Pertanian Tanaman Pangan Indonesia

115 besar yang menguasai kegiatan pengolahan dan pemasaran, sehingga petani tidak mempunyai banyak pilihan dalam memasarkan produknya dan posisi tawar menawar yang lemah dalam menentukan harga. 3. Pendapatan petani yang rendah menyebabkan arus modal juga terganggu, sehingga pemeliharaan dan peremajaan tanaman juga tidak terjamin. Petani juga mengalami kesulitan berinvestasi mengembangkan usahanya. Berikut ini adalah neraca perdagangan pertanian tanaman perkebunan yang bersumber dari data BPS, sebagai berikut. Tabel 11. Keragaan Ekspor Impor dan Neraca Perdagangan Produk Pertanian Indonesia pada Tahun 1997 – 2001 US 000 Hsl Tnm Perkebunan 1997 1998 1999 2000 2001 Ekspor 5180116 4079889 4092807 3887184 3444386 Impor 1522338 1247042 1427774 1257265 1550976 Surplus 3657778 2832847 2665033 2629919 1893410 Sumber : Data BPS, diolah 2001 Keterangan : Data sd Sept 2001 Berdasarkan keragaan data pada Tabel 11 diatas dapat dilihat bahwa sub sektor tanaman perkebunan mengalami surplus perdagangan. Jika dicermati keragaan neraca ekspor impor produk perkebunan selama 5 lima tahun terakhir selalu mengalami penurunan.

5.5. Pertanian Tanaman Pangan Indonesia

Berbagai persoalan pangan muncul dalam beberapa tahun terakhir, terutama ditandai dengan terancamnya ketahanan pangan akibat pasokan pangan dalam negeri yang tidak selalu mampu mencukupi jumlah kebutuhan yang ada. Selain persoalan klasik berupa musibah banjir ataupun kekeringan, salah satu 116 contoh permasalahan pangan yang serius adalah masalah masuknya beras impor melalui berbagai jalur karena tidak lagi dimonopoli Bulog, serta tarif bea masuk yang sangat rendah. Hal tersebut mengakibatkan harga beras impor lebih murah daripada harga beras lokal, sehingga beras lokal tidak mampu bersaing dengan beras impor. Selain itu, rendahnya bea masuk serta kurangnya tingkat pengawasan pemerintah dalam menangani impor ilegal juga berdampak terhadap peningkatan penyelundupan dan aktivitas manipulasi dokumen under-invoice, baik dalam bentuk jumlah maupun harganya. Masalah tersebut menjadi sangat penting karena munculnya faktor pasokan beras dunia yang tidak menentu. Akan tetapi, faktor lain yang muncul di dalam negeri menjadi lebih penting, ditandai dengan bunga kredit usaha tani KUT yang cukup tinggi 10.5 persen per tahun, harga jual padi yang lebih rendah dari harga produksinya, tingkat kepemilikian lahan land holding capacity yang sangat rendah kurang dari 0.25 ha, kesulitan peningkatan produktivitas, serta mekanisasi dan pola tanam yang tidak mungkin dilakukan secara serentak Suwandi, 2002. Kondisi tersebut semakin parah, sejak diberlakukannya harga BBM yang baru pada awal tahun 2003, walaupun sejak tanggal 1 Januari 2003 pemerintah pada dasarnya telah meningkatkan harga dasar gabah dari Rp 1519 per kg menjadi Rp 1725 per kg Inpres RI, 2002. Akan tetapi, hal tersebut tidak banyak membantu para petani, karena kenaikan harga dasar gabah tersebut tidak memberikan keuntungan yang cukup banyak bagi para petani. Selain penetapan aturan harga dasar yang terkesan terlalu lambat, harga BBM mengakibatkan peningkatan biaya produksi melalui peningkatan upah tenaga kerja dan biaya 117 penanganan lahan. Peningkatan harga dasar gabah juga tidak berfungsi secara optimal, karena tidak ada dukungan yang cukup dari kebijakan pasar melalui pembatasan kuantitas impor. Kecenderungan penurunan peranan sektor pertanian terhadap GDP ada kaitannya dengan menurunnya produktivitas, terutama produktivitas padi yang memang masih merupakan komoditas strategis bagi bangsa Indonesia. Khususnya padi sawah, produktivitasnya menurun tajam setelah terjadinya krisis yakni dari 4.72 ton per ha tahun 1997 menjadi 4.44 dan 4.47 ton per ha tahun 1998 dan 1999, sebelum akhirnya mengalami sedikit peningkatan ke 4.63 ton per ha tahun 2000. Dalam periode 1996 – 2000, produktivitas padi sawah menurun dengan laju 0.31 persen per tahun. Walaupun telah mengalami peningkatan rata-rata 0.91 persen per tahun, produktivitas padi ladang masih kurang dari setengah produktivitas padi sawah. Untuk tujuan ketahanan pangan, hal ini mencerminkan perlunya meningkatkan produktivitas dan juga areal padi ladang. Kembali ke komoditas tanaman pangan, penurunan produktivitas yang terjadi, terutama untuk padi sawah, ternyata diikuti pula dengan penurunan intensitas tanam, yang tercermin pada intensitas panennya. Ternyata berbagai tanaman pangan termasuk padi mengalami penurunan intensitas panen dengan rataan penurunan berkisar 9.51 persen per tahun untuk padi sampai 19.66 persen per tahun untuk kacang kedele. Berdasarkan indikator ini, jelaslah bahwa ancaman ketahanan pangan tidak hanya memungkinkan terjadi pada komoditas padi semata namun juga pada berbagai tanaman pangan utama. 118 Di lain pihak peningkatan produksi jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, dan tanaman pangan pokok lainnya juga tidak cukup signifikan dalam mengurangi kebutuhan konsumsi akan beras, sehingga kebergantungan impor masih akan tetap terjadi. Dinamika kebijaksanaan harga pangan menunjukkan bahwa pada awal Pelita I diberlakukan kebijaksanaan harga dasar yang disertai subsidi pupuk tahun 1971. Kebijaksanaan harga dasar beras pada mulanya diberlakukan bagi komoditas padi sejak 1969 dan komoditas palawija yaitu jagung pada tahun 1978, sedangkan kedelai, kacang hijau dan kacang tanah diberlakukan pada tahun 1979. Dalam perjalanannya ternyata harga dasar palawija tidak efektif dalam arti jarang sekali terjadi harga di tingkat petani sesuai dengan harga dasar, sehingga harga dasar kacang tanah, kacang hijau, jagung, dan kedelai ditiadakan, berturut-turut tahun 1982 – 1983, 1990, 1991, dan 1992, dan saat ini hanya diberlakukan harga dasar untuk komoditas padi. Penetapan kebijaksanaan harga dasar gabah yang dilaksanakan sejak awal Pelita I, yaitu pada periode 1969 – 1970, sampai saat ini telah mengalami perubahan metode dan dasar perhitungan sejalan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi. Penetapan harga dasar gabah HDG tahun 2000 merupakan kelanjutan dari pelaksanaan harga gabah dalam Inpres 32 tahun 1998. Pada saat itu HDG ditetapkan empat kali pertahun biasanya 1 kali per tahun, dimana penetapan HDG dibagi dalam 3 wilayah melalui Inpres 32 tahun 1998. Pembagian wilayah HDG sebagai berikut: Wilayah I adalah Rp 1400 per kg. Wilayah II adalah Rp 1450 per kg, dan Wilayah III adalah Rp 1500 per kg. Selanjutnya, pada 119 awal tahun 2001 ditetapkan harga dasar gabah yang baru tanpa membedakan wilayah, yaitu Rp 1095 per kg untuk gabah kering panen GKP dan untuk gabah kering giling GKG adalah Rp 1500 per kg. Peta perdagangan beras di pasar dunia selama kurun waktu satu dekade terakhir menunjukkan peningkatan laju ekspor sebesar 9.10 persen per tahun, sedangkan laju impor 8.60 persen per tahun. Data tahun 2000 menunjukkan bahwa ekspor beras di pasar dunia sekitar 4.00 persen dari total produksi dunia dan stock beras dunia hanya sekitar 8.50 persen. Dengan demikian, sebagian besar produksi beras dunia digunakan untuk konsumsi domestik masing-masing negara produsen sehingga marketable surplus menjadi sangat terbatas. Perkembangan konsumsi dan produksi beras domestik menunjukkan bahwa laju pertumbuhan dalam satu dekade terakhir tercatat 1.10 persen, konsumsi sebesar 4.00 persen, sedangkan laju impor mencapai 25.70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat tergantung pada impor, sementara upaya peningkatan produksi beras masih belum optimal. Perkembangan ekspor kedelai dalam satu dekade terakhir meningkat 5.20 persen dan laju impor 4.70 persen. Impor kedelai didominasi oleh negara Eropa dan Asia. Selama periode tersebut rata-rata ekspor kedelai dunia hanya sebesar 31.70 juta ton per tahun, dan produksi dunia mencapai 126 juta ton. Sementara produksi kedelai dalam negeri hanya mampu memenuhi konsumsi sekitar 70 persen, sisanya dipenuhi melalui impor. Permintaan impor kedelai selama satu dekade terakhir mengalami peningkatan 6.70 persen per tahun. Impor kedelai diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang mengingat 120 adanya kemudahan tataniaga impor, yaitu dihapuskannya monopoli Bulog sebagai importir tunggal dan dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai kedelai. Peningkatan impor kedelai yang tajam pada tahun 1999 merupakan salah satu konsekuensi dari perubahan tataniaga tersebut. Produksi jagung dunia mengalami peningkatan relatif lambat yaitu 2.90 persen per tahun. Volume ekspor jagung dunia pada kurun waktu yang sama meningkat sangat lambat yakni 0.98 persen per tahun. Laju pertumbuhan impor sekitar 0.32 persen per tahun. Jagung yang diperdagangkan di pasar dunia hampir 60 persen dipasok dari negara Amerika, sedangkan ekspor jagung dari Asia hampir sebagian besar dari Thailand. Rata-rata produksi jagung selama periode tersebut tercatat 537 juta ton per tahun, dan jagung yang diperdagangkan di pasar dunia sebesar 71.2 juta ton, yaitu 13.3 persen dari produksi dunia. Kondisi demikian mencerminkan bahwa marketable surplus jagung dunia relatif sangat kecil. Pada bulan agustus tahun 2000 harga beras dunia tercatat US 169 per ton atau Rp 1850 per kg, sedangkan harga beras domestik mencapai Rp 2450 per kg. Pada kuartal I tahun 2001 harga beras dunia mencapai US 150 per ton, dan untuk harga beras domestik Rp 2100 per kg. Volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia hingga akhir tahun 2000 telah menurun sekitar 12 persen dibanding tahun sebelumnya. Disisi lain, pemulihan produksi beras di beberapa negara importir utama terus berlanjut, sehingga menurunkan kembali volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia sekitar 8 persen. Tendensi menurunnya harga komoditas pertanian di pasar internasional terkait dengan siklus pasar dunia yang tengah mengalami penurunan. 121 Penghapusan bea masuk impor dan hambatan perdagangan telah menyebabkan penurunan harga komoditas pertanian di pasar internasional yang secara langsung ditransmisikan ke pasar domestik. Rendahnya border price, secara psikologis pasar akan membentuk ekspektasi harga yang cenderung rendah sehingga menurunkan harga ditingkat petani, dan bahkan di lapangan terjadi praktek beras oplosan yang merugikan petani. Dinamika harga jagung di tingkat produsen dan konsumen hingga Juli tahun 1996 relatif seirama, namun fenomena berbeda menjelang bulan September – Desember tahun 1996 dimana penurunan harga jagung di tingkat produsen, diikuti dengan arah pergerakan harga yang berbeda di tingkat konsumen. Kecenderungan serupa juga terjadi pada bulan Maret – April tahun 1998. Pada periode berikutnya, harga jagung di tingkat konsumen relatif stabil, sementara harga jagung di tingkat produsen menunjukkan fluktuasi harga yang tajam. Memasuki semester I tahun 2001 perkiraan harga jagung memperlihatkan kecenderungan yang relatif stabil baik di tingkat konsumen maupun produsen. Sampai akhir tahun 1997, perkembangan harga jagung di pasar dunia senantiasa berada di atas harga produsen maupun harga konsumen domestik. Memasuki tahun 1998 hingga bulan Juli tahun 1998 harga jagung di pasar internasional meningkat tajam diatas harga domestik, dimana pada saat itu mencapai tingkat harga tertinggi yaitu Rp 2020 per kg. Peningkatan harga tersebut erat kaitannya dengan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dinamika harga ini terus berlangsung dan pada bulan Agustus 2000 harga jagung internasional mengalami pelandaian yaitu Rp 770 per kg dan perkiraan ke depan menunjukkan pergerakan harga relatif stabil hingga pertengahan tahun 2001. Kecenderungan yang sama terlihat dari pergerakan harga kedelai 122 internasional yang mengalami peningkatan cukup tajam pada tahun 1998 sebesar Rp 1720 per kg dan sedikit menurun menjadi Rp 1375 per kg pada tahun 1999. Memasuki pertengahan tahun 2000 hingga perkiraan harga pada semester I tahun 2001 harga bergerak stabil, masing-masing tercatat Rp 1490 per kg dan Rp 1570 per kg. Fluktuasi harga komoditas pertanian di pasar domestik sangat erat terkait dengan dinamika harga produk pertanian di pasar internasional, nilai kurs rupiah, dan kebijaksanaan perdagangan. Kebijaksanaan tarif impor yang realistik, khususnya untuk komoditas beras, jagung dan kedelai dipandang sangat relevan untuk merangsang petani untuk tetap berproduksi. Namun kebijakan proteksi harga hanya akan efektif bilamana ada potensi peningkatan produktivitas, dan respon harga yang memadai serta sistem pemasaran yang efisien. Perkiraan jangka menengah-panjang produk pertanian dunia mengalami pelandaian karena sumberdaya lahan dan air yang semakin terbatas, semakin mahalnya tenaga kerja dan keterbatasan penemuan teknologi baru, yang berakibat pada makin tingginya impor di negara-negara berkembang dengan harga yang semakin tinggi. Oleh karena itu, Indonesia sepantasnya tetap memelihara dan mengembangkan produksi pertanian disertai dukungan kebijaksanaan insentif yang memadai bagi petani.

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

6.1. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian

Kriteria pertama yang harus dipenuhi dalam analisis ini adalah adanya kesesuaian tanda koefisien secara teoritis. Setelah kriteria ini dipenuhi, evaluasi secara statistik dilakukan. Spesifikasi persamaan tentunya diarahkan untuk mencapai persamaan yang memiliki koefisien determinasi R 2 dan tingkat signifikansi koefisien yang baik. Hampir semua peubah penjelas pada persamaan-persamaan dalam persamaan mempunyai tanda sesuai dengan kriteria teori ekonomi. Nilai koefisien determinasi R 2 umumnya cukup besar, sekitar 76 persen atau 54 persamaan yang memiliki koefesien determinasi lebih dari 0.70. Persamaan yang memiliki koefisien determinasi di bawah 0.70 sekitar 24 persen atau 17 persamaan. Namun, sebagian besar dari persamaan ini koefisien determinasinya masih di atas 0.50, yaitu sebanyak 10 persamaan.

6.2. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi, Konsumsi dan Perdagangan Pupuk Urea

Persamaan produksi dan perdagangan pupuk urea disajikan dalam sub blok: Pertama, produksi dan konsumsi pupuk urea. Konsumsi pupuk urea yang dimaksud dalam hal ini adalah berkenaan dengan perilaku persamaan permintaan pupuk urea untuk tanaman pangan, dan perkebunan. Kedua, perdagangan pupuk urea Indonesia, dan ketiga perdagangan pupuk urea dunia, yaitu ekspor dan impor pupuk urea dunia.