Perbandingan peningkatan hasil belajar fisika antara siswa yang menggunakan model pembelajaran problem based learning dengan cooperative learning

(1)

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: S U L A E M A N NIM 105016300617

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H / 2011 M


(2)

(3)

(4)

(5)

Pembelajaran Problem Based Learning Dengan Cooperative Learning. Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Terdapat sebuah paradigma yang berkembang di masyarakat yang cenderung mengatakan bahwa fisika merupakan pelajaran yang sulit dan membosankan. Dalam usaha mengubah paradigma tersebut, dilakukanlah penelitian ini yang menerapkan Problem Based Learningdan Cooperative Learning . Diharapkan pada akhir penelitian ini, siswa tidak lagi menganggap fisika itu sulit dan membosankan serta dapat meningkatkan hasil belajar mereka pada materi yang bersangkutan. Penelitian ini dilakukan di Kelas VIII 1 menggunakan Problem Based Learning dan Kelas VIII 2 menggunakan Cooperative Learning MTs Daarul Hikmah pada materi Getaran dan Gelombang. Pemilihan kedua kelas ini berdasarkan teknik purpossive sampling dan pengujian kehomogenan kedua kelas. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes berupa soal-soal pilihan ganda dan instrumen nontes. Data hasil instrumen tes, dianalisis dengan uji analisis statistik berupa uji perbandingan nilai posttest kedua kelas, sedangkan data hasil instrumen nontes dianalisis secara kualitatif dan digunakan untuk mendeskripsikan tingkat ketercapaian proses pembelajaran. Berdasarkan analisis data hasil penelitian, diperoleh bahwa perbedaan hasil belajar kedua kelas tidak signifikan. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t terhadap kedua nilai posttest. Hasilnya adalah nilai thitung= 2,3176 sedangkan nilai ttabel pada taraf signifikansi 5% adalah 1,9973. Terlihat bahwa nilai thitung > ttabel pada taraf signifikansi 5%. Salah satu hal yang diduga menyebabkan temuan ini adalah bahwa masing-masing model mempunyai keunggulan yaitu pada Problem Based Learning unggul dalam hal pengajaran keterampilan pemecahan masalah sedangkan pada Cooperative Learning unggul dalam hal sistematika proses pembelajaran.


(6)

Education Departement, Faculty of Tarbiya and Teaching Training State Islamic University of Syarif Hidayatullah jakarta, 2011.

There is a paradigm in our society that says physics subject is the difficult subject and boring. In part of the effort to change the paradigm, a research was done that applied learning model

Problem Based Learning (PBL) and Cooperative Learning (CL). In the end of the research, that was hoped that students not more again say that physics is difficult and boring, so we can develop achievement significantly in corresponding lesson. The research was done in VIII 1 class (that used PBL) and VIII 2 class (that used CL) of State Islamic Junior High School (MTs) Daarul Hikmah of Vibration and Wave material lesson. Defining these two classes as sample of research based on purposive sampling technique and homogeneity test of these two classes. Instrument these were used in the research are test instrument that is multiple choices achievement test and non-test instrument. Data that is got from test instrument will be analyzed by comparison statistical test, that is comparison between posttest result both of classes, in other side data that is got from observational sheet will be analyzed qualitatively and be used to explain degree of learning process filling. Based on result of the analysis, we get conclusion that difference between both of posttest result of classes, is not significant. The conclusion is based on result of statistical test of hypothesis that used t test in both of result form classes. The result is, thitung= 2,3176, in other side ttable price in degree of significance 5% is 1,9973. Can be seen that thitung > ttabel in degree of significance 5%. Some things that estimate motive this result are each model have advantage, Problem Based Learning teach problem solving skill and Cooperative Learning

systematical learning processes.

Key word : Model Problem Based Learning, Model Cooperative Learning, Physics, Result of the analysis.


(7)

i

qolam, yang mengajarkan manusia segala sesuatu yang belum diketahuinya. Selawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang dijadikan sebagai teladan terbaik bagi segenap manusia, juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya yang selalu menjaga kemurnian sunnah-nya.

Pemilihan judul skripsi ini didasarkan pada asumsi bahwa belum terdapat penelitian yang membandingkan Problem Based Learning dan Cooperative Learning sekaligus, setidaknya itulah yang diketahui peneliti. Dengan asumsi tersebut, maka dengan tekad yang kuat, terlaksanalah penelitian ini, walaupun dengan segala keterbatasan dan kekurangannya.

Apresiasi dan terima kasih yang setinggi-tingginya, disampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Semoga menjadi amal baik dan dibalas Allah dengan balasan yang lebih baik. Secara khusus, apresiasi dan terima kasih tersebut disampaikain kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Baiq Hana Susanti, M. Sc, Ketua Jurusan Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Nengsih Juaeningsih, M. Pd, Sekretaris Jurusan Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Iwan Permana Suwarna M. Pd, Ketua Program studi Fisika.

5. Bapak Drs. Ahmad Sofyan, M. Pd, dan Ibu Diah Mulhayatiah, S. Si M. Pd, Dosen pembimbing I dan II, terima kasih atas bimbingannya, saran, dan pengarahan yang diberikan.

6. Ayahanda H. Sukardi dan Hj. Uun Unaijah, yang kasih sayangnya kepada peneliti tak terbatas, semoga Allah selalu menyayangi engkau berdua sebagaimana engkau berdua menyayangi peneliti.


(8)

ii

dalam penyelesaian skripsi ini, trima kasih atas gebrakannya dan doanya. 9. Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Fisika Angkatan 2005, yang menjadi

keluarga kedua bagi peneliti. Lebih khusus kepada Khaerul Anwar terima kasih dukungan ekonominya, Amrizaldi, Arip Rahman F, Ferdi terima kasih dukungan kebersamaannya, Ade Yusman terima kasih yang telah memberikan Ilmunya, Samsul Bahri terima kasih atas tumpangan kosannya, Muammar dan Kasim.

10.Teman-teman satu kelompok Dian, Dini, Sunarto, yang telah mendoktrin perjuangan saya.

11.Siswa –siswi di MTs Daarul Hikmah pekayon Tangerang (khususnya kelas VII-1 dan VII-2) yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

12.Bapak H. Abdul Khaer Nawawi, Lc, Kepala MTs Daarul Hikmah Pekayon Tangerang, yang telah memberikan izin penelitian dan menjadi konsultan terbaik selama eksperimen, dan seluruh aktivitas akademik MTs Daarul Hikmah Pekayon Tangerang.

Penelitian ini masih memerlukan perbaikan. Karenanya. Diharapkan para semua pihak dapat memberikan saran konstruktif demi perbaikan itu. Atas hal itu, semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang lebih baik, jazákum ahsan al-jazâ’.

Ciputat, Januari 2011 M


(9)

iii

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Batasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 4

F. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORETIS, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS ... 6

A. Kajian Teoretis ... 6

1. Proses Belajar Mengajar ... 6

a. Pengertian Belajar ... 6

b. Pendekatan, strategi, metode, teknik dan model pembelajaran ... 6

2. Pembelajaran Kontekstual (CTL) ... 7

3. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning, PBL) ... 12

4. Model Pengajaran Kooperatif ... 19

a. Definisi dan Landasan Teori ... 19


(10)

iv

c. Tahap-tahap Pembelajaran Kooperatif ... 25

d. Macam-macam pembelajaranKooperatif ... 29

5. Hasil Belajar Fisika ... 31

6. Getaran dan Gelombang ... 34

a. Getaran ... 34

b. Gelombang ... 35

c. Periode dan Frekuensi Gelombang ... 36

d. Cepat Rambat Gelombang ... 36

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 37

C. Kerangka Pikir ... 39

D. Hipotesis ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 42

B. Metode Penelitian ... 42

C. Desain Penelitian ... 42

D. Variabel Penelitian ... 43

E. Populasi dan Sampel ... 44

F. Teknik Pengumpulan Data ... 44

1. Variabel Bebas ... 44

2. Variabel Terikat ... 44

G. Instrumen Penelitian ... 45

1. Instrumen Tes ... 45

2. Uji Validitas ... 45

3. Perhitungan Reliabilitas ... 46

4. Taraf Kesukaran dan Daya Pembeda ... 48


(11)

v

2) Uji Homogenitas ... 52

3) Uji Hipotesis ... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Hasil Pretest Kelas PBL dan Kelas CL ... 56

B. Hasil Posttest Kelas PBL dan Kelas CL ... 57

C. Rekapitulasi ... 59

D. Nilai Normal Gain (N-Gain) ... 59

E. Analisis Data ... 60

1. Uji Prasyarat Analisis Statistik ... 60

a. Uji Normalitas ... 60

b. Uji Homogenitas ... 61

2. Uji Hipotesis ... 62

F. Pembahasan Hasil Penelitian ... 63

BAB V PENUTUP ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 66


(12)

vi

Lampiran 1C Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas CL ... 90

Lampiran 1D Lembar Kerja Siswa Kelas CL ... 104

Lampiran 2A Kisi-kisi Instrumen Tes ... 115

Lampiran 2B Bentuk Soal, Kunci Jawaban, dan Aspek Kognitif yang diukur ... 117

Lampiran 3A Uji Validitas ... 128

Lampiran 3B Perhitungan Reliabilitas ... 131

Lampiran 3C Perhitungan Derajat Kesukaran ... 132

Lampiran 3D Daya Beda ... 135

Lampiran 3E Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes ... 137

Lampiran 3F Analisis Butir Soal Instrumen Tes Validitas ... 138

Lampiran 3G Analisis Butir Soal Instrumen Tes Reliabilitas ... 139

Lampiran 3H Analisis Butir Soal Instrumen Tes Taraf Kesukaran ... 140

Lampiran 3I Analisis Butir Soal Instrumen Tes Daya Pembeda ... 141

Lampiran 3J Rakapitulasi Uji Coba Instrumen Tes ... 142

Lampiran 4 Hasil Pretest Kelas PBL ... 143

Lampiran 5 Hasil Pretest Kelas CL ... 147

Lampiran 6 Hasil Posttest Kelas PBL ... 151

Lampiran 7 Hasil Posttest Kelas CL ... 155

Lampiran 8 Nilai Normal Gain (N-Gain) Kelas PBL ... 159

Lampiran 9 Nilai Normal Gain (N-Gain) Kelas CL ... 160

Lampiran 10 Uji Normalitas Hasil Belajar (Posttest) ... 162

Lampiran 11 Uji Homogenitas Hasil Belajar (Posttest) ... 166

Lampiran 12 Uji Hipotesis ... 169

Lampiran 13A Tabel Chi Square ... 171

Lampiran 13B Tabel Uji F ... 172


(13)

(14)

viii

Gambar 2.3 Kerangka Pikir ... 40

Gambar 4.1 Histogram Tes Hasil Belajar (Pretest) Kelas PBL dan CL .... 56

Gambar 4.2 Histogram Tes Hasil Belajar (Posttest) Kelas PBL dan CL ... 57


(15)

ix

Tabel 2.3 Kriteria Penilaian Pembelajaran Kooperatif ... 25

Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 43

Tabel 3.2 Kategori Reliabilitas ... 47

Tabel 3.3 Kategori Derajat Kesukaran ... 49

Tabel 3.4 Kategori Daya Beda ... 50

Tabel 4.1 Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 59

Tabel 4.2 N-Gain kelas VIII Kelompok PBL dan CL ... 59

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kai Kuadrat ... 61


(16)

1

Ilmu fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam. Ilmu fisika jugamerupakan bagian ilmu pengetahuan yang bersinggungan dengan biologi dan kimia. Oleh karena itulah ilmu fisika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang penting untuk dipelajari. Akan tetapi sampai saat ini masih banyak siswa yang beranggapan bahwa pelajaran fisika merupakan mata pelajaran yang sulit untuk dipelajari. 1

Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan anggapan bahwa fisika itu sulit dan membosankan. Pertama, guru mata pelajaran fisika cenderung menggunakan metode ceramah. Dimana guru sibuk menjelaskan rumus-rumus tanpa memperhatikan kondisi siswa. 2 Kedua, guru jarang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya pada teman sebaya mengenai hal yang tidak dimengerti. Ketiga, sebagian besar guru fisika hanya menjelaskan rumus tanpa teori pendukungnya. Keempat, guru jarang memperhatikan proses dari penyelesaian soal, baginya hal terpenting adalah jawaban yang benar. 3

Untuk mengatasi hal diatas diperlukan adanya suatu model yang dapat menarik minat siswa untuk mempelajari ilmu fisika. Model yang digunakan harus sesuai dengan tujuan pembelajaran serta jenis materi yang diajarkan. Kurang tepatnya menggunakan model pembelajaran, dapat menimbulkan kebosanan, monoton, atau bahkan siswa kesulitan dalam memahami konsep yang diajarkan. Kurang tepatnya menggunakan model pelajaran, dapat menimbulkan kebosanan, monoton, atau bahkan siswa memahami konsep-konsep fisika khususnya pa

1

Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010), h. 137

2

I Wayan Distrik, Model Pembelajaran Aktif dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Aktivitas Konsepsi dan Hasil Belajar Fisika Siswa SMAN 13 BandarLampung, artikel diakses pada tanggal 8 September 2009 dari http://pustakailmiah.unila.ac.id/2009/07/16/model- pembelajaran-Aktif-dengan-pendekatan-kontekstual-untuk-meningkatkan-aktivitas-konsepsi-dan-hasil-belajar-fisika-siswa-sman-13-bandar-lampung/

3

Nyoman Subratha, “Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif dan Strategi Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VII C SMP Negeri Sukasada”, (Jurnal Penelitian dan Pengembangan, Lembaga Penelitian Undiksha, 2007), h.137


(17)

konsep getaran dan gelombang ini, diperlukan adanya suatu model pembelajaran yang dapat memberikan kontribusi positif terhadap proses belajar siswa. Model pembelajaran tersebut mempunyai adil yang cukup besar dala, kegiatan belajar mengajar.

Saat ini banyak sekali model-model pembelajaran yang bermunculan. Model-model tersebut mengharuskan adanya suatu perubahan lingkungan belajar. Suatu variasi dimana siswa belajar, bekerja, dan berinteraksi di dalam kelompok-kelompok kecil sehingga siswa dapat saling bekerja sama, saling membantu berdiskusi dalam memahami materi pelajaran maupun mengerjakan tugas kelompok. Diantara model pembelajaran yang sering digunakan oleh guru dalam menyajikan pelajaran kepada siswa adalah seperti model Direct Instruction, model Problem Based Learning, model Cooperative Learning, model Sains Teknologi Masyarakat, model pembelajaran terpadu dan lain-lain. Masing-masing model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan.

Pada penelitian akan dilakukan dua jenis model pembelajaran, yaitu model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dan model pembelajaran (Cooperative Learning). Kedua model pembelajaran ini dianggap akan mampu memberikan solusi terhadap permasalahan diuraikan pada penjelasan di atas.

Pada model pembelajaran Problem Based Learning, siswa disarankan untuk mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan, PBL memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar sendiri. Pada tahun 1997, The Cognition and Technology Group at Vanderbilt mengembangkan sebuah program tentang pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang dinamai

The Jasper Project. Program ini menyediakan beberapa kaset cakram padat (videodisc) berbasis masalah yang didesain untuk mengembangkan kemampuan fisika siswa kelas lima ke atas. Tetapi ternyata hal ini sekaligus membantu siswa untuk menghubungkannya dengan konsep-konsep pelajaran lain.4

4

John W Santrock, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua,diterjemahkan oleh Tri Wibowo, (Jakarta : Kencana, 2010) Cet ke-3, h. 375


(18)

Dalam hal ini, siswa lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan guru. Sedangkan pada model pembelajaran

Cooperative learning, siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Model ini sejalan dengan salah satu prinsip CTL yaitu learning community. Dimana lingkungan pembelajarannya dicirikan oleh proses demokratis dan peran aktif siswa dalam menentukan apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya.

Berdasarkan karakteristik Problem Based Learning dengan Cooperative Learning yang telah disebutkan di atas, maka konsep fisika yang sesuai dengan karakteristik tersebut adalah konsep getaran dan gelombang akan lebih mudah dipahami dengan pengamatan terhadap masalah dan pembelajaran aktif.

Oleh karna itu permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan Peningkatan Hasil Belajar Fisika Antara Siswa Yang Menggunakan Model Pembelajaran Problem Based Learning dengan Cooperative Learning.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah pada penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut

1. Model pengajaran yang digunakan guru umumnya hanya ceramah, jarang sekali menggunakan model yang bervariasi.

2. Model bervariasi yang dapat membangkitkan keaktifan siswa dalam pembelajaran fisika belum banyak digunakan.

3. Sebagian besar guru belum mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, sehingga siswa kurang termotivasi dan merasa bosan dalam belajar fisika.


(19)

C. Batasan Masalah

Semua permasalahan yang diuraikan di atas tidak mungkin untuk diteliti semua karena keterbatasan penelitian ini. Disamping itu, semua variabel dalam penelitian ini tidak memungkinkan untuk dikontrol semua. Oleh karena itu, dalam penelitian perlu dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Perbandingan antara kedua model yang digunakan dilihat dari hasil belajar. Hasil belajar fisika yang dimaksud dalam penelitian ini hanya merupakan hasil tes kognitif saja. Ranah kognitif yang dinilai berdasarkan taksonomi Bloom yang sudah direvisi oleh Madaus, dkk.5 Ranah kognitif yang akan diukur pada penelitian ini adalah dari mulai C1 sampai dengan C6 (menurut Bloom) atau dari C1 sampai dengan C5 (menurut Madaus, dkk).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini hanya dibatasi pada penerapan model PBL dan Active Learning. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar hanya dijadikan sebagai acuan pengambilan kesimpulan saja.

3. Konsep yang diberikan kepada masing-masing kelompok selama eksperimen adalah konsep getaran dan gelombang yang diajarkan di kelas VIII.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut di atas, maka masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: “Apakah terdapat perbedaan hasil belajar fisika antara siswa yang menggunakan model problem based learning dengan cooperative learning ?”

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan hasil belajar fisika antara yang menggunakan Problem Based Learning dengan yang menggunakan Cooperative Learning.

5

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h.117 – 121.


(20)

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak yang terlibat langsung terhadap penelitian ini.

1. Memberikan informasi mengenai model-model pembelajaran yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

2. Memberikan informasi mengenai model yang dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa.


(21)

6

1. Proses Belajar Mengajar a. Pengertian belajar

Sebagian besar ahli berpendapat bahwa belajar merupakan proses perubahan, dimana perubahan tersebut merupakan hasil dari pengalaman. Beberapa definisi belajar menurut ahli adalah sebagai berikut:

1) Hilgard mengungkapkan, belajar adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah.1

2) Gagne (1984), belajar adalah suatu proses di mana suatu individu berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman.2

3) Dimyati dan Mudjiono menyatakan jika seseorang melakukan proses belajar, maka akan terjadi perubahan mental pada diri seseorang.3

b. Pendekatan, strategi, metode, teknik, dan model pembelajaran

Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna. Istilah-istilah tersebut adalah pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik pembelajaran, dan model pembelajaran.

1) Pendekatan pembelajaran adalah sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang bersifat umum.4

1

Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta : Kencana, 2008), Cet ke-4, h.89

2

Kinkin Suartini, Slide Perkuliahan Strategi Pembelajaran , h.7

3

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), h. 5

4


(22)

2) Strategi pembelajaran adalah sebuah perencanaan yang dilakukan oleh guru untuk membuat siswa mencapai tujuan pembelajaran.5

3) Metode pembelajaran adalah proses atau prosedur yang digunakan oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.6

4) Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir dan disajikan secarakas oleh guru.7

Untuk lebih jelasnya, istilah-istilah di atas dapat divisualisasikan sebagai berikut :

Gambar 2.1Bagan Model Pembelajaran

2. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL)

Pembelajaran konvensional yang berorientasi pada penguasaaan materi dianggap gagal menghasilkan siswa yang aktif, kreatif, dan inovatif. Umumnya siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran konvensional hanya dapat mengingat pelajaran yang mereka terima dalam

5

Wina Sanjaya,Strategi Pembelajaran, (Jakarta : Kencana, 2006), Cet ke-5, h. 126

6

Ibid, h. 126

7


(23)

jangka pendek saja. Pembelajaran konvensional gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, belakangan ini para pakar pendidikan mulai berpikir untuk menggantikan model pembelajaran konvensional yang dianggap sudah tidak efektif lagi. Mulailah para pakar pendidikan mengembangkan model-model pembelajaran yang lebih memanusiakan siswa yang tidak lagi menganggap mereka hanya sebagai objek belaka melainkan juga sekaligus dianggap sebagai pelaku pembelajaran atau subjek. Diantara model yang paling populer adalah model pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL).8

Dasar pemikiran dari pendekatan pembelajaran kontekstual ini adalah fakta yang menunjukkan kecenderungan bahwa siswa akan belajar secara lebih baik jika lingkungan belajarnya diciptakan secara alami. Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami sendiri hal yang dipelajarinya, bukan hanya mengetahuinya. Untuk menciptakan kondisi alami tersebut, maka model pembelajaran yang diterapkan harus sesuai dengan karakter pelajarannya. CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang digagas oleh Mark Baldwin dan dikembangkan oleh Jean Piaget. Menurut filsafat konstruktivis, hakikat pengetahuan bukanlah hasil pemberian orang lain seperti guru, melainkan hasil dari proses mengonstruksi yang dilakukan setiap individu. Oleh karena itu, belajar tidak hanya menghafal, melainkan juga proses konstruksi pengetahuan dari pengamalan. Jadi, CTL memandang bahwa pengetahuan itu akan bermakna ketika ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan hasil dari pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.9

Sebagaimana model pembelajaran lain, pembelajaran kontekstual mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan pembelajaran lain. Adapun karakteristik pembelajaran kontekstual adalah kerjasama, saling

8

Kunandar, Guru Profesional : Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), Edisi Revisi, h.293

9

Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta : Kencana, 2008), Cet ke-4, h.111-113


(24)

menunjang, menyenangkan dan tidak membosankan, belajar dengan bergairah, integratif, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing

dengan teman, siswa kritis dan guru kreatif, dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain, dan laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa, dan lain-lain10

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru menghubungkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong mereka untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authenticassessment).11 Dalam pengertian lain, pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru menghubungkan antara materi pelajaran yang diajarkannya dengan dunia nyata siswa dan mendorong mereka untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.12Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan menghubungkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan dan ditransfer dari satu permasalahan ke permasalahanlainnya atau dari satu konteks ke konteks lainnya.

10

Akhmad Sudrajat, “Model Pembelajaran Kontekstual”, artikel diakses pada tanggal 26 Oktober 2008 dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/29/pembelajaran-kontekstual/, h.7

11

Ibid, h.5-7

12


(25)

Ketujuh komponen CTL seperti yang disebutkan oleh Sudrajat di atas, dijelaskan secara mendetail kembali, sebagai berikut :13

a. Konstruktivisme.

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Konsep yang melandasi definisi ini adalah pernyataan yang dikemukakan oleh Piaget tentang pengetahuan. Piaget menyatakan bahwa:

1) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pangalaman-pengalaman seseorang.

b. Inkuiri, yang meliputi proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.

c. Questioning (bertanya). Asas ini ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut.

1) Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.

2) Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inkuiri.

d. Learning Community (Masyarakat Belajar). Dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Penerapan asas ini dapat dilakukan dengan cara :

1) Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok.

2) Guru mengundang orang-orang yang dianggap memiliki keahlian khusus seperti petani, dokter, tukang reparasi radio, dan sebagainya.

13


(26)

3) Saling bertukar pengalaman, informasi, saling membelajarkan. e. Modeling (Permodelan). Kegiatan ini meliputi:

1) Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar.

2) Mengerjakan kegiatan yang diinginkan oleh guru agar siswa mengerjakannya.

f. Reflection (Refleksi), yaitu kegiatan-kegiatan yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut.

1) Berpikir tentang kegiatan yang telah dipelajari. 2) Mencatat hal-hal yang telah dipelajari.

3) Membuat jurnal, karya seni, dan diskusi kelompok.

g. Authentic Assessment (Penilaian yang Sebenarnya). Asas ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut.

1) Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa. 2) Penilaian produk (kinerja).

3) Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.

Pendekatan pembelajaran konstekstual dapat dijabarkan dalam beberapa model pembelajaran. Diantara model-model pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual adalah pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dan Cooperative Learning, pembelajaran kooperatif. Kedua model pembelajaran tersebut merupakan model implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan pada semua jenjang pendidikan, sesuai amanat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)14. Disamping itu, dalam salah satu artikelnya, Suherman menyatakan bahwa Problem Based Learning dan

Cooperative Learnig merupakan model pembelajaran yang dapat menjadikan pembelajaran berjalan lebih efektif.15

14

Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010), Cet ke-1, h.6

15

Erman Suherman, “Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Siswa,” artikel diakses pada tanggal 4 Agustus 2009 dari http://educare.e-fkipunla.net/, h.7-8


(27)

3. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning, PBL)

Salah satu model pembelajaran yang termasuk kedalam pembelajaran kontekstual adalah model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Tidak seperti pada pembelajaran konvensional yang memusatkan perhatian pada masalah setelah pemberian instruksi-instruksi dasar pada fakta dan keterampilan, Problem Based Learning dimulai dengan pengamatan terhadap sebuah masalah, selanjutnya proses pembelajaran dilakukan berkaitan dengan fakta dan keterampilan dalam konteks yang relevan diberikan.

Problem Based Learning memiliki ciri-ciri pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah, biasanya masalah memiliki konteks dengan dunia nyata, pemelajar secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkait dengan masalah, dan melaporkan solusi dari masalah.16 Problem Based Learning menyarankan kepada siswa untuk mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Problem Based Learning memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar sendiri. Dalam hal ini, siswa lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan guru sementara pada pembelajaran konvensional, siswa lebih diperlakukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang guru.

Model pembelajaran berbasis masalah membuat siswa bertanggung jawab pada pembelajaran mereka melalui penyelesaian masalah dan melakukan kegiatan inkuiri dalam rangka mengembangkan proses penalaran. Pembelajaran berbasis masalah lebih menempatkan guru sebagai fasilitator dari pada sebagai sumber. Pembelajaran Berbasis Masalah juga mendukung siswa untuk memperoleh struktur pengetahuan yang terintegrasi dalam

16

M Taufik Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning, (Jakarta : Kencana, 2009), Cet ke-1, h.12


(28)

masalah dunia nyata, masalah yang akan dihadapi siswa dalam dunia kerja atau profesi, komunitas, dan kehidupan pribadi.17

PBLadalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap model ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. Secara lebih lanjut bahwa PBLadalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.18 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Problem Based Learning

merupakan model pembelajaran yang dimulai dengan suatu permasalahan yang selanjutnya akan dicarikan solusinya.

Sebagaimana umumnya model-model pembelajaran lain, Problem Based Learning memiliki beberapa landasan teori khusus yang membedakannya dengan model pembelajaran lain. Beberapa teori yang melandasi Problem Based Learning itu adalah sebagai berikut.

a. Dewey dan Kelas Demokratis

Dewey menggambarkan suatu pandangan tentang pendidikan agar sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan yang nyata.Dewey juga menganjurkan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual sosial.19

Pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki manfaat daripada abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang menarik dan pilihan

17

Suchaini, “Pembelajaran Berbasis Masalah,” artikel diakses pada tanggal 23 Januari 2009 dari http://suchaini.wordpress.com/2008/12/15/pembelajaran-berbasis-masalah/

18

I Wayan Dasna dan Sutrisno, “Pembelajaran Berbasis Masalah”, artikel diakses pada tanggal 12 Juni 2009 dari http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/19/pembelajaran-berbasis-masalah/

19

Muslimin Ibrahim dan Mohamad Nur, Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Buku Ajar Mahasiswa) (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Press, 2001), h. 16.


(29)

mereka sendiri.Visi pembelajaran yang berdaya guna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi situasi yang bermaknasecara jelas menghubungkan PBL kontemporer dengan filosofi pendidikan dan pedagogi Dewey.

b. Piaget, Vygotsky, dan Konstruktivisme

Jean Piaget (1886-1980) menyatakan bahwa setiap anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya.Rasa ingin tahu ini, memotivasi mereka secara aktif untuk membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati.20

Pada semua tahap perkembangan, setiap anak perlu memahami lingkungan mereka. Tugas pendidikan yang berkaitan dengan hal itu adalah memotivasi mereka untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu. Siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis tetapi secara terus-menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa mendapat pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka.

Lev Vygotsky (1896-1943) juga mengemukakan pendapat yang sama dengan Piaget yaitu perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini. Siswa mempunyai dua tingkat perkembangan, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Konsep ini disebut dengan zone of proximal development.21

Tingkat perkembangan aktual didefinisikan sebagai penggunaan fungsi intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. Sedangkan tingkat perkembangan

20

Ibid, h.17.

21


(30)

potensial didefinisikan sebagai tingkat ketika seorang individu dapat memfungsikan atau mencapai tingkat itu dengan bantuan orang lain, seperti guru, orang tua, atau teman sejawat yang kemampuannya lebih tinggi.

c. Bruner dan Pembelajaran Penemuannya

Jerome Bruner mengajukan sebuah model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Hal ini akan menuntut siswa untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Pembelajaran berdasarkan masalah juga bergantung pada konsep lain dari Bruner, yaitu scaffolding. Bruner memerikan scaffolding sebagai suatu proses ketika seorang siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan (scaffolding) dari seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.22

PBL juga memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan model pembelajaran lain. Muslimin Ibrahimmenyebutkan bahwa karakteristik PBL adalah sebagai berikut.23

1) Pengajuan pertanyaan atau masalah

Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan-keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan atau masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.

22

Ibid, h.20.

23


(31)

2) Berfokus pada keterkaitan antardisiplin

Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata. Hal itu dimaksudkan agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

3) Penyelidikan autentik

Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki siswa untuk melakukan pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.Mereka harus menganalsis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. 4) Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya

PBL menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang hal yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif terhadap laporan tradisional atau makalah.

5) Kerjasama

Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu sama lain. Bentuk kerja sama ini dilakukan paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.


(32)

Sedangkan Warmada mengungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam PBL. Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam PBL.24

a. Permasalahan atau tugas (triggering problem/question). Permasalahan yang disajikan sebaiknya memenuhi karakteritik sebagai berikut.

1) Tidak mempunyai struktur yang jelas sehingga siswa terdorong untuk membuat sejumlah hipotesis dan mengkaji berbagai kemungkinan penyelesaian masalah. Permasalahan yang kurang berstruktur ini sebaiknya dirancang oleh guru, agar siswa termotivasi dan berkesempatan untuk secara bebas mencari informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber.

2) Cukup kompleks dan ambigu sehingga siswa terdorong untuk menggunakan strategi-strategi penyelesaian masalah dan keterampilan berpikir yang tinggi seperti melakukan analisis dan sintesis, evaluasi, dan pembentukan pengetahuan dan pemahaman baru.

3) Bermakna dan berhubungan dengan kehidupan nyata siswa, sehingga mereka termotivasi untuk mengarahkan dirinya sendiri dan menguji pengetahuan dan pemahaman lama mereka dalam menyelesaikan tugas tersebut.

b. Karakteristik kelompok. Pembagian kelompok dilakukan dengan acak antara 5 sampai 8 orang. Pembagian kelompok ini juga harus mempertimbangkan heterogenitas. Kelompok yang baik adalah kelompok yang cukup heterogen.

c. Sumber belajar, yaitu bahan bacaan atau informasi dari narasumber yang dapat dijadikan acuan bagi siswa dalam menyelesaikan tugas atau permasalahan. Karena bentuk tugas akan memancing beragam pemikiran,

24

I Wayan Warmada, “Problem Based Learning (PBL) Berbasis Teknologi Informasi (ICT): prosidingSeminar “Penumbuhan Inovasi Sistem Pembelajaran: Pendekatan-Based Learning Berbasis ICT (Information and Communication Technology)”, 15 Mei 2004 dan CAFEO-21 (CAFEO-21st Conference of The Asian Federation of Enggineering Organization), 22-23 Oktober 2003, h.2-3.


(33)

maka sumber belajar yang tersedia juga diharapkan cukup bervariasi dan dalam jumlah yang memadai.

d. Waktu kegiatan. Disesuaikan dengan beban kurikulum yang hendak dicapai. Berkaitan dengan hal ini, setiap guru memiliki kebijakan sendiri dalam menyusun waktu kegiatan yang akan dilaksanakan.

Tahapan-tahapan yang harus dilakukan pada Problem Based Learning

ditunjukkan pada Tabel 2.1 berikut ini.25

Tabel 2.1

Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah

Tahap Tingkah Laku Guru Siswa

Tahap 1 Orientasi siswa pada

masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

Siswa memahaminya dan menerapkan materi yang sedang di jelaskan oleh guru dan menjawab pertanyaan guru berkaitan dengan materi yang sedang dijelaskan kemudian menyimaknya dan mencatat. Tahap 2

Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Memberikan respon terhadap stimulus yang diberikan guru dengan menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Tahap 3 Membimbing penyelidikan individu

maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk

mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Menyimak penjelasan guru tentang cara pemecahan masalah yang disarankan dan

membandingkannya dengan pemecahan masalah yang dilakukan kelompoknya. Tahap 4

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam

merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

Mengumpulkan pekerjaan rumahnya dan menjawab pertanyaan guru berkaitan dengan hal itu. Melaporkan perkembangan penyelidikannya dan menanyakan kesulitan yang dite-mukan.

25


(34)

Tahap Tingkah Laku Guru Siswa

Tahap 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses

pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap

penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Mempresentasikan hasil pemecahan masalah yang dilakukan kelompoknya di depan kelas.

4. Model Pembelajaran Kooperatif a. Definisi dan Landasan Teori

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dimana siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Model ini sejalan dengan salah satu prinsip CTL yaitu learning community. Dimana lingkungan pembelajarannya dicirikan oleh proses demokratis dan peran aktif siswa dalam menentukan apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya.26

Melalui pembelajaran kooperatif, peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan dan menerapkan konsep yang telah ia pelajari sebelumnya. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, siswa mengikuti pelajaran tanpa rasa keingintahuan, tanpa mengajukan pertanyaan, dan tanpa minat terhadap hasilnya (kecuali, barangkali, nilai yang akan dia peroleh). Ketika kegiatan belajar bersifat aktif, siswa akan mengupayakan sesuatu. Dia menginginkan jawaban atas sebuah pertanyaan, membutuhkan informasi untuk memecahkan masalah, atau mencari cara untuk mengerjakan tugas.27

Pembelajaran kooperatif menghasilkan komunikasi dan kemampuan interaksi kelompok. Aspek yang membedakan pembelajaran kooperatif

26

Haviluddin, Active Learning berbasis Teknologi Informasi (ICT), (Jurnal Informatika Mulawarman : September 2010), h. 2

27

Melvin L Silberma. Active Learning, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, (Bandung: Musamedia dan Nuansa, 2009), edisi Revisi, Cet ke-3, h. 27- 28


(35)

dengan pembelajaran lain yaitu terciptanya interaksi antara siswa dengan siswa.28

Pembentukan kelompok dalam pembelajaran kooperatif harus menyesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Jika tujuannya untuk memaksimalkan nilai, maka siswa dikelompokkan sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Ketika guru menempatkan siswa dengan prestasi tinggi, sedang, dan rendah dalam satu kelompok, tujuan pembelajaran yaitu meningkatkan prestasi akademik. Tujuan lain dalam pembelajaran kooperatif adalah mengembangkan kemampuan sosial, memperluas persahabatan, dan meningkatkan pemahaman lintas ras.29

Pembelajaran kooperatif dilandasi oleh pandangan John Dewey dan Herbert Thelan, yang menyatakan bahwa pendidikan dalam masyarakat demokratis seharursnya mengajarkan proses demokratis secara langsung. Karena proses demokrasi dan peran aktif siswa merupakan ciri dari pembelajaran kooperatif.30

Berbeda dengan teori belajar behavioris yang menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebagai refleks otomatis dari stimulus yang diberikan, teori belajar sosial menyatakan bahwa disamping sebagai hasil dari stimulus yang diberikan, tingkah laku manusia juga dipengaruhi akibat interaksi manusia dengan lingkungannya. Ilustrasi yang menggambarkan hubungan faktor kognitif, sosial (lingkungan), dan tingkah laku ini diperlihatkan pada Gambar 2.1 berikut ini.

28

Richard I. Arends, dkk., Exploring Teaching: an Introduction to Education 2nd Education (New York: McGraw Hill Companies Inc., 2001), h. 196

29

Ibid, h.197

30

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta ; Prestasi Pustaka, 2007), h. 45


(36)

Ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Faktor lingkungan akan mempengaruhi tingkah laku, faktor tingkah laku akan mempengaruhi lingkungan, dan faktor kognitif akan mempengaruhi tingkah laku. Begitu pun seterusnya. Bandura menggunakan istilah person (pribadi), sedangkan istilah tambahan kognitif (cognitive) ini merupakan usul dari Santrock karena menurutnya terdapat banyak faktor person yang merupakan faktor kognitif juga.

b. PendekatanPembelajaran Kooperatif

a) Pengertian pendekatan pembelajaran kooperatif

Pendekatan pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran aktif. Belajar aktif sangat diperlukan oleh siswa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika siswa pasif, atau hanya menerima dari guru, ada kecenderungan untuk cepat melupakan apa yang telah diberikan. Dan kemungkinan besar yang akan terjadi adalah kepasifan siswa akan terus melekat seperti semen yang membutuhkan waktu lama untuk mengeringkannya. Belajar aktif adalah salah satu cara untuk mengikat informasi yang baru kemudian menyimpannya dalam otak. Pengalaman belajar yang lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual akan

Gambar 2.2 M odel Belajar M enurut Bandura (Teori Belajar Sosial)

E (Environm ent )

Lingkungan B

(Behavioer) Tingkah laku

P/ C Personal dan Fakt or kognit if


(37)

menjadikan proses belajar lebih efektif.31 Sementara belajar yang hanya mengandalkan indera pendengaran mempunyai beberapa kelemahan, seharusnya hasil belajar dapat disimpan dalam waktu yang lama.

Pernyataan sederhana ini berbicara banyak tentang perlunya cara belajar aktif oleh Melvin L. Silberman menjadi apa yang disebut paham belajar aktif. Menurutnya, kebanyakan orang mudah lupa ketika ia hanya mendengarkan saja. Namun ia sedikit ingat ketika mendengar dan melihat. Mereka mulai memahami saat mendengar, melihat, mendiskusikan dengan orang lain.32

Ungkapan itu sekaligus menjawab permasalahan yang sering dihadapi dalam proses pembelajaran, yaitu tidak tuntasnya penguasaan peserta didik terhadap materi pembelajaran. Agar peserta didik belajar secara aktif, guru perlu menciptakan metode yang tepat, sehingga peserta didik tertarik untuk belajar dan dapat menciptakan ide-ide atau gagasan baru dalam menyelesaikan suatu masalah dalam belajar. Kemudian yang perlu diingat bahwa belajar tidaklah cukup hanya dengan mendengarkan atau melihat sesuatu.

Senada dengan Melvin, Bobbi DePoter mengatakn bahwa kita belajar hanya 10% dari yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat dan 90% dari apa yang kita katakana dan lakukan.33

Pernyataan tersebut menjelaskan dan memberikan suatu gambaran bagaimana belajar aktif itu akan lebih menyenangkan dan mudah dipahami ketika peserta didik mengalami sendiri apa yang sedang dipelajari dan diamati, sehingga siswa mampu belajar secara efektif dan efisien dengan tidak mengesampingkan potensi yang dimiliki siswa untuk dikembangkan secara optimal baik dari segi emosional, mental, intelektual, maupun psikomotor siswa.

Sebagian besar guru mengajar hingga batas akhir masa sekolah, semester, atau bidang studi. Mereka mungkin beranggapan bahwa pada saat akhir mereka dapat menjejalkan lebih banyak informasi dan menyelesaikan topik

31

Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010), Cet ke-1, h.7

32

Melvin L Silberma, Op cit, h. 23

33

Bobbi DePoter, Quantum Teaching, diterjemahkan oleh Ary Nilandari (Bandung : Kaifa, 2001), Cet ke-4, h. 57


(38)

juga materi yang masih dalam agenda mereka. Memaksakan diri untuk mengajar hingga batas akhir seringkali berakibat pada terjadinya pengajaran yang tidak tertata, ada yang terlewatkan, atau ada yang masih belum jelas.34Jika pembelajaran dilaksanakan dengan model kooperatif, maka siswa dibebaskan untuk mencari berbagai sumber belajar yang relevan. Kegiatan demikian memungkinkan para siswa untuk berinteraksi aktif dengan lingkungan dan kelompoknya, sebagai media untuk mengembangkan pengetahuannya.

Pendekatan konstruvistik dalam model pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa untuk mampu membangun pengetahuan secara bersama-sama dalam kelompok. Siswa menafsirkan berbersama-sama-bersama-sama apa yang mereka temukan. Dengan cara demikian materi pelajaran dapat dibangun bersama dan bukan sebagai transfer dari guru. Ini berarti, siswa didorong untuk membangun makna dari pengalamannya, sehingga pemahaman terhadap fenomena yang sedang dipelajari meningkat. Hal ini merupakan realisasi dari hakikat konstruktivisme dalam pembelajaran.35

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang pembelajaran kooperatif atau Cooperative Learning.

b) Karakteristik Pendekatan Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif telah dikembangkan secara intensif melalui berbagai penelitian, tujuannya untuk meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk hubungan positif, mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan akademik melalui kegiatan kelompok. Model pembelajaran kooperatif memungkinkan semua siswa dapat menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama atau sejajar.36

34

Melvin L Silberma. Op cit, h. 247

35

http://www.ditnaga-dikti.orgditnagafilesPIPkooperatif, h.2

36


(39)

Prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut :37

a). Setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab sama terhadap segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya.

b). Setiap anggota kelompok memiliki tujuan yang sama.

c). Setiap anggota kelompok membagi tugas yang sama di antara anggota kelompoknya.

d). Setiap anggota kelompok akan melakukan evaluasi.

e). Setiap anggota kelompok berhak menjadi pemimpin dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama.

f). Setiap anggota kelompok akan diminta pertanggungjawaban secara individu terhadap materi yang ditanganai kelompoknya.

Kunci pembelajaran kooperatif yaitu semua untuk satu dan satu untuk semua.38 Berikut beberapa alasan yang menyebabkan pembelajaran kooperatif dapat menaikkan kemampuan akademik siswa :

a). Pembelajaran kooperatif menaikkan kemampuan sosial dan emosional siswa, bersamaan dengan intelektual siswa. Pertumbuhan itu diciptakan dengan berbagi, menerima, menanggapi, dan mendukung antar sesama.39

b). Dengan pembentukan kelompok maka setiap anggota akan memiliki persamaan tujuan.40

c). Membantu perkembangan karena siswa dengan kemampuan rendah akan mengubah kemampuan akademik.41

Sesuai dengan pengertian mengajar, yaitu menciptakan susana yang mengembangkan inisiatif dan tanggung jawab belajar siswa, maka sikap guru yaitu :

a). Mendengarkan pendapat siswa. b). Menghargai siswa.

37

Th Widyantini, Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif, (Yogyakarta : Depatemen Pendidikan Nasional, 2006), h.4

38

Donald R Cruickshank, The Act of Teaching, (New York : Mc Graw Hill, 2006), h. 238

39

Ibid, h. 83

40

Ibid, h.239

41


(40)

c). Mengembangkan rasa percaya diri siswa. d). Memberikan tantangan.

e). Menciptakan rasa tidak takut salah. 42

Keadaan kelas sangat penting peranannya untuk menunjang keberhasilan belajar aktif. Diantara hal-hal yang menunjang tersebut antara lain adalah;

a). berisi banyak sumber belajar, seperti buku dan benda nyata.

b). berisi banyak alat bantu belajar, seperti batu, lidi, tanaman dan alat peraga.

c). berisi banyak hasil kerja siswa, seperti lukisan, hasil/laporan percobaan/karya.43

c. Tahap-tahap Pembelajaran Kooperatif

Pada pembelajaran kooperatifterdapat lima tahap pembelajaran yang sangat penting. Pembelajaran diawali dengan penjelasan tujuan pembelajaran yang akan dicapai serta latar belakang pembelajarannya. Berikut ini adalah langkah-langkah pembelajaran kooperatif.44

42

Artikel diakses pada 26 oktober 2009 dari http://file.upi.edu/Direktori/A-FIP/JUR.PEND.LUAR.BIASA/196010151987101-ZULKIFLI.SIDIQ/belajar_aktif-Puskur. h.33

43

Ibid. 36

44

Muslimin Ibrahim, Pembelajaran Kooperatif(Buku Ajar Mahasiswa), (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Press, 2000), h. 10


(41)

Tabel 2.2 Tahapan Pembelajaran Kooperatif

Tahap-tahap Tingkah Laku Guru Siswa

Tahap 1

Menyampaikan tujuandan memotivasi.

Guru menyampaikan

tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa.

Menyimak dan mencatat yang diperlukan.

Tahap 2

Menyajikan informasi.

Guru menyajikan

informasi kepada siswa.

Menyimak dan mencatat yang diperlukan.

Tahap 3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok

belajar.

Guru menginformasikan pengelompokan siswa.

Menyimak penjelasan guru tentang cara pembagian kelompok dan mulai berkumpul dengan anggota kelompok yang lain.

Tahap 4

Membimbing kelompok belajar.

Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa

dalam

kelompok-kelompok belajar.

Melakukan kerja

kelompok dalam bentuk memecahkan masalah,

atau memahami dan

menerapkan konsep yang dipelajari.

Tahap 5

Evaluasi.

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Mengerjakan soal latihan dan mengumpulkannya.

Tahap 6

Memberikan penghargaan.

Guru memberi

penghargaan hasil

belajar individual dan kelompok.

Menyimak informasi yang disampaikan.


(42)

Penjelasan dari tiap-tiap tahap pembelajaran kooperatif diuraikan berikut ini.

a. Tahap penyampaian tujuan dan memotivasi siswa

Rickey (2001) mengungkapkan definisi kompetensi sebagai berikut. pengetahuan, keterampilan dan sikap yang memungkinkan seseorang dapat melakukan aktivitas secara efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsi pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.45 Oleh karena itu, siswa perlu mengetahui dengan jelas mengapa mereka perlu berperan serta dalam pembelajaran dan mereka juga perlu mengetahui tentang apa yang akan mereka dapat setelah pembelajaran. Penyampaian tujuan pembelajaran dapat dilakukan melalui rangkuman rencana pembelajaran dengan cara menuliskannya di papan tulis atau menempelkannya pada papan buletin atau sejenisnya yang berisi tahap-tahap pembelajaran dan alokasi waktu yang disediakan untuk setiap tahap-tahap. Setelah menyampaikan tujuan pembelajaran, selanjutnya guru dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar. Motivasi merupakan aspek penting dalam pengajaran dan pembelajaran.46 Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menarik perhatian siswa, memusatkannya pada pokok pembicaraan dan mengingatkan kembali mereka pada materi pelajaran yang telah mereka terima yang berhubungan dengan materi yang akan disampaikan pada waktu itu.

b. Tahap menyajikan informasi

Pada tahap ini guru memberikan informasi sebagai pedoman kegiatan. Informasi berupacara kerja kelompok dan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok, serta hasil akhir yang akan dicapai. 47

c. Tahap mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok.

45

Benny A Pribadi, Model Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta : Dian Rakyat, 2009), Cet ke-1. h. 12

46

John W Santrock, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua . diterjemahkan oleh Tri Wibowo(Jakarta : Kencana, 2010), Cet ke-3, h. 519

47

Artikel di akses pada Desember 2010 di http://www.ditnaga-dikti.orgditnagafilesPIPkooperatif.pdf, h. 5


(43)

Pada tahap ini guru membimbing siswa dalam mebentuk kelompok. Anggota kelompok terdiri atas siswa tingkat kemampuan yang berbeda, atau satu kelompok dibuat dengan anggota yang heterogen.

d. Tahap kerja kelompok

Pada tahap ini siswa melakukan kerja kelompok yang merupakan inti dari kegiatan pembelajaran kooperatif. Waktu untuk bekerja kelompok disesuaikan dengan luas dan dalamnya materi yang harus dikerjakan. Agar kegitan kelompok terarah, perlu diberikan panduan sebagai pedoman kegitan. Guru berperan sebagai fasilitator dan dinamisator bagi masing-masing kelompok, dengan cara melakukan pemantauan terhadap kegiatan belajar siswa, mengarahkan keterampilan kerjasama, dan memberikan bantuan kepada siswa.

e. Tahap evaluasi

Pada akhir kegiatan kelompok diharapkan semua siswa telah mampu memahami konsep yang dikaji bersama. Kemudian masing-masing siswa menjawab tes atau kuis untuk mengetahui pemahaman mereka terhadap konsep yang dikaji.

Oleh karena itu guru harus melakukan evaluasi selama proses pembelajaran berlangsung. Evaluasi dengan mengamati sikap, keterampilan dan kemampuan berpikir serta berkomunikasi siswa. Kesungguhan mengerjakan tugas, kemampuan berpikir kritis dan logis dalam memberikan pandangan atau argumentasi, kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama, berikut adalah prosedur evaluasi :

1) Penilaian individu adalah evaluasi terhadap tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang dikaji, meliputi kognitif, afektif, dan psikomotorik.

2) Penilaian kelompok meliputi berbagai indikator keberhasilan kelompok seperti, kerjasama, dan pengambilan keputusan.


(44)

f. Tahap memberikan penghargaan

Tahap ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada kelompok yang berhasil memperoleh skor tertinggi. Langkah pertama sebelum memberikan penghargaan kelompok adalah menghitung rata-rata skor kelompok. Berikut adalah kriteria penghargaan kelompok48

Tabel 2.3 Kriteria Pembelajaran Kooperatif

Rata-rata Kelompok Predikat

30 sampai 39 Tim kurang baik

40 sampai 44 Tim baik

45 sampai 49 Tim baik sekali

50 ke atas Tim istimewa

d. Macam-macam Pembelajaran Kooperatif

Beberapa ahli mengemukakan beberapa tipe pembelajaran kooperatif sebagai berikut :

1) Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw

Pembelajaran koperatif tipe jigsaw ini pertama kali dikembangkan oleh Elliot Aronson. Kegiatan dalam tipe jigsaw adalah sebagai berikut :49

a) Guru membagi satu kelas menjadi beberapa kelompok, jumlah anggota kelompok sesuai dengan jumlah materi pelajaran yang akan disampaikan.Kelompok ini disebut kelompok asal. Setiap siswa diberi tugas untuk mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut.Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama berkumpul dan membentuk kelompok ahli. Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian materi pelajaran yang sama.

48

Nopiyanti dkk, “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Berbasis Multimedia dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran TIK”. (Kumpulan Skripsi Pendidikan Ilmu Komputer Universitas Pendidikan Indonesia 2010), h. 23

49


(45)

b) Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maka siswa kembali ke kelompok asal dan menyampaikan pada anggota kelompok yang lain.

c) Selanjutnya dilakukan presentasi dengan cara pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

2) Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)

Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993). Pada umumnya NHT digunakan untuk melibatkan siswa dalam penguatan dan pemahaman pembelajaran. Kegiatan dalam tipe NHT, sebagai berikut :50

a) Guru menyampaikan materi pembelajaran.

b) Guru memberikan kuis secara individual untuk mendapatkan skor awal.

c) Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap anggota kelompok diberi nomor.

d) Guru mengajukkan permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok.

e) Guru mengecek pemahaman siswa dengan menyebut salah satu nomor anggota untuk menjawab. Jawaban tersebut merupakan wakil jawaban dari kelompok.

3) Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division

(STAD)

50


(46)

Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Robert Slavin. Menurut Slavin (1995) tipe STAD biasanya digunakan untuk penguatan pemahaman materi. Kegiatan dalam tipe STAD, sebagai berikut :51

a) Guru menyampaikan materi pembelajaran.

b) Guru memberikan kuis secara individual untuk mendapatkan skor awal.

c) Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok.

d) Bahan materi yang telah dipersiapkan oleh guru didiskusikan dalam kelompok untuk mencapai kompetensi dasar.

4) Pembelajaran kooperatif tipe Team Accelerated (TAI)

Pembelajaran kooperatif tipe ini dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. TAI dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Ciri khas tipe TAI adalah setiap siswa secara individual mempelajari materi yang diberikan oleh guru. Hasil belajar individu dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan, semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban.52

5. Hasil Belajar Fisika

Dalam melakukan kegiatan belajar, terjadi proses berpikir yang melibatkan kegiatanmental, terjadi penyusunan hubungan informasi –informasi yang diterima materi yang diberikan. Pemahaman dan penguasaan ini disebut sebagai hasil belajar. Pada hakikatnya hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang diharapkan pada diri siswa setelah mengalami proses belajar mengajar. Menurut nama sudjana, ”hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.53

51

Ibid, h. 8

52

Ibid, h. 8-9

53

Nana Sujana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), Cet. Ke-5, 1995 h.22


(47)

Menurut Benyamin dkk. Secara garis besar membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.54 Ranah kogitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual seperti pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi analisa, sintesis dan evaluasi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang berupa kehadiran, keaktifan belajar, pengumpulan tugas, dan lain-lain. Sedangkan ranahpsikomotoris berkenaan daengan keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak siswa sehari-hari.Belajar melibatkan tahap masukan, proses, dan keluaran. Belajar juga merupakan proses yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, yang awalnya tidak mampu menjadi mampu, dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan hasil belajar, yaitu perubahan perilaku yang menyatakan perbedaan dari masukan dan keluaran.

Karena hasil belajar merupakan produk belajar, maka pengertian hasil belajar dapat dijelaskan dari pengertian belajar. Santrockmenyatakan bahwa “learning is a relatively permanent influence on behaviour, knowledge, and thinking skills that comes about through experience.”55 Senada dengan itu, Sabri menyebutkan beberapa definisi berkaitan dengan belajar. Sabri menyebutkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat pengalaman atau latihan. Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar tersebut terjadi melalui usaha mendengarkan, membaca, mengikuti petunjuk, mengamati, memikirkan, menghayati, meniru, melatih, dan mencoba sendiri atau dengan pengalaman atau latihan.56

Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar harus relatif menetap, bukan perubahan yang bersifat sementara atau tiba-tiba terjadi kemudian cepat hilang kembali. Dari beberapa pernyataan tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa hasil belajar yang dimaksud pada penelitian ini adalah perubahan yang relatif permanen berupa perubahan tingkah laku, pengetahuan, dan keterampilan setelah melakukan proses belajar.

54

Ibid, h. 22

55

John W Santrock, Op cit, h. 266.

56

M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), Cet ke-2, h. 55 – 56.


(48)

Hasil belajar merupakan “tingkat perkembangan mental” yang lebih baik bila dibandingkan pada saat pra-belajar. “Tingkat perkembangan mental” tersebut terkaitdengan bahan pelajaran.Tingkat perkembangan mental terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.57 Pada kurikulum sebelum KTSP, kebanyakan para guru hanya mengukur hasil belajar dari aspek kognitif saja karena memang aspek kognitiflah yang paling mudah diukur karena berkaitan langsung dengan penguasaan isi bahan pelajaran. Namun pada KTSP, pengukuran hasil belajar tidak lagi hanya terbatas pada aspek kognitif saja, namun juga pada aspek afektif dan psikomotorik. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.58 Serupa dengan definisi tersebut, Gagne dan Briggs menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh seseorang sesudah mengikuti proses belajar, kemampuan itu meliputi 5 kategori kapabilitas hasil belajar yaitu keterampilan intelektual (intelectual skills), strategi kognitif (cognitive strategies), informasi verbal (verbal informations), keterampilan motorik (motor skills), dan sikap (attitudes).59

Pengukuran hasil belajar sering disebut dengan penilaian. Oleh karena pengukuran hasil belajar tidak lagi hanya pada aspek kognitif melainkan juga pada aspek afektif dan psikomotor, maka banyak diciptakan sistem-sistem penilaian yang baru yang bisa mengukur hasil belajar secara integratif dan komprehensif. Pada fisika, penilaian hasil belajar diukur melalui ulangan, penugasan, penilaian kinerja (performance assesment), penilaian hasil karya (product assesment), atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai.60

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar fisika adalah hasil penilaian setelah siswa melakukan pembelajaran. Namun, berdasarkan pembatasan masalah seperti yang diuraikan di

57

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Cet. Ke-4, h.251.

58

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), Cet ke-3, h. 22.

59

Ibid, h. 22

60

Diakses pada tanggal 26 oktober dari ahmad sudrajat, files.wordprees.com//18 rancangan penilaian hasil belajar.ppt.


(49)

Bab I, maka hasil belajar yang dimaksud pada penelitian ini hanya terbatas pada hasil penilaian ranah kogitif saja.

6. Getaran dan Gelombang

a. Getaran

Disekitar kita banyak benda-benda yang dapat bergetar misalnya, peganglah beduk setelah dipukul. Apakah yang anda rasakan? Ternyata, permukaan beduk itu bergetat.

1) Getaran adalah gerak bolak-balik suatu benda melalui titik keseimbangan secara periodik

2) Simpangan getaran adalah posisi partikel yang bergetar terhadap titik keseimbangan.

3) Amplitudo getaran adalah simpangan maksimum suatu getaran. 4) Gambar bandul :

5) B-C-A-D-E-D-A-C-B = 1 kali getaran 6) BC = CA = AD = DE = simpangan 7) AB = AE = amplitudo

8) Periode getaran adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai satu kali getaran.

9) Frekuensi getaran adalah banyaknya getaran tiap satuan waktu.

Rumus : Dengan

T = periode (s)

f = frekuensi (Hz)

t = waktu yang diperlukan

untuk melakukan sejumlah getaran (s)

n = jumlah getaran dalam


(50)

b. Gelombang

Gelombang adalah getaran yang merambat. Dalam perambatannya gelombang memindahkan energi dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan medium yang dilaluinya tidak ikut merambat.

Amplitudo gelombang adalah jarak maksimum yang di tempuh setiap bagian yang bergetar dari titik keseimbangan amplitudo diberi lambang A dan satuannya meter.

Menggambarkan panjang gelombang yang merambat dari titik A sampe E, arahnya horizontal. Jarak yang ditempuh satu gelombang disebut panjang gelombang. Panjang gelombang di beri lambang λ (lamda). Satu panjang gelombang adalah meter.

Gelombang merambat lurus memerlukan waktu dalam perambatannya. Waktu yang ditempuh satu gelombang melalui satu titik disebut periode gelombang. Periode gelombang diberi lambang T dan satuannya sekon.

Banyaknya gelombang yang terjadi setiap detik disebut frekuensi gelombang. Satuan frekuensi gelombang adalah hertz. Jika frekuensi gelombang 10 Hz berarti gelombang yang terjadi berjumlah 10 gelombang setiap detik. Periodenya sama dengan 0,1 s. Hubungan antara f dan T dituliskan sebagai berikut.

kita telah mengetahui bahwa gelombang merambat dari satu titik lainnya. Jadi, gelombang memiliki besaran cepat dengan lambang v. Cepat rambat gelombang ditentukan oleh panjang gelombangdan frekuensinya. Hubungan antara cepat rambat, panjang gelombang, dan frekuensi dapat dituliskan sebagai berikut.

Atau v = λ.f v = λ/T


(51)

Berdasarkan arah getarnya gelombang dibedakan menjadi :

a. Gelombang transversal; gelombang yang arah getarnya tegak lurus dengan arah rambatnya. Contoh : gelombang riak air, gelombang tali.

Gelombang Transvesal

a) a – b – c = bukit gelombang b) c – d – e = lembah gelombang c) b – b1 = amplitudo gelombang

d) a – e = panjang gelombang

e) b = puncak gelombang

b. Gelombang longitudinal; gelombang yang arah getarnya sejajar dengan arah rambatnya. Contoh : gelombang pada slinki.

c. Periode dan Frekuensi Gelombang

1) Periode gelombang adalah waktu yang diperlukan untuk menempuh satu panjang gelombang.

2) Frekuensi gelombang adalah banyaknya gelombang yang terjadi setiap detik. 3) Hubungan frekuensi dengan periode gelombang :

Dengan :

T = periode (s) f = frekuensi (Hz)

d. Cepat Rambat Gelombang

Cepat rambat gelombang adalah jarak yang ditempuh gelombang setiap satuan waktu.

Hubungan panjang gelombang, periode, frekuensi, dan cepat rambat adalah :

Berdasarkan mediumnya gelombang dibedakan menjadi :

a. Gelombang Mekanik; gelombang yang dalam perambatannya memerlukan medium perantara. Contoh : gelombang bunyi, gelombang pada tali yang digetarkan.


(52)

b. Gelombang Elektromagnetik; gelombang yang dapat merambat tanpa medium. Contoh : cahaya, gelombang radio.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan penerapan model

Problem Based Learning dan model pembelajaran Cooperative antara lain adalah sebagai berikut.

Riyanto menyatakan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada hasil belajar pokok bahasan bangun ruang sisi lengkung siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Peningkatan rata-rata hasil belajar pada kelompok eksperimen yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah adalah dari 16,36 menjadi 64,20 sedangkan pada kelompok kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional hanya mengalami peningkatan dari 13,56 menjadi 55,32.61

Suherman menyatakan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa. Disamping itu, Suherman juga menyatakan bahwa proses pembelajaran berjalan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Hasil temuannya menunjukkan bahwa hasil pretest siswa adalah 49,29 meningkat menjadi 73,5 pada siklus pertama setelah diterapkan Problem Based Learning. Disamping itu, Suherman juga menemukan bahwa siswa lebih merasa nyaman belajar dengan menggunakan Problem Based Learning. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan skor tentang pandangan siswa terhadap Problem Based Learning yang sedang diterapkan. Presentase siswa yang memberikan pandangan positif terhadap Problem Based Learning adalah 78,4 % sedangkan

61

Dwi Riyanto, “Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa (Studi Eksperimen di SMP Muhammadiyah 19 Sawangan Depok),” (Skripsi S1 Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 48 – 50.


(53)

siswa yang berpandangan negatif terhadap Problem Based Learning hanya mencapai 21,6 %.62

Aeni, berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang menerapkan PBL di MAN 8 Cakung Jakarta Timur menyatakan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar pada siklus kedua dibandingkan dengan hasil belajar pada siklus pertama . Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata yang dicapai siswa pada siklus pertama sebesar 70,74 menjadi 80,00 pada siklus kedua. Disamping itu, pada siklus kedua, tidak ada lagi siswa yang mendapatkan nilai kurang dari 65.63

Berdasarkan hasil penelitian dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif dalam mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bahwarata-rata nilai, nilai terbesar, dan nilai terkecil kelas lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang menggunakan model pembelajaran konvesional. Nilai rata-rata kelas pembelajaran kooperatif adalah 78,7 sementara kelas konvesional 66,8. Nilai tertinggi kelas pembelajaran kooperatif 90 sementara kelas konvesional 83. Dan nilai terendah kelas pembelajarn kooperatif 68 sementara konvesional 50.64

Angella, berdasarkan hasil penelitian yang menerapkan pembelajaran kooperatif di SMA Negeri I Grobogan menyatakan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan kooperatif lebih baik daripada menggunakan model konvesional. Rata-rata hasil belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif mencapai 7,80 sedangkan pada kelas menggunakan model konvesional sebesar 7,02.65

62

Suherman, “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Penelitian Tindakan Kelas di MTs Negeri 3 Pondok Pinang Jakarta,” (Skripsi S1 Jurusan Pendidikan IPA Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 71.

63

Titin Khurotul Aeni, “Pendekatan Konstruktivisme dengan Model Pembelajaran Berbadasarkan Masalah (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa pada Konsep Laju Reaksi (Sebuah Penelitian Tindakan Kelas di MAN 8 Cakung, Jakarta Timur),” (Skripsi S1 Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 81.

64

Nopiyanti dkk, Op. cit, h. 24

65

Angella Puspita Veranica, “Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif terhadap Hasil Belajar Pokok Bahasan Laporan Keuangan pada Siswa Kelas X SMA Negeri I Grobogan”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2005), h. 59


(54)

C. Kerangka Pikir

Belajar merupakan faktor yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Hal itu dikarenakan oleh kenyataan bahwa manusia adalah makhluk unik yang membedakannya dengan makhluk lain. Belajar merupakan perubahan yang relatif permanen pada perilaku, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya.

Proses belajar setidaknya meliputi tiga tahapan, yaitu tahapan input, proses, dan output. Ketiga faktor ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar belajar, disamping kualitas input-nya, adalah proses pembelajaran itu sendiri.

Sebagai ilmu pengetahuan empiris, perkembangan fisika selalu diawali dari sebuah permasalahan. Berawal dari permasalahan tersebut, seseorang akan melakukan observasi yang kemudian akan dilanjutkan oleh kegiatan-kegiatan yang lain sehingga menghasilkan sebuah teori baru. Berdasarkan kenyataan itu, maka para pakar pendidikan mulai merumuskan sebuah model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik fisika ini. Pengembangan model pemebelajaran ini didasarkan pada kegagalan model pembelajaran konvensional yang hanya dapat membantu siswa memiliki hapalan jangka pendek saja. Pembelajaran konvensional membuat siswa tidak bisa menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di sekolah dengan pemecahan masalah yang dihadapi siswa pada kehidupan sehari-hari mereka Maka lahirlah model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) sebagai sebuah solusi terhadap permasalahan tersebut.

Disamping itu, setiap proses pembelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan karakteristik materi yang dipelajari. Karena ketidaksesuaian pembelajaran yang dilakukan, berkembanglah persepsi pada siswa bahwa fisika merupakan pelajaran yang sulit dan membosankan. Untuk mengatasi ini, pembelajarankooperatifberupaya memberikan solusi untuk mengatasi masalah ini. Cooperative Learning menjamin keterlibatan siswa dalam


(55)

pembelajaran sehingga diharapkan pembelajaran akan berjalan lebih mudah dan menyenangkan.

Diduga terdapat perbedaan hasil belajar fisika antara yang menggunakan model Problem Based Learning dengan yang menggunakan model pembelajaran kooperatif. Kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada gambar diagram alir berikut

Gambar 2.3 Kerangka Pikir

Teori belajar penemuan Beruner

Kelas demokratis Dewey Teori Belajar

Sosial Bandura

Konstruktivisme Sosial Vygotsky

Konstruktivisme kognitif Piaget dan Sosial Vygotsky

Teori Belajar Konstruktivisme

Manusia Belajar

Input Proses Output

Hasil Belajar Kualitas Peroses

Pembelajaran

Peroblem Based Learning Mengajarkan keterampilan

Masalah

Cooperative Learning

Pembelajaran Kooperatif


(56)

D. Hipotesis

Berdasarkan deskripsi teoretis dan kerangka pikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar fisika

yang menggunakan model PBL dengan yang menggunakan model

Cooperative Learning pada konsep getaran dan gelombang.

Ha : Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar fisika yang

menggunakan model PBL dengan yang menggunakan model


(1)

170

3. Menentukan nilai thitung berdasarkan rumus data-data yang telah diperoleh.

3176 , 2 96 , 2 86 , 6 239 , 0 398 , 12 86 , 6 0286 , 0 0286 , 0 398 , 12 86 , 6 35 1 35 1 398 , 12 14 , 57 64 1 1 2 1 2 1             n n dsg X X thitung

4. Menentukan nilai ttabel

Derajat kebebasan untuk mencari nilai ttabel adalah:

dk = n1 + n2 – 2 = 35 + 35 – 2 = 68

pada taraf signifikansi 5% nilai ttabel diperoleh dengan interpolasi.

t(0,95)(60) = 2,000

t(0,95)(120) = 1,980

dengan interpolasi diperoleh nilai ttabel untuk dk=68 sebagai berikut.

   9973 , 1 0027 , 0 000 , 2 ) 980 , 1 00 , 2 ( 60 8 000 , 2 68 95 , 0       t

Dengan cara interpolasi yang sama, maka nilai ttabel pada taraf signifikansi 1% adalah:

t(0,99)(60) = 2,660

t(0,95)(120) = 2,617

jadi nilai ttabel dengan dk = 67 diperoleh

   654 , 2 0057 , 0 660 , 2 ) 617 , 2 660 , 2 ( 60 8 660 , 2 68 95 , 0       t

5. Menguji Hipotesis

Karena baik pada taraf signifikansi 1% maupun 5% nilai thitung < ttabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak.

6. Memberikan interpretasi

Berdasarkan hasil uji hipotesis di atas, pada taraf kepercayaan 5% dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan antara hasil belajar siswa yang menggunakan PBI dengan yang menggunakan Cooperative learning.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)