Pembiayaan Modal Usaha Pengolahan Minyak Goreng, Sabut, dan

95 Tabel 57 Fluktuasi Harga Kelapa, Kopra dan Minyak Goreng Tahun 2008 No Bulan Harga Kelapa Rp Harga Kopra Rp Harga Minyak Goreng Rp 1 Januari 1.350 4.834 12.585 2 Februari 1.350 4.834 12.874 3 Maret 1.400 4.939 12.729 4 April 1.450 4.939 12.926 5 Mei 1.600 5.044 13.373 6 Juni 1.625 5.044 13.909 7 Juli 1.650 5.412 14.035 8 Agustus 1.800 5.044 13.853 9 September 1.750 4.991 8.989 10 Oktober 1.750 4.834 8.940 11 November 1.650 4.939 8.841 12 Desember 1.600 5.149 8.546 Harga rata-rata 1.581 5.000 11.800 Rata-rata perubahan 1,66 0,64 -2,76 Sumber: Dinas Perkebunan Jambi 2010 Dari data tabel di atas, perubahan harga minyak goreng selama tahun 2009 mengalami penurununan hingga 2,76 persen. Namun penurunan harga tersebut masih berada di bawah taraf kelayakan finansial usaha tersebut. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas perubahan harga minyak goreng, batas perubahan harga yang masih menguntungkan usaha tersebut untuk dikembangkan adalah 5,50 persen atau pada tingkat harga minyak goreng sebesar Rp 11.151. Untuk harga kopra, selama tahun 2009 tidak mengalami perubahan secara signifikan. Rata-rata peningkatan harga kopra hanya sebesar 0,64 persen, jauh di bawah taraf kelayakan usaha tersebut, yaitu 5,75 persen atau pada harga sebesar Rp 5.288 sebagaimana sensitivitas perubahan harga pada tabel berikut ini: Tabel 58 Batas Perubahan Harga Kelayakan Industri Pengolahan Produk Turunan Kelapa No Indutri Perubahan Harga Net BCR Harga Jual Bahan Baku Rp Rp 1 Minyak Goreng 5,50 11.151 5,75 5.288 1,06 2 Sabut Kelapa 30,00 1.890 112,50 638 1,10 3 Arang Tempurung 25,85 2.076 36,10 783 1,11 Sumber: Analisis Sensitivitas Perubahan Harga Produk Olahan Kelapa. 96

5.5.2 Infrastruktur Jalan di Daerah Sentra Produksi Kelapa

Infrastruktur merupakan sarana penghubung antara petani, industri dan konsumen dalam rangka melakukan pertukaran barang maupun jasa yang dihasilkan. Dengan demikian keberadaannya sangat menentukan keberhasilan setiap usaha yang dijalankan baik oleh petani, pengusaha maupun masyarakat konsumen. Kondisi infrastruktur, terutama jalan di daerah sentra usahatani kelapa Kabupaten Tanjung Jabung Barat sebagian besar mengalami kerusakan yang cukup parah. Hal ini disebabkan karena sebagian besar daerah tersebut merupakan kawasan bergambut. Disamping biaya pembangunan jalan yang sangat besar, kapasitas jalan yang dihasilkan tidak memenuhi kebutuhan angkutan pada umumnya. Tabel 59 Kondisi Jalan di Daerah Sentra Usahatani Kelapa Kabupaten Tanjung Jabung Barat No Kecamatan Baik M Sedang M Rusak M 1 Pengabuan 45.000 17.121 34.120 2 Senyerang 15.161 21.340 12.897 3 Tungkal Ilir 38.161 23.673 8.234 4 Bram Itam 8.187 15.647 34.898 5 Seberang Kota 3.400 9.530 21.569 6 Betara 56.460 29.590 23.430 7 Kuala Betara 7.460 16.978 48.940 Total 173.829 133.879 184.088 Sumber: BPS Kabupaten Tanjung Jabung Barat 2010 Sebagaimana terlihat pada tabel di atas, kondisi jalan di daerah sentra usahatani kelapa Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang masih efektif sebagai sarana transportasi adalah daerah Tungkal Ilir, Betara dan Pengabuan. Ketiga daerah tersebut merupakan jalur lintas kecamatan menuju kota kabupaten, yaitu Tungkal Ilir. Sementara daerah lainnya, kondisi jalan tidak efektif sebagai sarana transportasi karena sebagian besar dalam kondisi rusak. Kondisi jalan seperti ini menjadi penghambat dalam pengadaan bahan baku dan penjualan hasil produksi, sehingga biaya produksi menjadi bertambah dan jumlah produksi menjadi berkurang. Pengembambangan usaha pengolahan komoditi kelapa membutuhkan berbagai sumberdaya yang memadai sebagai penunjang aktivitas usaha yang dijalankan. Tidak lancarnya mobilitas sumberdaya 97 tersebut, disamping akan berdampak pada proses produksi juga akan mempengaruhi kondisi pasar. Melemahnya permintaan pasar sebagai akibat dari tingginya harga dan supply barang yang kurang memadai akan melemahkan bisnis komoditi kelapa yang dikembangkan. Dengan demikian kondisi jalan yang rusak akan menyulitkan usaha pengolahan komoditi kelapa untuk dikembangkan.

5.5.3 Persaingan Komoditi Perkebunan di Daerah Sentra Produksi Kelapa

Meningkatnya prospek perkebunan kelapa sawit, pinang, dan kopi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, menjadi salah satu penyebab beralihnya usahatani kelapa kepada usahatani tersebut. Dengan demikian populasi perkebunan kelapa setiap tahunnya menjadi berkurang sebagaimana terlihat pada tabel 54. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya pasokan bahan baku industri pengolahan produk turunan kelapa. Tabel 60 Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan Provinsi Jambi Tahun Sawit Kelapa Kopi Pinang Luas Ha Produksi Ton Luas Ha Produksi Ton Luas Ha Produksi Ton Luas Ha Produksi Ton 2004 365.304 795.848 122.178 125.829 24.372 5 .555 6.447 2 .843 2005 403.467 936.595 119.899 126.328 24.638 9.208 9.980 7.148 2006 422.888 1.018.768 119.292 118.886 24.458 12.398 10.178 7.230 2007 448.899 1.150.355 119.231 114.457 24.217 10.190 12.207 9.126 2008 484.137 1.203.433 119.030 110.305 24.365 10.539 19.672 17.887 Sumber: Disbun Provinsi Jambi 2009 Sebagaimana terlihat pada di atas, pada tahun 2004 luas tanaman kelapa mencapai 122.178 ha dengan produksi sebanyak 125.829 ton. Seiring dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit, kopi dan pinang, luas dan produksi perkebunan kelapa mengalami penurunan. Rata-rata penurunan luas tanaman kelapa setiap tahunnya mencapai 0,9 persen, dan produksi mencapai 1,14 persen. Dengan demikian ketersediaan bahan baku industri pengolahan kelapa setiap tahunnya mengalami penurunan sebesar 1,14 persen. Apabila kondisi ini terus terjadi hingga sepuluh tahun yang akan datang, maka industri pengolahan komoditi kelapa akan semakin sulit untuk dikembangkan di Proviinsi Jambi. 98 Halaman ini sengaja dikosongkan