Strategies in Alleviating Poverty through Agricultural Development in Bogor Regency (Case Study in Pamijahan and Leuwiliang Subdistrict)

(1)

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

MELALUI PENGEMBANGAN PERTANIAN

DI KABUPATEN BOGOR

(Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)

JENAL ABIDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ”Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, 19 Juni 2010

Jenal Abidin NRP H252074125


(3)

ABSTRACT

JENAL ABIDIN. Strategies in Alleviating Poverty through Agricultural Development in Bogor Regency (Case Study in Pamijahan and Leuwiliang Sub-district). Under direction of RINA OKTAVIANI and FREDIAN TONNY NASDIAN.

Bogor Regency, West Java has a big potential in agriculture resources, which has area 2.301 km2, population approximately about 4,2 million people and 20,4 per cent of population work as farmers. By possessing its big potential, people in Bogor Regency should not live in poverty. In fact the number of people who live under poverty is about 1,1 million or 24,02 per cent from total number of population. Therefore a researches to study the strategy in alleviating poverty through agricultural development in Bogor Regency is absolutely important. .

The main objective of this research is to formulate stategies in alleviating poverty by agricultural development in Bogor Regency. The specific purposes in this researches are : 1) Identifying the characteristic and the buying power of people in Bogor Regencies; 2) Analyzing the correlation between the rate of poverty and the characteristic of household in Bogor Regencies; 3) Analyzing the potential commodities of agriculture in Bogor Regency for alleviating poverty and 4) Evaluating of Government Policy in alleviating poverty at Bogor Regency. The method in this research is Quantitative Descriptive Analysis Method for identifying the characteristic and buying power of people who live under poverty and evaluating government policy to alleviate poverty at Bogor Regency, Correlation Analysis Method for analyzing the correlation between the rate of poverty and the characteristic of household in Bogor Regencies and Location Analysis Method(LQ) for analyzing potential commodities of agriculture in Bogor Regency. The method to formulate strategies in alleviating poverty by the agricultural development in Bogor Regencies using SWOT Analysis Method and QSPM Analysis Method.

There are some programe to alleviate poverty which can be implemented in Bogor Regency. They are : 1) Quality Development of human resources for the farmers; 2) Development of potential commodities; 3) Development of infrastructure of agriculture, 4) Making policy and financial system for the farmers; 5) Socialization of poverty alleviiation program for the farmers intensively; 6) Economic development of farmer; 7) Increasing the quality of farmer groups, 8) Making a policy and system to build an area contributing for farmers and 9) Increasing collaboration between agriculture and entreupreneurship to the farmers.


(4)

JENAL ABIDIN. Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang). Komisi pembimbing terdiri dari RINA OKTAVIANI sebagai ketua dan FREDIAN TONNY NASDIAN sebagai anggota komisi pembimbing.

Kabupaten Bogor merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat yang memiliki potensi sumberdaya alam pertanian untuk dikembangkan. Dengan luas wilayah sebesar 2.301 km2 dan jumlah penduduk mencapai 4,2 juta jiwa serta sebanyak 20,4 % penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, seharusnya penduduk Kabupaten Bogor berada dalam kondisi yang sejahtera. Namun kenyataannya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor masih sangat besar yaitu lebih dari 1,1 juta jiwa atau sekitar 24,02% dari total jumlah penduduk. Dengan kondisi seperti diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk membuat strategi penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan pertanian di Kabupaten Bogor.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi dan program penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan pertanian di Kabupaten Bogor dengan tujuan khususnya antara lain : 1) Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor; 2) Menganalisis hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor; 3) Menganalisis komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Bogor untuk penanggulangan kemiskinan; dan 4) Mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan di Kabupaten Bogor.

Metode kajian yang digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik kemiskinan dan kemampuan daya beli masyarakat serta mengevaluasi kebijakan pemerintah di Kabupaten Bogor menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif, untuk mengetahui hubungan antara tingkat kemiskinan dengan karakteristik RTM menggunakan analisis korelasi, untuk dapat mengetahui komoditas unggulan di Kabupaten Bogor menggunakan analisis LQ. Metode yang digunakan untuk merumuskan strategi alternatif penanggulangan kemiskinan adalah metode analisis SWOT dan untuk menentukan strategi prioritas digunakan metode QSPM.

Berdasarkan hasil analisis kajian bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang masih tergolong rendah, hal ini dapat terlihat dari karakteristik penduduk miskin dan kemampuan daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor. Karakteristik kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Bogor, terutama di Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang dapat terlihat dari : Jumlah penduduk miskin yang masih banyak pada dua Kecamatan tersebut, yaitu mencapai 47,94 % di Kecamatan Pamijahan dan 48,99% di Kecamatan Leuwiliang, yang sebagian besar tinggal di perdesaan, Kondisi tempat tinggal (perumahan) yang sebagaian besar terbuat dari bambu, di Kecamatan Pamijahan 60,92 % dan Kecamatan Leuwiliang 60,33 %, Tempat pembuangan kotoran (WC) sebagian besar masyarakat masih membuang


(5)

kotoran di sungai di Kecamatan Pamijahan 57,56 %, Leuwiliang 57,81 %, Kepemilikan terhadap asset terutama kemampuan membeli pakaian di Kecamatan Pamijahan 50,27 % tidak mampu membeli pakaian setahun, Leuwiliang 71,20 % tidak mampu membeli pakaian setahun, Pendidikan kepala keluarga di Kecamatan Pamijahan 60,06 % yang hanya tamat SD dan Leuwiliang 49,46 % tamat SD, Jumlah penerima raskin masih banyak dan karakteristik seperti diatas akibat dari akses terhadap sarana dan prasarana di semua segi terbatas, sehingga pada dua kecamatan tersebut kemiskinan yang terjadi merupakan kemiskinan struktural (kurangnya akses kepada pemerintah). Sementara dilihat dari kemampuan daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor secara umum masih rendah. Di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang kemampuan daya beli masyarakat masih kurang dari standar BPS (Rp. 600.000/bln). Di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang rata-rata kemampuan daya beli masyarakat hanya 475.026 di perdesaan dan Rp. 576.209 di masyarakat perkotaan.

Hasil kajian ini dapat menunjukkan hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik RTM di Kabupaten Bogor. Beberapa karakteristik tersebut antara lain : 1) Pendapatan rumah tangga, 2) Status kepemilikan luas lahan pertanian, 3) Jumlah tanggungan keluarga, 4) Tingkat pendidikan, 5) Usaha sampingan. Berdasarkan analisis korelasi spearman terdapat hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik RTM di Kabupaten Bogor. di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang terdapat hubungan korelasi negative antara tingkat kemiskinan dengan pendapatan, luas lahan dan usaha sampingan, sementara korelasi positif antara jumlah tanggungan dan tingkat pendidikan. Hubungan tingkat kemiskinan dengan karakteristik RTM di dua kecamatan tersebut ada karakteristik yang memiliki tingkat signifikansi kuat dan lemah dengan α= 5 %.

Kajian ini juga menghasilkan beberapa komoditas unggulan pertanian yang dapat dikembangkan dalam rangka penanggulangan kemiskinan pada dua kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu tanaman ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah Kabupaten Bogor telah melaksanakan beberapa program diantaranya adalah Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM), Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP), Program Ketahanan Pangan (PKP) dan KUBE (Kelompok Usaha Bersama Ekonomi). Secara keseluruhan program yang dijalankan oleh pemerintah dapat dikatakan berjalan hanya saja belum optimal. Sehingga perlu dilakukan evaluasi dan dipertimbangkan kembali mengenai ketepatan program yang dilakukan. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan 10 orang perwakilan masyarakat dari kecamatan pamijahan dan kecamatan leuwiliang, terlihat bahwa penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah terjadi beberapa kekeliruan diantaranya adalah Keliru dalam hal sasaran, Program yang dijalankan lebih bernuansa karitatif belum kearah pengembangan produktivitas, Masyarakat hanya dijadikan objek bukan sebagai subjek, Pemerintah lebih bertindak sebagai penguasa dan bukan sebagai fasilitator, Hanya berorientasi pada aspek ekonomi tidak kepada aspek multidimensi. Inilah beberapa evaluasi dari program pemerintah yang harus diperbaiki kedepan.

Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan masih belum optimal, masih banyak


(6)

sifat, segi pendekatan dan segi sasaran. Oleh karenanya program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah harus tepat sasaran, lebih kearah produktif, partisipatif dan menjadikan masyarakat sebagai subjek. Hasil kajian ini menetapkan 9 Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pengembangan Pertanian di Kabuapaten Bogor, yang merupakan alternatif strategi yang dapat dijalankan ke depan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor harus di fokuskan kepada 3 strategi yaitu : 1) Peningkatan kualitas SDM petani; 2) Pengembangan komoditas unggulan padi sawah, ubi jalar, jeruk siam dan manggis; dan 3) Peningkatan sarana dan prasarana pertanian.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

PENGEMBANGAN PERTANIAN

DI KABUPATEN BOGOR

(Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)

JENAL ABIDIN

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(9)

(10)

Pengembangan Pertanian Di Kabupaten Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)

Nama : Jenal Abidin

NRP : H252074125

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr.Ir. Yusman Syaukat,M.Ec Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar N, MS


(11)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)”.

Penulisan ini merupakan salah satu tugas yang harus dipenuhi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional dalam program Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku anggota komisi pembimbing dan Bapak Ir. Said Rusli, MA sebagai penguji. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para dosen dan pimpinan serta pengelola Program Magister Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih juga secara khusus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. H. Herry Suhardiyanto, M.Sc yang telah memberikan dukungan kepada penulis berupa materil maupun non materil sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ini. Kepada Orang tua, istri dan buah hati tercinta beserta seluruh keluarga besar yang telah banyak mendorong, menyemangati dan memberikan perhatian sampai selesainya pendidikan ini. Tak lupa kepada Bappeda Kabupaten Bogor, BPS Kabupaten Bogor, BP3K Wilayah Cibungbulang dan Leuwiliang, Petani dan kelompok tani di kecamatan Pamijahan dan leuwiliang serta teman-teman di kelas yang tak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terimakasih atas kerjasamanya yang selama ini di bangun.

Terlepas dari berbagai bentuk kekurangan dari kajian ini, penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2010 Jenal Abidin


(12)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Agustus 1982 sebagai anak pertama dari enam bersaudara, dari pasangan Baban Subandi (Alm) dan Lilis Adhuri.

Pendidikan Dasar penulis diselesaikan di SD Negeri Ciasmara II pada tahun 1989-1995. Penulis melanjutkan ke SLTP Negeri I Pamijahan pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan ke SMU Negeri I Leuwiliang Bogor pada tahun 1998 dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2001 kemudian penulis melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan IPB dan lulus sebagai Sarjana Peternakan pada tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan kuliah di Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2010.

Penulis sementara bekerja sebagai Asisten Rektor IPB dan sebagai Aktivis Lembaga Kajian Kepemudaan “Cendekia Muda Bogor” sebagai Ketua, serta sebagai pengamat pembangunan daerah di Kabupaten Bogor. Penulis menikah dengan Annisa Rahmawati, S.Pt pada tanggal 26 Juli 2008 dan sudah dikaruniai satu putra dengan nama Faza Fauzan Abidin


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...xvii

DAFTAR GAMBAR... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 4

1.4 Manfaat ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 Pengertian dan Konsep Dasar Kemiskinan... 6

2.2 Indikator Kemiskinan... 9

2.3 Pembangunan Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan... 12

2.4 Pengembangan Komoditas Pertanian Potensial dalam Upaya Mening- katkan Pendapatan Rumah Tangga Tani... 14

2.5 Kelembagaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan ... 15

2.6 Strategi Penanggulangan Kemiskinan ... 16

2.7 Paradigma Pembangunan Pertanian... 18

2.8 Penelitian sebelumnya mengenai Penanggulangan Kemiskinan ... 19

III. METODOLOGI KAJIAN ... 23

3.1 Kerangka Pemikiran... 23

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian... 26

3.3 Data dan Metode Analisis ... 26

3.3.1 Teknik Sampling ... 27


(14)

3.3.2.2 Analisis Korelasi ... 29

3.3.2.3 Analisis Location Quotient (LQ)... 29

3.3.2.4 Matriks IFE dan EFE... 30

3.3.2.5 Analisis Matriks Internal – Eksternal ... 32

3.3.2.6 Matriks S.W.O.T ... 33

3.4 Metode Perumusan Strategi dan Perancangan Program ... 35

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH... 38

4.1 Kondisi Geografis dan Administratif... 38

4.1.1 Letak dan Batas Wilayah ... 38

4.1.2 Keadaan Alam Kabupaten Bogor ... 39

4.1.3 Kondisi Pemerintahan Kabupaten Bogor... 40

4.2 Keadaan Penduduk Kabupaten Bogor ... 40

4.2.1 Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin ... 40

4.2.2 Persebaran dan Kepadatan Penduduk ... 44

4.2.3 Struktur Penduduk Menurut Pekerjaan ... 44

4.3 Perekonomian Kabupaten Bogor ... 45

4.4 Kondisi Mata Pencaharian ... 47

4.5 Kemiskinan di Kabupaten Bogor... 48

4.6 Pendidikan dan Kesehatan ... 49

4.7 Kultur Masyarakat dan Kelembagaan... 50

4.8 Potensi Pertanian di Kabupaten Bogor ... 51

4.8.1 Potensi Sumberdaya Alam Pertanian ... 51

4.8.2 Potensi Sektor Perkebunan... 52

4.8.3 Potensi Sektor Tanaman Pangan ... 54

4.8.4 Potensi Sektor Peternakan... 54

4.8.5 Potensi Sektor Kehutanan ... 56

4.9 Penggunaan dan Kepemilikan Lahan di Kabupaten Bogor ... 56


(15)

V. KARAKTERISTIK DAN KEMAMPUAN DAYA BELI

MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR ... 60

5.1 Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan di Kabupaten Bogor ... 60

5.2 Karakteristik Kemiskinan di Kabupaten Bogor ... 62

5.3 Daya Beli Masyarakat di Kabupaten Bogor... 67

5.4 Ikhtisar... 69

VI.HUBUNGAN TINGKAT KEMISKINAN DENGAN KARAKTERISTIK RTM DI KABUPATEN BOGOR... 71

6.1 Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor ... 71

6.2 Kemiskinan di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang ... 72

6.3 Hubungan Kemiskinan dengan Karakteristik Rumah tangga miskin di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor ... 75

6.4 Hubungan Kemiskinan dengan Karakteristik Rumah tangga miskin di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor ... 76

6.5 Ikhtisar ... 77

VII. KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN BOGOR... 79

7.1 Komoditas Unggulan di Kecamatan Pamijahan... 79

7.2 Komoditas Unggulan di Kecamatan Leuwiliang ... 81

7.3 Prioritas Pengembangan Komoditas Unggulan... 83

7.3.1 Perkembangan Ubi Jalar ... 84

7.3.2 Perkembangan Padi Sawah... 85

7.3.3 Perkembangan Manggis... 86

7.3.4 Perkembangan Jeruk Siam... 87

7.4 Ikhtisar ... 88

VIII. EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN ... 90

8.1 Program Pemerintah dalam Penggulangan Kemiskinan... 90

8.2 Bentuk Kekeliruan Program yang Pernah dijalankan Pemerintah ... 91

8.3 Evaluasi Program Penanggulangan Kemiskinan ... 93


(16)

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR 98

9.1 Analisis Faktor Internal dan Eksternal ... 98

9.1.1 Faktor Internal ... 98

9.1.2 Faktor Ekternal...104

9.1.3 Evaluasi Faktor Internal (IFE) ...109

9.1.4 Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)...110

9.2 Perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan...112

9.3 Penentuan Strategi Penanggulangan Kemiskinan...115

9.4 Perancangan Program Penanggulangan Kemiskinan...117

X. KESIMPULAN DAN SARAN ...123

10.1 Kesimpulan...123

10.2 Saran ...124

DAFTAR PUSTAKA ...126


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Potensi Sumberdaya Alam di Kabupaten Bogor ... 1

2. Data dan Metoda Analisis ... 27

3. Matrik Analisis IFE... 32

4. Matrik Analisis EFE... 32

5. Matrik SWOT ... 34

6. Matrik Analisis QSPM... 36

7. Jumlah Penduduk dan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor Tahun 2006... 41

8. Jumlah Keluarga Miskin di Kabupaten Bogor Tahun 2006... 43

9. Persentase Serapan Tenaga Kerja Per Sektor... 45

10. Kontribusi Setiap Sektor pada Perekonomian Kabupaten Bogor ... 46

11. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor ... 47

12. Potensi Sumberdaya Alam Pertanian di Kabupaten Bogor... 52

13. Luas Areal Tanaman Muda Perkebunan Rakyat dirinci menurut Jenis Tanaman di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007 ... 53

14. Luas Areal Tanaman Muda Perkebunan Besar dirinci menurut Jenis Tanaman di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007 ... 53

15. Luas Penanaman dan Produksi Palawija 2008 dan Harapan Peningkatan - Produktivitas Tanaman dengan Intensifikasi ... 54

16. Potensi Hasil Ternak di Kabupaten Bogor... 54

17. Perkembangan Populasi Ternak Unggas di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2008 ... 55

18. Perkembangan Populasi Ternak Ruminansia Besar di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2008 ... 55

19. Jenis,Luas, Produksi, Jumlah Pemilik, dan Jumlah Tenaga Kerja Terlibat di Hutan Rakyat... 56

20. Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor ... 57

21. Status Kepemilikan Lahan Petani ... 58


(18)

23. Delapan Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan di Kabupaten

Bogor... 61

24. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Jumlah Penduduk... 62

25. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Kondisi Tempat Tinggal ... 63

26. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Kepemilikan WC ... 63

27. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Kepemilikan pakaian ... 64

28. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Tingkat Pendidikan Kepala keluarga 64 29. Jumlah Penerima Raskin di Kecamatan Pamijahan ... 65

30. Jumlah Penerima Raskin di Kecamatan Leuwiliang... 66

31. Besarnya Rata-rata Daya Beli Masyarakat ... 69

32. Jumlah KK Miskin di Kecamatan Pamijahan ... 73

33. Jumlah KK Miskin di Kecamatan Leuwiliang... 74

34. Koefisien Korelasi Hubungan antara Kemiskinan dengan karakteristik RTM di Kecamatan Pamijahan ... 75

35. Koefisien Korelasi Hubungan antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Leuwiliang ... 76

36. Indeks Location Quotient Berdasarkan Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor... 79

37. Indeks Location Quotient Berdasarkan Produksi Buah-buahan di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor ... 80

38. Indeks Location Quotient berdasarkan produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor ... 81

39. Indeks Location Quotient berdasarkan produksi buah-buahan di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor ... 82

40. Jenis Komoditas Unggulan Per Kecamatan di Kawasan Zona 2 Kabupaten Bogor ... 83

41. Perkembangan Ubi Jalar di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang ... 84

42. Perkembangan Padi Sawah di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang ... 85

43. Produksi Manggis di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang... 87

44. Produksi Jeruk Siam di Kecamatan Pamijahan... 87

45. Matriks IFE dari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor... 109


(19)

xix

46. Matriks EFE dari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten

Bogor ... 111 47. Matrik SWOT Perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan

di Kabupaten Bogor... 115 48. Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ... 116 49. Matriks Program Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ... 122


(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Kajian ... 25

2. Analisis Internal dan Eksternal ... 33

3. Hubungan Analisis SWOT dengan Tujuan 5... 35

4. Peta Lokasi Kabupaten Bogor... 38

5. Jumlah RTM Penerima Raskin di Kabupaten Bogor... 67

6. Kemampuan Daya Beli Masyarakat Kabupaten Bogor ... 68

7. Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor ... 71

8. Jumlah Pengangguran di Kabupaten Bogor (2004-2008)... 72

9. Analisis Internal- Eksternal dari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ... 112


(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Matriks QSPM ... 129

2. Matrik Rating Faktor Internal ... 130

3. Matrik Rating Faktor Eksternal... 131

4. Matrik Rekapitulasi Bobot IFE ... 132

5. Matrik Rekapitulasi Bobot EFE ... 133

6. Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Pamijahan... 134

7. Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Leuwiliang... 134

8. Produksi Buah-buahan di Kecamatan Pamijahan. ... 135

9. Produksi Buah-buahan di Kecamatan Leuwiliang... 136

10. Analisis Korelasi Antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor ... 137

11. Analisis Korelasi antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor ... 138


(22)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Bogor merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat yang memiliki berbagai potensi yang belum dikembangkan secara optimal. Kabupaten Bogor dalam rangka mengembangkan potensi tersebut, membutuhkan peran dari pemerintah dan masyarakat untuk mengelola dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Salah satu potensi yang dimiliki Kabupaten Bogor adalah sumberdaya alam pertanian berupa lahan yang masih luas yang dapat menjadi basis perekonomian daerah sebagai upaya penanggulangan kemiskinan. Potensi sumberdaya alam di Kabupaten Bogor yang berupa luas lahan pertanian dari tahun ke tahun masih terluas jika dibandingkan dengan sektor lainnya walaupun mengalami fluktuasi. Bertambahnya luas lahan pertanian pada tahun 2007 terjadi karena reboisasi dan pembukaan hutan menjadi lahan pertanian, pada tahun 2008 terjadi alih fungsi lahan menjadi pemukiman sehingga menyebabkan luas lahan pertanian berkurang. Potensi ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel. 1 Potensi Sumberdaya Alam di Kabupaten Bogor (Ha)

Potensi 2006 2007 2008

Pertanian 149.748 180.898 175.320

Perkebunan 24.063 22.126 23.577 Kehutanan 108.033 79.380 79.436

Lainnya 28.189 27.629 31.700

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2009)

Potensi lain disamping luas lahan pertanian, Kabupaten Bogor juga memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar. Luas wilayah yang mencapai 2.301, 95 kilometer persegi yang terdiri dari 40 kecamatan dan 428 desa dengan jumlah penduduk yang besarnya mencapai 4.215.585 jiwa pada tahun 2006 (Susda, 2006) tampaknya tidak mampu mencerminkan tingkat kesejahteraan di Kabupaten Bogor. Besarnya luas wilayah dan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor malah menjadi permasalahan tersendiri dengan banyaknya masyarakat miskin. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor mencapai 1.026.789 jiwa (24, 15 % ), artinya setiap 100 orang penduduk terdapat 24 orang


(23)

2 miskin. Jika dilihat dari berbagai potensi yang dimiliki seperti diatas, seharusnya kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat ditanggulangi dengan baik oleh pemerintah, namun faktanya kemiskinan masih tetap menjadi permasalahan yang belum tuntas diselesaikan. Oleh karenanya, perlu dilakukan sebuah kajian “Bagaimana Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor?”

1.2 Perumusan Masalah

Pembangunan daerah di Kabupaten Bogor yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah sejak masa orde baru hingga sekarang, pada dasarnya telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Salah satu program pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan ini adalah program revitalisasi pertanian pada 40 kecamatan. Kecamatan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan pertanian diantaranya : untuk pengembangan pertanian padi sawah, palawija dan buah-buahan adalah Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang. Pengembangan wilayah menuju kesejahteraan, pemerintah telah melakukan beberapa langkah strategis sebagai upaya penanggulangan kemiskinan, baik itu yang diluncurkan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor. beberpa program yang telah dilaksanakan antara lain : Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM), Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP), Program Ketahanan Pangan (PKP) dan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE) (Susda, 2006).

Program-program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin perdesaan melalui peningkatan dan pemerataan pendapatan. Namun program yang dilaksanakan belum banyak berpengaruh terhadap adanya peningkatan pendapatan masyarakat miskin di perdesaan, hal ini di indikasikan lemahnya ekonomi masyarakat menghadapi gejolak perekonomian. Kondisi yang terjadi ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang belum menyelaraskan program yang ada dengan karakteristik dan kondisi sosial rumah tangga miskin, serta potensi wilayah perdesaan sebagai


(24)

basis penggerak ekonomi rakyat, sehingga pendapatan penduduk miskin masih tetap rendah.

Rendahnya pendapatan penduduk miskin semakin menambah permasalahan kemiskinan sehingga menyebabkan lemahnya motivasi masyarakat berperan serta pada program pembangunan ekonomi perdesaan, rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola asset yang menyebabkan terbiarnya lahan-lahan yang menjadi potensi sumber ekonomi produktif, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi krisis ekonomi, sehingga melengkapi kesengsaraan komunitas masyarakat miskin dalam mempertahankan diri untuk tetap hidup. Pertanyaannya adalah Bagaimana karakteristik masyarakat miskin dan kemampuan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor?

Dalam upaya mengatasi kemiskinan di perdesaan, diperlukan pemahaman mengenai karakteristik rumah tangga miskin (RTM), apa penyebab dan bagaimana hubungannya dengan tingkat kemiskinan, sehingga menjadikan masyarakat menjadi miskin. Apakah lebih kepada kemiskinan secara struktural atau kultural. Berdasarkan pola hidup dan karakteristik masyarakat di Kabupaten Bogor yang sebagian besar bergantung pada sektor pertanian (20,21%) maka perlu dilakukan suatu kajian dalam rangka menggali informasi mengenai karakteristik kemiskinan yang terjadi yang menimpa 24,02% penduduk di Kabupaten Bogor (BPS Kabupaten Bogor, 2008). Pertanyaannya adalah bagaimana hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik rumah tangga miskin (RTM) di Kabupaten Bogor?

Kabupaten Bogor merupakan daerah yang kaya akan komoditas pertanian. Banyak ragam mulai dari tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan buah-buahan. Bahan komoditas ini harus dijadikan sebagai bentuk usaha rakyat yang dikelola dengan baik dan profesional. Pemerintah perlu mengembangkan ragam komoditas yang ada pada masyarakat menjadi usaha komoditas unggulan untuk di kembangkan. Pengembangan usaha komoditas tersebut dikelola secara terintegrasi dan berkelanjutan sehingga dapat dijadikan sebagai dasar petimbangan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan sebagai upaya penanggulangan


(25)

4 kemiskinan yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertanyaannya adalah Komoditas unggulan pertanian apa yang dapat dikembangkan guna meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin tersebut?

Penanggulangan kemiskinan memerlukan pendekatan yang integral baik secara sosial, ekonomi dan budaya. Berbagai program pembangunan yang dikaitkan dengan kemiskinan, dianggap masih bersifat parsial dan tidak terintegrasi dengan baik di lintas sektoral, sehingga masih belum dapat meningkatkan kualitas dan taraf hidup rumah tangga secara signifikan. Pendekatan pelaksanaan program pengentasan kemiskinan masih bersifat sentralistik, karena pemerintah daerah hanya diikutsertakan pada tahap pelaksanaan dilapangan. Pendekatan lainnya tidak melihat kemiskinan dari indikator keluaran (output indicator), artinya kemiskinan dilihat dari gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya. Bentuk program yang dilakukan oleh pemerintah belum mencerminkan aspirasi masyarakat miskin seutuhnya, lemahnya pengendalian pelaksanaan program dan mekanisme pelaksanaan kurang transparan, sehingga menyebabkan program tidak efektif dan efisien, sehingga perlunya evaluasi program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah di Kabupaten Bogor, menjadi pertanyaan yang perlu di jawab dalam kajian ini.

1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan umum dari kajian ini adalah untuk merumuskan Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor. Sedangkan tujuan spesifik dari kajian ini dimaksudkan untuk :

1. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis hubungan antara tingkat kemiskinan dengan karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Bogor untuk penanggulangan kemiskinan.


(26)

4. Mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan di Kabupaten Bogor.

1.4 Manfaat

Berdasarkan tujuan yang ingin di capai, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk pemerintah daerah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan dengan mengembangkan komoditas pertanian unggulan guna mencapai kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Konsep Dasar Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana seseorang, sejumlah atau segolongan orang yang berada dalam tingkatan kekurangan dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang layak berlaku di masyarakat. Standar kehidupan yang rendah ini langsung berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral dan harga diri mereka sebagai orang miskin. Seseorang dimasukan ke dalam golongan miskin apabila dia tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. Menurut Darwis (2004), kebutuhan dasar itu sendiri dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu 1) Kebutuhan fisik primer yang merupakan kebutuhan gizi, perumahan, kesehatan; 2) Kebutuhan kultural yang terdiri dari pendidikan, rekreasi dan ketenangan hidup; 3) Kebutuhan lainnya yang lebih tinggi jika kebutuhan primer dan kultural sudah terpenuhi dan ada kelebihan pendapatan. Pengertian kebutuhan dasar menurut ILO (International Labour Organization) membagi kebutuhan dasar ke dalam dua unsur, yaitu 1) Kebutuhan meliputi tuntutan minimum tertentu suatu keluarga sebagai konsumsi pribadi seperti makanan, perumahan, pakaian, peralatan dan perlengkapan rumah tangga; dan 2) Kebutuhan yang meliputi pelayanan sosial yang diberikan oleh dan untuk masyarakat seperti minum, angkutan umum, kesehatan, pendidikan, dan fasilitas kebudayaan.

Kemiskinan merupakan permasalahan pembangunan yang dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang. Kemiskinan sangat berkaitan erat dengan faktor-faktor tertentu misalnya pendapatan, pendidikan, kesehatan, akses terhadap barang dan jasa, dan kondisi lingkungan. Menurut Ritonga (2003), miskin adalah kondisi kehidupan masyarakat yang sangat serba kekurangan yang dialami seseorang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimalnya (kebutuhan dasarnya).

Menurut Sumodiningrat (1999), kemiskinan bila ditinjau dari penyebabnya dapat dibedakan menjadi kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan Struktural terjadi disebabkan oleh faktor eksternal atau faktor yang berada di luar jangkauan individu, secara kongkrit faktor ini merupakan hambatan


(28)

kelembagaan atau struktur yang menghambat seseorang untuk meraih kesempatan. Artinya, bukan karena seseorang tidak mau bekerja tetapi struktur yang ada menjadi hambatan. Kemiskinan kultural timbul disebabkan karena faktor internal yang berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya sebagai akibat nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut sekelompok masyarakat.

Kemiskinan sesungguhnya merupakan masalah multidimensi yang erat kaitannya dengan kesejahteraan, dikaitkan dengan keterbatasan hak-hak sosial sehingga jika seseorang dianggap miskin biasanya cenderung tidak sejahtera. Banyak definisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau Well Being, misalnya dikatakan bahwa kesejahteraan seseorang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum. Seseorang dikatakan mampu jika dia memiliki kemampuan ekonomi yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki (kekayaan) atau secara paralel dapat dianalogikan tentang kemampuan seseorang untuk memperoleh jenis barang-barang konsumsi tertentu (misalnya makan dan perumahan). Seseorang yang kurang mampu untuk berperan dalam masyarakat mungkin memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Sen, 1999) atau lebih rentan (vulnerable) terhadap krisis atau gejolak ekonomi dan iklim. Jadi dalam konteks ini, kemiskinan dapat berarti kurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum yaitu keterbatasan terhadap kelompok pilihan komoditas (Watts, 1968) atau jenis konsumsi tertentu, misalnya terlalu sedikit mengkonsumsi makanan yang dirasa sangat esensial atau perlu untuk memenuhi standar hidup dalam masyarakat, maupun dalam arti kurangnya kemampuan untuk berperan dalam masyarakat.

Kemiskinan memiliki konsep yang sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Berdasarkan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak hal inilah yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin,


(29)

8

tetapi definisi ini sangat kurang memadai karena 1) Tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; 2) Dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; 3) Tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontra produktif.

BAPPENAS (2004), mendifiniskan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain: pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective

Badan Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana pendapatan seseorang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan dan non pangan (sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar). Berdasarkan indikator internasional seperti terdefinisi miskin dalam kategori MDGs (Millenium Development Goals) adalah warga miskin yang berpendapatan dibawah satu dolar AS setiap harinya. Kemudian Asian Development menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia sebesar US$ 2 perkapita per hari, setelah dikonversi kedalam rupiah menjadi sekitar Rp. 540.000 per bulan.

Menurut Nurkse (1953), ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi pada seseorang, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi karena antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat


(30)

anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, sehingga mereka tetap miskin.

Sajogyo (1987), mengungkapkan kemiskinan merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada dibawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Sajogyo dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan perdesaan masing-masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun.

Beberapa konsep dasar mengenai kemiskinan diatas merupakan konsep yang berkembang di masyarakat, masih banyak konsep lain mengenai kemiskinan yang dapat kita pelajari sebagai definisi kemiskinan, tetapi pada intinya hampir semua sumber sepakat bahwa kemiskinan pada dasarnya adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kehidupan sehari-hari.

2.2 Indikator Kemiskinan

Banyak indikator tentang kemiskinan yang di tuliskan oleh para ahli dan institusi yang bergerak dibidangnya. Hendrakusumaatmaja (2002), mengungkapkan bahwa kemiskinan dicirikan oleh tiga hal, yaitu pertama rendahnya penguasaan asset dimana skala usaha tidak efisien dan mengakibatkan produktivitas menjadi rendah; kedua rendahnya kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kepemilikan atau penguasaan akan asset; ketiga rendahnya kemampuan dalam mengelola asset. Menurut BKKBN indikator kemiskinan disebut sebagai keluarga pra sejahtera yang dikeluarkan secara nasional adalah seluruh anggota keluarga yang mampu untuk makan dua kali sehari atau lebih, seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah dan bepergian, bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah dan apabila anak atau anggota keluarga lainnya sakit dapat di bawa ke sarana/ petugas kesehatan, kemudian pasangan usia subur (PUS) ingin berkeluarga berencana (KB) dibawa ke sarana atau petugas kesehatan dan diberi obat dengan cara KB Modern.


(31)

10

Menurut Sumardjo (2004), ciri masyarakat miskin yang diambil dari berbagai sumber rujukan (Patnership GRI, Cresescent dan IPB, 2003) adalah : 1) Secara politik tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka; 2) Secara sosial tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada; 3) Secara ekonomi rendahnya SDM termasuk kesehatan, pendidikan, keterampilan yang berdampak pada penghasilan; 4) Secara budaya dan tata nilai, terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM, seperti rendahnya etos kerja, berfikir pendek dan fatalisme; 5) Secara lingkungan hidup rendahnya pemilikan asset fisik termasuk asset lingkungan seperti air bersih dan penerangan.

Menurut Salim (1980), ada lima yang termasuk ciri-ciri orang miskin, yaitu:

1) Umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal atau keterampilan.

2) Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri

3) Tingkat pendidikan yang rendah, tidak tamat sekolah dasar

4) Sebagian besar tinggal diperdesaan,umumnya menjadi buruh tani atau pekerja kasar diluar pertanian

5) Kebanyakan yang hidup dikota dan masih berusia muda yang tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan.

Badan Pusat Statistik (2004), telah menetapkan empat belas kriteria keluarga miskin seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informasi, bahwa rumah tangga yang tergolong kedalam rumah tangga miskin yaitu :

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ kayu/ rumbia berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.


(32)

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan satu atau dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5 Ha,

buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000 per bulan

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD.

14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000 seperti sepeda motor (kredit/ non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.

Kemiskinan adalah suatu situasi atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi (Bappenas, 2004). Dimensi utama kemiskinan adalah politik, sosial budaya, dan psikologi, ekonomi dan akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait dan saling mengunci atau membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak memiliki biaya untuk berobat. Orang miskin pada umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit akibat kekurangan air bersih, kemiskinan adalah ketidak berdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas.


(33)

12

2.3 Pembangunan Ekonomi dalam Penanggulangan Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama dalam persoalan pembangunan. Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutuskan mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan dengan meningkatkan keterampilan sumberdaya manusianya, penambahan modal investasi dan mengembangkan teknologi melalui berbagai suntikan pendanaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas.

Menurut Suharto (2003), untuk mengatasi kemiskinan diperlukan sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dan program anti kemiskinan, hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernization paradigm). Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neo klasik dan model yang berpusat pada produksi.

Pembangunan sering kali dianggap sebagai suatu obat terhadap berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat, khususnya pada negara yang sedang berkembang. Permulaan implementasi pendekatan pembangunan ketika dikemukakannya teori pertumbuhan oleh kelompok ekonom ortodok. Teori ini menjelaskan bahwa pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi akhirnya diasumsikan akan meningkatkan standar kehidupan. Penggunaan GNP sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan, tetapi jika di perhatikan lebih jauh ternyata pertumbuhan yang ada hampir tidak bermakna bagi masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan, karena GNP tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Trolleer (1978), ada beberapa pendekatan pembangunan, antara lain : pendekatan pertumbuhan, pertumbuhan dan pemerataan, ketergantungan, tata ekonomi baru, kebutuhan pokok.

Menurut Rostow (1980), dalam teori pendekatan pembangunan yang menggambarkan tahapan dalam pembangunan yang pada intinya terkait investasi “modal besar” atau mengenai “suntikan investasi yang padat modal untuk mendongkrak sumberdaya dan potensi yang ada pada masyarakat”. Pendekatan yang dianggap mujarab untuk negara-negara kaya di utara ini dicangkokkan dan diterapkan guna mengobati negara-negara selatan. Dalam penerapannya, strategi untuk melakukan pembangunan dilakukan dengan memperhatikan laju


(34)

pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki sebagai indikator utamanya. Dengan menggunakan teori tersebut, sebagai negara dunia ke tiga mengerahkan para teknokrat dan pakarnya untuk melaksanakan “strategi pembangunan” yang dirancang dengan sasaran tunggal yaitu bagaimana untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam waktu yang singkat. Untuk memenuhi hal tersebut, sangat diperlukan modal investasi dalam jumlah yang besar, yang tentunya tidak dimiliki oleh negara-negara dunia ke tiga, dan sebagai jalan pintas dibukalah pintu lebar-lebar untuk investasi modal asing beserta teknologi untuk masuk kenegara tersebut.

Asumsi teori ini adalah bila terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagai konsekuensinya akan terjadi “tetesan rejeki kebawah” (trickle down effect). Tetesan rejeki kebawah ini diharapkan juga akan mencapai kelompok masyarakat di lapisan bawah. Kenyataannya, hasil pembangunan yang terjadi memicu permasalahan lain, seperti : bertambahnya angka pengangguran pada angkatan kerja, bertambahnya kejahatan, tingkat migrasi dari desa ke kota, dan ketimpangan pada negara dunia ke tiga.

Pembangunan dalam kerangka otonomi daerah harus berdasarkan teori/ konsep yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan pembangunan. Terdapat teori-teori yang masih relevan untuk diterapkan sebagai suatu pola dalam mengembangkan pembangunan. Konsep pembangunan menurut Malthus tidak menganggap proses pembangunan ekonomi terjadi dengan sendirinya, malahan proses pembangunan ekonomi memerlukan berbagai usaha yang konsisten di pihak rakyat. Proses tersebut memberikan gambaran adanya gerakan menuju keadaan stasioner tetapi menekankan bahwa perekonomian mengalami kemerosotan beberapa kali sebelum mencapai tingkat tertinggi dari pembangunan. Jadi menurut Malthus proses pembangunan adalah suatu proses naik turunnya aktivitas ekonomi lebih daripada sekedar lancar atau tidaknya aktivitas ekonomi (Jhingan, 2003).

Teori ini menitikberatkan perhatian pada perkembangan kesejahteraan suatu negara, yaitu pembangunan ekonomi yang dapat dicapai dengan meningkatkan kesejahteraan suatu negara sebagian tergantung pada kuantitas


(35)

14

produk yang dihasilkan oleh tenaga kerjanya, dan sebagian lagi pada nilai atas produk tersebut.

Pembangunan dan tujuannya memiliki pengertian ataupun persepsi baik secara individual maupun sebagai kelompok yang tentu menaruh harapan yang besar pada pembangunan, bahwa keadaan masyarakat akan menjadi lebih baik melalui pembangunan. Pembangunan sering menjadi perdebatan akademik dan perdebatan ideologi. Negara yang semula dibawah penjajahan kolonial, setelah merdeka hanya melihat pembangunan sebagai salah satu cara untuk survive dan sekaligus untuk mengejar ketertinggalan. Rusli (2004), memberi arti pembangunan ekonomi dengan membedakan antara pertumbuhan (Growth) dan perkembangan (development) pertumbuhan dan perkembangan terjadi bersama-sama, tetapi pertumbuhan dapat terjadi tanpa perkembangan. Sebenarnya pembangunan atau perkembangan dapat diberikan makna lebih luas sebagai contoh pemberian makna dalam arti lebih luas dimana pembangunan mengandung tiga nilai inti, yaitu : dapat mempertahankan hidup (life sustainance), mempunyai harga diri (self esteem), dan kebebasan (freedom) Todaro (2000). Pendapat ini berasumsi suatu komunitas atau masyarakat mempunyai kemampuan atau kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan dasar dengan selalu berpegang kepada harga diri dan martabat ataupun kepribadian.

2.4 Pengembangan Komoditas Unggulan dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Rumah Tangga Tani

Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bogor pada tahun 2006 mencapai 4,69% diperoleh dari sektor pertanian. Walapun lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor yang lain terutama sektor industri yang mencapai 64,30% dan sektor perdagangan yang mencapai 15,48%, namun PDRB sektor pertanian dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Artinya sektor pertanian menjadi sektor potensial dalam menambah nilai pendapatan daerah dari tahun ke tahun walaupun secara jumlah menjadi sektor penyumbang ke-tiga terbesar terhadap PDRB Kabupaten Bogor.

Menurut Adiwijoyo (2005), apabila petani di daerah mau dan mampu merubah keadaan bertani dari pola bertani secara konvensional, dengan sistem


(36)

olah tanah menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia ke pola bertani organik terpadu, ada langkah-langkah yang dapat dilakukan : Pertama model pertanian lahan basah yang dikembangkan saat ini harus ditinggalkan, karena akan mengeksploitasi habis-habisan unsur hara yang sangat di butuhkan oleh tanaman padi, sehingga sawah semakin lama akan semakin banyak memerlukan pupuk dan obat-obatan anti hama tanaman yang dibutuhkan. Kedua model pertanian lahan kering, pertanian ini merupakan sumber bahan pangan yang sangat potensial, sehingga untuk meningkatkan jumlah hasil panen secara massal dikembangkan secara konvensional, secara monokultur dan dimekanisasi. Model ini adalah model pertanian organik terpadu dan tanpa olah tanah (TOT), yaitu dengan menanam berbagai tanaman musiman (heterokultur) secara tumpang sari dan tumpang gilir tanpa olah tanah, memadukan dengan usaha peternakan.

Pembangunan ekonomi perdesaan sebagai satu kesatuan antara pembangunan sektor pertanian dan industri. Arah dari pembangunan tersebut terdapat pada upaya pemberdayaan agro industri. Pengembangan agro industri ini, sekaligus dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa yang sejalan dengan berkembangnya kegiatan di dalam sektor pertanian (on farm) dan di luar pertanian (off farm) melalui proses pengolahan, serta kegiatan jasa perdagangan komoditas primer. Berkembangnya kegiatan tersebut akan dapat meningkatkan nilai tambah di perdesaan, diversifikasi produksi perdesaan, pendapatan petani dan akan mempercepat akumulasi kapital perdesaan, Sandra (2002).

Menurut Kurniawati (2002), program yang perlu dikembangkan di perdesaan untuk sektor pertanian dan industri kecil adalah komoditas yang berpotensi meningkatkan nilai tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran yang tidak terdistorsi, penyediaan sarana transfortasi dan distribusi produk, serta pengembangan kemitraan dan restrukturisasi sistem kelembagaan pertanian dan agroindustri.

2.5 Kelembagaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan

Pengembangan masyarakat tidak terlepas dari pengertian pembentukan modal manusia. Jhingan (2003) menyatakan bahwa pembentukan modal manusia


(37)

16

adalah proses memperoleh dan meningkatkan jumlah orang yang mempunyai keahlian, pendidikan dan pengalaman yang menentukan bagi pembangunan ekonomi dan politik suatu negara. Pembentukan modal manusia karenanya dikaitkan dengan investasi pada manusia tersebut dan pengembangan menuju kearah yang kreatif dan produktif.

Jhingan (2003), menyatakan terdapat lima cara pengembangan sumberdaya manusia, antara lain dengan memberikan: 1) Fasilitas dan pelayanan kesehatan, pada umumnya mencakup semua pengeluaran yang mempengaruhi harapan hidup, kekuatan dan stamina, tenaga serta vitalitas rakyat; 2) Latihan jabatan, termasuk jenis pelatihan pengembangan SDM yang diorganisasikan oleh perusahaan; 3) Pendidikan yang diorganisasikan secara formal pada tingkat dasar, menengah dan tinggi; 4) Pelatihan bagi orang dewasa yang tidak diorganisasikan oleh perusahaan, termasuk program penyuluhan khususnya pada pertanian; 5) Rotasi jabatan kepemimpinan perorangan dan keluarga untuk menyesuaikan diri dengan kesempatan kerja yang selalu berubah.

Sumardjo (2004), menyatakan bahwa seseorang akan berpartisipasi dalam masyarakat apabila terpenuhi prasyarat untuk berpartisipasi sebagai berikut : 1) Kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa seseorang berpeluang untuk berpartisipasi; 2) Kemauan, adanya suatu yang menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut; dan 3) Kemampuan, adanya kesadaran dan keyakinan pada dirinya bahwa ia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, dapat berupa pikiran, tenaga, waktu atau sarana dan material lainnya. Apabila salah satu saja dari ketiga prasyarat diatas itu tidak dapat dilaksanakan maka partisipasi yang sebenarnya dalam pembangunan tidak akan pernah terjadi.

2.6 Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Hakikat pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Namun, seringkali kronologi yang diterapkan tidak netral terhadap initial endowment petani, maka tidak semua petani dapat langsung memanfaatkan atau terlibat dalam program-program pembangunan


(38)

pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut, program pembangunan pertanian yang langsung terkait dengan penanggulangan kemiskinan yang perlu diimplementasikan adalah berupa pembagian benih atau bibit tanaman dan hewan bagi pengembangan di daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus seperti daerah lahan kering marjinal, daerah transmigrasi dan daerah pantai, Kasryno dan Suryana, (1987).

Badan Pusat Statistik (2005), menjelaskan bahwa ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam menanggulangi masalah kemiskinan, diantaranya adalah melalui kebijakan makro ekonomi, pendekatan kewilayahan, dan pendekatan pemenuhan hak-hak dasar kebutuhan manusia. Kebijakan makro ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Pendekatan kewilayahan yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan percepatan pembangunan perdesaan, pembangunan perkotaan, pengembangan kawasan pesisir, dan percepatan pembangunan di daerah tertinggal. Strategi penanngulangan kemiskinan yang dilakukan melalui pendekatan pemenuhan hak-hak dasar adalah dengan melakukan pemenuhan hak atas pangan, sandang, pendidikan, kesehatan, akses terhadap sumberdaya sosial dan ekonomi, kegiatan usaha produktif, perumahan air bersih dan rasa aman.

Menurut Saharia (2003), paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan yaitu melakukan pembangunan perdesaan, dimana pertanian diposisikan sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan dan hasil yang memadai. Pertanian dapat menjadi sumber pendapatan yang memadai apabila setiap program melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang ada di wilayah perdesaan (sekitar 75%) dari total penduduk dan tentunya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dalam hal ini potensi sumber daya manusianya dan potensi sumberdaya alamnya.

Dalam PP No 13 tahun 2009 tentang koordinasi penanggulangan kemiskinan, terdapat 3 kelompok program penanggulangan kemiskinan diantaranya yaitu : 1) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan dan perlindungan sosial yang terdiri atas program-program yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta


(39)

18

perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin; 2) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang terdiri atas program-program yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat; 3) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil terdiri atas program-program yang bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil.

2.7 Paradigma Pembangunan Pertanian

Paradigama pembangunan pertanian dapat dicapai apabila potensi sumberdaya manusia di wilayah perdesaan yang sebelumnya menjadi objek diposisikan menjadi subjek pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan di sektor pertanian. Menurut Saharia (2003), dalam menyikapi perubahan paradigma pembangunan di perdesaan, ada beberapa langkah yang harus dipertimbangkan yaitu :

1) Menghubungi para tokoh masyarakat dan tokoh petani

2) Menjelaskan latar belakang dan tujuan dari program pertanian yang akan diterapkan

3) Menumbuhkan motivasi pada diri para tokoh masyarakat dan tokoh petani agar program yang akan diterapkan dirasakan sebagai kebutuhan mereka dengan jalan mendiskusikan bersama apa alasan-alasan dan tujuan dari pelaksanaan program tersebut.

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam upaya mengentaskan kemiskinan di perdesaan melalui pengembangan komoditas pertanian, diantaranya ialah seperti yang disampaikan oleh Wahab (2004), bahwa kemiskinan petani disebabkan oleh beberapa permasalahan pokok. Pertama, pendidikan petani yang rendah sehingga mempunyai kemampuan terbatas untuk mengikuti perkembangan dunia agribisnis yang berkembang cepat seperti teknologi, selera konsumen, pemilihan jenis komoditi yang menguntungkan. Kedua, akibat terbatasnya akses terhadap petani sehingga petani mendapatkan kesulitan untuk mengakses sarana produksi, teknologi dan informasi yang mereka


(40)

butuhkan dengan harga yang wajar. Ketiga, letak lahan pertanian yang dikelola petani tersebar diberbagai tempat dengan luasan masing-masing yang sempit dan pengelolaannya belum mengarah pada usaha yang intensif. Keempat, lemah dan rendahnya teknologi, produktivitas, tenaga kerja, SDM dan modal menyebabkan rendahnya volume dan kualitas produksi serta mengakibatkan naiknya biaya produksi. Kelima, kelembagaan sosial dan ekonomi ditingkat petani belum mampu mendukung kegiatan usaha tani, distribusi dan pemasaran serta informasi dan ahli teknologi. Keenam, harga jual hasil produksi berfluktuasi sebagai akibat dari supply yang fluktuatif, mutu yang rendah, serta lemahnya sistem distribusi, pemasaran dan posisi tawar petani. Solusi dari enam permasalahan yang dapat menjadikan kemiskinan petani ialah melalui pembanguan ekonomi petani perdesaan sebagai satu kesatuan antara pembangunan sektor pertanian dan industri kecil.

Kurniawati (2002), menjelaskan bahwa program yang perlu dikembangkan di perdesaan untuk membangun dan mengembangkan sektor pertanian dan industri kecil adalah dengan mengembangkan komoditas unggulan, peningkatan nilai tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran yang tidak terdistorsi, penyediaan sarana transportasi dan distribusi produk, pengembangan kemitraan dan restrukturisasi sistem dan kelembagaan pertanian dan agroindustri.

2.8 Penelitian sebelumnya mengenai Strategi Penanggulangan Kemiskinan Penelitian mengenai strategi penanggulangan kemiskinan di berbagai kabupaten di wilayah Indonesia sudah banyak dilakukan, hal ini terlihat dari beberapa penelitian kemiskinan yang sudah dilakukan oleh Hidayad (2009), Nugroho (2009) dan Firdaus (2006).

Hidayad (2009), melakukan penelitian dengan judul strategi penanggulangan kemiskinan di tingkat petani melalui pengembangan komoditas perkebunan di Kabupaten Muna, Nugroho (2009) melakukan penelitian dengan judul strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Lampung Barat (studi kasus di Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat), dan Firdaus (2006) melakukan penelitian dengan judul strategi penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan komoditas pertanian potensial di Kabupaten Kuantan Singingi.


(41)

20

Hidayad (2009), dalam penelitiannya membahas kemiskinan dilihat dari sisi produktivitas lahan perkebunan yang dimiliki oleh petani di Kabupaten Muna kemudian diarahkan strategi penanggulangannya pada pengembangan komoditas perkebunan yang dianggap unggulan. Komoditas unggulan perkebunan yang di bahas dalam penelitian tersebut yaitu komoditas Jambu mete. Hasil penelitian dari Hidayad (2009) hanya membahas secara umum tentang kemiskinan di Kabupaten Muna dilihat dari sisi produktivitas lahan perkebunan yang dimiliki oleh petani dengan melihat komoditas unggulan dan karakteristik masyarakat secara umum pada wilayah satu kabupaten. Bedanya dengan penelitiaan penulis adalah pembahasan mengenai kemiskinan tidak hanya pada karakteristik rumah tangga miskin dan komoditas unggulan yang ada, tetapi pada penelitian ini dilihat juga hubungan antara karakteristik RTM dengan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan, faktor yang dilihat tidak hanya dari sisi produktivitas lahan tetapi juga dari sisi pendapatan, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan usaha sampingan masyarakat. Hidayad (2009) memilih wilayah kabupaten sebagai unit penelitian, pada penelitian ini unit penelitian hanya terbatas pada zona pengembangan pertanian dan strategi yang digunakan lebih akurat dengan menggunakan analisis SWOT dan QSPM jika dibandingkan dengan strategi yang digunakan pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayad (2009) yang hanya menggunakan metode analisis deskriptif pada perancangan program penanggulangan kemiskinan.

Nugroho (2009), dalam penelitiannya membahas kemiskinan dari sisi faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi miskin. Adapun faktor-faktor tersebut adalah pendapatan, lamanya tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan yang dikelola, ada atau tidaknya pekerjaan tambahan, serta beberapa program penanggulangan kemiskinan yang sudah dijalankan oleh pemerintah yang terdiri dari Bantuan Tunai Langsung (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan masyarakat (PNPM), dan Program Gerakan Pembangunan Beguai Jejama Sai Betik (BJSB). Hasil penelitian Nugroho (2009) hanya membahas secara umum mengenai kemiskinan yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan jenis-jenis


(42)

program yang sudah dijalankan oleh pemerintah. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa luas lahan dan pekerjaan tambahan adalah faktor yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap kemungkinan seseorang untuk menjadi miskin. Pemerintah daerah diharapkan dapat menyusun strategi penanggulangan kemiskinan yang di fokuskan pada pengembangan dan optimalisasi luas lahan yang ada dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2009) dengan penelitian ini terletak pada strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan. Pada penelitian Nugroho (2009), strategi penanggulangan kemiskinan masih terlihat global hanya terdapat pada pengembangan hutan dan sumberdaya alam sebagai basis untuk penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Balik Bakit Kabupaten Lampung Barat, sementara pada penelitian yang dilakukan penulis strategi penanggulangan kemiskinan lebih spesifik yaitu melalui pengembangan pertanian berbasis komoditas unggulan dan tidak hanya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan tetapi juga menganalisis karakteristik rumah tangga miskin yang ada di wilayah penelitian.

Firdaus (2006), dalam penelitiannya membahas mengenai fenomena kemiskinan yang terjadi di masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi. Fenomena kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh sulitnya petani untuk mengembangkan usaha karena rendahnya pendapatan rata-rata petani. Kondisi ini disebabkan oleh komunitas petani miskin tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, tatanan kelembagaan yang tidak berfungsi, sehingga menyebabkan mereka tetap miskin. Penelitian Firdaus (2006) juga membahas permasalahan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan menganalisis program-program penanggulangan kemiskinan yang sudah berjalan. Strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Firdaus ini berbasis pada potensi pertanian dengan subsektor perkebunan sebagai komoditas yang perlu dikembangkan untuk penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuantan Singingi. Komoditas lokal yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah pohon kelapa sawit, karet dan kelapa hibrida. Hasil penelitian Firdaus (2006) merekomendasikan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuantan


(43)

22

Singingi harus berbasis pada sub sektor perkebunan. Perbedaannya dengan penelitian penulis yaitu terletak pada wilayah sasaran, penelitian Firdaus (2006) sasaran penelitian dilakukan untuk sebuah wilayah kabupaten sementara penelitian yang penulis lakukan merupakan studi kasus dari dua kecamatan yang ada pada satu wilayah kabupaten sehingga dapat lebih fokus, kemudian perbedaan juga terletak pada basis komoditas yang akan dikembangkan, dalam penelitian Firdaus (2006) menekankan pada pengembangan sub sektor perkebunan yaitu komoditas kelapa sawit, karet dan kelapa hibrida untuk penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuantan Singingi, sementara pada penelitian penulis penanggulangan kemiskinan terletak pada pengembangan komoditas unggulan pertanian yaitu komoditas ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis.

Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya jelas terlihat baik dari segi metode yang digunakan, unit analisis, faktor yang dianalisis, dan komoditas yang dijadikan sebagai basis pengembangan ekonomi yang harus dilakukan pada daerah penelitian. Penelitian sebelumnya menggunakan metode analisis deskriptif sementara penelitian penulis menggunakan SWOT dan QSPM sehingga dapat lebih akurat, unit analisis pada penelitian sebelumnya wilayah kabupaten, sementara pada penelitian penulis wilayah kecamatan, faktor yang dianalisis pada penelitian sebelumnya tidak ada faktor pakaian dan jumlah tanggungan, dan komoditasnya berbeda sesuai dengan potensi daerah yang diteliti.


(44)

3.1 Kerangka Pemikiran

Kemiskinan merupakan penyakit ekonomi pada suatu daerah yang harus di tanggulangi. Kemiskinan akan menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan modal. Kemiskinan banyak terjadi di wilayah perdesaan yang identik dengan wilayah pertanian. Menurut Sinaga dan White (1979), petani yang memiliki lahan cukup besar akan berpeluang memiliki pendapatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani yang memiliki lahan lebih kecil. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten yang dekat dengan Ibu kota Jakarta, memiliki permasalahan berkaitan dengan kemiskinan. Memahami kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat dilakukan dengan memahami permasalahan kemiskinan yang berkaitan dengan karakteristik masyarakat miskin, kemampuan daya beli masyarakat dan perlu juga mengetahui hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik masyarakat di Kabupaten Bogor.

Pertama, dari sisi karakterisik kemiskinan. Sejak dulu masalah kemiskinan di Kabupaten Bogor merupakan permasalahan yang belum dapat di selesaikan secara optimal. Penyelesaian permasalahan kemiskinan perlu dilakukan secara sitematis dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Beberapa hal yang harus diketahui dalam penyelesaian permasalahan kemiskinan antara lain dengan mengetahui berbagai karakteristik masyarakat miskin. Dalam penelitian ini, karakteristik masyarakat miskin meliputi jumlah penduduk miskin, kondisi tempat tinggal, kemampuan membeli pakaian per tahun, pendapatan dan luas lahan yang dimiliki. Kedua, dari sisi kemampuan daya beli. Kemapuan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor tergolong rendah. Rendahnya daya beli ini disebabkan oleh rendahnya pendapatan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan maka daya beli akan semakin tinggi pula. Rendahnya daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor merupakan permasalahan kemiskinan yang harus di tuntaskan. Ketiga, dalam memahami permasalahan kemiskinan perlu mengetahui hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik seperti pendapatan rumah tangga, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan usaha sampingan.


(45)

24

Kabupaten Bogor memiliki potensi pertanian yang cukup besar. Potensi pertanian di Kabupaten Bogor harus menjadi sektor basis dalam penenggulangan kemiskinan. Dari berbagai potensi yang ada, maka ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis sebagai komoditas unggulan yang dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemiskinan.

Program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan pada lintas sektoral maupun regional. Beberapa program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah seperti program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP), Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM), PNPM, Raskin, Program Ketahanan Pangan (PKP) dan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE) belum mampu mengurangi jumlah keluarga miskin di Kabupaten Bogor. Hal ini karena program yang dilakukan masih belum tepat sasaran, program yang dibuat sifatnya seragam untuk semua wilayah padahal setiap wilayah di Kabupaten Bogor memiliki kebiasaan masyarakat yang berbeda, masyarakat lebih sebagai objek dan tidak dilibatkan sebagai subjek, hampir setiap program yang dilakukan lebih bersifat karitatif ketimbang peningkatan produktivitas. Beberapa upaya penangggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut belum dapat dikatakan optimal, sehingga belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan.

Kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam bentuk program tersebut belum dapat dianggap berhasil, sehingga perlu dilakukan evaluasi untuk melihat tingkat keberhasilan, efektivitas dan ketepatan sasaran. Evaluasi program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah juga harus dilakukan oleh masyarakat sebagai sasaran program dan untuk bahan masukan perbaikan terhadap program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan. Dengan belum optimalnya program yang dilakukan oleh pemerintah, maka diperlukan sebuah rancangan program alternatif dan strategi penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pertanian sesuai dengan potensi yang dimiliki Kabupaten Bogor guna mencapai kesejahteraan pada masyarakat. Seperti terlihat pada Gambar 1.


(46)

Gambar. 1 Kerangka Pemikiran Kajian Permasalahan Kemiskinan

di Kabupaten Bogor

Komoditas Unggulan di Kabupaten Bogor

1. Ubi jalar 2. Padi sawah 3. Jeruk siam 4. Manggis

Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor

Kemampuan daya beli masyarakat Karakteristik

Masyarakat Miskin:

(Jumlah penduduk miskin, kondisi tempat tinggal, kemampuan membeli pakaian, pendapatan, luas lahan)

Hub ung a n ting ka t ke miskina n

d e ng a n (Pe nda p a ta n, lua s la ha n, jumla h ta ng g ung a n, p e ndidika n da n

h i )

Potensi Pertanian di Kabupaten Bogor

Evaluasi Kebijakan

Strategi dan Perancangan Program Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor


(47)

26

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian

Kajian ini dilaksanakan di Kabupaten Bogor bagian barat tepatnya di wilayah zona II pengembangan pertanian dan perdesaan dengan mengambil dua kecamatan sebagai daerah sampel, yaitu Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang. Kedua kecamatan ini diambil sebagai daerah sampel dengan pertimbangan : Pertama, kedua Kecamatan ini terletak pada Zona yang sama yaitu wilayah zona II di Kabupaten Bogor dengan basis pertanian sebagai mata pencaharian utama. Kedua, Kecamatan Pamijahan memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk miskin sebesar 64.651 jiwa dan memiliki jumlah rumah tangga miskin sebanyak 13.382 KK. Ketiga, Kecamatan Leuwiliang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, yaitu sebesar 53,76 % dari seluruh total rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor. keempat, ciri-ciri rumah tangga miskin pada dua kecamatan tersebut hampir homogen. Kelima, pada dua kecamatan ini sebagian besar penduduknya bermata pencaharian utama pada sektor pertanian. Waktu pelaksanaan kajian ini selama 3 bulan yaitu dari bulan Januari-Maret 2010.

3.3 Data dan Metode Analisis

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa jumlah penduduk miskin, luas lahan, pendidikan, jumlah tanggungan, usaha sampingan dan kepemilikan pakaian diperoleh dari data SUSDA 2006, BAPPEDA Kabupaten Bogor, PSP3 IPB, BPS Kabupaten Bogor, Kantor BP3K wilayah Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Sementara data primer yang berupa komoditas unggulan, evaluasi program penanggulangan kemiskinan dan perumusan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor diperoleh dari hasil survey, wawancara, focus group discussion (FGD) dengan para petani, penyuluh pertanian dan kepala BP3K masing-masing kecamatan. Lebih legkapnya untuk jenis dan sumber data serta metode analisis dapat dilihat pada Tabel 2.


(48)

Tabel. 2 Data dan Metoda Analisis

Data Tujuan Kajian

Jenis Sumber Metode analisis

1. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan Daya Beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor

Sekunder : Jumlah penduduk miskin tiap kecamatan, Kondisi dan keadaan tempat tinggal, Kepemilikan aset dan Tingkat pendidikan. SUSDA 2006, BAPPEDA PSP3 IPB Deskriptif Kuantitatif

2. Menganalisis hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik RTM di Kabupaten Bogor

Sekunder : Tingkat kemiskinan, Pengeluaran rumah tangga, Status kepemilikan lahan, Jumlah tanggungan, Tingkat pendidikan, Usaha sampingan. BAPPEDA, PSP3 IPB, Bogor Dalam Angka 2007

Korelasi

3. Menganalisis komoditas

pertanian unggulan di Kabupaten Bogor untuk penanggulangan kemiskinan

Sekunder : Jenis Komoditas Pertanian Unggulan di Kabupaten Bogor

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, BAPPEDA dan PSP3 IPB LQ

4. Mengevaluasi Kebijakan

Pemerintah mengenai Program penanggulangan Kemiskinan

Sekunder : Program Pemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan BAPPEDA, BP3K Wilayah Pamijahan dan Leuwiliang FGD, Deskriptif Kuatitatif 5. Merumuskan strategi dan

program penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Bogor

Primer Survey Analisis SWOT

Analisis QSPM

3.3.1 Teknik Sampling

Untuk mendapatkan gambaran mengenai strategi penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan pertanian di Kabupaten Bogor (di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang) yang konkrit, valid dan obyektif, dilakukan wawancara terhadap responden yang ada di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling, artinya responden diambil secara sengaja berdasarkan keahlian atau keterkaitannya baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Jumlah responden sebanyak 10 orang, terdiri dari enam orang warga masyarakat petani di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, dua orang aparatur pemerintah (penyuluh pertanian di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang), dan dua orang kepala BP3K Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang.


(1)

Lampiran 5.

Matrik Rekapitulasi Bobot EFE

Responden Faktor Eksternal

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Bobot

a. Adanya komitmen pemerintah daerah dalam

menanggulangi kemiskinan 0.125 0.143 0.143 0.054 0.161 0.161 0.125 0.196 0.125 0.071 1.304 0.130 b. Besarnya potensi sumberdaya alam pertanian 0.054 0.054 0.054 0.071 0.196 0.179 0.143 0.250 0.071 0.018 1.089 0.109 c. Adanya program pemerintah dalam pengentasan

kemiskinan 0.089 0.089 0.107 0.161 0.143 0.179 0.054 0.125 0.036 0.143 1.125 0.113

d. Otonomi daerah 0.089 0.089 0.107 0.107 0.071 0.179 0.161 0.161 0.107 0.161 1.232 0.123

e. Adanya Krisis ekonomi 0.125 0.125 0.125 0.089 0.161 0.000 0.036 0.125 0.179 0.107 1.071 0.107 f. Adanya Alih fungsi lahan 0.179 0.179 0.143 0.179 0.000 0.179 0.196 0.036 0.232 0.143 1.464 0.146 g. Rendahnya kepercayaan kepada perbankan 0.196 0.179 0.179 0.196 0.143 0.054 0.089 0.089 0.018 0.143 1.286 0.129 h. Adanya Kesalahan Persepsi dalam mengartikan


(2)

Lampiran 6.

Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Pamijahan.

Komoditas

Produksi di

Kecamatan

Pamijahan

Produksi di

Kabupaten Bogor

LQ

Padi Sawah

19.598

479.755

1,09

Padi Gogo

8

8.967

0,02

Jagung 45

3.216

0,37

Kacang Tanah

45

2.234

0,54

Ubi Kayu

6.155

179.222

0,92

Ubi Jalar

1.605

54.528

0,79

Talas 338

13.385

0,67

Jumlah Total

27.794

741.307

Sumber : Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008 (diolah)

Lampiran 7.

Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Leuwiliang

Komoditas

Produkdi

Kecamatan

Leuwiliang

Produksi

Kabupaten

Bogor

LQ

Padi Sawah

19.598

479.755

1,09

Padi Gogo

8

8.967

0,02

Jagung 45

3.216

0,37

Kacang Tanah

45

2.234

0,54

Ubi Kayu

6.155

179.222

0,92

Ubi Jalar

1.605

54.528

0,79

Talas 338

13.385

0,67

Jumlah Total

27.794

741.307

Sumber : Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008 (diolah)


(3)

Lampiran 8.

Produksi Buah-buahan di Kecamatan Pamijahan.

Komoditi

Produksi di

Kecamatan

Pamijahan

Produksi

Kabupaten

Bogor

LQ

Alpukat

870 10.974

2,32

Belimbing

382 19.627

0,57

Dukuh

535 6.785

2,30

Durian

100 54.558

0,05

Jambu Biji

1.760 37.819

1,36

Jambu Air

0 15.962

0,00

Jeruk Siam

400 2.103

5,56

Mangga

0 20.047

0,00

Manggis

26 21.164

0,04

Nangka

6.600 64.317

3,00

Nenas

92 25.796

0,10

Pepaya

11.780 122.376

2,81

Pisang

6.270 216.182

0,85

Rambutan

0 220.082

0,00

Salak

19 2.327

0,24

Sawo

141 6.734

0,61

Sirsak

75 4.905

0,45

Sukun

202 3.297

1,79

Jumlah

29.252 855.055


(4)

Lampiran 9.

Produksi Buah-buahan di Kecamatan Leuwiliang

Komoditi

Produksi di

Kecamatan

Leuwiliang

Produksi di

Kabupaten

Bogor

LQ

Alpukat

75 10.974

0,63

Belimbing

75 19.627

0,35

Dukuh

- 6.785

0,00

Durian

710 54.558

1,20

Jambu Biji

150 37.819

0,37

Jambu Air

268 15.962

1,55

Jeruk Siam

- 2.103

0,00

Mangga

250 20.047

1,15

Manggis

1.842 21.164

8,03

Nangka

102 64.317

0,15

Nenas

3 25.796

0,01

Pepaya

260 122.376

0,20

Pisang

5.180 216.182

2,21

Rambutan

310 220.082

0,13

Salak

5 2.327

0,20

Sawo

3 6.734

0,04

Sirsak

19 4.905

0,36

Sukun

17 3.297

0,48

Jumlah

9.269 855.055


(5)

Lampiran 10.

Analisis Korelasi antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor dengan

α

=5%

dan n=15

Desa

Jumlah KK

Miskin

Rata-rata

Pendapatan (Rp)

Luas Lahan (Ha)

Rata-rata

Tanggungan

(Jiwa)

Pendidikan (Jiwa)

Usaha

Sampingan (%)

Cibunian 879

350.000

299

4,83

2.433

30,5

Purwabakti 834

350.000

165 3,98

2.083

33,4

Ciasmara 725

450.000

325

3,95

1.718

35,3

Ciasihan 749

400.000

324

4,88

2.162

35,5

Gunung Sari

936

400.000

349

5,96

2.155

32,6

Gunung Bunder I

552

450.000

201,6

4,95

2.301

45,4

Gunung Bunder II

680

450.000

118,2

4,79

1.921

48,5

Cibening

936

400.000

256,7 4,96 2.212 35,3

Gunung picung

752

450.000

175

3,99

2.315

34,5

Cibitung Kulon

439

450.000

171

3,96

1.909

35,6

Cibitung Wetan

510

450.000

154

3,99

1.230

34,7

Pamijahan 651

450.000

250

3,98

2.095

30,5

Pasarean 814

350.000

175

3,98

2.044

40,5

Gunung

Menyan

446

450.000

123,5 3,97 1.412 37,4

Cimayang 496

400.000

128

3,96

1.529

36,5

Korelasi

- 0,629504042

- 0,61220918

0,533914322

0,66395014

-0,278139889

Sumber : KCDA 2009 dan BP3K Kecamatan Pamijahan 2009 (diolah)


(6)

Lampiran 11.

Analisis Korelasi antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor dengan

α

=

5% dan n=11

Desa

Jumlah KK

Miskin

Pendapatan (Rp)

Luas Lahan (Ha)

Tanggungan

(Jiwa)

Pendidikan

(Jiwa)

Usaha

Sampingan

(%)

PURASARI

1339

450.000

140,0

3,95

576

45,5

PURASEDA

1041

450.000

80,0

3,98

557

45,2

KARYASARI

1474

500.000

150,0

3,96

620

42,3

PABANGBON

664

350.000

425,2

5,47

712

65,5

KARACAK

1143

500.000

210,0

3,65

587

70,4

BARENGKOK

918

350.000

170,0

4,55

574

75,5

CIBEBER II

1054

400.000

120,0

3,97

630

55,3

CIBEBER I

897

400.000

87,0

3,54

156

54,5

LEUWIMEKAR

1143

500.000

39,0

3,55

114

60,8

LEUWILIANG

795

500.000

76,0

3,85

805

75,6

KAREHKEL

1088

450.000

189,1

3,56

4.735

75,5

Korelasi

- 0,569504547

-0,35584339

0,497153281

0,029

- 0,579