8.2 Bentuk Kekeliruan Program yang pernah dijalankan Pemerintah
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion FGD dengan 10 orang perwakilan masyarakat dari Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang,
terlihat bahwa penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah terjadi beberapa kekeliruan diantaranya:
1. Kekeliruan dalam hal ketepatan sasaran. Seringkali program penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah tidak tepat sasaran. Kekeliruan dalam hal sasaran ini akan menyebabkan kemiskinan lanjutan kepada
masyarakat. Sebagai contoh program Raskin yang dijalankan oleh pemerintah nampaknya jauh dari sisi keberhasilan. Berdasarkan data dari dua kecamatan
tersebut, terlihat bahwa tidak semua masyarakat miskin mendapat bantuan raskin. Banyak diantara masyarakat yang tidak termasuk katagori miskin
mendapatkan bantuan. Bahkan terjadi jumlah bantuan raskin diperuntukan untuk semua masyarakat, dibagi rata dengan jumlah yang sama. Sebagai salah
satu kasus diantaranya adalah semula setiap keluarga miskin seharusnya mendapat bantuan sebesar 13 kg per keluarga per bulan, namun kenyataan
yang terjadi di lapangan adalah setiap keluarga miskin hanya mendapat 3 liter beras per keluarga per bulan. Ini dapat disimpulkan bahwa dalam proses
penyaluran raskin terjadi ketidaktepatan sasaran. 2.
Kekeliruan dalam hal program yang dijalankan lebih bernuansa karitatif kemurahan hati ketimbang produktivitas. Program penanggulangan
kemiskinan yang dijalankan secara karitatif tidak akan muncul upaya di kalngan masyarakat untuk lebih mandiri dalam mengatasi kemiskinan. Mereka
akan selalu menggantungkan diri kepada bantuan yang diberikan oleh pihak lain, padahal seharusnya program penanggulangan kemiskinan diarahkan agar
masyarakat menjadi mandiri dan produktif. Sebagai contoh program Bantuan Langsung Tunai BLT yang merupakan dana kompensasi BBM yang dialih
fungsikan oleh pemerintah sebagai bantuan langsung kepada masyarakat miskin adalah bias, karena dinilai hanya akan menciptakan ketergantungan
masyarakat miskin kepada pemerintah. Dalam program BLT ini, hampir semua masyarakat mendapatkan bantuan, padahal BLT hanya tepat jika
diberikan kepada kelompok masyarakat miskin yang tidak berdaya, sebagai
contoh orang cacat tubuh seumur hidup yang sudah tidak dapat bekerja dan orang jompo yang terlantar. Sebaiknya program BLT tidak diberikan langsung
berupa uang kepada masyarakat, karena nilainya kecil sehingga tidak begitu berarti bagi masyarakat akan lebih tepat jika dilakukan dalam bentuk program
pemberdayaan masyarakat sebagai dana stimulan. 3.
Kekeliruan memosisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah masih
menempatkan masyarakat hanya sebagai objek penanggulangan kemiskinan. Padahal seharusnya, masyarakat dijadikan sebagai subjek, yaitu bersama-sama
dengan pemerintah sebagai pelaku dalam membuat perubahan yang secara besama dengan aktif terlibat dalam aktivitas penanggulangan kemiskinan di
daerahnya. Masyarakat akan terhindar dari kemiskinan jika dirinya menjadi aktor perubahan dalam rangka memerangi kemiskinan.
4. Kekeliruan Pemerintah masih bertindak sebagai penguasa daripada sebagai
fasilitator. Dalam penanggulangan kemiskinan, masih terlihat bahwa pemerintah lebih banyak bertindak sebagai penguasa yang kerapkali ikut
campur terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Sebaiknya pemerintah bertindak sebagai fasilitator, yang tugasnya mengembangkan
seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Suharto 2003, bahwa paradigma baru pemberantasan kemiskinan adalah
menekankan “apa yang dimiliki orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin” potensi yang dimiliki oleh orang miskin dapat berupa
aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah coping strategis
yang telah dijalankannya secara lokal. 5.
Kekeliruan masih berorientasinya pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional. Penanggulangan kemiskinan yang masih berorientasi pada
aspek ekonomi terbukti mengalami kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam persoalan ekonomi tidak akan mewakili
persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks budaya, orang miskin dapat diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis,
fatalistik, ketidakberdayaan, dsb. Sementara dalam konteks dimensi struktural
atau politik, orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakikatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis.
8.3 Evaluasi Program Penanggulangan Kemiskinan