurasi 86,40 Sa’ad, 2002 dengan persamaan sebagai berikut : Y = bo. Ep b1 . Ro b2 . CP b3 . A b4 ; Keterangan : Y = sedimen sungai ton ha¯¹ Ep = erosi permukaan dari soilpan ton ha¯¹ Ro = volume aliran permukaan satu periode hujan m³ CP = faktor tanaman tindakan konservasi tanah A = luas Sub DAS ha bo, b1, b2, b3, b4 = konstanta Dalam penelitian ini beberapa asumsi yang digunakan adalah : 1. Erosi permukaan pada soil pan Ep Sa’ad, 2002 sama dengan erosi lahan yang besarnya berdasarkan penelitian Sutono et. al 2003 di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan Ro Sa’ad, 2002 sama dengan volume air masuk lokal VAML hasil simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah CP Sa’ad, 2002, besarnya didasarkan pada hasil penelitian Abdurahman et. al 1984, Ambar dan Syafrudin 1979 dalam Asdak 2004 dan Amarjan 2003 khusus pada nilai CP permukiman. 4. Luas Sub DAS A sama dengan luas masing-masing Sub DAS sesuai dengan hasil pengolahan digitasi peta tataguna lahan dan citra satelit 1992 dan 2002. Penggunaan GIS dalam pendugaan sedimentasi waduk dengan penggunaan model telah digunakan di Thailand sebagaimana dilaporkan Lorsirirat 1997. 103

5.4. Hasil dan Pembahasan

5.4.1. Sifat hujan dan hubungannya dengan DAML dan VAML

a. Curah Hujan

Jumlah dan distribusi aliran permukaan di DAS Citarum Wilayah Hulu ditentukan oleh beberapa faktor antara lain curah hujan, karakteristik biofisik dan manajemen DAS. Hasil pengolahan data curah hujan CH harian periode 1993 – 2003 didapatkan informasi bahwa curah hujan tahunan rata-rata di Sub DAS Saguling adalah 2.250,48 mm, Sub DAS Cirata sebesar 3.495,46 mm, Sub DAS Jatiluhur sebesar 2.637,50 mm dan DAS Citarum Wilayah Hulu sebesar 2.186,62 mm per tahun. Pada periode pengamatan 1993 – 2003, walaupun CH tahunan di sub DAS Saguling mengalami kenaikan rata-rata 2,39 mmth, namun secara keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu mengalami penurunan jumlah CH yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 8,21 mmth. Penurunan jumlah CH tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pawitan 2004 yang menyatakan bahwa di DAS Citarum telah terjadi penurunan CH tahunan sebesar 10 mmth selama periode pengamatan 1896 – 1994 dan akan menurunkan ketersediaan air untuk berbagai penggunaan di wilayah tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan Boer et.al 2004 yang menyatakan bahwa penurunan curah hujan tahunan di wilayah DAS Citarum sebesar 6 mmth. Secara umum pada periode 1993 - 2003 musim kemarau April- September di wilayah DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki CH bulanan rata- rata sebesar 118,35 mm dengan simpangan baku 45,08 mm, dan musim hujan Oktober-Maret, CH bulanan rata-rata sebesar 246,09 mm dengan simpangan baku 43,85 mm. Pada Tabel 15 ditampilkan Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003. 104 Tabel 15. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003. Wilayah CH Bulanan mm Musim mean-stdev mean mean+stdev stdev Sub DAS Saguling MK 95,39 132,96 170,53 37,57 MH 198,02 242,12 286,22 44,1 Sub DAS Cirata MK 151,03 215,77 280,51 64,74 MH 303,89 366,80 429,72 62,92 Sub DAS Jatiluhur MK 152,13 240,85 329,57 88,72 MH 286,59 365,40 444,21 78,81 DAS Citarum Wil. Hulu MK 73,27 118,35 163,43 45,08 MH 202,24 246,09 289,94 43,85 Keterangan : MK=musim kemarau April-September, MH=musim hujan Oktober-Maret, mean- stdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku. Secara grafis, keragaman CH bulanan yang terjadi di wilayah masing- masing Sub DAS disajikan pada Gambar 18. Dari Tabel 15 dan Gambar 18 diperoleh gambaran bahwa secara kuantitas jumlah CH bulanan rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu relatif kecil yaitu sebesar 118,35 mm MK dengan keragaman yang cukup besar 45,08 mm dan 246,09 mm MH dengan keragaman 43,85 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau cenderung semakin kering keragaman besar dan pada musim hujan cenderung semakin basah keragaman kecil. Keadaan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Boer et.al 2004 yang menyatakan bahwa ada kecenderungan CH musim hujan di wilayah selatan Indonesia khususnya Lampung, Jawa dan sebagaian kawasan Indonesia timur akan semakin basah, sebaliknya CH musim kemarau akan semakin kering. Sebaliknya, untuk Indonesia bagian utara Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Sumatera bagian utara CH musim hujan akan semakin berkurang sedangkan CH musim kemarau akan semakin basah. Kondisi seperti hal tersebut mengindikasikan telah terjadi perubahan iklim di Indonesia Boer et.al, 2004. 105 Ke ragaman CH Bulanan DAS Citarum Wil. Hulu 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 MK MH MK MH MK MH MK MH Saguling Cirata Jatiluhur Citarum CH Bu la n a n m m b ln m ean+s tdev m ean m ean-s tdev Gambar 18. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003 .Keterangan : MK = musim kemarau April-September, MH = musim hujan Oktober-Maret, mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku.

b. Debit dan Volume Air Masuk Lokal

Debit air masuk lokal DAML adalah debit air masuk yang semata-mata bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu. DAML harian rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar 151,98 m³dt MK dengan simpangan baku sebesar 44,45 m³dt dan 265,40 m³dt MH dengan simpangan baku sebesar 61,64 m³dt dan secara rinci di ketiga Sub DAS disajikan pada Tabel 16. Besarnya keragaman debit dapat memberikan gambaran bahwa telah terjadi fluktuasi DAML terutama yang berubah menjadi debit aliran run-off. Peningkatan keragaman debit aliran menunjukkan bahwa luas penutup lahan di wilayah DAS hulu semakin menurun dan fraksi CH yamg berubah menjadi aliran permukaan semakin besar Boer et.al, 2004. Peningkatan luas penutup lahan di wilayah hulu sangat penting artinya bagi penurunan perbedaan debit aliran musim hujan dan musim kemarau, sehingga dapat menekan resiko banjir dan kekeringan. Akan tetapi Pawitan 2004 menyatakan bahwa pengamatan di Inggris dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penghutanan kembali padang rumput dengan pohon 106 pinus tidak hanya menurunkan aliran sungai sejumlah 440 mmth, tetapi juga menurunkan aliran rendah sebesar 15 mmth. Sehingga disimpulkan bahwa pengaruh hutan terhadap aliran rendah sangat site spesific dan tidak ada jaminan penghutanan akan meningkatkan aliran rendah pada musim kemarau. Tabel 16. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993- 2003. Wilayah DAML harian m³dt Musim mean-stdev mean mean+stdev stdev Sub DAS Saguling MK 42,62 65,15 87,68 22,53 MH 92,15 117,20 142,25 25,05 Sub DAS Cirata MK 47,11 60,25 73,39 13,14 MH 84,30 107,88 131,46 23,58 Sub DAS Jatiluhur MK 3,86 26,58 49,29 22,71 MH 11,92 40,32 68,72 28,40 DAS Citarum Wil. Hulu MK 107,53 151,98 196,42 44,45 MH 203,76 265,40 327,04 61,64 Keterangan : MK=musim kemarau April-September, MH=musim hujan Oktober-Maret, mean- stdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku. Dari Tabel 16 dan Gambar 19 diperoleh informasi bahwa keragaman debit MK dan MH Sub DAS Cirata lebih kecil dibandingkan dengan Sub DAS Saguling dan Sub DAS Jatiluhur. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi luas hutan di wilayah Sub DAS Cirata 27,61 bagian hulu lebih besar dibandingkan dengan Sub DAS Saguling 25,61 dan sub DAS Jatiluhur 11,82. Untuk mengetahui degradasi lingkungan di wilayah hulu DAS, karakteristik CH dan DAML serta hubungan keduanya dapat digunakan. Hasil pengolahan data bahwa proporsi curah hujan yang berubah menjadi debit semakin meningkat dari tahun ke tahun selama periode pengamatan 1993-2003, yaitu pada musim kemarau, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah sebesar 1,2 mm 25,8 dengan laju peningkatan per tahun 4,4, pada musim hujan, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah sebesar 3,47 mm 42,4 dengan laju peningkatan per tahun 2,4. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan fraksi CH menjadi DAML. Kondisi seperti ini mengindikasikan adanya degradasi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Dari Gambar 20, diperoleh 107 Keragaman DAML DAS Citarum Wil. Hulu - 50 100 150 200 250 300 350 MK MH MK MH MK MH MK MH Saguling Cirata Jatiluhur Citarum DAM L m 3 d t m ean-s tdev m ean m ean+s tdev gambaran bahwa waktu yang diperlukan hujan untuk berubah menjadi debit aliran semakin kecil singkat. Hal ini juga merupakan indikator adanya kerusakan ekosistem di wilayah hulu DAS terutama penurunan luas penutup lahan hutan. Secara grafis, hubungan antara CH harian dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu tahun 1993 disajikan pada Gambar 21. Hasil pengolahan data sekunder menunjukan bahwa rata-rata DAML harian Sub DAS Saguling sebesar 90,78 m³dt, Sub DAS Cirata 85,37 m³dt, Sub DAS Jatiluhur 34,40 m³dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu 210,55 m³dt. Laju penurunan DAML harian selama periode 1993-2003 di Sub DAS Saguling adalah 5,15 4.67 m³dt, Sub DAS Cirata 4,19 3,57 m³dt, Sub DAS Jatiluhur 21,43 7,37 m³dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu 7,42 15,62 m³dt. Untuk mengetahui pengaruh CH terhadap DAML dilakukan uji-t sebagaimana pada Tabel 17. Gambar 19. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993 – 2003. Keterangan : MK = musim kemarau April-September, MH = musim hujan Oktober-Maret, mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku. 108 Karakteristik CH dan DAML DAS Citarum tahun 1993 5 10 15 20 25 30 1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 229 241 253 265 277 289 301 313 325 337 349 361 hari m m ch daml Karakteristik CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun 1993 5 10 15 20 25 30 35 40 1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 229 241 253 265 277 289 301 313 325 337 349 361 hari m m ch daml Karakteristik CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun 1993 10 20 30 40 50 60 70 1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 229 241 253 265 277 289 301 313 325 337 349 361 hari m m ch daml Karakteristik CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun 1993 10 20 30 40 50 60 70 1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 229 241 253 265 277 289 301 313 325 337 349 361 hari m m ch daml Gambar 20. Karakteristik CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993 109 Hub. CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun 1993 y = 0.2612x + 2.7118 R 2 = 0.227 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 CH mm DA M L m m Series1 Linear Series1 Hub. CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun 1993 y = 0.4088x + 2.532 R 2 = 0.3712 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 CH mm DAM L m m Series1 Linear Series1 Hub. CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun 1993 y = 0.1162x + 8.9055 R 2 = 0.0294 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 CH mm DA M L m m Series1 Linear Series1 Hub. CH dan DAML DAS Citarum Tahun 1993 y = 0.3611x + 2.7566 R 2 = 0.3913 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 CH mm DA M L m m Series1 Linear Series1 Gambar 21. Hubungan CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993. Tabel 17. Uji-t pengaruh CH harian terhadap DAML harian periode 1993 - 2003. No Parameter Sub DAS DAS Citarum Saguling Cirata Jatiluhur Wil. Hulu 1. Korelasi 0,727 0,544 0,450 0,703 2. R kuadrat 0,529 0,295 0,203 0,494 3. Konstanta 30,768 52,000 16,442 77,674 4. Koefisien 0,322 0,138 0,062 0,504 5. Nilai t 11,978 7,327 5,702 11,183 6. Signifikansi 0,000 0,000 0,000 0,000 Keterangan : berpengaruh nyata pada signifikansi 0,05 t-tabel = 1,96. Dari hasil uji-t tersebut dapat diketahui bahwa curah hujan mempunyai hubungan yang kuat dan berpengaruh signifikan baik di masing-masing Sub DAS maupun DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel 1,96. Koefisien regresi menunjukkan tingkat pengaruh curah hujan terhadap DAML. Setiap penambahan curah hujan harian 1 mm, akan menyebabkan peningkatan DAML harian sebesar 0,322 m³dt Sub DAS 110 Saguling, 0,138 m³dt Sub DAS Cirata, 0,062 m³dt Sub DAS Jatiluhur dan 0,504 m³dt DAS Citarum Wilayah Hulu. Pada Tabel 18 disajikan perkembangan VAML di DAS Citarum Wilayah Hulu. Volume air masuk lokal VAML rata-rata tahunan adalah sebesar 2.865,29 juta m³ Sub DAS Saguling, 2.639,85 juta m³ Sub DAS Cirata, 1.048,66 juta m³ Sub DAS Jatiluhur dan 6.553,80 juta m³ DAS Citarum Wilayah Hulu. Tabel 18. Rata-rata volume air masuk lokal tahunan DAS Citarum Wilayah Hulu. Tahun Sub DASDAS juta m³ Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Hulu 1993 3.589,04 3.075,24 2.646,24 9.310,52 1994 3.101,63 3.019,67 1.963,18 8.084,47 1995 2.933,36 2.871,28 1.111,38 6.916,02 1996 3.003,73 2.813,42 1.465,32 7.282,46 1997 1.701,11 1.814,91 1.668,12 5.184,14 1998 4.025,86 3.068,10 564,76 7.658,72 1999 2.701,53 2.640,14 352,29 5.693,96 2000 2.506,55 2.175,23 256,95 4.938,73 2001 3.477,43 3.181,68 492,84 7.151,95 2002 2.424,00 2.430,40 692,49 5.546,89 2003 2.053,90 1.948,33 321,71 4.323,94 Rata-Rata 2.865,29 2.639,85 1.048,66 6.553,80 Sumber : Hasil pengolahan data. Laju penurunan per tahun VAML berturut-turut adalah sebesar 5,36 153,51 juta m³, 4,27 112,69 juta m³, 22,17 232,45 juta m³, dan 7,61 498,66 juta m³. Berdasarkan hasil analisa regresi Tabel 19 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DAML harian dengan VAML tahunan, ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar 0,998 Sub DAS Saguling, 0,997 Sub DAS Cirata, 0,998 Sub DAS Jatiluhur dan 0,997 DAS Citarum Wilayah Hulu. Variabel DAML berpengaruh nyata terhadap VAML di semua wilayah Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dibuktikan dengan nilai t- hitung yang lebih besar dari t-tabel 1,96. Pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan adalah sebesar 2.613.474 Sub DAS Saguling, 2.626.993 Sub DAS Cirata, 2.614.727 Sub DAS Jatiluhur dan 2.619.447 DAS Citarum Wilayah Hulu. Dengan kata lain, setiap peningkatan 1 m³dt DAML harian akan menyebabkan peningkatan VAML tahunan sebesar 2.613.474 m³ Sub DAS Saguling, 2.626.993 m³ Sub DAS Cirata, Saguling, 2.626.993 m³ Sub DAS Cirata, 2.614.727 m³ Sub DAS 111 CH_DAML_VAML Saguling 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 1 993 1 994 1 995 1 996 1 997 1 998 1 999 2 000 2 001 2 002 2 003 tahun 75 150 225 300 CH mmth DAML m3dthr VOL juta m3th Jatiluhur dan 2.619.447 m³ DAS Citarum Wilayah Hulu. Grafik hubungan CH tahunan, DAML harian dan VAML tahunan disajikan pada Gambar 22 Sub DAS Saguling, Gambar 23 Sub DAS Cirata dan Gambar 24 Sub DAS Jatiluhur. Tabel 19. Uji-t pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan. No Parameter Sub DAS DAS Citarum Saguling Cirata Jatiluhur Wil. Hulu 1. Korelasi 0,998 0,997 0,998 0,997 2. R kuadrat 0,996 0,994 0,996 0,993 3. Konstanta 485.789,4 -862.568 -72.869,0 -130.252 4. Koefisien 2.613.474 2.626.993 2.614.727 2.619.447 5. Nilai t 180,005 147,580 181,384 139,434 6. Signifikansi 0,000 0,000 0,000 0,000 Keterangan : berpengaruh nyata pada signifikansi 0,05 t tabel = 1,96. Gambar 22. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal DAML harian, dan volume air masuk lokal VAML tahunan Sub DAS Saguling. Hasil analisis data dan kecenderugan diperoleh informasi bahwa CH, DAML dan VAML memiliki karakteristik yang hampir seragam homogen kecuali pada: 1. Tahun 2001–2002 di Sub DAS Saguling, dengan tingkat CH yang relatif sama dengan tahun sebelumnya menghasilkan DAML dan VAML yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin tingginya kerusakan lahan di wilayah hulu Sub DAS Saguling, sehingga memperbesar porsi CH yang langsung menjadi aliran debit run off 112 CH_DAML_VAML_Cirata 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 tahun 75 150 225 300 CH mmth DAML m3dthr VOL juta m3th CH_DAML_VAML Jatiluhur 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 tahun 75 150 225 300 CH mmth DAML m3dthr VOL juta m3th Gambar 23. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal DAML harian, dan volume air masuk lokal VAML tahunan Sub DAS Cirata. 2. Tahun 1998–2001 di Sub DAS Jatiluhur, dengan CH yang tinggi menghasilkan DAML dan VAML yang relatif kecil. Hal ini kemungkinan disebabkan tingginya pemakaian air oleh petani untuk sawah tadah hujan baru di wilayah hulu laju pertumbuhan sawah tadah hujan 17,94 dalam periode 1992-2002. Gambar 24. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal DAML harian, dan volume air masuk lokal VAML tahunan Sub DAS Jatiluhur. 113

c. Fluktuasi Debit

Perbandingan fluktuasi antara debit air masuk lokal maksimum dengan debit air masuk lokal minimum rasio Qmax-min juga merupakan ukuran indikator kondisi ekosistem dan lingkungan wilayah hulu DAS. Dari pengolahan data diperoleh rata-rata rasio Qmax-min Sub DAS Saguling sebesar 63,26 laju kenaikan 5,19, Sub DAS Cirata 178,66 laju kenaikan 8,06 dan Sub DAS Jatiluhur 153,90 laju kenaikan 3,91. Nilai rasio Qmax-min yang tinggi lebih besar dari 40 mengindikasikan wilayah hulu Sub DAS berada pada kondisi yang kritis Boer, 2004. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu termasuk kritis buruk. Secara rinci perkembangan rasio Qmax-min dari tahun ke tahun disajikan pada Tabel 20. Pada Gambar 25 disajikan perkembangan rasio Q max-min masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993-2003. Dari Gambar 25 tersebut dapat disimpulkan bahwa rasio Q max-min meningkat dari tahun ke tahun terutama pada periode 1999 –2003. Hal ini menunjukan bahwa laju kerusakan ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya 1993–1998. Tabel 20. Rasio Qmax-min 1993-2003. No Tahun Sub DAS Saguling Cirata Jatiluhur 1 1993 44,84 167,91 118,01 2 1994 78,8 185,24 168,01 3 1995 33,18 210,7 102,06 4 1996 45,16 139,78 199,01 5 1997 93,12 167,25 172,9 6 1998 56,85 81,85 114,23 7 1999 40,84 131,75 138,39 8 2000 71,51 152,9 163,64 9 2001 73,36 221,91 164,18 10 2002 80,57 194,09 174,36 11 2003 77,65 311,89 178,13 Rata-rata 63,26 178,66 153,9 114 Rasio Qmax-min 50 100 150 200 250 300 350 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Qm ax- m in Saguling Cirata Jatiluhur Gambar 25. Grafik rasio Qmax-min tahun 1993-2003.

5.4.2. Karakteristik Air Keluar

a. Debit dan Volume Air Keluar

Debit air keluar DAK dan volume air keluar VAK waduk merupakan gambaran besarnya volume air yang dibutuhkan untuk mengoperasikan turbin PLTA sesuai dengan rencana operasi. Secara umum dari hasil pengolahan data diketahui bahwa pada periode 1993–2003 DAK rata-rata harian PLTA Saguling adalah 83,59 m 3 dt, PLTA Cirata 164,65 m 3 dt, PLTA Jatiluhur 178,42 m 3 dt dan total 3 PLTA sebesar 426,67 m 3 dt, dengan laju penurunan berturut-turut adalah 4,20 3,51 m 3 dt, 4,05 6,66 m 3 dt, 5,86 10,45 m 3 dt dan 4,83 20,62 m 3 dt setiap tahun. Pada Tabel 21 disajikan keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu musim hujan dan musim kemarau serta secara grafis pada Gambar 26. DAK harian di 3 waduk memiliki keragaman yang relatif sama antara MK dengan MH yaitu keragaman DAK harian di waduk Saguling adalah 30,21 atau 22,16 m³dt MK, 21,03 atau 19,21 m³dt MH, waduk Cirata 23,01 atau 34,37 m³dt MK, 20,79 MH atau 36,26 m³dt dan waduk Jatiluhur 20,25 atau 35,32 m³dt MK serta 18,74 atau 33,56 m³dt MH. Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa keragaman DAK harian pada musim kemarau lebih besar 115 Keragaman DAK 3 Waduk di DAS Citarum Wil. Hulu - 50 100 150 200 250 MK MH MK MH MK MH Saguling Cirata Jatiluhur D A K m 3 d t m ean-s tdev m ean m ean+s tdev daripada musim hujan. Dengan kata lain, dapat mengindikasikan adanya keragaman yang sama pada DAML dan CH. Tabel 21. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993- 2003. Waduk DAK harian m³dt Musim mean-stdev mean mean+stdev stdev Saguling MK 51.19 73.35 95.51 22.16 MH 72.38 91.65 110.93 19.27 Cirata MK 115.00 149.38 183.75 34.37 MH 138.17 174.43 210.70 36.26 Jatiluhur MK 136.85 172.17 207.50 35.32 MH 144.61 177.97 211.33 33.36 Keterangan : MK=musim kemarau April-September, MH=musim hujan Oktober-Maret, mean- stdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku. Selain itu, keragaman DAK harian juga dipengaruhi oleh keputusan manajemen PJT II yang mengelola ketiga waduk, terutama bila dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Namun demikian, kecilnya keragaman DAK harian dalam musim mengindikasikan bahwa kebutuhan air untuk pertanian padi di wilayah hilir masih dapat dipasok melalui outlet turbin. Gambar 26. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993 – 2003. Keterangan : MK = musim kemarau April-September, MH = musim hujan Oktober-Maret, mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku. 116 Tabel 22. Rata-rata VAK tahunan dan perubahannya di 3 PLTA 1993-2003. Tahun PLTA juta m³ Total juta m³ Saguling Cirata Jatiluhur 1993 3030,49 5812,39 7277,20 16120,08 1994 2915,23 5887,35 6523,06 15325,64 1995 2507,14 5176,79 6105,08 13789,01 1996 2407,24 5136,43 5356,09 12899,77 1997 1445,99 3161,02 4285,19 8892,20 1998 3582,20 6308,96 5688,37 15579,53 1999 2535,38 4986,86 4824,53 12346,77 2000 2446,10 5,055,04 5021,81 12522,94 2001 3222,18 5771,95 6019,51 15013,64 2002 2479,80 5007,79 5638,28 13125,87 2003 1924,50 3711,14 3982,69 9618,33 Rata-rata 2590,57 5092,34 5520,16 13203,07 Persentase 19,62 38,57 41,81 100,00 Dari Tabel 22 diketahui bahwa VAK yang digunakan untuk memutar turbin pada masing-masing PLTA adalah 2590,57 juta m 3 PLTA Saguling, 5092,34 juta m 3 PLTA Cirata, 5520,16 juta m 3 PLTA Jatiluhur dan total 3 PLTA 13203,07 juta m 3 , dengan laju penurunan VAK berturut-turut 4,27 110,60 juta m 3 , 4,13 210,13 juta m 3 , 5,97 329,45 juta m 3 dan 4,92 650,18 juta m 3 setiap tahun. Dari hasil sidik ragam anova sebagaimana pada Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa VAK di PLTA Jatiluhur berbeda nyata dengan PLTA lainnya. Berdasarkan hasil uji-t Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DAK dengan VAK, ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar 0,997 PLTA Saguling, 0,997 PLTA Cirata dan 0,997 PLTA Jatiluhur. Variabel DAK berpengaruh nyata terhadap VAK di semua PLTA. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel 1.96. Pengaruh DAK terhadap VAK adalah sebesar 2.572.066 PLTA Saguling, 2.581.403 PLTA Cirata, 2.616.895 PLTA Jatiluhur dan 2.584.969 3 PLTA. Dengan kata lain, setiap peningkatan 1 m³dt DAK akan menyebabkan peningkatan VAK sebesar 2.572.066 m³ PLTA Saguling, 2.581.403 m³ PLTA Cirata, 2.616.895 m³ PLTA Jatiluhur dan 2.584.969 m³ 3 PLTA. Grafik hubungan antara CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA disajikan pada Gambar 27, 28 dan 29. 117 CH_DAK_VAK PLTA Saguling 2000 4000 6000 8000 10000 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 tahun 50 100 150 200 CH mmth DAK m3dthr VOL juta m3th Tabel 23. Uji-t pengaruh DAK terhadap VAK 3 PLTA. No Parameter PLTA 3 PLTA Saguling Cirata Jatiluhur 1. Korelasi 0,997 0,997 0,997 0,996 2. R kuadrat 0,995 0,994 0,994 0,993 3. Konstanta 4.012.673 6.833.500 1.961.124 2E+007 4. Koefisien 2.572.066 2.581.403 2.616.895 2.584.969 5. Nilai t 156,350 145,804 142,972 130,595 6. Signifikansi 0,000 0,000 0,000 0,000 Keterangan : berpengaruh nyata pada signifikansi 0,05. t tabel = 1.96. Gambar 27. Grafik curah hujan, debit air keluar DAK, dan volume air keluar VAK PLTA Saguling. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA memiliki karakteristik yang relatif homogen. Hal ini dapat terjadi disebabkan DAK dan VAK yang keluar dari outlet turbin yang dipergunakan untuk memutar turbin diatur dan direncanakan sesuai dengan kapasitas sumberdaya air yang tersedia dalam waduk dan keputusan direksi pengelola PJT II. 118 CH_DAK_VAK PLTA Cirata 2000 4000 6000 8000 10000 1 993 1 994 1 995 1 996 1 997 1 998 1 999 2 000 2 001 2 002 2 003 tahun 100 200 300 400 500 600 700 800 CH mmth DAK m3dthr VOL juta m3th CH_DAK_VAK PLTA Jatiluhur 2000 4000 6000 8000 10000 12000 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 tahun 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 CH mmth DAK m3dthr VOL juta m3th Gambar 28. Grafik curah hujan, debit air keluar DAK, dan volume air keluar VAK PLTA Cirata. Gambar 29. Grafik curah hujan, debit air keluar DAK, dan volume air keluar VAK PLTA Jatiluhur.

b. Tinggi Duga Muka Air

Volume air dalam waduk dapat juga dihitung berdasarkan tinggi duga muka air DMA dan volume air dipengaruhi oleh dead storage kapasitas tampungan mati dan effective atau life storage kapasitas tampungan efektif. Semakin tinggi DMA semakin besar volume air yang tersimpan di dalam waduk 119 dengan asumsi laju sedimentasi sangat rendah. Pada Tabel 24 disajikan DMA pada ketiga waduk. Tabel 24. Rata-rata tinggi DMA Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Tahun DMA Waduk m dpl Saguling Cirata Jatiluhur 1993 637,36 215,64 108,55 1994 636,6 215,91 101,24 1995 634,61 216,65 100,95 1996 631,76 213,81 101,44 1997 630,67 210,67 93,26 1998 635,95 214,6 97,14 1999 636,67 214,61 99,25 2000 635,58 213,2 98,28 2001 651,56 215,04 102,62 2002 635,04 213,65 100,32 2003 630,58 209,03 85,82 Rata-Rata 636,035 213,892 98,988 Dari tabel tersebut terlihat bahwa tinggi DMA di ketiga waduk mengalami penurunan per tahun yang bervariasi yaitu Waduk Saguling 0,678 m, Waduk Cirata 0,661 m dan Waduk Jatiluhur 2,273 m. Penurunan DMA sebesar itu perlu diwaspadai mengingat perbedaan antara DMA rata-rata dengan DMA batas operasi ketiga waduk tidak besar 7,792 m – 23,988 m. Apabila penurunan DMA tersebut terus berlangsung dikhawatirkan DMA batas operasi akan tercapai dan menghentikan fungsi waduk sebagai pembangkit energi listrik. Apabila diasumsikan laju sedimentasi waduk sangat rendah, maka dalam waktu yang singkat DMA batas operasi akan tercapai Waduk Saguling 14,8 tahun, Waduk Cirata 11,78 tahun dan Waduk Jatiluhur 10,55 tahun sebagai akibat penurunan volume air dalam waduk yang terus berlangsung, walaupun perencanaan tingkat produksi listrik disesuaikan dengan ketersediaan air dalam waduk dan keputusan manajemen Indonesia Power. Pengaturan tingkat produksi energi listrik tersebut sangat diperlukan mengingat ketiga waduk merupakan waduk seri cascade dan banyaknya jenis penggunaan air terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian, kebutuhan industri, PDAM dan lain sebagainya di wilayah hilir seperti Kabupaten Karawang, Bekasi, Subang, Indramayu dan DKI Jakarta. Keadaan 120 kritis tersebut telah menyebabkan kurang maksimalnya PLTA berproduksi bahkan tidak beroperasi sama sekali, terutama pada musim kemarau. Frekuensi terjadinya DMA kritis di ketiga waduk disajikan pada Tabel 25, dan secara grafis pada Gambar 30. Tabel 25. Frekuensi Terjadinya DMA Kritis No Tahun Produksi Jumlah Hari Frekuensi DMA hariantahun Saguling Cirata Jatiluhur Kali Kali Kali 1 1993 365 23 6,30 0,00 0,00 2 1994 365 28 7,67 1 0,27 0,00 3 1995 365 14 3,84 0,00 0,00 4 1996 366 5 1,37 0,00 0,00 5 1997 365 51 13,97 8 2,19 0,00 6 1998 365 0,00 0,00 0,00 7 1999 365 0,00 0,00 0,00 8 2000 366 5 1,37 0,00 0,00 9 2001 365 4 1,10 0,00 0,00 10 2002 365 40 10,96 0,00 0,00 11 2003 365 36 9,86 0,00 0,00 206 9 0 Keterangan : Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626,00 m, Waduk Cirata + 206,10 m, dan Waduk Jatiluhur + 75,00 m di atas permukaan laut. Dari Tabel 25 tersebut, diketahui bahwa selama periode 1993 – 2003, PLTA Saguling mengalami 206 kali frekuensi tidak beroperasi maksimal dan pada tahun 1997 dan 2002 merupakan kejadian tertinggi 51 dan 40 kali dalam setahun, disusul oleh PLTA Cirata sebanyak 9 kali 8 kali pada tahun 1997. Tingginya frekuensi tidak beroperasinya PLTA secara maksimal pada tahun 1997 disebabkan rendahnya volume air waduk rendahnya CH pada tahun dimaksud karena merupakan tahun terjadinya El-Nino. Disisi lain, PLTA Jatiluhur tidak mengalami DMA kritis. Hal ini terjadi dikarenakan pengelolaan 3 waduk merupakan cascade seri yang kewenangan pengelolaannya diberikan kepada PJT II dan posisinya berada pada paling bawah. PJT II dapat meminta kepada PLTA Saguling dan PLTA Cirata untuk mengirimkan air baik untuk kebutuhan PLTA Jatiluhur sendiri maupun terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian di wilayah hilir. 121 DMA Sa guling 6 0 0 6 1 0 6 2 0 6 3 0 6 4 0 6 5 0 6 6 0 J a n F e b M a r A p r M a y J u n J u l A u g S e p O c t N o v D e c Bula n m d p l DMA DMA Minim um DMA Efe k tif DMA Cira ta 1 9 0 .0 0 1 9 5 .0 0 2 0 0 .0 0 2 0 5 .0 0 2 1 0 .0 0 2 1 5 .0 0 2 2 0 .0 0 2 2 5 .0 0 J a n F e b M a r A p r M a y J u n J u l A u g S e p O c t N o v D e c Bula n m d p l DMA DMA Minim um DMA Efe k tif DMA Jat iluhur 60 70 80 90 100 110 120 J a n F e b M a r A p r M a y J u n J u l A u g S e p O c t N o v D e c B ulan m d p l D MA D MA Minim um D MA Efekt if Gambar 30. Grafik DMA rata-rata bulanan pada musim kemarau April- September dan musim hujan Oktober-Maret di ketiga waduk pada periode 1993 – 2003. Keterangan : Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626,00 m, Waduk Cirata + 206,10 m, dan Waduk Jatiluhur + 75,00 m di atas permukaan laut. Dari Gambar 30 diketahui pula bahwa PLTA Saguling mengalami DMA diatas batas operasi DMA banjir yang terjadi pada bulan Maret – Mei. Pengelola Waduk Saguling mengeluarkan air dengan membuka saluran pengeluaran 122 spillway baik diminta oleh PJT II maupun tidak. Akan tetapi, PLTA Saguling mengalami masalah DMA kritis pada bulan Oktober – November setiap tahun selama periode pengamatan 1993 – 2003. Pada pertengahan bulan Juni – Agustus merupakan masa DMA kritis bagi PLTA Cirata, karena pada bulan-bulan tersebut PLTA Cirata tidak dapat beroperasi secara maksimal bahkan tidak dapat beroperasi. Naiknya DMA Waduk Cirata pada menjelang September bulan kemarau disebabkan adanya kiriman air dari Waduk Saguling. Rendahnya DMA operasi Waduk Jatiluhur pada musim hujan dan musim kemarau lebih disebabkan adanya kebijakan PJT II untuk mengutamakan pemenuhan irigasi pertanian padi sawah di wilayah hilir musim tanam rendeng dan gadu. Walaupun secara umum ketiga waduk pada periode pengamatan 1993 – 2003 masih berada pada selang batas operasi, namum kecenderungan penurunan tinggi DMA dari waktu ke waktu terus berlangsung. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan keberlanjutan produksi energi listrik di masa-masa yang akan datang.

5.4.3. Pendugaan Perubahan Debit dan Volume Air Akibat Perubahan

Penutup Lahan Dengan Simulasi GR4J. a. Validasi model GR4J tahun 1993 dan tahun 2003 Karakteristik hidrologis dapat dipelajari lebih lanjut dengan prediksi melalui aplikasi model simulasi GR4J. Untuk mendapatkan parameter model dilakukan validasi dengan menggunakan data tahun 1993. Data yang dibutuhkan meliputi data curah hujan, evaporasi ETP harian dan debit air masuk lokal DAML harian. Data ETP diambil dari hasil pengukuran UBP Saguling terhadap waduk Saguling, curah hujan dan debit diambil dari hasil pengukuran masing- masing Sub DAS secara rinci dapat dilihat pada Bab 5.3.1. Hasil validasi parameter model tahun 1993 dan 2003 Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki koefisien Nash lebih besar dari 50. Untuk membandingkan dua DAS DAS inisial 1993 dengan DAS simulasi 2003, koefisien kemiripan Nash sering digunakan Andresian et.al, 2003. Menurut Perrin et.al 2003, wilayah DAS yang memiliki Koefisien Nash lebih besar dari 50 dapat menggambarkan kemiripan antara data pengukuran dan hasil simulasi. 123 Dengan kata lain, model yang dibangun dapat menjelaskan keadaan nyata fakta. Parameter model hasil validasi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Parameter model hasil validasi berdasarkan data Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993. No Parameter Satuan Sub DAS Saguling DAS Citarum Wilayah Hulu 1993 2003 1993 2003 1. X1 Kapasitas maksimum simpanan produksi mm 84,14 2270,89 2472,87 2085,28 2. X2 Koefisien tukar air mm 7,23 1,15 6,47 1,00 3. X3 Kapasitas maksimum simpanan pengalihan mm 256,59 61,71 198,81 48,49 4. X4 Waktu dasar hidrograf satuan hari 1,41 2,13 0,51 1,17 Dari hasil simulasi GR4J diperoleh informasi bahwa DAML Sub DAS Saguling mengalami penurunan per tahun sebesar 2,62 m 3 dt, sub DAS Cirata naik 0,24 m 3 dt, sub DAS Jatiluhur naik 0,12 m 3 dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu naik sebesar 1,48 m 3 dt selama 10 tahun 1993-2003, atau -2,62 m 3 dt Sub DAS Saguling dan 1,48 m 3 dt DAS Citarum Wilayah Hulu per tahun. Penurunan DAML tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan kondisi penutup lahan biofisik di wilayah yang bersangkutan. Hasil simulasi terhadap DAML di DAS disajikan pada Tabel 27. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi di Sub DAS Saguling. t-hit t tab 1,96. Hal ini berarti bahwa hasil pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Demikian pula di DAS Citarum Wilayah Hulu, analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hit t tab -0,072 1,96. Dengan kata lain hasil pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Karakteristik DAML simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu disajikan pada Gambar 31. 124 Tabel 27. Perbandingan antara debit pengukuran dan simulasi Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. Keterangan : DP=debit pengamatan. DS=debit simulasi Pada Gambar 32 disajikan grafik hubungan DAML simulasi 1993 dengan simulasi 2003 DAS Citarum Wilayah Hulu. Dari Gambar 30 tersebut dapat disimpulkan bahwa DAML simulasi tahun 1993 memiliki karakter yang relatif homogen dengan simulasi tahun 2003 dan DAML 1993 lebih besar daripada DAML 2003. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan DAML selama periode pengamatan 1993-2003, yang diduga disebabkan oleh degradasi kualitas lingkungan wilayah hulu DAS Citarum. Sedangkan dari Gambar 32 diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara DAML simulasi tahun 1993 dengan 2003 yang dibuktikan dengan nilai korelasi R² yang di atas 50 kecuali sub DAS Jatiluhur. NO Debit pengukuran dan debit simulasi m³dt Saguling Cirata Jatiluhur DAS Citarum DP DS DS- DP DP DS DS- DP DP DS DS- DP DP DS DS- DP 1 110,03 100,20 -9,83 97,52 100,18 2,67 84,00 86,39 2,39 291,25 295,04 3,78 2 98,19 96,60 -1,59 95,75 91,30 -4,45 61,63 65,83 4,19 255,37 262,99 7,62 3 93,02 94,24 1,23 91,05 91,15 0,10 35,36 34,12 -1,24 219,31 221,33 2,02 4 95,26 95,38 0,12 89,25 93,94 4,69 46,64 45,99 -0,65 230,99 235,67 4,68 5 53,94 51,56 -2,38 57,55 57,71 0,16 53,08 52,86 -0,22 164,39 166,65 2,27 6 127,66 128,58 0,92 97,29 98,66 1,38 17,97 18,35 0,38 242,86 239,50 -3,36 7 85,67 86,53 0,87 83,72 83,71 -0,01 11,21 11,62 0,41 180,55 185,36 4,81 8 79,61 81,28 1,66 69,21 69,09 -0,11 8,21 7,60 -0,61 157,00 155,35 -1,64 9 110,27 85,58 -24,68 100,89 97,75 -3,14 15,68 15,35 -0,34 226,79 221,27 -5,51 10 76,89 78,79 1,90 77,07 78,36 1,29 22,03 20,82 -1,22 175,91 173,63 -2,28 11 65,13 68,15 3,02 61,78 61,85 0,07 10,24 8,50 -1,74 137,11 140,96 3,84 Rata- rata 90,51 87,90 -2,62 83,73 83,97 0,24 33,28 33,40 0,12 207,41 208,89 1,48 Jumlah QS-QP -31,39 2,88 1,49 17,70 125 Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Saguling Tahun 1993 dan 2003 5 10 15 20 25 30 1 117 233 349 465 581 697 813 929 1045 1161 1277 1393 1509 1625 1741 1857 1973 2089 2205 2321 2437 2553 2669 2785 2901 3017 3133 3249 3365 3481 3597 3713 3829 3945 Hari D A M L m m DAML 1993 DAML 2003 Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Cirata Tahun 1993 dan 2003 20 40 60 80 100 120 140 160 1 118 235 352 469 586 703 820 937 1054 1171 1288 1405 1522 1639 1756 1873 1990 2107 2224 2341 2458 2575 2692 2809 2926 3043 3160 3277 3394 3511 3628 3745 3862 3979 Hari D A M L m m DAML 1993 DAML 2003 Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Jatiluhur Tahun 1993 dan 2003 10 20 30 40 50 60 70 1 117 233 349 465 581 697 813 929 1045 1161 1277 1393 1509 1625 1741 1857 1973 2089 2205 2321 2437 2553 2669 2785 2901 3017 3133 3249 3365 3481 3597 3713 3829 3945 Hari D A M L m m DAML 1993 DAML 2003 Karakteristik DAML Simulasi DAS Citarum Tahun 1993 dan 2003 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1 117 233 349 465 581 697 813 929 1045 1161 1277 1393 1509 1625 1741 1857 1973 2089 2205 2321 2437 2553 2669 2785 2901 3017 3133 3249 3365 3481 3597 3713 3829 3945 Hari D A M L m m DAML 1993 DAML 2003 Gambar 31. Karakteristik DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada simulasi GR4J dengan menggunakan parameter model hasil validasi tahun 1993 dan 2003. 126 Hubungan DAML Sub DAS Saguling tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi y = 0.3574x + 0.9907 R 2 = 0.737 5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30 DAM L m m Series1 Linear Series1 Hubungan DAML Sub DAS Cirata tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi y = 1.4265x - 3.4463 R 2 = 0.9302 20 40 60 80 100 120 140 20 40 60 80 100 120 140 DAM L m m Series1 Linear Series1 Hubungan DAML Sub DAS Jatiluhur tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi y = 0.4861x - 2.129 R 2 = 0.3068 10 20 30 40 50 60 70 10 20 30 40 50 60 70 DA ML m m Series1 Linear Series1 Hubungan DAML DAS Citarum tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi y = 0.8933x - 0.6482 R 2 = 0.8437 5 10 15 20 25 30 35 40 45 5 10 15 20 25 30 35 40 45 DAM L m m Series1 Linear Series1 Gambar 32. Hubungan DAML Simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu Tahun 1993 dan 2003.

b. Neraca Air DAS Citarum Wilayah Hulu Hasil Simulasi

Untuk menduga volume air yang terdapat di DAS Citarum Wilayah Hulu, dilakukan simulasi terhadap debit pengukuran maupun debit simulasi dikali luas masing-masing wilayah. VAML hasil simulasi 1993-2003 adalah 7,426 milyar m³ atau 658,746 juta m³ DAS Citarum Wilayah Hulu dan 3,049 milyar m 3 atau 907,32 juta m 3 Sub DAS Saguling per tahun. Jumlah selisih QS-QP Sub DAS Saguling adalah sebesar 907,32 juta m 3 dan DAS Citarum Wilayah Hulu 511,82 juta m 3 . Penurunan DAML dan VAML tersebut diduga disebabkan adanya perubahan kondisi penutup lahan biofisik di wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu. Hasil simulasi tersebut disajikan pada Tabel 28. 127 Tabel 28. Hasil simulasi VAML Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. No Tahun Sub DAS Saguling juta m³ DAS Citarum Wil. Hulu juta m³ QP QS QS-QP QP QS QS-QP 1 1993 3.469,75 3.159,79 -309,96 9.185,00 9.304,30 119,30 2 1994 3.096,55 3.046,31 -50,25 8.053,27 8.293,60 240,33 3 1995 2.933,36 2.972,05 38,70 6.916,02 6.979,87 63,86 4 1996 3.004,24 3.008,04 3,80 7.284,64 7.432,18 147,54 5 1997 1.701,11 1.626,00 -75,11 5.184,14 5.255,62 71,48 6 1998 4.025,86 4.054,83 28,97 7.658,72 7.552,79 -105,93 7 1999 2.701,53 2.728,83 27,30 5.693,96 5.845,56 151,60 8 2000 2.510,71 2.563,12 52,41 4.951,05 4.899,25 -51,80 9 2001 3.477,43 2.699,00 -778,43 7.151,95 6.978,12 -173,83 10 2002 2.424,69 2.484,59 59,90 5.547,58 5.475,61 -71,97 11 2003 2.053,90 2.149,25 95,36 4.323,94 4.445,18 121,24 Jumlah 31.399,12 30.491,80 -907,32 71.950,25 72.462,07 511,82 Rata-Rata 2.854,47 2.771,98 -82,48 6.540,93 6.587,46 46,53 Keterangan : QP = VAML pengukuran, QS = VAML simulasi. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran dengan volume hasil simulasi di Sub DAS Saguling. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung t-tabel 0,300 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran volume dengan volume simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran dengan volume hasil simulasi di DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung t-tabel -0,072 1,96. Dengan demikian hasil pengukuran volume dengan volume simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Melalui uji statistik tersebut diketahui bahwa nilai DAML dan VAML pengukuran dan simulasi menyerupai hasil pengukuran langsung di lapangan. Dengan demikian, simulasi yang dibangkitkan berdasarkan validasi parameter model tahun 1993 inisial mampu menjelaskan parameter model tahun 2003 simulasi. Perbedaan selisih DAML dan VAML antara 2003 dan 1993 diduga disebabkan oleh perubahan kondisi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Grafik volume air hasil simulasi ditampilkan pada Gambar 33. 128 - 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun V A M L S im u lasi ju ta m 3 QP SGL QS SGL QP CRT QS CRT QP JTL QS JTL Gambar 33. Grafik volume air berdasarkan hasil simulasi GR4J QS93 – QP03.

5.4.4. Volume Sedimen

a. Berdasarkan hasil pemeruman pengukuran

Tingkat sedimentasi pada badan air sungai dan waduk dapat dijadikan ukuran kondisi biofisik lahan di wilayah hulu terutama penutup lahannya land coverage. Pengolahan data terhadap laju sedimentasi dari hasil pemeruman di waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur disajikan pada Tabel 29 dan Gambar 34. Sedimentasi merupakan proses alam yang mengendapkan butiran atau partikel tanah atau batuan sebagai akibat terjadinya erosi. Laju sedimentasi dapat diperoleh dengan menghitung total volume sedimen dibagi dengan luas Sub DAS dibagi jumlah tahun. Dari ketiga Tabel tersebut diketahui bahwa laju sedimentasi waduk Saguling sejak tahun 1985 sd 2004 rata-rata sebesar 1,286 mmth, waduk Cirata sejak tahun 1987 sd 2002 rata-rata sebesar 1,607 mmth dan waduk Jatiluhur sejak tahun 1987 sd 2000 rata-rata sebesar 0,361 mmth. 129 Tabel 29. Perkembangan volume sedimen di tiga waduk . No Tahun Akumulasi volume sedimen waduk juta m³ Saguling Selisih Cirata Selisih Jatiluhur Selisih Total Selisih 1 1993 25,57 4,16 21,93 6,39 487,50 12,25 535,00 22,80 2 1994 29,73 4,18 28,32 0,00 499,75 12,25 557,80 16,43 3 1995 33,91 4,17 28,32 6,39 512,00 2,00 574,23 12,56 4 1996 38,08 4,10 34,71 12,78 514,00 2,00 586,79 18,88 5 1997 42,18 4,14 47,49 5,11 516,00 2,00 605,67 11,25 6 1998 46,32 4,14 52,60 5,11 518,00 2,00 616,92 11,25 7 1999 50,45 4,69 57,71 5,11 520,00 2,00 628,16 11,80 8 2000 55,14 4,30 62,82 5,87 522,00 2,00 639,96 12,17 9 2001 59,44 4,19 68,69 3,23 524,00 2,00 652,13 9,42 10 2002 63,63 3,81 71,92 5,00 526,00 2,00 661,55 2,00 11 2003 67,44 - 76,92 - 528,00 - 663,55 - Rata-ratath 46.54 4,19 50,13 5,50 515,20 4,05 611,07 12,86 Keterangan : Pengolahan data sedimen hasil pemeruman pengukuran. Laju sedimentasi waduk Jatiluhur periode 1964-1987 sangat tinggi 3,811 mmth disebabkan belum beroperasinya waduk Saguling dan Cirata Saguling beroperasi 1987 dan Cirata beroperasi tahun 1988, secara drastis menurun 1987 sd 1995 menjadi 0,830 mmth dan 0,056 mmth pada 1995 - 2000 atau 0,361 mmth 1987-2000. Akumulasi Sedimen 125 250 375 500 625 750 1 993 1 994 1 995 1 996 1 997 1 998 1 999 2 000 2 001 2 002 2 003 Tahun S e di m e n jut a m 3 Saguling Cirata Jatiluhur Total Gambar 34. Perkembangan volume sedimen waduk hasil pemeruman tahun 1993 - 2003. Keterangan : Sedimen Citarum Wilayah Hulu = total sedimen di 3 waduk. data merupakan hasil pengolahan 130 Tingkat laju sedimentasi yang terjadi di waduk Saguling berada di atas ambang batas perencanaan waduk 1,0 mmth, waduk Cirata mendekati ambang batas 1,78 mmth dan waduk Jatiluhur di bawah ambang batas 1,0 mmth. Tingginya laju sedimentasi pada waduk akan menyebabkan penurunan umur pakai service life dari bendungan dan menurunkan produktivitas operasional turbin PLTA. Basiran 1990 menyatakan bahwa umur pakai bendungan Jatiluhur bertambah 96 tahun menjadi 277,5 tahun dari perencanaan semula, disebabkan telah beroperasinya waduk Saguling dan Cirata. Kedua waduk tersebut telah berfungsi sebagai penangkap sedimen sedimen trap sehingga memperpanjang umur pakai waduk. Umur pakai waduk diukur dari lamanya waktu yang diperlukan untuk mengisi zona tampungan mati dead storage bendungan.

b. Berdasarkan hasil simulasi

Sedimen pada sungai waduk dapat diduga dengan menggunakan volume air hasil simulasi model GR4J, dengan beberapa asumsi sebagaimana pada Tabel 30. Hasil dugaan sedimen di tiga Sub DAS yang ada di DAS Citarum wilayah hulu dan perkembangannya dari 1993 – 2003 ditampilkan pada Tabel 31. Tabel 30. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam memperkirakan volume sedimen di DAS Citarum Wilayah Hulu. No Penggunaan Lahan Ep Saguling EP Cirata EP Jatiluhur Ep Citarum CP SDR 1 Hutan 0,13 0,24 0,14 0,17 0,01 0,32 2 Sawah Tadah Hujan 0,33 0,4 1,45 0,62 0,02 0,32 3 Sawah Irigasi 0,33 0,4 1,45 0,59 0,02 0,32 4 Permukiman 0,03 0,02 0,15 0,05 0,00 0,32 5 KebunPerkebunan 8,40 15,4 36,86 18,66 0,12 0,32 6 Tegalan 22,02 61,31 40,05 34,76 0,23 0,32 Sumber : 1. Erosi permukaan pada soil pan Ep sama dengan erosi permukaan lapang, berdasarkan penelitian Sutono et. al 2003 di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan Ro sama dengan volume air masuk lokal hasil simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah CP, berdasarkan hasil penelitian Abdurahman et. al 1984, Ambar dan Syafrudin 1979 serta EXSA dan ECI 1989 dalam Asdak 2004 dan Amarjan 2003. 4. Luas Sub DAS A sama dengan luas masing-masing Sub DAS atau luas per penggunaan lahan sesuai dengan hasil interpretasi peta. 131 Tabel 31. Volume sedimen hasil simulasi. No Tahun Volume Sedimen Hasil Simulasi per Sub DAS-DAS juta m³ Saguling Selisih Cirata Selisih Jatiluhur Selisih Citarum Selisih Wil Hulu 1 1993 28,85 7,35 27,05 11,07 491,74 15,79 546,49 33,44 2 1994 36,20 7,31 38,12 4,68 507,52 14,57 579,94 25,93 3 1995 43,51 7,31 42,80 11,19 522,09 4,81 605,87 22,43 4 1996 50,82 6,21 53,99 16,35 526,90 5,03 628,29 26,75 5 1997 57,03 7,92 70,34 10,10 531,93 3,39 655,04 21,17 6 1998 64,95 7,06 80,44 9,68 535,32 3,13 676,21 19,64 7 1999 72,01 7,50 90,12 9,12 538,45 2,86 695,85 19,27 8 2000 79,51 7,20 99,24 11,02 541,30 3,35 715,13 21,55 9 2001 86,71 6,93 110,27 7,55 544,65 3,64 736,67 17,42 10 2002 93,64 6,30 117,82 8,72 548,29 2,91 754,10 8,98 11 2003 99,94 126,53 551,20 763,08 Rata-rata 64,83 7,11 77,88 9,95 530,85 5,95 668,79 21,66 Keterangan : Hasil simulasi, volume sedimen ton dapat dikonversi menjadi m 3 dengan membagi sebesar 1,3 kali. Simulasi dengan menggunakan volume air masuk lokal hasil model GR4J dan rumus sedimentasi Sa’ad 2002. Dari tabel tersebut diperoleh informasi bahwa volume sedimentasi hasil simulasi lebih tinggi bila dibandingan dengan hasil pengukuran walaupun menurut hasil simulasi GR4J, kedua wilayah Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki koefisien Nash-nya melebihi 50 memiliki kemiripan yang tinggi, menurut Andressian, 2003. Dengan demikian, berkaitan dengan pendugaan volume sedimen DAS inisial 1993 memiliki perbedaan yang besar dibandingkan dengan DAS 2003 simulasi. Dari hasil pengolahan data pemeruman pengukuran dan simulasi didapatkan informasi bahwa laju sedimentasi yang terjadi di Sub DAS Saguling adalah 4,19 – 7,11 juta m 3 th, Sub DAS Cirata 5,50 – 9,95 juta m 3 th, Sub DAS Jatiluhur 4,05 – 5,95 juta m 3 th dan DAS Citarum Wilayah Hulu 12,86 – 21,66 juta m 3 th. Laju sedimentasi Waduk Saguling sebesar 4,19 juta m 3 th tersebut sesuai dengan pendapat Asdak 2007 yang menyatakan bahwa rata-rata laju sedimentasi di waduk Saguling adalah sebesar 4,0 juta m 3 th. Grafik perbandingan antara volume sedimen hasil pemeruman 3 waduk dengan volume sedimen hasil simulasi Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata, Sub DAS Jatiluhur dan DAS Citarum Wilayah Hulu, 1993-2003 berdasarkan tahun inisial 1993 disajikan pada Gambar 35. 132 Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Saguling 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 T a hun SP SS Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Cirata 20 40 60 80 100 120 140 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 Tahun S e di m e n jut a m 3 SP SS Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Jatiluhur 440 460 480 500 520 540 560 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun S e d ime n ju ta m3 SP SS Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Citarum 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun S e di m e n jut a m 3 SP SS Gambar 35. Grafik perbandingan antara volume sedimen hasil pemeruman 3 waduk dengan volume sedimen hasil simulasi Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata, Sub DAS Jatiluhur dan DAS Citarum Wilayah Hulu, 1993-2003 berdasarkan tahun inisial 1993. Tingginya laju sedimentasi tersebut mengindikasikan terjadinya penurunan kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu sebagai akibat semakin tingginya konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain sehingga memperluas permukaan kedap air yang menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah dan meningkatkan aliran permukaan Pawitan, 2002 dalam Suryani et.al 2005. Sutono et.al 2003 dalam Kurnia et.al 2003 menyatakan bahwa sesuai dengan hasil penelitian pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap erosi di DAS Citarum, lahan hutan yang berubah menjadi kebun campuran meningkatkan erosi 4 – 10 tonhath. Peningkatan erosi tersebut akan meningkatkan sedimen di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur.

5.5. Simpulan

CH di DAS Citarum Wilayah Hulu rata-rata pada musim kemarau adalah 118,35 mm dengan keragaman 45,08 mm dan musim hujan 246,09 mm dengan keragaman 43,85 mm. Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa pada musim 133 kemarau cenderung semakin kering keragaman besar dan pada musim hujan cenderung semakin basah keragaman kecil. Debit harian air masuk lokal DAML periode 1993-2003 mengalami penurunan sebesar 4,67 m³dt atau 5,15 Sub DAS Saguling, 3,57 m³dt atau 4,19 Sub DAS Cirata, 7,37 m³dt atau 21,43 Sub DAS Jatiluhur dan secara keseluruhan 15,62 m 3 dt atau 7,42 DAS Citarum Wilayah Hulu per tahun. DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada musim kemarau adalah 151,98 m³dt dengan keragaman 44,45 m³dt dan musim hujan 265,40 dengan keragaman 61,64 m³dt. Hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi berkurangnya fraksi hujan yang berubah menjadi debit aliran dan menurunnya luas penutup lahan hutan di wilayah hulu DAS. Volume air masuk lokal VAML mengalami penurunan 153,51 juta m 3 atau 5,36 Sub DAS Saguling, 112,69 juta m³ atau 4,27 Sub DAS Cirata, 232,45 juta m³ atau 22,17 Sub DAS Jatiluhur dan 498,66 juta m³ atau 7,61 DAS Citarum Wilayah Hulu. Peningkatan 1 m³dt DAML akan menyebabkan peningkatan VAML sebesar 2.613.474 m³ Sub DAS Saguling, 2.626.993 m³ Sub DAS Cirata, 2.614.727 m³ Sub DAS Jatiluhur dan 2.619.447 m³ DAS Citarum Wilayah Hulu. Rata-rata nilai rasio Qmax-min Sub DAS Saguling sebesar 63,26, Sub DAS Cirata 178,66, Sub DAS Jatiluhur 153,90 dan keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu sebesar 131,94. Nilai rasio Qmax-min seperti ini mengindikasikan kondisi penutup lahan hutan di wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu sangat buruk. Penambahan luas hutan menurunkan nilai rasio Qmax-min sedangkan penambahan luas permukiman menaikkan nilai rasio Qmax-min. Debit air keluar DAK harian mengalami penurunan per tahun sebesar 3,51 m³dt atau 4,2 PLTA Saguling, 6,66 m³dt atau 4,05 PLTA Cirata, 10,45 m³dt atau 5,86 PLTA Jatiluhur dan 20,62 m³dt atau 4,83 3 PLTA. Volume air keluar VAK mengalami penurunan sebesar 110 juta m³ atau 4,27 PLTA Saguling, 210,12 juta m³ atau 4,13 PLTA Cirata, 329,43 juta m³ atau 5,97 PLTA Jatiluhur dan 650,18 juta m³ atau 4,92 3 PLTA. DAK harian rata-rata pada musim kering di ketiga waduk berturut-turut adalah 73,35 m³dt 134 Saguling, 149,38 m³dt Cirata dan 172,17 m³dt Jatiluhur, sedangkan pada musim hujan adalah 91,65 m³dt Saguling, 174,43 m³dt Cirata, dan 177,79 m³dt Jatiluhur. Keragaman DAK musim kemarau lebih besar daripada musim hujan. Hal ini mengindikasikan adanya keragaman yang sama pada debit air masuk lokal dan curah hujan. Hasil simulasi terhadap DAML dan VAML menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan hasil pengukuran hasil simulasi menyerupai hasil pengukuran di lapangan. Dengan kata lain, model GR4J yang dikembangkan dengan menggunakan parameter hasil validasi tahun 1993 memiliki tingkat validitas yang tinggi. Kemiripan antara simulasi dengan pengamatan ditunjukkan dengan nilai koefisien Nash lebih besar dari 50. Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. Artinya, DAS inisial 1993 memiliki kemiripan yang tinggi dengan DAS simulasi 2003. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada periode 1993-2003 terjadi penurunan debit 46,75 mm Sub DAS Saguling dan 88,62 mm DAS Citarum Wilayah Hulu per tahun. Kehilangan volume air selama 10 tahun 1993-2003 adalah 1,32 miliar m³ di Sub DAS Saguling dan 4,739 miliar m³ di DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini diduga disebabkan oleh perubahan penutup lahan kondisi biofisik DAS Citarum Wilayah Hulu. Laju sedimentasi yang terjadi di Sub DAS Saguling adalah 4,19 – 7,11 juta m 3 th, Sub DAS Cirata 5,50 – 9,95 juta m 3 th, Sub DAS Jatiluhur 4,05 – 5,95 juta m 3 th dan DAS Citarum Wilayah Hulu 12,86 – 21,66 juta m 3 th. Tingkat sedimentasi tersebut berada di atas ambang batas perencanaan waduk Saguling 1,0 mmth, mendekati ambang batas waduk Cirata 1,78 mmth dan di bawah ambang batas perencanaan Waduk Jatiluhur 1,0 mmth. Tingginya laju sedimentasi di ketiga waduk diduga disebabkan oleh penurunan luas penutup lahan terutama hutan dan tanaman tahunan serta peningkatan luas permukiman di masing-masing Sub DAS. 6. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KUALITAS AIR 6.1. Latar Belakang Pada dasarnya kualitas lingkungan perairan kualitas air yang terdapat disuatu perairan akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota yang hidup dalam ekosistem tersebut. Kecuali itu, penurunan kualitas air juga mempengaruhi dayaguna sumberdaya air bagi pengguna jasa di wilayah hilir baik untuk penggunaan domestik, industri maupun sebagai sumber energi pembangkitan. Penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh perubahan penutup lahan dan pencemaran lingkungan dari berbagai sumber pencemar di wilayah hulu. Perubahan penutup lahan menimbulkan erosi dan sedimentasi, sedangkan sumber pencemar antara lain industri, pertanian, perikanan, rumah tangga, transportasi dan lain-lain. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap karakteristik kualitas air sungai dan Waduk Citarum baik aspek fisik, kimia maupun biologi.

6.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengumpulan data sekunder kualitas air dilakukan di kantor UBP Saguling, PJB UP Cirata, Perum Jasa Tirta II, Kantor PDAM Purwakarta dan Bagian Produksi PT. Thames PAM Jaya. Pengambilan data primer dilakukan di 7 titik yaitu inlet Waduk Saguling bagian hulu, outlet PLTA Saguling, inlet Waduk Cirata bagian hulu, outlet PLTA Cirata, inlet Waduk Jatiluhur bagian hulu inlet PDAM Purwakarta dan inlet PT. Thames PAM Jaya. Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Kimia, Fisik dan Lingkungan, Jurusan Kimia, FMIPA, IPB Bogor. Penelitian karakteristik kualitas air dilakukan mulai bulan Juni 2006 sampai September 2006. 136

6.3. Bahan dan Metode

Bahan yang diperlukan untuk menganalisis kimia air adalah data sekunder dan data primer. Jenis dan sumber data sekunder adalah : 1. Laporan hasil pemantauan kualitas air triwulanan Waduk Saguling 1994-2003, Waduk Cirata 1994-2003, Waduk Jatiluhur 1993-2003, kualitas air baku intake PDAM Purwakarta 1999-2003 dan PT. Thames PAM Jaya 2001-2005. 2. Laporan hasil penelitian pihak ketiga dan Bagian Lingkungan masing-masing PLTA. Data primer diperoleh dari hasil pengambilan dan pengukuran contoh air pada lokasi : 1. Inlet dan outlet Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur. 2. Intake PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Parameter kimia air dan metode analisis serta alat yang digunakan ditampilkan pada Tabel 32. Hasil pengolahan data sekunder dan primer tersebut dibandingkan dengan standar baku mutu lingkungan BML sebagai pembanding Saeni 1989 dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air.

6.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Kualitas Air

Kualitas air waduk sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan DTA wilayah hulu, sedangkan kualitas lingkungan wilayah hulu dipengaruhi oleh perubahan pada penutup lahan dan penggunaan dari lahan itu sendiri. Keragaman limbah polusi dan intensitasnya akan mempengaruhi kehidupan biologi perairan Odum, 1996, proses teknis pembangkitan energi listrik Litbang PJT-II, 2003 dan proses penjernihan air baku PDAM. Pengolahan data sekunder dan primer terhadap parameter kualitas air ditampilkan pada Tabel 33 sampai Tabel 37. 137 Tabel 32. Parameter kualitas air yang diukur pada PLTA dan PDAM. No Parameter Satuan PLTA PDAM Metode Analisis dan Alat Fisik 1. Suhu o C V V Termometer 2. Padatan terlarut mgl X V Gravimetri 3. Padatan tersuspensi mgl X V Gravimetri 4. Daya hantar listrik µ mhoscm V V Konduktometri 5. Warna Unit Pt.Co X V Colorimetri 6. Bau X V - 7. Kekeruhan NTU X V Turbidimetri 8. Rasa - X V - Kimia 9. pH - V V pH Meter 10. N sebagai NH 3 , NO 2 ⎯,dan NO 3 ⎯ mgl X V Brusin Sulfat 11. Boron mgl V X AAS 12. Kadmium mgl V V AAS 13. Khrom 6 mgl V V AAS 14. Tembaga mgl V V AAS 15. H 2 S Sulfida mgl X V Iodometri 16. H 2 SO 4 mgl X V Titrimetri 17. Kesadahan Ca CO 3 mgl X V Titrimetri EDTA 18 Mg++ mgl V V - 19. Fe++ mgl X V AAS 20. Timbal mgl V V AAS 21. Air raksa mgl V V AAS 22. Seng mgl X V AAS 23. Selenium mgl X V AAS 24. Nikel mgl V X AAS 25. Arsen mgl V V AAS 26. Sianida mgl X V AAS Mikrobiologi 27. Fecal coliform Eschericia coli MPN 100 ml X V MPN 28. Total coliform MPN 100 ml X V MPN Keterangan : V = dianalisa, dan X = tidak dianalisa Parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap kehidupan biota dan proses teknis PLTA dan PDAM dapat digolongkan menjadi parameter kualitas fisik, kimia dan biologi. Hasil pengolahan dan interpretasi data primer dan sekunder diperoleh informasi bahwa secara umum telah terjadi penurunan kualitas air di ketiga waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur dan PDAM PT. Tirta Dharma Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya Jakarta. 138 Penurunan kualitas air waduk Saguling jauh lebih berat dibandingkan dengan waduk Cirata dan Jatiluhur. Tabel 33. Perubahan kualitas air Waduk Saguling. No. Parameter Satuan Kualitas Air 1994 2003 Perubahan 2006 Inlet Outlet 1. Suhu ºC 27,10 27,22 0,12 28,9 29,0 2. Zat tersuspensi mgl 132,00 56,26 -75,74 320 280 3. DHL µmhoscm 198,45 357,65 159,20 310 290 4. Kekeruhan Skala NTU 42,03 241,12 199,09 - - 5. pH 8,07 7,83 -0,24 6,55 6,6 6. DO mgl 4,06 2,83 -1,23 - - 7. COD mgl 21,57 13,31 -8,26 - - 8. BOD 5 mgl 6,23 4,16 -2,07 - - 9. Air Raksa Hg mgl 0,00 0,01 0,01 ttd ttd 10. Nikel Ni mgl 0,01 0,18 0,17 0,004 0,002 11. Tembaga Cu mgl 0,00 0,00 0,00 0,015 0,009 12. Khrom mgl 0,00 0,01 0,01 0,001 ttd 13. Kadmium Cd mgl 0,03 0,00 -0,03 0,001 ttd 14. Timbal Pb mgl 0,01 0,00 -0,01 0,02 0,004 15. Arsen As mgl 0,02 0,01 -0,01 ttd ttd 16. Boron B mgl 0,01 0,00 -0,01 0,002 0,001 17. Mangan Mn mgl - - - 0,012 0,010 Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur, ttd = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 10 stasiun pengukuran. 1 Suhu Hasil pengolahan data suhu perairan di ketiga waduk diperoleh informasi bahwa suhu perairan waduk Saguling rata-rata naik sebesar 0,12ºC, waduk Cirata sebesar 0,80ºC dan waduk Jatiluhur turun sebesar 0,90ºC. Kenaikan suhu Saguling dan Cirata dan penurunan suhu Jatiluhur tidak signifikan. Dari Tabel 42 dan 43 dapat diketahui bahwa suhu air baku pada intake PDAM Tirta Dharma 1999-2003 mengalami penurunan 0,5ºC sedangkan pada intake PT. Thames PAM Jaya 2001-2005 mengalami kenaikan 0,33ºC. Suhu perairan merupakan salah satu parameter yang mengatur baik proses fisika maupun proses kimia yang terjadi di dalam suatu perairan. Suhu perairan akan mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi subtrat, kekeruhan maupun kecepatan reaksi kimia di dalam air. Suhu perairan juga mempengaruhi berbagai proses fisiologis dalam tubuh biota air seperti proses osmoregulasi dan penafasan 139 organisme perairan, sehingga meningkatnya suhu pada kondisi ekstrim dapat menyebabkan kematian. Secara umum pengaruh suhu terhadap biota perairan mempengaruhi proses fisiologis secara langsung dalam hal reaksi enzimatik pada organisme, sehingga akan menentukan besar kecilnya metabolisme dan pertumbuhan organisme. Selain pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dari suhu bisa dalam bentuk terjadinya perubahan struktur dan dispersi hewan air Nontji, 1984. Tabel 34. Perubahan kualitas air Waduk Cirata. No. Parameter Satuan Kualitas Air Perubahan 2006 1994 2003 Inlet Outlet 1. Suhu C 26,67 27,51 0,84 28,0 28,5 2. Zat Tersuspensi mgl 39,44 121,73 82,29 - - 3. DHL µmhoscm 174,43 272,04 97,61 290 285 4. Kekeruhan Skala NTU 7,29 35,41 28,12 - - 5. TDS mgl 123,00 144,36 21,36 310 270 6. pH 8,27 7,17 -1,10 6,88 6,90 7. COD mgl 11,05 28,18 17,13 - - 8. BOD 5 mgl 6,59 13,11 6,52 - - 9. DO mgl 5,15 4,78 -0,37 - - 10. Air Raksa Hg mgl 0,00 0,00 0,00 ttd ttd 11. Nikel Ni mgl 0,00 0,02 0,02 0,008 0,004 12. Tembaga Cu mgl 0,29 0,01 -0,28 0,022 0,008 13. Khromium Cr mgl 0,04 0,01 -0,03 ttd ttd 14. Kadmium Cd mgl 0,00 0,00 0,00 ttd ttd 15. Timbal Pb mgl 0,00 0,02 0,02 0,01 0,002 16. Arsen As mgl 0,00 0,42 0,42 ttd ttd 17. Boron B mgl 0,58 0,00 -0,58 0,006 0,003 18. Mangan mgl - - - 0,022 0,015 Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur, ttd = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 11 stasiun pengukuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Pescod 1975 dalam Prihadi 2005 yang mengatakan bahwa suhu akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan biota air, yakni akan menetukan kehadiran spesies–spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan dan penetasan, aktivitas dan pertumbuhan. Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan. Dalam hal ini intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, semakin 140 tinggi suhu airnya. Namun semakin bertambah kedalaman, akan menurunkan suhu perairan Welch, 1980. Menurut Nontji 1987 suhu yang terdeteksi di permukaan air dipengaruhi oleh keadaan meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi sinar matahari. Tabel 35. Perubahan kualitas air Waduk Jatiluhur. No. Parameter Satuan Kualitas air Perubahan 2006 1993 2003 Inlet Outlet 1. Suhu º C 27,42 26,52 -0,90 28,5 29,0 2. Zat tersuspensi mgl 81,81 18,91 -62,90 460 410 3. DHL µmhoscm 165,72 - - ttd 320 4. Kekeruhan Skala NTU 69,83 38,25 -31,58 - - 5. pH 7,32 7,84 0,52 ttd 6,78 6. DO mgl 7,42 5,69 -1,73 - - 7. COD mgl 8,82 12,29 3,47 - - 8. BOD 5 mgl 4,40 6,83 2,43 - - 9. Air Raksa mgl ttd ttd - ttd ttd 10. Nikel mgl 0,005 - - ttd 0,006 11. Tembaga Cu mgl ttd ttd 0,00 0,001 0,019 12. Kromium Cr mgl ttd ttd 0,00 0,002 ttd 13. Kadmium Cd mgl ttd ttd 0,00 ttd 0,003 14. Timbal Pb mgl - - 0,00 0,002 0,023 15. Arsen mgl ttd ttd - ttd 0,002 16. Boron B mgl 0,01 ttd 0,00 ttd 0,041 17. Mangan mgl ttd ttd - ttd 0,026 Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur, ttd = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 25 stasiun pengukuran. 2 Warna Perairan Warna air waduk Saguling mengalami kenaikan 141,60 satuan NTU pada periode 1994-2003, air waduk Cirata naik 0,10 satuan PtCo pada periode 1993-2003, dan air waduk Jatiluhur naik 0,37 satuan PtCo pada periode 1993-2003, sedangkan pada air baku PDAM Tirta Dharma terjadi kenaikan warna kekeruhan sebesar 0,50 NTU 1999-2003 dan pada air baku PT. Thames PAM Jaya turun sebesar 5,03 NTU 2001-2005. Pada umumnya warna perairan dibagi menjadi dua yakni warna sesungguhnya yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan kimia terlarut serta warna yang tampak yang merupakan hasil perpaduan antara bahan terlarut dan bahan tersuspensi. Secara umum warna perairan merupakan hasil perpaduan 141 warna yang berasal dari bahan organik dan bahan anorganik yang ada dalam perairan, warna plankton, humus dan ion-ion logam serta bahan-bahan lain yang terdapat dalam perairan tersebut. Warna perairan dapat diamati secara visual, namun akan lebih akurat jika diamati dengan membandingkan air sampel dengan warna standar. Warna pada umunya dapat menghambat penetrasi sinar matahari serta dapat mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis oleh jasad autotrof di dalam air. Tabel 36. Perubahan kualitas air baku intake PT. Tirta Dharma Purwakarta. No. Parameter Satuan Kualitas Air 1999 2003 Perubahan 2006 BML 1. Suhu º C 28,00 27,5 -0,5 - -- 2. Kekeruhan skala NTU 2,35 1,7 -0,65 0,77 5 3. Warna skala NTU 3,50 4 0,5 5,33 15 4. TDS mgl - - - 460 1000 5. pH 7,10 7 -0,1 - - 6. Air raksa mgl - - - Ttd 0,001 7. Tembaga mgl - - - 0,001 1,0 8. Khromium mgl - - - 0,002 0,05 9. Kadmium mgl - - - Ttd 0,005 10. Timbal mgl - - - 0,002 0,05 11. Arsen mgl - - - Ttd 0,05 12. Kesadahan total mgl 68,85 65,555 -3,295 31,58 500 13. Nitrit mgl 0,01 - - 0,0203 1,0 14. Sianida mgl - - - 0,001 0,1 15. Selenium mgl - - - 0,001 0,01 16. Seng mgl - - - 0,005 5 17. Nitrat mgl - - - 0,1245 10 18. Sulfat mgl - - - Ttd 400 19. Sulfida mgl - - - 3,6 0,05 20. Total Koliform MPN100 ml - - - 3 Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur, ttd = tidak terdeteksi. 3 pH Pada periode 1994-2003, tingkat pH air waduk Saguling mengalami penurunan sebesar 0,24, air waduk Cirata turun 1,10 dan waduk Jatiluhur turun 0,52 pH di ketiga waduk masih berada pada status netral berkisar pH=7,0 sehingga cukup baik bagi berlangsungnya proses biologi dan kimia dalam perairan. pH air baku PDAM Tirta Dharma 1999-2003 mengalami penurunan sebesar 0,1, sedangkan air baku PDAM PT. Thames PAM Jaya 2001-2005 mengalami kenaikan sebesar 0,16. pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion 142 hidrogen dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Menurut Mackereth et. al. 1989 pH terkait sangat erat dengan kandungan karbon dioksida dan alkalinitas. Pada pH yang kurang dari 5 alkalinitasnya bisa tidak terdeteksi. Makin tinggi nilai pH semakin tinggi nilai alkalinitas dan makin rendah kandungan karbon dioksida. Tabel 37. Perubahan kualitas air baku intake PT. Thames PAM Jaya Jakarta. No. Parameter Satuan Kualitas Air 2001 2005 Perubahan 2006 BML 1. Suhu o C 28,94 29,27 0,33 - - 2. Kekeruhan Skala NTU 275,53 372,83 97,30 1,28 5 3. Warna Skala TCU 20,09 15,06 -5,03 5,65 15 4. TDS mgl 116,42 103,61 -12,80 550 1000 5. DHL µmhoscm 260,25 200,80 -59,45 - - 6. pH 6,95 7,11 0,16 - - 7. COD mgl 17,38 21,93 4,55 - - 8. BOD 5 mgl 15,22 9,82 -5,40 - - 9. Air raksa mgl 0,00 0,0005 - Ttd 0,001 10. Khrom mgl 0,02 0,02 0,00 ttd 0,05 11. Tembaga mgl 0,05 0,03 -0,02 0,002 1,0 12. Kadmium mgl 0,01 0,02 0,01 Ttd 0,005 13. Timbal mgl 0,07 0,03 -0,04 0,005 0,05 14. Arsen mgl 0,01 0,0005 - Ttd 0,05 15. Nitrat mgl 1,70 1,55 -0,15 0,4421 10 16. Nitrit mgl 0,05 0,06 0,02 0,0707 1,0 17. Seng mgl 0,08 0,15 0,07 0,006 5 18. Bahan Organik mgl 16,27 17,62 1,35 - - 19. Kesadahan mgl - - - 37,600 500 20. Sulfat mgl - - - 7,6621 400 21. Sulfida mgl - - - 4,4 0,05 22. Total Koliform MPN100 ml 89 x 10³ 57,82 - 1,0 3 Keterangan : = data primer November 2006, - = data tidak tersedia,data tidak diukur, ttd = tidak terdeteksi. Pada umumnya sebagian biota air sensitif terhadap perubahan pH, dan hampir semua biota menyukai pH 7 – 8,5. Besaran pH sangat mempengaruhi proses biokimia yang terjadi di suatu perairan, sebagai contoh proses nitrifikasi akan terhenti manakala pH perairan rendah. Selain itu toksisitas dari logam berat pun sangat dipengaruhi oleh besaran pH perairan. Jika dalam suatu perairan terdapat kandungan bahan organik yang tinggi, maka bahan organik tersebut harus diuraikan, untuk ini diperlukan oksigen. Dalam keadaan ada oksigen akan dihasilkan karbon dioksida, uap air , dan nitrat. Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hidrogen sulfida H 2 S, 143 amoniaNH 3 dan metana CH 4 . Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam yang pada akhirnya dapat menurunkan pH. Zat tersebut akan digunakan untuk proses fotosintesis, sehingga kandungan karbon dioksida akan menurun, dan ion bikarbonat HCO 3 akan berubah menjadi CO 2 dan ion OH - . Adanya dominasi ion hidroksil ini mengakibatkan pH air meningkat. Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya adalah karbon dioksida. Di dalam air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat Moss,1993, keadaan ini juga bisa terjadi jika 1 dari karbondioksida bereaksi dengan air, sehingga membentuk asam karbonat Cole, 1988. Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan pH perairan menurun. 4 Oksigen terlarut DO Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen yang terlarut dalam air pada umumya berasal dari hasil fotosintesis jasad autotrof yang ada dalam air seperti fitoplankton dan tumbuhan air yang hidup di dalam perairan tersebut. Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem kehidupan di perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dan mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari hasil fotosintesis. Selain itu juga mempunyai peranan yang penting dalam penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik APHA, 1989, sehingga jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi akan mengakibatkan lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus menurunkan kualitas air. Menurut Wardoyo 1975 kelarutan oksigen di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas yang ada di udara serta tekanan parsial gas terlarut dalam air tersebut. Sealin itu juga dipengaruhi oleh aliran masuk run off dari hujan dan pergerakan air dari hulu. Kadar oksigen terlarut dalam air, selain penting untuk kehidupan, juga bisa dijadikan sebagai indikator untuk melihat pencemaran yang terjadi pada suatu perairan yakni jika kandungan oksigen dalam perairan lebih dari 5 mgl mengandung arti bahwa perairan tersebut tercemar 144 ringan, jika kandungannya 2-5 mgl berarti tercemar sedang dan 0–2 ppm berarti perairan tersebut tercemar berat Sutamihardja, 1978. Tingkat oksigen terlarut yang terdapat dalam perairan di ketiga waduk mengalami penurunan masing-masing: waduk Saguling sebesar 3,23 mgl, waduk Cirata turun sebesar 0,37 mgl dan waduk Jatiluhur menurun sebesar 1,73 mgl. 5 BOD 5 BOD 5 Biological Oxygen Demand 5 adalah banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik selama 5 hari. Nilai BOD 5 merupakan parameter yang menunjukan besarnya oksigen yang di butuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses dekomposisi secara biokimia Boyd, 1982. Lama waktu mikroba untuk melakukan dekomposisi sampai mencapai stabilitas sempurna tergantung dari keadaan alami subtrat dan kemampuan hidup organisme Azad, 1976. Dengan demikian, maka BOD 5 hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis biodegradable. Nilai BOD 5 suatu perairan dipengaruhi faktor-faktor lain yang ada di lingkungannya, yakni suhu, densitas plankton, keberadaan mikroba serta jenis dan kandungan bahan organik. Pada perairan alami yang belum terlalu banyak campur tangan manusia, sumber bahan organik yang masuk ke dalam perairan berasal dari pembusukan tanaman, sehingga nilai BOD 5 -nya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeffries dan Mills 1996 dalam Prihadi 2005 yang mengatakan bahwa perairan alami memiliki nilai BOD 5 antara 0,5–7,0 mgl. Perairan yang memiliki nilai BOD 5 lebih dari 10 mg1 dianggap telah mengalami pencemaran. Berdasarkan nilai BOD 5 , maka suatu perairan bisa di kategorikan kualitas airnya menjadi perairan tidak tercemar atau tercemar ringan jika mempunyai BOD 5 kurang dari 3 mg1, perairan diklasifikasikan sebagai perairan tercemar ringan jika mempunyai nilai BOD 5 3 – 4,9 mg1. Perairan tercemar sedang mempunyai BOD 5 5,0–15,0 mg1 serta perairan yang mempunyai BPD lebih dari 15 mg1 dikategorikan pada perairan tercemar berat Lee, Wang dan Quo, 1978. Dari analisis terhadap data tahun 1993, 1998 dan 2003, diperoleh nilai BOD 5 dalam air waduk Saguling mengalami kenaikan 30,8 mgl, Cirata menurun 5,67 mgl, Jatiluhur naik 6,52 145 mgl dan air baku Thames Jaya nilai BOD 5 pada tahun 2005 menurun 5,40 mgl dari 15,22 mgl pada tahun 2001. 6 COD COD chemical oxygen demand menggambarkan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi dengan oksidator kalium dikromat. Dengan adanya oksidator kalium dikromat ini seringkali mengakibatkan kemampuan oksidasi yang lebih tinggi, karena dalam uji coba COD bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat teroksidasi, sehingga nilai COD lebih tinggi dari BOD. Sebagai contoh serat selulosa yang sukar terurai melalui reaksi biokimia pada uji BOD, baru bisa terurai melalui reaksi kimia. Dari analisis data sekunder, diperoleh hasil bahwa kadar COD dalam air waduk Saguling mengalami penurunan 17,41 mgl, Cirata naik 28,18 mgl, Jatiluhur naik 11,10 mgl, pada air baku Thames Jaya kadar COD naik sebesar 4,55 mgl. 7 Bahan Organik dan Muatan Padatan Tersuspensi Dalam keadaan anaerobic, yakni konsentrasi oksigen rendah atau bahkan tidak terdeteksi, maka mikroorganisme aerobic tidak dapat berkembangbiak, tetapi sebaliknya karena tidak adanya oksigen, karena tidak adanya oksigen, maka organisme yang bersifat anaerobik akan aktif memecah bahan tersebut secara anaerob. Muatan padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi yang tidak larut dalam air. Bahan-bahan ini baik organik maupun anorganik yang keberadaannya anatara lain berbentuk partikel dan tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi juga mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Menurut Wardoyo 1981 padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan perairan. Zat padat yang berada dalam suspensi dapat dibedakan menurut ukuran partikelnya sebagai partikel tersuspensi koloid dan partikel tersuspensi biasa. Zat padat tersuspensi dapat diklasifikasikan menjadi zat terapung dan melayang yang bersifat organik dan zat padat organik dan anorganik. Canter 1977 memperlihatkan hubungan antara indeks kualitas air dengan kandungan muatan padatan tersuspensi. Kandungan muatan padatan tersuspensi tersebut kemudian dapat menjelaskan kondisi perairannya seperti pada 146 Tabel 46. Kadar residu terlarut 1994-2003 dalam air waduk Saguling naik sebesar 71,75 mgl, waduk Cirata turun sebesar 93,38 mgl 1993-1998, Jatiluhur turun sebesar 62,90 mgl 1993-2003 dan air baku Thames Jaya menurun 12,80 mgl. Tabel 38. Baku mutu kualitas air berdasarkan PP Nomor. 82 tahun 2001. No Parameter Satuan Baku Mutu Kelas II Kelas III 1 Kekeruhan NTU 25 - 2 pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 3 DO mg1 6 3 4 BOD mg1 2 6 5 COD mg1 10 50 6 Amonium mg1 0,5 - 7 Nitrat mg1 10 20 8 Nitrit mg1 1 0,06 9 Fenol mg1 - 0,22 10 Sulfida mg1 400 - Keterangan : Kelas II sesuai untuk air baku air minum dan Kelas III sesuai untuk pertanian dalam arti luas. 8 Kekeruhan Kekeruhan adalah gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air tersebut. Kekeruhan juga disebabkan oleh partikel tersuspensi, bahan organik dan mikroorganisme perairan. Kekeruhan perairan dapat bersifat permanen dan sementara. Kekeruhan yang bersifat permanen disebabkan oleh bahan-bahan yang sulit terurai seperti pencemaran oleh hidrokarbon yaitu minyak dan lemak. Sedangkan kekeruhan yang mudah terurai dapat disebabkan partikel organik yang terbawa oleh hujan, banjir, aliran drainase dan gerakan angin. Dari hasil analisis data sekunder pada tahun 1993, 1998 dan 2003, kekeruhan yang terjadi pada air waduk Saguling naik 35,90 NTU, air waduk Cirata naik 50,12 NTU 1998-2003, Jatiluhur turun 31,97 NTU 1998-2003. Pada air baku Tirta Dharma kekeruhan menurun 0,65 NTU dan PT. Thames PAM Jaya naik 97,30 NTU. 147 9 Logam Berat Logam dapat digolongkan kedalam dua kategori yaitu logam berat dan logam ringan. Logam berat adalah logam yang untuk setiap cm³ mempunyai bobot 5 gram atau lebih, bobot ini lima kali dari berat air, sehingga logam yang beratnya kurang dari 5 gram termasuk logam ringan. Jika sejumlah logam mencemari lingkungan, maka logam tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada mahluk hidup, karena beberapa jenis logam sangat berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan dalam air, tanah dan udara, karena logam tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh mahluk hidup. Logam berat merupakan suatu unsur yang mempunyai daya hantar panas dan daya hantar listrik yang tinggi serta mempunyai densitas lebih dari 5 Hutagalung, 1991 Logam berat biasanya bernomor atom 22–92 dan periode 3 sampai 7 dalam susunan berkala unsur–unsur kimia. Beberapa unsur logam berat tersebut antara lain merkuri Hg, timbal Pb, kadmium Cd, seng Zn dan tembaga Cu. Pada umumnya semua logam berat tersebar diseluruh permukaan bumi, baik di udara, tanah maupun air. Logam berat ini dapat berbentuk bahan organik, bahan anorganik terlarut yang terikat dalam suatu partikel Harahap, 1991. Logam berat yang masuk kedalam lingkungan perairan berasal dari debu–debu akibat kegiatan gunung berapi, erosi dan pelapukan tebing dan tanah, dan berbagai aktivitas manusia meliputi pertambangan batu bara, peleburan dan penyulingan minyak, penggunaan pestisida, penggunaan bahan bakar, dan sebagainya. Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan merupakan suatu proses yang erat hubunganya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Berdasarkan kegunaanya, logam berat dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu unsur–unsur tertentu dengan konsentrasi tertentu yang berfungsi sebagai haramikro yang bermanfaat bagi kehidupan organismi perairan seperti Zn, Fe, Cu dan unsur –unsur yang tidak diketahui sama sekali manfaatnya seperti Hg, Pb dan Cd Lu, 1995. Kenyataanya semua logam, termasuk logam – logam haramikro yang esensial, jika berada dalam tubuh mahluk hidup dalam jumlah yang berlebih akan bersifat racun bagi organisme Laws, 1993. 148 Logam yang dapat menyebabkan keracunan adalah jenis logam berat. Logam ini termasuk logam yang esensial seperti Cu, Zn, Se dan yang non-esensial seperti Hg, Pb, Cd, Cr dan As. Keracunan logam berat yang paling sering terjadi, biasanya dimulai dengan pencemaran lingkungan oleh logam berat, seperti penggunaan logam sebagai pembasmi hama pestisida, pemupukan maupun karena pembuangan limbah pabrik yang menggunakan logam. Logam esensial seperti Cu dan Zn dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada hewan, tetapi logam non-esensial seperti Hg, Pb, Cu dan As sama sekali belum diketahui kegunaanya walaupun dalam jumlah relatif sedikit dapat menyebabkan keracunan pada hewan Darmono, 2001. Menurut Connel 1995 ion – ion logam pada kelas B yang paling toksik menunjukkan mekanisme toksisitas yang berspektrum luas. Logam–logam ini berikatan dengan gugus SH misalnya, sistein dan kelompok yang mengandung nitrogen misalnya, lisin dan histidin imidazol lebih efektif. Selain itu logam–logam ini dapat mengganti ion–ion endogen pada garis batas misal, Zn ²+ dari metallo-enzim, yang menyebabkan enzim tidak aktif melalui perubahan secara konformasi. Logam kelas B bersama–sama dengan beberapa ion pada garis batas, membentuk ion-ion organometalik yang larut dalam lemak, sebagai contoh Hg dan Pb yang mampu menembus membran biologis dan berakumulasi di dalam sel dan organel. Logam golongan B di dalam metalo-protein bisa mengalami reaksi baik oksidasi maupun reduksi, sebagai contoh, Cu menjadi Cu 2+ dan Cu + dapat mengubah integritas secara fungsional dan struktural. Pengaruh keberadan logam berat terhadap biota umumnya digolongkan kedalam kategori, yaitu dapat menyebabkan toksisitas letal secara langsung sehingga menimbulkan kematian dan dapat mengakibatkan terjadinya toksisitas sub letal yaitu terjadinya kerusakan pada proses fisiologis atau bahkan pada perilaku suatu mahluk hidup. Ochiai 1997 dalam Connel 1995 membagi mekanisme toksisitas ion-ion logam kedalam tiga kategori yaitu dapat menahan gugus fungsi biologis yang esensial dalam biomolekul misalnya protein dan enzim, dapat menggantikan ion logam esensial dalam biomolekul, dan dapat mengubah aktivitas biomolekul. 149 Dari data sekunder kualitas air waduk tahun 1993, 1998 dan 2003, logam berat yang mengalami kenaikan kadarnya dalam air waduk Saguling antara lain Hg sebesar 0,43 mgl, nikel : 0,17 mgl dan selenium : 0,01 mgl; dalam air waduk Cirata As : 0,42 mgl, Mg : 3,11 mgl, Fe : 0,52 mgl, Mn : 0,6 mgl, Ni : 0,02 mgl, Pb : 0,02 mgl, Zn : 0,12 mgl, dalam air waduk Jatiluhur besi 0,09 mgl dan Mn 0,03 mgl. 10 Limbah Domestik Dari Tabel 33 sampai dengan Tabel 37 dapat diketahui bahwa pada periode 1993-2003 telah terjadi peningkatan pencemaran air waduk dan air baku PDAM yang bersumber dari limbah domestik. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan kadar senyawa-senyawa kimia seperti fenol, minyak dan lemak dan fecal coliform. 11 Budidaya Ikan dalam Karamba Jaring Apung Dilihat dari tingkat kesuburannya, waduk atau danau di Indonesia umumnya bersifat oligotrofik kesuburan rendah hingga mesotrofik kesuburan sedang, sehingga dilihat dari tingkat kesuburanya, maka waduk atau danau sangat potensial untuk pengembangan budidaya ikan secara intensif dalam kolam jaring apung KJA. Budidaya ikan dalam karamba adalah budidaya di perairan umum dengan menggunakan wadah yang umumnya terbuat dari jaring, pada karamba tersebut ditebar ikan kecil atau ikan muda yang berukuran sedikit lebih besar dari ukuran mata jaring. Ikan yang dipelihara di KJA biasanya diberi pakan berupa pelet yang umumnya kaya hara. Pemberian pakan pelet ini biasanya diberikan pada pagi, siang dan sore hari. KJA berada pada perairan umum yang airnya relatif sedikit mengalir dan diberikan pakan cukup banyak, sehingga ikan yang dipelihara di dalamnya tumbuh dengan cepat dan dalam waktu kurang dari tiga bulan biasanya sudah dipanen Ryding, 1989 dalam Prihadi, 2005. KJA biasanya dipergunakan untuk memelihara ikan di danausituwaduk. Di Indonesia, karamba jaring apung pertama kali digunakan di waduk Jatiluhur pada tahun 1974 untuk keperluan penelitian, dan baru pada tahun 1986 dilakukan budidaya ikan secara intensif dalam karamba jaring apung di waduk Saguling, 150 diikuti oleh petani ikan di Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, Waduk Kedung Ombo, bahkan juga budidaya di laut seperti Teluk Pare-Pare, Teluk Banten dan di Kepulauan Riau. Budidaya KJA berkembang pesat di beberapa perairan dan danau sejak tahun 1986 yakni di Jawa Barat dilakukan di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang pada tahun 1995 jumlahnya mencapai 14.215 unit, sehingga produksi ikan meningkat dari 2.654 ton pada tahun 1988 menjadi 19.000 ton pada tahun 1995 dengan peningkatan rata-rata 75 per tahun Kartamihardja, 1998. Sistem budidaya ikan pada KJA di waduk umumnya dilakukan dengan sistem insentif, dalam hal ini seluruh kebutuhan pakan ikan seluruhnya berasal dari pelet pakan komersial dengan protein tinggi yaitu lebih dari 20, dengan nilai gizi yang hampir lengkap. Budidaya ikan dalam KJA umumnya dilakukan pada jaring yang berukuran minimal 7 x 7 x 1,5 m³, padat penebarannya ikan mas 25-200 ekorm² atau 4-5 kgm². Adapun bobot awal ikan yang ditebar umumnya 60-195 gekor. Lama pemeliharaan ikan biasanya 2-6 bulan, tergantung pada keadaan dan pertumbuhan ikan, namun umumnya ikan yang dijual berukuran 220-653 gekor, sehingga konversi pakannya 1,6 - 3,4 Hardjamulia et al., 1991. Dalam beberapa tahun terakhir ini, dikembangkan terus teknologi KJA yang lebih efisien. Dalam hal ini dikenal ada dua jenis teknologi KJA, yakni teknologi KJA yang volumenya kecil ukuran mini, namun ditebar ikan dengan kepadatan yang tinggi yang menggunakan keramba jaring ukuran mini 1-10 m³ degan padat penebaran tinggi 400-500 m³. Teknologi berikutnya, adalah teknologi budidaya KJA dua lapis yang dikenal dengan KJA ganda kar ukuran mini karena pada teknologi ini digunakan dua kantung jaring yakni di sebelah atas dan lapisan bawah. Kedua jaring ini ditebar ikan namun dengan jenis yang berbeda. Dalam hal ini hanya ikan utama ikan mas yang dipelihara pada jaring lapisan atas yang diberi makan, sedang lapisan bawahnya yang biasanya ditebar ikan nila tidak diberi makan lagi, karena ikan ini akan memanfaatkan pakan yang terbuang dari jaring yang ada di bagian atasnya. Teknologi jaring ganda ini dikembangkan karena pada budidaya KJA yang dilakukan di waduk 151 yang berada di Jawa Barat teridentifikasi bahwa pakan yang terbuang ke perairan mencapai 30-40 Kartamihardja et.al, 1988. Teknologi KJA ganda ini selain digunakan untuk memanfaatkan pakan yang terbuang ke perairan, juga bertujuan untuk menekan pencemaran limbah organik yang berasal dari pakan.

6.5 Simpulan

Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas kimiawi air di tiga waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur dan dua sumber air baku PDAM Tirta Dharma Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya kadar indikator utama kimia air waduk dan intake PDAM seperti kekeruhan, BOD 5, logam berat, senyawa organik dan limbah domestik, serta turunnya DO, COD dan pH. Penurunan kualitas kimiawi air tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan penutup lahan dan peningkatan pencemaran industri dan limbah domestik yang memasuki sungai atau waduk di DAS Citarum Wilayah Hulu. 7. PERUBAHAN PRODUKSI 7.1. Latar Belakang Faktor utama yang mempengaruhi produksi energi listrik PLTA dan air minum PDAM adalah ketersedian sumberdaya air baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kuantitas debit dan volume air dalam waduk yang mencukupi setiap waktu sangat diperlukan untuk mengoperasikan alat-alat produksi seperti turbin pada PLTA dan water treatment plant WTP pada PDAM pada kapasitas yang maksimal. Kulitas air juga sangat menentukan produktivitas alat-alat produksi energi listrik PLTA dan air minum PDAM. Penurunan kualitas air pada tingkat tertentu akan menyebabkan korosif pada turbin dan masuknya partikel sedimen pada cooler-nya sehingga menyebabkan kehilangan kesempatan berproduksi pada saat pemeliharaan. Kecuali itu, tingginya sedimentasi pada sungai dan waduk akan menurunkan umur pakai bendungan PLTA. Tingginya volume sedimen pada air baku air minum PDAM akan menyebabkan intensitas pemeliharaan WTP pengerukan atau penggelontoran sehingga menyebabkan kehilangan kesempatan berproduksi dan membutuhkan tambahan waktu pada proses pengolahan air. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap produksi energi listrik PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur dan air minum PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. 7.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian perubahan produksi energi listrik dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder Bagian Produksi pada PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur serta perubahan produksi air minum pada Bagian Produksi PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Penelitian berlangsung selama 3 tiga bulan mulai bulan April 2006 sampai dengan Juli 2006. 153

7.3. Bahan Dan Metode

Bahan yang diperlukan untuk menganalisis perubahan produksi energi listrik dan produksi air minum adalah data sekunder. Jenis data sekunder dan sumbernya sebagai berikut : 1. Laporan produksi tahunan PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur 1993-2003. 2. Laporan produksi tahunan PDAM Purwakarta 1999-2003 dan PT. Thames PAM Jaya 1998-2005. 3. Laporan hasil penelitian pihak ketiga baik terhadap PLTA maupun PDAM tersebut. Pengolahan data dilakukan dengan metode regresi linear dan pendugaan potensi kehilangan produksi energi dengan menggunakan DAML hasil simulasi GR4J.

7.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Produksi

7.4.1. Produksi Energi Listrik

Produksi energi listrik PLTA selain ditentukan oleh faktor kapasitas terpasang peralatan produksi terutama turbin tetapi juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan volume air, sedimen yang masuk ke dalam partisi cooler turbin dan keputusan manajemen PJT II. Penurunan volume air, tidak beroperasinya turbin akibat pemeliharaan cooler dan pengaturan alokasi air akan meningkatkan potensi kehilangan kesempatan produksi energi listrik bagi PLTA. Perkembangan produksi energi listrik dan penurunannya secara komulatif dan uji statistik pengaruh VAK terhadap produksi energi listrik disajikan pada Tabel 39 dan 40. Dari Tabel-Tabel tersebut dapat diketahui bahwa produksi energi listrik tahun 1993 - 2003 PLTA Saguling mengalami penurunan sebesar 4,12 atau sebesar 97.163,70 MWhth, PLTA Cirata sebesar 4,69 atau sebesar 65.064,90 MWhth dan PLTA Jatiluhur sebesar 6,22 50.411,11 MWhth. Penurunan produksi energi listrik di ketiga PLTA tersebut terutama disebabkan turunnya debit dan volume air yang terdapat di dalam waduk. Faktor utama lain adalah tidak beroperasinya turbin akibat besarnya sedimen yang masuk dalam cooler 154 turbin sehingga perlu di-overhaull. Dari PLTA Saguling diperoleh informasi bahwa cooler turbin telah mengalami overhaull 1 kali padahal menurut spesifikasi teknisnya garansi perbaikan overhaull dilakukan 1 kali dalam 30 - 35 tahun. Kedua faktor ini volume air dan sedimentasi merupakan faktor utama penyebab kehilangan kesempatan produksi listrik PLTA. Pada Gambar 36 disajikan grafik produksi energi listrik di ketiga PLTA. Tabel 39. Produksi energi listrik PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur periode 1993-2003. Tahun Produksi Energi Listrik PLTA MWh Total 3 PLTA Citarum Cirata Jatiluhur MWh 1993 2,718,481.98 1,607,459.00 1,032,168.48 5,358,109.46 1994 2,875,933.60 1,488,516.00 767,316.60 5,131,766.20 1995 2,254,604.84 1,402,533.00 732,601.20 4,389,739.04 1996 2,431,664.00 1,481,659.00 506,581.64 4,419,904.64 1997 1,325,910.00 858,039.70 640,676.00 2,824,625.70 1998 2,948,197.00 1,731,667.70 969,019.50 5,648,884.20 1999 2,313,016.00 1,357,189.00 876,989.00 4,547,194.00 2000 2,263,457.00 1,292,114.10 900,984.50 4,456,555.60 2001 2,798,344.00 1,691,325.20 908,809.00 5,398,478.20 2002 2,269,604.00 1,369,796.00 1,046,210.47 4,685,610.47 2003 1,746,845.00 956,810.00 528,057.43 3,231,712.43 Total 25,946,057.42 15,237,108.70 8,909,413.82 50,092,579.94 Rata-Rata 2,358,732.49 1,385,191.70 809,946.71 4,553,870.90 Rata-rata penurunan 97.163,70 65.064,90 50.411,11 212.639,70 Laju penurunan 4,12 4,69 6,12 4,63 Keterangan : Hasil pengolahan data Berdasarkan uji-t sebagaimana pada Tabel 40 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara VAML dengan produksi listrik kecuali di PLTA Jatiluhur. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi sebesar 0,81 PLTA Saguling, 0,62 PLTA Cirata, 0,004 PLTA Jatiluhur dan 0,71 3 PLTA. Hasil uji-t menunjukkan variabel VAML berpengaruh signifikan terhadap produksi listrik di 2 PLTA, dengan nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel. Besarnya pengaruh VAML dapat dihitung dari besarnya nilai koefisien yaitu 476,28 PLTA Saguling, 219,54 PLTA Cirata, 1,01 PLTA Jatiluhur dan 306,63 3 PLTA. Dengan kata lain, setiap penambahan volume air 1 juta m 3 menyebabkan 155 1500000 3000000 4500000 6000000 7500000 9000000 1 993 1 994 1 995 1 996 1 997 1 998 1 999 2 000 2 001 2 002 2 003 Tahun P rod uksi L is tr ik M WH Saguling Cirata Jatiluhur Citarum peningkatan produksi listrik sebesar 476,28 MWh PLTA Saguling, 219,54 MWh PLTA Cirata, 1,01 MWh PLTA Jatiluhur dan 306,63 MWh 3 PLTA. Gambar 36. Rata-rata produksi listrik PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur tahun 1993-2003. Penurunan produksi energi listrik sebagaimana pada Tabel 39 disebabkan oleh penurunan volume air masuk lokal ke dalam waduk, tingginya sedimen yang mengisi partisi cooler turbin dan keputusan manajemen PJT II berkaitan dengan alokasi air Citarum. Dari Gambar 35 dan Tabel 39 dapat disimpulkan bahwa penurunan produksi energi listrik yang terbesar terjadi pada tahun 1997 dan 2002 terutama UBP Saguling dan UP. Cirata. Hal ini diduga disebabkan oleh rendahnya curah hujan pada tahun 1997 dan 2002 yang secara umum disebut El-Nino. Sedangkan pada tahun 1998 terjadi kenaikan produksi energi listrik yang terbesar dan penyebabnya diduga adalah tersedianya air dalam jumlah yang tinggi sebagai akibat curah hujan yang besar bersamaan dengan terjadinya La-Nina. Akan tetapi, bagi PLTA Jatiluhur, penurunan curah hujan pada saat El-Nino 1997 dan peningkatan curah hujan pada saat La-Nina 1998 tidak mempengaruhi tingkat produksi energi listrik secara signifikan. Hal ini disebabkan PJT II sebagai unit pengelola waduk cascade dapat meminta pengiriman air dari Waduk Saguling dan Cirata. 156 Karakteristik PEL Simulasi 1993 dan 2003 PLTA Saguling 20000 40000 60000 80000 100000 120000 1 125 249 373 497 621 745 869 993 1117 1241 1365 1489 1613 1737 1861 1985 2109 2233 2357 2481 2605 2729 2853 2977 3101 3225 3349 3473 3597 3721 3845 3969 Hari PE L M W h 1993 2003 Tabel 40. Uji-t pengaruh VAML terhadap produksi listrik. No Parameter PLTA Saguling Cirata Jatiluhur 1. Korelasi 0,813 0,629 0,004 2. R kuadrat 0,660 0,395 0,000 3. Konstanta 82.828,66 67.136,09 2907,81 4. Koefisien 476,28 219,54 1,01 5. Nilai t 15,897 9,221 0,044 6. Signifikansi 0,000 0,000 0,965 Keterangan : beda nyata pada α = 5. Untuk menduga pengaruh perubahan karakteristik hidrologis terutama debit dan volume terhadap produksi energi listrik PEL, dilakukan pendugaan dengan menggunakan DAML hasil simulasi GR4J pada kondisi penutup lahan tahun 1993 dan 2003. Perubahan karakteristik PEL tersebut memberikan gambaran tentang adanya pengaruh penutup lahan terhadap karakteristik PEL dengan karakteristik curah hujan periode 1993-2003. Pada Gambar.... disajikan dugaan perubahan karakteristik PEL harian pada PLTA UBP. Saguling dan hubungan antara DAML dan PEL hasil simulasi pada Gambar 37, sedangkan perubahan PEL ditampilkan pada Tabel 41. Gambar 37. Karakteristik PEL harian di PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan tahun 1993 dan 2003. Keterangan : UBP Saguling meningkatkan kapasitas produksinya dimulai pada tahun 1994. 157 Hubungan PEL Simulasi 1993 dan 2003 PLTA Saguling y = 0.6185x + 3275.3 R 2 = 0.7535 20000 40000 60000 80000 100000 120000 20000 40000 60000 80000 100000 120000 Series1 Linear Series1 Linear Series1 Gambar 38. Hubungan PEL harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan tahun 1993 dan 2003. Dari Gambar 38 tersebut diketahui bahwa produksi energi listrik hasil simulasi 1993 penutup lahan 1993 adalah sebesar 5,328 juta MWh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi energi listrik pada simulasi 2003 kondisi penutup lahan 2003 yaitu sebesar 4,490 juta MWh. Dengan kata lain, telah terjadi penurunan produksi energi listrik selama periode 1993-2003 sebagai akibat perubahan karakteristik hidrologis dan penutup lahan di wilayah hulu sebesar 837,396 ribu MWh setiap tahun. Penurunan produksi tersebut terjadi sebagai akibat dari peningkatan hilangnya potensi berproduksi dari waktu ke waktu baik karena penurunan debit maupun peningkatan sedimnen. Penurunan debit atau volume dan peningkatan sedimen merupakan dampak penurunan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya, PLTA Saguling tidak kehilangan kesempatan produksi energi listrik sebesar 837,396 ribu MWh setiap tahun dengan asumsi selama periode 1993-2003 kondisi penutup lahan dan karakter hidrologis tetap seperti kondisi tahun 1993. 158

7.4.2. Produksi Air Minum

Produksi air minum PDAM Tirta Dharma Purwakarta yang diteliti adalah yang bersumber air baku dari Ubrug waduk Jatiluhur. Dari sisi produksi, PDAM Tirta Dharma Purwakarta memproduksi air minum sebesar 2,35 juta m³th, dengan kenaikan rata-rata 7,2 0,17 juta m³ per tahun. Peningkatan produksi tersebut belum dapat memenuhi peningkatan kebutuhan masyarakat Purwakarta yaitu sebesar 12 per tahun. Secara grafis, kecenderungan kenaikan produksi air bersih PDAM Tirta Dharma Purwakarta disajikan pada Gambar 39. Produksi air minum PT. Thames PAM Jaya relatif stabil pada tingkat 143,5 juta m³ dengan kenaikan 0,07 10,05 juta m³ per tahun sejak 1998 sd 2005 PDAM-Jaya diakuisisi oleh PT Thames Water 1987. Secara grafis, kecenderungan produksi air bersih PT. Thames PAM Jaya disajikan pada Gambar 40. Pada Tabel 41 dan 42 disajikan data Produksi Air Minum di PT. Tirta Dharma Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya Jakarta. Tabel 41. Produksi air minum PT. Tirta Dharma Purwakarta. No Bulan Volume Air Bersih ribu m³ Total m³ 1999 2001 2003 1 Januari 132,88 228,02 208,16 569,06 2 Februari 109,24 212,31 198,74 520,28 3 Maret 151,71 215,78 219,84 587,34 4 April 131,28 209,82 224,83 565,93 5 Mei 190,15 204,31 251,78 646,23 6 Juni 153,12 219,88 257,08 630,08 7 Juli 169,28 225,57 241,24 636,09 8 Agustus 167,80 227,87 189,61 585,28 9 September 167,32 245,96 159,70 572,99 10 Oktober 176,98 222,97 165,41 565,36 11 November 187,89 215,63 174,55 578,07 12 Desember 200,39 222,60 163,21 586,21 Jumlah 1.938,04 2.650,72 2.454,15 7. 042,92 Rata-rata 161,50 220,89 204,51 586,91 Dari grafik pada gambar 39 diketahui bahwa terjadi kenaikan produksi antara tahun 1999–2001 yang disebabkan adanya penambahan sumber air baku air minum selain WTP – Ubrug dan penurunan pada tahun 2001–2003 akibat 159 1000 2000 3000 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Vo lu m e Ai r M in u m R ibuan m 3 perbaikan kolam tampung di WTP Ubrug. Akibat penurunan volume produksi ini, pihak manajemen Tirta Dharma melakukan penggantian buka–tutup pada pelanggan. Gambar 39. Rata-rata volume air bersih PDAM Purwakarta 1999-2003. Tabel 42. Produksi air minum PT. Thames PAM Jaya. No Bulan Volume Air Bersih juta m³ Rata-rata Total 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 juta m³ juta m³ 1 Jan 12,5 11,2 10,0 12,1 12,1 12,2 13,3 13,4 12,1 108,9 2 Feb 11,8 11,2 9,3 10,9 10,4 11,1 12,6 11,5 11,1 88,8 3 Mar 13,2 12,4 9,8 12,0 11,3 12,1 13,8 13,0 12,2 97,7 4 Apr 12,8 11,9 9,9 11,5 11,1 11,7 12,6 12,7 11,8 94,1 5 May 13,0 12,3 10,5 10,9 11,4 11,8 13,4 13,2 12,1 96,5 6 Jun 12,6 11,7 10,2 11,9 11,1 11,5 13,6 12,8 11,9 95,4 7 Jul 12,2 11,8 10,0 12,4 11,6 11,8 13,7 13,0 12,1 96,6 8 Aug 12,9 11,1 10,6 12,3 11,9 11,9 13,3 12,1 12,0 96,1 9 Sep 12,2 10,5 10,0 12,5 11,7 12,0 12,5 12,6 11,7 93,9 10 Oct 12,4 10,5 11,3 12,3 12,2 12,4 13,7 13,2 12,3 98,2 11 Nov 12,1 10,5 11,4 12,2 11,8 12,8 13,1 12,4 12,0 96,3 12 Dec 11,5 10,2 11,9 12,4 11,9 13,5 13,1 13,4 12,2 97,9 Jumlah 149,1 135,3 124,9 143,5 138,5 144,9 158,7 153,4 143,5 1,148,3 Rata-Rata 12,4 11,3 10,4 12,0 11,5 12,1 13,2 12,8 12,0 95,7 Laju -10,15 -8,35 12,94 -3,60 4,42 8,72 -3,48 - - 0,07 Sumber : Profil PT. Thames PAM Jaya 2006 pengolahan data. Dari Tabel 42 dan Gambar 40 dapat diketahui bahwa pada periode 1998 – 2000 terjadi penurunan produksi, 2000 – 2004 mengalami kenaikan dan menurun kembali pada tahun 2004 – 2005. Penurunan produksi pada 1998 – 2000 dikarenakan adanya konsolidasi perusahaan PDAM DKI Jaya diakuisisi oleh Thames Water Ltd, sedangkan pada periode 2004 – 2005 penurunan produksi 160 50000 100000 150000 200000 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Vo lu m e Ai r M in u m R ibuan m 3 disebabkan oleh pengalihan sumber air baku air minum dari yang semula Sungai Ciliwung menjadi Sungai Citarum Kanal Tarum Barat. Gambar 40. Rata-rata volume air minum produksi PT. Thames PAM Jaya 1998- 2005.

7.5. Simpulan

Rata-rata per tahun produksi energi listrik adalah sebesar 2,36 juta MWh PLTA Saguling, 1,39 juta MWh PLTA Cirata, 0,81 juta MWh PLTA Jatiluhur dan 4,55 juta MWh 3 PLTA. Laju penurunan produksi energi listrik rata-rata per tahun adalah 4,12 atau 97,16 ribu MWh PLTA Saguling, 4,69 atau 65,06 ribu MWh PLTA Cirata dan 6,22 atau 50,41 ribu MWh PLTA Jatiluhur dan 4,67 atau 212,64 ribu MWh total 3 PLTA. Penurunan produksi energi listrik memiliki hubungan yang kuat dan secara nyata sangat dipengaruhi oleh penurunan VAML. Potensi produksi energi listrik yang hilang sebagai akibat penurunan volume air berdasarkan simulasi GR4J bagi PLTA Saguling sangat besar yaitu 837,396 ribu MWh per tahun selama periode 1993–2003. Rata-rata produksi air minum PDAM Purwakarta adalah sebesar 2,35 juta m³ dengan kenaikan 7,2 dan PT. Thames PAM Jaya sebesar 143,5 juta m³ dengan kenaikan 0,07 per tahun. 8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN 8.1. Latar Belakang Perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terutama debit, volume, sedimentasi dan pencemaran kimiawi air menyebabkan hilangnya kesempatan berproduksi, peningkatan intensitas pemeliharaan peralatan produksi energi listrik PLTA turbin dan cooler-nya dan menurunkan umur pakai waduk. Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan akibat kenaikan biaya pemeliharaan dan kehilangan kesempatan berproduksi energi listrik PLTA. Bagi PDAM, faktor utama yang menyebabkan peningkatan biaya adalah semakin tingginya sedimen dan pencemaran kimiawi air baku air minum. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan WTP dan peningkatan biaya pengolahan air karena peningkatan penggunaan bahan kimia. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap biaya lingkungan atau biaya eksternalitas pengguna air Citarum PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur, PDAM Purwakarta dan DKI Jakarta.

8.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian perubahan biaya lingkungan dilakukan dengan menggunakan data sekunder di bagian Akuntansi UBP Saguling dan Bagian Keuangan PT. Thames PAM Jaya. Penelitian berlangsung pada bulan April 2006 sampai dengan Juli 2006. Untuk mengetahui kesanggupan masyarakat willingness to pay masyarakat, dilakukan survey sosial ekonomi terhadap penduduk yang berada di sekeliling Waduk Saguling yang paling terikat dengan keberadaan waduk yang meliputi empat Kecamatan yaitu Kecamatan Batujajar, Kecamatan Cipongkor, Kecamatan Cililin, dan Kecamatan Cihampelas, di Kabupaten Bandung. 162 8.3. Bahan Dan Metode 8.3.1. Bahan Bahan yang diperlukan untuk menganalisis perubahan biaya lingkungan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan adalah sebagai berikut : 1. Laporan produksi tahunan PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur 1993-2003. 2. Laporan produksi tahunan PDAM Purwakarta 1999-2003 dan PT. Thames PAM Jaya 1998-2005. 3. Laporan biaya pemeliharaan peralatan produksi dan harga jual produksi energi 2005 UBP Saguling. 4. Laporan pemeliharaan peralatan WTP dan penggunaan bahan kimia oleh PDAM Purwakarta 1988-2003 dan PT. Thames PAM Jaya 1998-2005. 5. Laporan hasil penelitian pihak ketiga baik terhadap PLTA maupun PDAM tersebut.

8.3.2. Metode Perhitungan Biaya Marginal Lingkungan PLTA dan PDAM

Untuk menghitung potensi kerugian ekonomi yang ditanggung oleh PLTA dan PDAM sebagai akibat kerusakan lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu, maka dilakukan perhitungan dengan rumus :

a. Biaya Lingkungan Produksi Listrik PLTA:

BLPL = BKP + BP , keterangan : BLPL = biaya lingkungan produksi listrik Rp MWh BKP = biaya kehilangan produksi Rp MWh BP = biaya pemeliharaan Rp MWh a1. Biaya Kehilangan Produksi BKP = P t+1 – P t x HP , keterangan : BKP = biaya kehilangan produksi Rp MWh P t = Produksi listrik pada tahun t MWh P t+1 = Produksi listrik pada tahun t+1 MWh t = tahun HP = harga penjualan Rp MWh 163

a.2. Biaya Pemeliharaan Turbin dan peralatan lain

BPT = JPT x BP, keterangan : BPT = biaya pemeliharaan turbin Rptahun, JPT = jumlah pemeliharaan turbin kalitahun, BP = biaya pemeliharaan Rpkali

b. Biaya Lingkungan Produksi Air PDAM:

BLPA = BPK PA, keterangan : BLPA = biaya lingkungan produksi air Rp m³, BPK = biaya penggunaan bahan kimia Rp, PA = produksi air m³.

c. Pendugaan biaya lingkungan denga penggunaan simulasi GR4J hasil validasi.

8.3.3. Metode Perhitungan Kesediaan Membayar Metode contingent valuation method CVM digunakan untuk menilai ekonomi barang publik air dengan menanyakan langsung kepada masyarakat seberapa besar kesediaan membayar willingness to pay - WTP sebagai akibat kerusakan lingkungan. Kesedian membayar merupakan gambaran dari tingkat preferensi dan pendapatan individu Pearce et al, 1994. Dalam penelitian ini CVM menyangkut dua hal yaitu kesediaan pengguna jasa membayar air WTP khusunya pada musim kemarau dan persepsi dari perilaku masyarakat pengguna jasa lingkungan terhadap bentuk kesediaan membayar kompensasi lingkungan. Kuesioner yang digunakan dalam CVM meliputi : 1. Deskripsi rinci tentang jasa lingkungan yang divaluasi, persepsi penilaian publik, kesedian membayar WTP dan alat pembayaran. 2. Karakteristik sosial demografis responden seperti usia, pendidikan, pendapatan, dan lain-lain. Pada CVM ini, masyarakat yang menjadi responden adalah masyarakat di 4 kecamatan Batujajar, Cipongkor, Cililin dan Cihampelas Kabupaten Bandung yang berada di sekeliling Waduk Saguling dan dipilih secara purposive dengan jumlah populasi contoh sebanyak 120 responden 30 respondenKecamatan. Pengolahan data kuesioner menggunakan fungsi logit dengan alat bantu software SPSS dengan rumus-rumus Jordan dan Elnagleeb, 1993 Pearce et al, 1994. 164 8.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Biaya Lingkungan 8.4.1. Potensi Kerugian Ekonomi PLTA a. Kerugian akibat kehilangan kesempatan produksi Untuk mengetahui pengaruh penurunan kualitas lingkungan terhadap biaya produksi PLTA dilakukan perhitungan terhadap 1 besarnya biaya hilangnya kesempatan produksi opportunity cost akibat rendahnya volume air waduk, berhenti beroperasi selama pemeliharaan dan keputusan manajemen PJT II, 2 besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan berupa biaya pemeliharaan peralatan utama produksi dan 3 biaya penggunaan bahan kimia terutama dalam penanganan gas H 2 S dan pencegahan peralatan masinalpipa dari karat. Pada Tabel 43 disajikan nilai penjualan listrik dan potensi kerugian ekonomi PLTA, selama 10 tahun akibat penurunan produksi listrik. Tabel 43. Nilai penjualan energi listrik di PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur 1993-2003 . No. Tahun Pendapatan Rp. Miliar Total Saguling Cirata Jatiluhur Rp. Miliar 1 1993 450,32 266,28 170,98 887,58 2 1994 476,4 246,57 127,11 850,08 3 1995 373,48 232,33 121,36 727,17 4 1996 402,81 245,44 83,92 732,17 5 1997 219,64 142,13 106,13 467,9 6 1998 488,37 286,85 160,52 935,74 7 1999 383,15 224,82 145,27 753,24 8 2000 374,94 214,04 149,25 738,23 9 2001 463,55 280,17 150,54 894,26 10 2002 375,96 226,91 173,3 776,17 11 2003 289,36 158,5 87,47 535,33 Jumlah 4297,98 2524,04 1475,85 8297,87 Rata-rata 390,72 229,45 134,168 754,35 Rata-rata penurunan Rp 16,097 10,776 8,35 35,223 Rata-rata penurunan 4,11 4,69 6,22 4,67 Diasumsikan harga berdasarkan harga jual energi listrik UBP Saguling kepada P3B yaitu Rp 165,65kwh 2005. Dari Tabel 43 diketahui bahwa selama 1993-2003 ketiga PLTA mengalami penurunan penjualan pendapatan yang hilang yang cukup tinggi, yaitu sebesar Rp. 16,097 miliar PLTA Saguling, Rp. 10,776 miliar PLTA Cirata, Rp. 8,35 miliar PLTA Jatiluhur dan Rp. 35,223 miliar 3 PLTA setiap tahun. Pendapatan 3 PLTA hasil penjualan energi listrik disajikan pada Gambar 41. 165 Nilai Penjualan di 3 PLTA - 200 400 600 800 1,000 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 Tahun Penda p at an R p M il ia r Saguling Cirata Jatiluhur Total Gambar 41. Grafik pendapatan PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur 1993 – 2003. Untuk menduga pengaruh perubahan PEL terhadap pendapatan pada kondisi penutup lahan 1993 dan 2003 dilakukan simulasi perubahan pendapatan dengan menggunakan PEL hasil simulasi dikali dengan harga penjualan PEL UBP Saguling kepada P3B yaitu sebesar Rp. 165,65,-kWh atau Rp. 165.650,- per MWh. Karakteristik pendapatan harian sebagai akibat perubahan PEL harian periode simulasi 1993-2003 disajikan pada Gambar 42, sedangkan hubungan pendapatan hasil simulasi tahun 1993 dan 2003 pada Gambar 43. Dari gambar tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan PLTA UBP Saguling tahun 1993 sebesar Rp 882,323 miliar lebih besar dibandingkan dengan pendapatan tahun 2003 yaitu sebesar Rp 743,926 miliar. Artinya, PLTA UBP Saguling mengalami penurunan pendapatan atau kerugian sebesar Rp 138,617 miliar setiap tahun. Potensi keuntungan yang hilang tersebut merupakan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan produksi energi listrik dengan trend yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kondisi penutup lahan dan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu selama periode 1993-2003 dapat dipertahankan seperti pada kondisi 1993 tidak mengalami degradasi menjadi seperti tahun 2003 maka PLTA Saguling tidak mengalami kerugian atau kehilangan keuntungan opportunity benefit sebesar Rp 138,617 miliar setiap tahun sebagai akibat kehilangan kesempatan berproduksi. 166 Karakteristik Pendapatan Harian PLTA Saguling Tahun 1993-2003 - 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 1 11 21 9 32 8 43 7 54 6 65 5 76 4 87 3 98 2 10 91 12 00 13 09 14 18 15 27 16 36 17 45 18 54 19 63 20 72 21 81 22 90 23 99 25 08 26 17 27 26 28 35 29 44 30 53 31 62 32 71 33 80 34 89 35 98 37 07 38 16 39 25 Hari P e n dapat a n R p M il iar 1993 2003 Hubungan Pendapatan Harian PLTA Saguling Tahun 1993-2003 y = 0.6182x + 5E+08 R 2 = 0.753 - 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 16,000 18,000 20,000 - 2, 000 4, 000 6, 000 8, 000 10, 000 12, 000 14, 000 16, 000 18, 000 20, 000 M ill io n s Millions Series1 Linear Series1 Gambar 42. Karakteristik pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan1993 dan 2003. Keterangan: UBP Saguling meningkatkan kapasitas produksinya dimulai pada tahun 1994. Gambar 43. Hubungan pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan1993 dan 2003.

b. Biaya pemeliharaan

Untuk menjaga kontiunitas produksi energi listrik pada tingkat tertentu diperlukan pemeliharaan terhadap peralatan produksi terutama turbin dan water cooler , pembelian bahan kimia tertentu dan pemeliharaan waduk. Pemeliharaan turbin dan water cooler dilakukan satu kali dalam 7-10 tahun dan pemeliharaan 167 waduk dilakukan rutin setiap tahun. Pada Tabel 44 disajikan biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA. Tabel 44. Biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA Saguling yang diduga paling rentan terhadap perubahan kualitas air. No. Komponen Biaya Besar Rp juta Tahun Jumlah 1999-2000 2001-2002 2003-2005 Rp 1 Pembersihan sampah dan Gulma, 1.869,37 1.143,53 2.882,86 5.895,76 pemeliharaan Trassboom dan penanggulangan erosi 2 Penelitian Kualitas Air Triwulan 76,82 188,31 237,58 502,71 I, II, III dan IV 3 Pekerjaan Retubing Air Cooler, 183,05 1.752,87 245,39 2.181,31 Generator dan perbaikannya 4 Pengadaan, Penggantian, dan 1.200,90 1.310,17 440,43 2.951,50 Perbaikan Air Cooler Generator 5 Pengadaan Oil Cooler Lower - 4.444,15 698,50 5.142,65 Fin Ring Air Cooler, Tube, Belzone 6 Penggantian spare part dan - - 413,80 413,80 pemeliharaan turbin 7 Rebuilt Coating Spiral Case - - 1.887,49 1.887,49 Stay Vane Stay Ring 2 8 Pengadaan Tyristor Stack - 193,88 - 193,88 dan Toprogge Jumlah 3.330,14 9.032,90 6.806,04 19.169,08 Rata-Rata 2.738,44 Sumber : Bagian Akutansi UBP Saguling, 2006.

c. Biaya Eksternalitas

Biaya eksternalitas adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan PLTA untuk mempertahankan kegunaan sumberdaya air pada tingkat tertentu. Besarnya biaya eksternalitas tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penghasil sumberdaya air di DAS Citarum Wilayah Hulu. Biaya eksternalitas meningkat apabila terjadi penurunan volume air, peningkatan sedimen yang memasuki partisi cooler sehingga tidak beroperasi yang kedua-duanya menyebabkan kesempatan tidak berproduksi PLTA semakin besar, peningkatan biaya pemeliharaan dan kebijakan manajemen PJT II dalam mengalokasikan air. Pada Tabel 45 disajikan biaya eksternalitas 3 PLTA baik berdasarkan pengamatan maupun simulasi kondisi penutup lahan 1993 dengan asumsi biaya pemeliharaan ketiga PLTA sama dengan biaya pemeliharaan UBP Saguling. 168 Tabel 45. Biaya eksternalitas rata-rata per tahun 3 PLTA. No Uraian Biaya Biaya Eksternalitas PLTA miliar Rpth Jumlah Rp Saguling Cirata Jatiluhur Perhitungan 1. Kehilangan kesempatan berproduksi 16,097 10,776 8,35 35,223 2. Pemeliharaan peralatan produksi, pengadaan bahan kimia dan pemeliharaan waduk. 2,738 5,4761 4,080 12,294 Total 18,855 16,252 12,43 47,517 Simulasi perubahan penutup lahan 1993 dan 2003 1. Potensi kehilangan kesempatan berproduksi 138,617 92,770 71,904 303,318 2. Pemeliharaan peralatan produksi, pengadaan bahan kimia dan pemeliharaan waduk. 2,738 5,476 4,080 12,294 Total 141,355 98,246 75,984 315,612 Keterangan : = biaya pemeliharaan per unit turbin PLTA UP. Cirata dan Jatiluhur didasarkan pada total biaya pemeliharaan UBP. Saguling dibagi dengan jumlah turbin 4 turbin. = didasarkan pada hasil simulasi PLTA Saguling secara proporsional. Asumsi biaya pemeliharaan pada simulasi tetap. Besarnya biaya eksternalitas tersebut diduga akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang sebagai akibat penurunan pendapatan dan peningkatan biaya pemeliharaan. Penurunan pendapatan disebabkan oleh peningkatan besarnya kehilangan kesempatan berproduksi, baik sebagai akibat penurunan volume air masuk lokal, peningkatan sedimentasi dan waduk maupun peningkatan frekuensi pemeliharaan alat utama produksi turbin dan cooler. Apabila diasumsikan bahwa biaya perawatan alat utama produksi energi listrik turbin di ketiga PLTA adalah sama seperti PLTA Saguling, maka total biaya pemeliharaannya adalah sebesar Rp 12,294 miliar per tahun. Besarnya total kerugian akibat penurunan pendapatan adalah Rp. 47,517 milyar per tahun Rp. 35,223 miliar + Rp 12,294 miliar. Apabila dibandingkan dengan produksi energi listrik dan volume air yang digunakan masing-masing PLTA diperoleh hasil sebagaimana pada Tabel 45. Dengan demikian, kerugian ekonomi yang di derita 3 PLTA sebagai akibat penurunan produksi energi listrik dan peningkatan biaya pemeliharaan adalah Rp. 47,517 miliar per tahun. 169 Untuk menduga potensi kerugian PLTA sebagai akibat perubahan penutup lahan dilakukan pengurangan pendapatan hasil simulasi penutup lahan tahun 1993 dengan penutup lahan tahun 2003 dengan hasil sebagaimana pada Tabel 46. Dari tabel tersebut diketahui bahwa potensi kerugian atau potensi keuntungan yang hilang sebagai akibat perubahan penutup lahan sangat besar yaitu Rp.141,355 miliar PLTA Saguling, Rp.98,246 miliar PLTA Cirata, Rp.75,984 miliar PLTA Jatiluhur dan Rp.315,612 miliar 3 PLTA setiap tahun dengan asumsi volume air masuk lokal yang tersedia dan turbin dioperasionalkan secara memaksimal oleh PLTA serta biaya pemeliharaan tetap. Potensi kerugian tersebut merupakan nilai guna manfaat sumberdaya air yang hilang sebagai akibat perubahan penutup lahan dari tahun 1993-2003. Dengan kata lain, dengan mempertahankan penutup lahan pada kondisi 1993, ketiga PLTA telah mendapatkan potensi keuntungan opportunity benefit yang sangat besar. Besarnya perbedaan antara kerugian menurut perhitungan aktual dengan hasil simulasi model GR4J diduga disebabkan tidak maksimalnya PLTA beroperasi, penurunan DAML dan VAML dan kebijakan alokasi air oleh manajemen PJT-II selama peride 1993-2003. Dengan membagi biaya kerugian terhadap produksi energi listrik dan air yang digunakan oleh PLTA, diperoleh biaya marjinal lingkungan environmental marginal cost atau biaya eksternalitas bagi pengguna air Citarum. Hasil analisis terhadap Tabel 46 didapatkan informasi bahwa secara umum potensi kerugian ketiga PLTA sebagai akibat degradasi kualitas jasa lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar Rp. 47,517 - Rp. 315,612 milyar setiap tahun atau sebesar Rp. 2.789,11 - Rp. 10.434,42 per MWh listrik yang dihasilkan atau Rp. 3,60 – Rp. 16,95 per m³ air yang digunakan. Besarnya potensi kerugian yang dialami oleh ketiga PLTA Rp. 315,612 miliar per tahun diperkirakan disebabkan oleh perubahan penutup lahan dan karakteristik hidrologis periode 1993 -2003. 170 Tabel 46. Biaya marginal lingkungan PLTA berdasarkan perhitungan per tahun. No Uraian PLTA 3 PLTA Saguling Cirata Jatiluhur 1. Potensi PEL MWhth 2,358,732.49 1,385,191.70 809,946.71 4,553,870.90 2. Potensi VAML m³th 2,590,570,000 5,092,340,000 5,520,160,000 13,203,070,000 3. Potensi kerugian Rpth 18,835,440,000 16,252,000,000 12,430,000,000 47,517,000,000 4. BML per unit output 3 : 1 RpMWh 7,985.41 11,732.67 15,346.69 10,434.42 5. BML per m³VAML 3 : 2 Rpm³ 7.27 3.19 2.25 3.60 Simulasi 1993 No Uraian PLTA 3 PLTA Saguling Cirata Jatiluhur 1. Potensi PEL MWhth 58,611,796.53 34,420,424.71 20,126,246.61 113,158,467.85 2. Potensi VAML m³th 3,652,598,448.64 7,179,992,505 7,783,201,323.36 18,615,792,277.10 3. Potensi kerugian Rpth 141,355,000,000 98,246,139,840 75,984,823,880 315,611,797,800 4. BML per unit output 3 : 1 RpMWh 2,411.72 2,854.30 3,775.41 2,789.11 5. BML per m³VAML 3 : 2 Rpm³ 38.70 13.68 9.76 16.95 Keterangan : PEL = Produksi energi listrik, VAML = volume air masuk lokal, BML = Biaya marginal lingkungan. Dengan kata lain, apabila kondisi penutup lahan dan karakteristik hidrologis tidak berubah seperti kondisi tahun 1993, maka ketiga PLTA akan mendapatkan potensi keuntungan sebesar potensi kerugiannya. Biaya tersebut merupakan compensation variation dan equivalent variation ketiga PLTA dalam upaya mempertahankan utilitas sumberdaya air sebagai energi pembangkit pada tingkat produksi yang ditetapkan. Dengan kata lain, biaya tersebut merupakan willingness to pay wilayah hilir pengguna jasa atas perbaikan kualitas lingkungan wilayah hulu penyedia jasa. Secara grafik, biaya marjinal lingkungan 3 PLTA seperti pada Gambar 44. 171 P e r ba ndinga n BML S a guling Ta hun 1993 da n 2003 - 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 P r oduksi MWh 2003 1993 P e r ba ndinga n BML Cir a t a Ta hun 1993 da n 2003 - 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 P r oduksi MWh 2003 1993 P e r ba ndinga n BML J a t iluhur Ta hun 1993 da n 2003 - 50,000 100,000 150,000 200,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 P r oduksi MWh 2003 1993 P e r ba ndinga n BML Cit a r um 3 P LTA Ta hun 1993 da n 2003 - 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000 400,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 P r oduksi MWh 2003 1993 Gambar 44. Biaya marginal lingkungan 3 PLTA. 8.4.2. Kerugian Ekonomi PDAM Komponen biaya yang diteliti dalam pengolahan air baku menjadi air bersih minum adalah 1 pemeliharaan peralatan produksi dan 2 penggunaan bahan kimia. Tabel 47. Biaya pemeliharaan WTP Ubrug PDAM Tirta Dharma. No Tahun Komponen Biaya Biaya 1 1988 Reposisi level pompa intake 2.255.000 2 1993 Pencucian pasir di WTP 104.741.000 3 1994 Pengangkutan kapasitor instalasi 814.939.000 pengelolaan air bersih IPA PDAM Kab. Purwakarta 4 1995 Pengawasan proyek pengangkutan kapasitor instalasi 49.071.000 pengelolaan air bersih IPA PDAM Purwakarta 5 1996 Pencucian pasir di WTP 5.790.000 6 1998 Pencucian pasir di WTP 11.961.000 7 2002 Evaluasi up-rating WTP, pengawasan pekerjaan 49.500.000 up-rating WTP dan assesment WTP Ubrug 8 2003 Up-rating WTP lanjutan PDAM Purwakarta 724.725 Total Biaya Pemeliharaan WTP Ubrug 1.038.981.725 Rata-rata per tahun 41.559.269 Sumber : Laporan keuangan PDAM Tirta Dharma 1999-2003. 172 Pada Tabel 47 dan 48 disajikan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Tirta Dharma Purwakarta sumber air baku dari Ubrug setiap tahun sebesar Rp 41.559.000,- laju kenaikan sebesar 4,0 per tahun. Penggunaan bahan kimia oleh PDAM Tirta Dharma Purwakarta mengalami kenaikan 1999- 2003 antara 0.93 sodium, -56 asam sulfat. Penggunaan bahan kimia yang semakin meningkat, menunjukkan penurunan kualitas air yang diproses PDAM. Tabel 48. Pemakaian bahan kimia pembantu umum dalam pengolahan air bersih PDAM Purwakarta. No Bulan Bahan Kimia Kg 1999 2001 2003 Chor Kaporit Shodium Alum Shodium Alum Sulfat 1 Januari - 15 930 4.740 2.520 5.675 2 Februari - 30 1.770 4.865 1.930 6.300 3 Maret - 30 1.810 3.930 2.335 6.955 4 April - 11 1.125 6.230 2.375 8.175 5 Mei - 60 1.470 5.515 2.220 7.225 6 Juni - 95 1.465 4.320 2.335 6.325 7 Juli - - 2.325 3.700 2.330 6.300 8 Agustus - - 2.765 3.823 3.380 6.750 9 September - - 2.520 4.150 1.410 8.400 10 Oktober - - 2.638 4.200 1.500 10.450 11 November - - 2.226 3.850 1.095 10.500 12 Desember - - 1.974 3.900 1.210 11.100 Jumlah - 241 23.018 53.223 24.640 94.155 Rata-Rata - 40 1.918 4.435 2.053 7.846 Sumber : Bagian keuangan PDAM Purwakarta. PT. Thames PAM Jaya mengalami kenaikan komponen biaya bahan kimia sebesar Rp. 87,317 juta per tahun selama kurun waktu 1998-2005 atau laju kenaikan biaya untuk pengadaan bahan kimia sebesar 10,61 per tahun atau Rp 64,00,- per m³ biaya produksi air minum. Peningkatan penggunaan bahan kimia oleh PT. Thames PAM Jaya Jakarta menunjukkan semakin rendahnya kualitas air baku dari Tarum Kanal BaratCitarum yang diproses. Kesediaan PDAM untuk membayar biaya marginal tambahan sebesar tersebut merupakan avoid cost untuk mempertahankan utility sumberdaya air pada tingkat tertentu. Biaya marginal lingkungan tersebut dikompensasi oleh PDAM dari pendapatannya. 173 200 400 600 800 1000 1200 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Ju m la h B ia y a B a ha n K im ia hhh h R p m 3 Dari Tabel 49, Gambar 45 dan Tabel 50 dapat disimpulkan bahwa tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh PT. Thames PAM Jaya persatuan produksi m 3 terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terutama pada periode 2003-2006, yang mana pada periode tersebut produksi air minum relatif menurun. Kondisi ini mengindikasikan adanya peningkatan pencemaran air baku air minum air dari Sungai Citarum-Kanal Tarum Barat. Peningkatan pencemaran tersebut terutama disebabkan penurunan kualitas lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu. Tabel 49. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005. Sumber : Bagian keuangan PT. Thames PAM Jaya Unit Pabuaran, 2006. Gambar 45. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi tahun 1998-2005. No BLN Biaya Bahan Kimia 1000 m³ Rp juta 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 Jan 437,44 646,85 689,99 793,88 1.092,85 701,84 1.167,91 1.133,86 2 Feb 460,76 557,98 551,25 566,61 772,11 735,58 901,61 1.189,19 3 Mar 625,63 658,13 654,12 801,45 821,34 811,46 941,26 1.355,27 4 Apr 553,49 638,29 692,18 939,50 1.011,89 764,85 1.262,71 1.140,14 5 May 502,54 803,95 783,03 787,49 722,15 824,27 1.122,38 1.044,20 6 Jun 870,54 524,26 686,82 957,57 718,26 692,67 858,63 1.132,02 7 Jul 882,73 544,26 827,95 926,27 826,72 676,36 974,41 1.009,80 8 Aug 850,70 546,63 709,68 718,00 684,84 685,07 916,84 1.026,04 9 Sep 619,51 495,42 627,76 967,81 636,81 693,59 949,98 1.011,83 10 Oct 837,97 821,43 672,22 1.115,08 649,74 907,48 1.071,40 1.389,21 11 Nov 562,45 617,06 779,82 1.001,84 711,76 836,50 1.140,17 1.188,63 12 Dec 599,73 675,06 678,50 781,58 731,48 792,32 1.338,52 1.195,93 Jumlah 7.803,48 7.529,32 8.353,30 10.357,08 9.379,96 9.121,99 12.645,82 13.816,13 Rata-rata 650,29 627,44 696,11 863,09 781,66 760,17 1.053,82 1.151,34 174 Peningkatan penggunaan bahan kimia sebagai akibat degradasi kualitas air baku air minum PT. Thames PAM Jaya meliputi pemakaian alum sulfat cair, PAC, gas klor, karbon aktif, kapur padam, proestol TR 611, magnoflok LT 20, dan magnoflok LT 7994. Tabel 50. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005. No Bulan Biaya Bahan Kimia Rpm³ Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 Januari 35,03 57,90 68,76 65,79 90,25 57,59 87,79 84,46 2 Februari 39,16 49,82 59,36 52,05 74,28 65,99 71,64 103,44 3 Maret 47,57 52,87 66,94 66,62 72,52 67,02 69,81 103,95 4 April 43,36 53,73 70,05 81,66 91,56 65,30 100,04 89,64 5 Mei 38,69 65,32 74,86 72,23 63,28 69,83 83,63 78,91 6 Juni 69,26 44,79 67,02 80,51 64,94 60,16 63,20 88,19 7 Juli 71,57 46,02 82,39 74,76 70,96 57,44 71,30 77,90 8 Agustus 65,92 49,44 67,07 58,21 57,43 57,40 69,05 78,28 9 September 50,77 47,37 62,78 77,34 54,52 57,86 75,84 80,57 10 Oktober 67,61 77,89 59,29 90,49 53,30 73,04 77,99 105,09 11 November 46,3 58,74 68,59 82,11 60,56 65,12 86,96 95,96 12 Desember 52,29 65,94 57,04 62,89 61,25 58,59 102,51 89,17 Jumlah 627,53 669,83 804,15 864,66 814,85 755,34 959,76 1075,56 Rata-rata tahun 821,46 Laju 42,3 134,32 60,51 -49,81 -59,51 204,42 115,8 Laju rata-rata 64,004 Sumber : Bagian keuangan PT. Thames PAM Jaya Unit Pabuaran, 2006. Tabel 51. Sidik ragam Anova penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya. No Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Nilai Tengah Kuadrat F Hitung Signifikansi 1. Antar Kelompok 11.954,764 7 1.707,823 16,001 0,000 2. Dalam Kelompok 9.285,734 87 106,733 3. Total 1.240,498 94 Keterangan : berbeda nyata pada α = 5 Dari hasil sidik ragam anova sebagaimana pada Tabel 53 dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung yang lebih besar dari F-tabel dan nilai signifikansi lebih kecil dari 5. Secara grafis biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM ditampilkan pada Gambar 46. 175 Biaya Marginal Lingkungan 2 PDAM - 100 200 300 400 500 600 700 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Produksi Air Minum M 3 BM L Rp Tirta Dharma Thames PAM Jaya Gambar 46. Biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM Tirta Dharma dan PT. Thames PAM Jaya.

8.4.3. Kesediaan Membayar Masyarakat Hulu

Untuk mengetahui nilai jasa air bagi masyarakat hulu, dilakukan survey contingent valuation method CVM terhadap 120 Kepala Keluarga di 4 Kecamatan yang merupakan wilayah hulu DTA Saguling

8.4.4. Karakteristik Responden

Pengguna jasa lingkungan disebut hilir dan penyedia disebut hulu. Dengan definisi tersebut, masyarakat di sekitar waduk Saguling juga merupakan pengguna jasa lingkungan yang disediakan oleh DTA Sub DAS wilayah hulu berupa air. Pengguna jasa lingkungan air yang lain adalah PLTA, PDAM, industri, hotel dan restoran, rumah tangga, instansi pemerintah, dll. Pada penelitian ini, jasa lingkungan yang dimaksud berupa air minum. Ketersediaan air minum sangat tergantung oleh kondisi lingkungan di DAS hulu Citarum. Sehingga masyarakat hilir yang menggunakan jasa lingkungan secara tidak langsung mempunyai kewajiban dalam membayar kompensasi untuk rehabilitasi wilayah hulu melalui masyarakat. Menurut Leimona 2004, masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau dengan mengelola lahan merupakan ujung tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok masyarakat ini diistilahkan dengan ”masyarakat penyedia jasa lingkungan” environmental services providers, yang atas usaha perlindungan dan pengelolaannya dapat dikategorikan sebagai pelindung guardian dan pengelola stewardship. Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan 176 serta gagalnya pendekatan di masa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan recognition and reward. Prinsip dasar dari konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha yang telah mereka lakukan, di lain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan. Masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam penelitian ini terdiri atas masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling tersebar di 4 Kecamatan dengan total responden 120 kepala keluarga 40KKKecamatan. Masyarakat hilir yang menjadi responden merupakan masyarakat yang mengambil jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dan usia. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling. Berikut karakteristik responden masing-masing Kecamatan.

a. Jenis kelamin

Responden dalam penelitian ini adalah para penduduk yang menggunakan jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Banyaknya responden masing-masing Kecamatan adalah 40 KK dan ternyata lebih dari 95 115 KK adalah laki-laki dan perempuan kurang dari 5 5 KK. Hal ini disebabkan bahwa responden pada umumnya adalah kepala keluarga.

b. Tingkat pendidikan

Berdasarkan data yang didapat, dapat dilihat bahwa persentase tingkat pendidikan yang paling tinggi adalah SD 97 KK, SMP 15 KK , SMU 4 KK, tidak sekolah 3KK dan PT 1KK. Kondisi tersebut dapat dipahami karena 4 Kecamatan wilayah studi adalah wilayah pedesaan yang masih tergolong daerah tertinggal.

c. Tingkat pendapatan

Berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan rata-rata Rp 100.000 – Rp 300.000 per bulan 177 56 KK, Rp 300.000 keatas 40 KK dan 24 KK berpenghasilan kurang dari Rp 100.000 per bulan.

d. Jumlah tanggungan

Jumlah tanggungan 2-4 orangKK merupakan yang tertinggi yaitu 101 KK, 5 - 7 orangKK 2 KK, kurang dari 2 orangKK 7 KK.

e. Usia

Kelompok usia dibagi menjadi 5 golongan yaitu usia dibawah 30 tahun, usia antara 30-40 tahun, usia antara 40-50 tahun, usia antara 50-60 tahun dan usia diatas 60 tahun. Distribusi jumlah KK pada setiap golongan umur dari tertinggi sampai terendah adalah 41 KK 30 - 40 th, 30 KK 30 th, 22 KK 50 - 60 th, 21 KK 40 - 50 th dan 6 KK 60 th.

f. Kebutuhan dan sumber air bersih responden

Di wilayah studi ditemukan bahwa 72 KK sebagian besar masih menjadikan sumur sebagai sumber air minum, 25 KK mata air, 23 KK sumur dan mata air dan tidak ada responden yang menjadikan waduk sebagai sumber air minumnya. Hal ini disebabkan oleh masih tersedianya air tanah permukaan walaupun pada waktu musim kemarau. Kebutuhan air minum per KK responden bervariasi antara ≤ 30 m³bln - ≥ 90 m³bln. Sebagian besar responden yaitu 52 KK membutuhkan 71 - 90 m³bln, 28 KK membutuhkan 51-70 m³bln, 9 KK membutuhkan ≥ 91 m³bln dan 6 KK membutuhkan ≤ 30 m³bln.

g. Mata pencaharian responden

Sebagian besar yaitu 53 KK responden memiliki mata pencaharian sebagai petani, 21 KK sebagai pedagang, 14 KK sebagai buruh, 10 KK sebagai penambang pasir, 10 KK sebagai pengojek, 9 KK sebagai petambak dan 3 KK sebagai peternak. Walaupun jumlah KJA di waduk Saguling sangat besar lebih dari 12.000 KJA, namun masyarakat setempat yang memiliki tidaklah banyak hanya sekitar 7, yang lainnya hanya sebagai buruh KJA.

h. Kesediaan membayar masyarakat hulu DTA Saguling

Kepada responden ditanyakan berapa rupiah mereka bersedia membayar jika kualitas air ditingkatkan. Hasil kuesioner adalah 72 KK menyatakan sebesar ≤ Rp 20m³, 28 KK sebesar Rp 20m³ – Rp 40m³, 17 KK sebesar Rp 40m³ – Rp 178 50m³, dan 3 KK sebesar Rp 80m³ – Rp 100m³. Secara umum kesediaan membayar yang dinyatakan adalah rata-rata sebesar Rp 28,33m³air bersih.

8.4.5. Persepsi Terhadap Jasa Lingkungan

a. Dampak perubahan iklim terhadap perubahan hujan.

Selama periode 1850 sampai 1990 diperkirakan sebesar 270 Gt karbon telah dilepaskan ke atmosfer. Sekitar 40 dari karbon yang dilepaskan berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan industri 67 dan konversi lahan 33, sedangkan 60 berasal dari proses alami. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk sekaligus aktivitas manusia dalam mengkonsumsi energi maka akan semakin menigkat pula konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer. Meingkatnya gas rumah kaca di atmosfer, diikuti dengan perubahan penigkatan iklim global. Studi yang dilakukan LAPAN dalam Boer et all 2003, menunjukkan bahwa apabila konsentrasi CO2 dinaikkan 2 kali lipat dari kondisi saat ini, maka diperkirakan kejadian El Nino and Shoutern Oscilallation ENSO, yang terjadi sekali dalam 3-7 tahun akan menigkat menjadi sekali dalam 2-5 tahun. Kejadian ENSO menyebabkan tingkat resiko terhadap kejadian kekeringan akan semakin besar. Di Indonesia berdasarkan data hujan bulanan historis 1931-1990 yang dibagi menjadi 2 periode yaitu tahun 1931-1960 dan 1961-1990, diperoleh kecenderungan bahwa curah hujan di wilayah selatan Indonesia, khususnya Lampung, Jawa dan sebagian kawasan Timur akan semakin basah, sebaliknya hujan pada musim kemarau akan semakin kering. Berdasarkan data hujan tahunan, secara umum wilayah selatan Indonesia, khususnya Jawa Barat cenderung basah. Berdasarkan kajian Boer dan Subbiah 2003 menunjukkan bahwa dari 43 kejadian kekeringan yang telah terjadi di Indonesia sejak tahun 1844, hanya 6 yang tidak bersamaan kejadian fenomenal ENSO. Hal ini menunjukkan perubahan hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Berdasarkan hasil analisis oleh Boer 2004 menunjukkan bahwa pada tahun 2000 dengan tingkat pengambilan air permukaan 10 dari total jumlah aliran per tahun, hampir semua kecamatan yang ada di DAS Citarum mengalami 179 kekurangan air. Pada tahun 2020, banyaknya kecamatan yang akan mengalami kekurangan air akan semakin bertambah. Dengan meningkatkan tingkat pengambilan air permukaan 10 menjadi 25 sebagaian besar kebutuhan air kecamatan dapat dipenuhi kecuali beberapa kecamatan seperti Bandung, Karawang, Bekasi dan Sumedang. Namun demikian, tingkat pengambilan air 25 dari total sudah jauh melampaui debit andalan sehingga resiko kekurangan air, khususnya pada musim kemarau akan tetap tinggi. Sementara itu, berdasarkan data yang didapatkan dari Purwakarta dan DKI Jakarta akan terjadi penigkatan terhadap permintaan air minum. Di Kota Purwakarta didapatkan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan terhadap air minum mulai tahun 2000 sebanyak 2900 m³. Keadaan ini diproyeksi sampai dengan kebutuhan tahun 2006 sebanyak 5500 m³. Hal ini menunjukkan akan terjadi peningkatan permintaan air minum seiring dengan pertambahan waktu dan peningkatan jumlah penduduk. Keadaan ini juga terjadi di Kota Jakarta, namun terjadi permintaan akan air minum yang lebih banyak pada Kota Jakarta sebanyak 7500 m³ pada tahun 2006. Pada Tabel 52 disajikan neraca kebutuhan air di DAS Citarum. Tabel 52. Neraca kebutuhan air DAS Citarum. Uraian 1990 2005 2025 m³det 10 6 m³ m³det 10 6 m³ m³det 10 6 m³ 1. Sumber Citarum Sungai Lain 182,33 60,25 5.750,00 1.900,00 182,33 61,83 5.750,00 1.950,00 182,33 63,42 5.750,00 2.000,00 7.650,00 7.700,00 7.750,00 2. Kebutuhan Irigasi Industri Air minum Perikanan Penggelontoran Beban puncak listrik 177,33 7,91 9,77 1,00 2,00 9,51 5.591,71 249,45 308,11 31,54 63,07 300,00 175,00 15,00 21,30 10,00 10,00 3,17 5.518,80 473,04 671,72 315,36 315,36 100,00 168,00 25,00 45,00 20,00 15,00 5.298,05 788,40 1.419,12 630,72 473,04 6.543,88 7.394,28 8.609,33 3. Neraca Sumber Kebutuhan 242,58 207,49 7.650,00 6.543,88 244,16 234,47 7.700,00 7.394,28 245,75 273,00 7.750,00 8.609,33 1.106,12 305,72 859,33 Sumber : PJT II Jatiluhur 2002. 180 Jelaslah bahwa permintaan air untuk pertanian, industri dan rumah tangga terus meningkat, sementara suplai air dari Citarum terus menurun. Pada kondisi ini konflik penggunaan air akan meningkat pula. Keadaan ini juga menunjukkan bahwa peningkatan permintaan air seiring dengan konflik antara pengguna air akan meningkat dan kelangkaan akan air akan menjadi permasalahan yang serius. Hernowo 2001 memperkirakan pada tahun 2010, DAS Citarum tidak akan lagi dapat memenuhi permintaan air. Berdasarkan data yang didapat dari PJT II Jatiluhur, didapatkan bahwa pada tahun 2025 secara umum akan terjadi defisit air untuk berbagai kebutuhan yang berasal dari DAS Citarum hulu. Keadaan akan kurangnya ketersediaan air pada masa yang akan datang dapat mulai diantisipasi dengan memperbaiki kondisi lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu. Persentase persepsi terhadap ketersediaan air yang cenderung buruk di Jakarta Utara dan sedang di Purwakarta menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan air minum mulai merasa kurangnya ketersediaan air. Kurangnya ketersediaan air minum khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kualitas lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air minum Jasa Tirta II, 2002. Sehingga jelaslah untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air minum, khususnya pada saat musim kemarau perlu dilakukan perbiakan lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu.

b. Tanggapan responden terhadap keberadaan Waduk Saguling

Responden di 4 Kecamatan sebagian besar atau 97 117 KK menyatakan keberadaan waduk Saguling sangat penting bagi mereka dan sangat sedikit 3 KK yang menyatakan tidak penting. Akan tetapi hanya 52 KK 43 yang selalu berpartisipasi dalam upaya perbaikan lingkungan hulu DTA, sedangkan 68 KK 57 tidak berpartisipasi. Hal ini, dikarenakan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh UBP Saguling dalam upaya peningkatan kualitas lingkungan tidak mengikutkan semua wargapenduduk di wilayah 181 sekitar waduk. UBP Saguling membentuk kader-kader pelestari lingkungan di setiap desaKecamatan di seluruh wilayah DTA Saguling.

c. Hasil analisa logit kesediaan membayar kompensasi perbaikan

lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu. Intepretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai resiko oddsnya. Rasio odds adalah ukuran asosiasi yang memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh peubah-peubah penjelas terhadap respon. Jika suatu peubah penjelas mempunyai tanda koefisien positif, maka nilai rasio oddsnya akan lebih besar dari satu, sebaliknya jika tanda koefisien negatif, maka nilai rasio oddsnya akan lebih kecil dari satu. Hosmer, 1989. Pada hasil analisis regresi logit kesediaan masyarakat dalam membayar perbaikan lingkungan di hulu DTA Saguling ada tiga variabel yang signifikan yaitu kebutuhan air, jumlah tanggungan dan pendapatan, sedangkan pendidikan dan umur tidak signifikan Tabel 53. Tabel 53. Hasil Analisa Logit WTP. Variabel Masyarakat DTA Hulu Koefisien Signifikansi Rasio Odds X1 Kebutuhan Air 0,05735 0,017 1,06 X2 Jumlah Tanggungan -1,1831 0,005 0,31 X3 Pendapatan 0,00065 0,000 1,00 X4 Pendidikan -0,0749 0,578 0,93 X5 Umur 0,0491 0,437 1,02 nyata pada α = 52 , R = 83 .

d. Persepsi terhadap ketersediaan air minum

Koefisien positif pada persepsi seseorang terhadap ketersediaan air minum menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang maka akan semakin tinggi pula kesediaan dalam membayar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesediaan membayar sebesar 1,06 kali pada persepsi yang lebih baik. Bentuk kesediaan dalam membayar yang dinyatakan dengan terdapatnya peluang membayar, dapat diartikan sebagai bentuk mulai dirasakannya kurangnya ketersediaan air minum terutama pada saat musim kemarau. Keadaan ini dikarenakan kondisi lingkungan yang semakin memburuk sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan air. Apabila kondisi ini dibiarkan 182 maka akan berakibat defisitnya sumber air sehingga tidak tecukupinya kebutuhan akan air.

e. Pendapatan

Koefisien yang positif terdapat pada pekerjaan. Keadaan ini menunjukkan bahwa pekerjaan seseorang sebagai petani lebih mempunyai peluang membayar yang lebih besar dibandingkan dengan mata pencaharian lain. Keadaan ini diasumsikan karena masyarakat yang mempunyai pekerjaan sebagai petani mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi dan stabil dibandingkan dengan yang mempunyai pekerjaan lain. Dari hasil analisis logit diketahui bahwa peluang membayar sebagai petani 1,00 kali lebih besar dibandingkan dengan profesi lainnya.

f. Jumlah tanggungan

Lain halnya kondisi jumlah tanggungan yang mempunyai koefisien negatif -1,1831. Keadaan ini menunjukkan semakin banyak jumlah tanggungan seseorang maka akan semakin rendah keinginan seseorang dalam membayar kompensasi. Nilai ratio odd sebesar 0,31 dapat diartikan semakin sedikit jumlah tanggungan responden maka keinginan membayar akan semakin besar 3 kali.

8.5. Simpulan

Kerugian ekonomi yang menjadi tambahan biaya marginal cost akibat kerusakan lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu masing-masing PLTA per tahun adalah sebesar Rp. 18,835 miliar atau Rp. 7.985MWh atau Rp. 7,27m 3 PLTA Saguling, Rp. 16,252 miliar atau Rp. 11.732MWh atau Rp. 3,19m 3 PLTA Cirata, Rp 12,430 miliar atau Rp 15.346MWh atau Rp 2,25m³ PLTA Jatiluhur dan Rp. 47,517 miliar atau Rp. 10.434MWh atau Rp. 3,60m 3 3 PLTA. Biaya bahan kimia yang dikeluarkan oleh PDAM Tirta Dharma adalah sebesar Rp 212,43 per m³ air minum yang diproduksi dan PT. Thames PAM Jaya sebesar Rp 821,46 per m³ air minum yang diproduksi dengan kenaikan marjinal per tahun Rp 64,0 per m³. Kesediaan membayar masyarakat hulu Sub DAS Saguling untuk peningkatan kualitas sumberdaya air adalah sebesar Rp 28,33m³ air yang digunakan. 9. PEMBAHASAN UMUM 9.1. Perubahan Tutupaan Lahan dan Karakteristik Hidrologis Masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya air adalah kuantitas, kualitas, penyebaran dan waktu aliran. Kekeringan dan banjir merupakan dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi terutama hujan. Pembangunan waduk, kecuali untuk PLTA juga dimaksudkan untuk menampung aliran air hujan ketika musim hujan di wilayah hulu dan mengalirkannya kembali pada musim kemarau, sehingga pasokan air untuk irigasi di wilayah hilir dapat stabil pada kuantitas tertentu. Pengelolaan vegetasi di wilayah hulu DAS juga dapat menurunkan aliran sedimen yang masuk kedalam waduk sehingga meningkatkan umur pemanfaatan service life waduk. Vegetasi hutan juga dapat mengatur aliran air stream regulator yaitu dengan menyimpan air selama musim hujan dan mengalirkannya pada musim kemarau. Perubahan tataguna lahan DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1992–2002 telah menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologis berupa terjadinya kecenderungan penurunan debit dan volume air air masuk lokal dan air keluar, fluktuasi debit air masuk lokal yang ditandai dengan meningkatnya rasio Q max-min dan peningkatan laju sedimentasi dari tahun ke tahun. Dengan demikian, kondisi ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu telah mengalami degradasi yang cukup kritis ditandai dengan tingginya laju perubahan penutup lahan dan pengalihan fungsi tataguna.

9.1.1. Perubahan Penutup Lahan dan Curah Hujan

Sebagaimana diuraikan pada Bab 5, pada periode pengamatan 1993 – 2003 secara keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu mengalami penurunan jumlah CH yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 8,21 mmth. Pada periode yang sama, musim kemarau April-September di wilayah DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki CH bulanan rata-rata sebesar 118,35 mm dengan simpangan baku 45,08 mm, dan musim hujan Oktober-Maret, CH bulanan rata-rata sebesar 246,09 mm dengan simpangan baku 43,85 mm. Adanya kecenderungan penurunan curah 184 hujan dan kaitannya dengan perubahan penutup lahan land cover akibat perubahan tata guna lahan land use tersebut dapat diterangkan sebagai berikut. Perubahan penutup lahan vegetasi di Pulau Jawa telah berlangsung sejak awal abad lalu akibat konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain. Dampak perubahan penutup lahan dalam skala luas ini nampak dari perubahan fungsi hidrologis DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti dengan penurunan hasil air DAS Pawitan, 2004. Penggundulan hutan secara luas di suatu DAS akan menurunkan kelembaban dengan berkurangnya evapotranspirasi dan menyebabkan penurunan curah hujan lokal. Penelitian di Amazon Asdak, 2004 menunjukan bahwa 50 dari total hujan di wilayah hutan berasal dari hasil evapotranspirasi hutan yang ada di wilayah tersebut.

9. 1. 2. Perubahan Penutup Lahan, Debit dan Volume Air