Tinjauan Regulasi Perdagangan Bebas Bidang Kesehatan

` 27 dan kepentingan internasional. Jika pangan merupakan komoditas strategis suatu negara, maka negara tersebut akan menanggung ongkos yang besar ketika negara tidak mampu menjamin stabilitas pasokan pangan untuk masyarakat. Ketahanan pangan mencakup masalah ketersediaan availability, stabilitas pasokan stability, keterjangkauan accessibility, dan kemampuan berproduksi capability. Negara-negara maju dan Cairns Group anggota WTO berpendapat bahwa ketahanan pangan food security dapat dicapai melalui perdagangan bebas dan tidak perlu melalui kebijakan swasembada pangan. Akan tetapi, angkatan kerja sektor pangan cukup dominan di Indonesia, jumlah keluarga petani mencapai sekitar 21 juta kepala keluarga, permintaan beras Indonesia rata-rata sebesar 30 juta ton per tahun dan penawaran beras di pasar dunia maksimum sebesar 20 juta ton per tahun 66.67 persen, dan ekspor beras di pasar internasional sebanyak 55 persen dikuasai Amerika Serikat, Thailand, dan Vietnam, sehingga Indonesia tidak dapat bergantung kepada penawaran beras di pasar dunia. Selain beras, Indonesia merupakan pengimpor terbesar gula dan gandum. Oleh karena itu, posisi konsep ketahanan pangan di Indonesia perlu dirumuskan secara jelas dalam perundingan WTO. Ketahanan pangan negara-negara berkembang diharapkan mendapatkan porsi yang memadai pada perundingan pertanian. Akses pangan masyarakat yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi merupakan tujuan kebijakan pangan negara-negara berkembang.

2.4. Tinjauan Regulasi Perdagangan Bebas Bidang Kesehatan

Perjanjian kesehatan Sanitary and Phytosanitary merupakan salah satu perjanjian Putaran Uruguay yang mengatur kesehatan manusia, hewan, dan ` 28 tanaman dalam kegiatan perdagangan. Perjanjian kesehatan diharapkan mampu mencegah praktek-praktek perdagangan hasil pertanian yang menggunakan persyaratan kesehatan secara sewenang-wenang dan menghambat secara teknis. Tujuan perjanjian kesehatan adalah sebagai berikut: 1. Melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia, hewan, kondisi tanaman, dan sanitasi tumbuhan setiap negara anggota. 2. Membuat acuan peraturan multilateral yang dapat dipakai sebagai pedoman pengembangan, adopsi, dan perlakuan peraturan sanitasi hewan dan tumbuhan untuk menunjang kelancaran arus perdagangan. 3. Menyeragamkan peraturan sanitasi hewan dan tumbuhan diantara negara anggota menggunakan standar internasional, terutama Codex Alimentarius Commission, International Office of Epizootic IOE dan negara anggota untuk menggunakan peraturan lokal dalam melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat, hewan, dan tanaman. Lingkup kegiatan perjanjian kesehatan adalah setiap tindakan yang diterapkan untuk: 1. Melindungi kehidupan atau kesehatan hewan atau tanaman dalam wilayah negara anggota dari resiko yang disebabkan oleh masuknya, pembentukan atau penyebaran hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit. 2. Melindungi kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan dalam wilayah negara anggota dari resiko yang disebabkan bahan tambahan additives, cemaran, racun atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan pakan ternak. ` 29 3. Melindungi kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan dalam wilayah negara anggota dari resiko yang disebabkan penyakit yang dibawa hewan, tanaman atau produknya atau dari masuk, pembentukan penyebaran hama. 4. Mencegah atau membatasi kerusakan lain dalam wilayah anggota yang timbul dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama. Perjanjian kesehatan berupa undang-undang, keputusan, peraturan- peraturan, dan prosedur lain, kriteria produk akhir, metode pengolahan dan produksi, pengujian, pengawasan, prosedur sertifikasi dan perizinan, perlakuan karantina termasuk persyaratan yang relevan berkaitan dengan pengangkutan hewan atau tanaman atau material yang diperlukan untuk kelangsungan hidup selama pengangkutan. Ketentuan mengenai metode statistik yang relevan, prosedur pengambilan contoh dan metode penilaian resiko, persyaratan pengemasan, dan pelabelan yang secara langsung berhubungan dengan keamanan makanan. Rancangan peraturan yang berhubungan dengan hal tersebut perlu dinotifikasikan sebelum disahkan. Perjanjian kesehatan untuk memperlancar perdagangan komoditas pertanian dan menjamin keselamatan dan kesehatan konsumen, serta kesehatan hewan dan tanaman yang diperdagangkan. Perjanjian kesehatan dimanfaatkan negara-negara industri maju sebagai hambatan teknis terselubung dalam perdagangan disquised retriction on trade dan peraturan-peraturan kesehatan untuk pengekspor hasil pertanian ke negara maju semakin ketat, misalnya: 1. Uni Eropa ingin semua ekspor minyak nabati ke Eropa Barat menggunakan container khusus atau container yang dilapisi stainless steel. 2. Jepang menyaratkan semua ekspor hasil pertanian ke negara tersebut dilengkapi sertifikasi bebas Vibrio Cholera. ` 30 3. Amerika Serikat ingin semua komoditas pertanian yang masuk negara tersebut dilengkapi sertifikasi kesehatan dan sistem jaminan mutu berpola HACCP. 4. Australia menyaratkan standar kesehatan buah-buahan impor Indonesia, seperti mangga dilengkapi sejarah hama penyakit selama sepuluh tahun terakhir. Negara-negara berkembang kurang dapat memanfaatkan peluang-peluang yang terdapat dalam perjanjian kesehatan. Indonesia tanpa konsolidasi dan perbaikan kelancaran ekspor hasil pertanian akan terhambat oleh perjanjian kesehatan dan menjadi dumping ground produk-produk hasil pertanian impor, seperti impor buah-buahan yang bersaing dengan buah produksi dalam negeri. Indonesia bersikap pro-aktif dalam menotifikasi kebijakan kesehatan. Perjanjian kesehatan tidak menuntut anggota WTO membuka pasar atau mengurangi berbagai bentuk subsidibantuan, melainkan menentukan pedoman penerapan kebijakan kesehatan suatu negara anggota dengan tujuan agar kebijakan SPS tidak menghambat perdagangan. Pelaksanaan perjanjian SPS dimonitor terus secara berkala melalui makanisme “Notification” sehingga bila ada terjadi pelanggaran akan dapat segera diketahui oleh semua negara anggota. Perdagangan komoditas pertanian nampaknya akan mendapatkan permasalahan baru yaitu hambatan non tarif Non Tariff Barrier berupa hambatan teknis maupun aspek sanitasi dan phytosanitasi. Hambatan teknis Technical Barrier yang banyak dipakai dalam perdagangan komoditas pertanian masalah standar mutu dan isu lingkungan termasuk ecolabeling. Saat ini setiap negara cenderung untuk menerapkan standar yang berlaku di negaranya sebagai acuan dalam impor dan ekspor komoditas pertanian. Hal ini ` 31 mengakibatkan banyak terjadi masalah penolakan terhadap ekspor komoditas pertanian negara-negara berkembang oleh negara-negara maju. Sebagai contoh adanya penahanan dan penolakan claim and detention terhadap ekspor hasil pertanian Indonesia ke USA, seperti kakao dan udang beku. Penahanan dan penolakan ini dilakukan oleh US-FDA karena mutu produk ekspor tersebut dianggap tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Ekspor hasil pertanian ke Eropa dan Jepang mengalami beberapa hambatan teknis. Masalah mutu, dekomposisi, dan kontaminasi bakteri patogen merupakan hambatan teknis yang sering dialami oleh ekspor hasil perikanan ke Eropa. Sementara itu Jepang juga menerapkan hambatan teknis yang sangat ketat bagi ekspor hasil pertanian Indonesia. Analisis kandungan histamin, merkuri, dan senyawa-senyawa toksin serta parasit merupakan persyaratan yang diperlukan bagi ekspor ikan tuna ke Jepang, disamping itu semua ekspor hasil perikanan wajib bebas Vibrio Cholera. Jepang juga mempersyaratkan analisis residu pestisida terhadap setiap impor buah dan sayuran. Untuk memanfaatkan peluang dari perjanjian SPS ini, diperlukan strategi dan langkah-langkah operasional dalam pengembangan agribisnis maupun perlindungan terhadap industri pertanian dan konsumen di dalam negeri dan memperlancar ekspor hasil pertanian. Beberapa langkah dan strategi yang perlu dan sedang dipersiapkan bagi Indonesia diantaranya: 1. Diperlukan koordinasi antara pelaku agribisnis dengan instansi terkait untuk menentukan arah pengembangan dan implementasi SPS serta inventarisasi permasalahan-permasalahan dan peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang pengembangan ekspor hasil pertanian. ` 32 2. Menyusun sistem operasional implementasi SPS di Indonesia dengan pendekatan kebijakan satu pintu One Gate Policy 3. Inventarisasi SPS yang diterapkan oleh negara-negara mitra bisnis pertanian sebagai peluang dan tantangan yang harus dianalisis dan dihadapi 4. Konsolidasi dalam evaluasi dan perumusan peraturan-peraturan teknis dan standar Indonesia yang berkaitan dengan perjanjian SPS. Pada tingkat nasional perlu adanya koordinasi antar instansi terkait serta koordinasi khusus antara Dewan Standarisasi Nasional DSN sebagai Notification and Enquiry Points di bidang TBT dan Badan Agribisnis Departemen Pertanian sebagai Single Authority Notification Body dan Pusat Karantina Pertanian sebagai Enquiry Point di bidang SPS dengan instansi-instansi terkait untuk menentukan arah dan menyusun pola implementasi dan adopsi SPS. Implementasi perjanjian SPS ini terutama akan diarahkan untuk melindungi kepentingan konsumen dan usaha agribisnis di dalam negeri serta mendorong dan mengembangkan kemampuan agribisnis dalam rangka meningkatkan ekspor hasil pertanian. Dalam rangka memanfaatkan perjanjian SPS untuk melindungi keselamatan dan kesehatan konsumen serta kesehatan hewan dan tanaman, maka langkah-langkah operasional yang sedang dilakukan antara lain inventarisasi data dan informasi mengenai tingkat sanitasi dan phytosanitasi terhadap komoditas pertanian impor, sebagai dasar untuk langkah tindak lanjut dalam melindungi keselamatan dan kesehatan konsumen dan pengembangan agribisnis dari kemungkinan gangguan hama penyakit tumbuhan dan hewan yang terbawa masuk dari luar negeri, maupun inventarisasi peraturan-peraturan yang dipakai oleh negara-negara mitra dagang dan standar-standar internasional dari Codex ` 33 Alimentarius Commission CAC, International Plant Protection Commission IPPC, International Office of Epizootic IOE, dan organisasi internasional lain, sebagai acuan untuk pengembangan peraturan SPS di Indonesia. Disamping itu dalam rangka mendorong peningkatan ekspor hasil pertanian, strategi operasional yang saat ini sedang dilakukan diantaranya : 1. Inventarisasi peraturan teknis dan standar negara-negara mitra bisnis hasil pertanian, untuk melihat peluang dan hambatan serta menyusun strategi untuk menembus persyaratan SPS pasar ekspor hasil pertanian. 2. Menyusun program jaminan mutu yang mengacu kepada pendekatan sistem agribisnis dan pembinaan mutu hasil pertanian. 3. Harmonisasi standar dan peraturan teknis negara-negara mitra bisnis Indonesia untuk mendapatkan Mutual Recognition ekuivalensi, melalui program- program kerjasama standarisasi dan pengawasan mutu, Pre-Clearance Program, Pest Free Area Program, dan Risk Management Program. 4. Mengembangkan sistem jaringan informasi SPS secara nasional. Ada lima kelompok negara yang berkepentingan dalam masalah produk pertanian di WTO, yaitu: 1. Negara-negara pengekspor produk pertanian yang menginginkan pengurangan lebih cepat terhadap hambatan tarif, subsidi domestik dan subsidi ekspor yaitu AS dan kelompok Cairns yang dimotori oleh Australia. 2. Negara-negara yang selama ini dikenal sangat memberikan dukungan dan perlindungan terhadap petani sehingga mereka menginginkan proses liberalisasi perdagangan produk pertanian berjalan lambat yaitu antara lain sejumlah negara-negara anggota Uni Eropa dan sejumlah negara berkembang. Negara Jepang dan Korea mengambil sikap seperti ini dalam masalah beras. ` 34 3. Negara-negara berkembang yang mempunyai keterbatasan anggaran untuk mengimpor pangan sehingga mereka cenderung ingin terjaminnya produksi pangan untuk konsumsi domestik. Oleh karena itu, negara-negara tersebut menginginkan agar produksi pangannya tidak dikenakan disiplin dari persetujuan produk pertanian yang dapat menghambat. 4. Kebanyakan negara berkembang yang memandang produk pertanian merupakan bagian yang sangat penting dari segi ketenagakerjaan dan ekonomi pedesaan. Bagi negara-negara ini kehidupan sejumlah besa petani kecil terancam bahaya bilamana harus bersaing secara internasional. 5. Negara berkembang pengimpor pangan yang mencemaskan bilamana terjadi pengurangan subsidi domestik dan subsidi ekspor akan berakibat naiknya harga produk pertanian sehinggga menimbulkan masalah pembiayaan dalam mengimpor pangan. Pengalaman negara anggota dalam memanfaatkan kesepakatan Agreement on Agriculture dan Sanitary and Phytosanitary tidak sama, karena perbedaan situasi dan kondisi masing-masing. Ada tiga kelompok negara yang terlibat dalam perdagangan dunia di bidang pertanian, yaitu: 1 negara-negara produseneksportir yang konsisten dan efisien. Bagi negara ini liberalisasi perdagangan dunia akan menguntungkan karena berarti peluang pasar dunia terbuka lebar bagi ekspor, 2 negara-negara produseneksportir yang kurang efisien atau memiliki petani yang masih sangat memerlukan bantuan pemerintah. Bagi kelompok ini, AoA dapat menimbulkan dampak negatif terhadap upaya pengembangan bidang pertanian. Indonesia termasuk kelompok ini, dan 3 negara-negara yang hanya merupakan konsumenimportir hasil pertanian. Kelompok ini akan diuntungkan oleh adanya liberalisasi perdagangan ` 35 internasional karena akan mendapatkan produk pertanian yang bermutu tinggi dengan harga yang bersaing Pada dasarnya pasar bebas yang diciptakan oleh AoA hanya akan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh negara-negara yang merupakan net-importir, karena persaingan yang tinggi dalam pasar bebas akan menghasilkan produk yang kompetitif sehingga importir dapat memperoleh produk dengan harga yang murah dan bermutu, maupun negara-negara eksportir yang efisien dan memiliki keunggulan komparatifComparative Advantage. Pengurangan atau penghapusan hambatan perdagangan yang diwajibkan oleh AoA akan meningkatkan daya saing dan dapat meningkatkan kinerja ekspornya. Selama ini negara maju umumnya berhasil menarik manfaat dari pelaksanaan AoA. Sebaliknya, dampak perjanjian telah menimbulkan kerisauan berbagai pihak termasuk organisasi petani, para pakar, dan organisasi non- pemerintah di berbagai negara berkembang. Hal ini disebabkan AoA dirasakan terlalu memaksa negara berkembang untuk membuka pasar bagi impor hasil pertanian padahal para petani di negara-negara berkembang umumnya tidak mampu bersaing menghadapi hasil pertanian impor yang harganya lebih murah. Kewajiban AoA dapat memberikan dampak negatif kepada kelangsungan hidup para petani di negara berkembang, khususnya petani kecil dan miskin yang tidak mampu bersaing langsung dengan produk impor tanpa bantuan dan perlindungan dari pemerintah. Karena itu liberalisasi perdagangan di bidang pertanian AoA juga dianggap beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia dapat mengancam program ketahanan pangan. Liberalisasi perdagangan yang diciptakan AoA juga akan menimbulkan biaya yang tinggi cost bagi produsen yang tidak atau kurang efisien, karena untuk dapat bersaing di pasar internasional ` 36 harus melakukan penyesuaian-penyesuaian termasuk modernisasi dalam produksi dan pemasaran yang memerlukan biaya tinggi dan teknologi tinggi. Dalam lima tahun sesudah pelaksanaan AoA, banyak negara-negara berkembang yang merasakan ketidakseimbangan dalam hak dan kewajiban antara negara maju dengan negara berkembang. Sepintas lalu, dalam beberapa hal kewajiban negara berkembang memang terlihat lebih ringan dibandingkan negara maju. Contohnya, negara maju wajib mengurangi bantuan dalam negeri kepada petani sebesar 20 persen dan subsidi ekspor sebesar 36 persen dalam kurun waktu 6 tahun, negara berkembang juga wajib mengurangi bantuan dalam negeri sebesar 13 persen dan subsdi ekspor sebesar 24 persen dalam kurun waktu 10 tahun. Tapi bila dikaji lebih mendalam, kewajiban itu sebenarnya tidak adil. Pada kenyataannya, negara berkembang umumnya tidak memberikan subsidi ekspor atau bila ada nilainya sangat kecil, sedangkan nilai subsidi ekspor dan bantuan dalam negeri yang diberikan oleh negara-negara maju umumnya sangat besar. Disamping itu AoA juga menentukan bahwa bagi negara-negara yang tidak pernah memberikan subsidi dilarang memberikan subsidi sesudah AoA berlaku. Hal ini menutup kemungkinan dikemudian hari bagi negara berkembang untuk memberikan subsidi, dan sebaliknya negara maju masih dapat terus memberikan subsidi yang cukup besar yaitu sekitar 65 – 80 persen dari subsidi sebelum AoA. Sehingga terjadilah suatu situasi dimana perdagangan internasional terus didominasi dan mengalami distorsi oleh hasil pertanian negara maju yang disubsidi. Subsidi domestik dan subsidi ekspor negara-negara maju utama akan tetap tinggi walaupun sudah ada komitmen untuk menguranginya. Sebaliknya tidak banyak negara berkembang mampu memberikan subsidi di atas deminimis level. Akibatnya sulit bagi negara-negara berkembang bersaing dengan negara-negara ` 37 yang masih bisa memberikan dalam pemasaran produk pertanian. Konsumsi pangan untuk konsumsi domestik di negara-negara berkembang mungkin akan mengalami masalah dengan semakin terbatasnya untuk mengendalikan impor dan memberikan subsidi domestik. Kesulitan semakin bertambah dengan banyaknya masyarakat pedesaan yang menggantungkan hidupnya pada pertanian skala kecil. Kebijakan subsidi yang diterapkan negara-negara maju sangat canggih seperti crop insurance, resource structural adjustment programmes dan sebagainya sangat sulit untuk ditindak berdasarkan ketentuan yang ada dalam persetujuan pertanian. Hal ini berbeda dengan subsidi yang diberikan oleh negara- negara berkembang yang sangat sederhana seperti subsidi dalam proses produksi yang dengan mudah dapat ditindak berdasarkan persetujuan ini. Dengan melihat hal-hal tersebut diatas maka diperlukan perbaikan agar keseimbangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam implementasi persetujuan ini dapat diperbaiki. Kesempatan ini masih terbuka hingga saat ini, diperlukan persiapan yang lebih baik dalam menghadapi perundingan produk pertanian mendatang sebagaimana dimandatkan dalam perundingan produk pertanian. 2.5. Kesepakatan Akhir Tarif dalam Perdagangan Bebas Pada tahap paling akhir dalam negosiasi di bidang tarif, secara berangsur, akhirnya Indonesia mencapai keputusan untuk menentukan offer yang dikemukakannya dalam bentuk yang lebih integratif dan tidak lagi semata-mata bersikap reaktif terhadap permintaan negara maju. Pendekatan yang diambil oleh Indonesia adalah pertama menentukan prinsip umum yang dianut sebagai pangkal tolak dalam memberikan offer-nya. Prinsip utama adalah menentukan berapa rata- rata tarif yang dianggap aman bagi Indonesia apabila tingkat tersebut diterapkan ` 38 secara umum sebagai komitmen yang bersifat binding dan tidak dapat diubah tanpa kompensasi terhadap negara lain. Bagi Indonesia, komitmen Montreal untuk melakukan penurunan sebesar 30 persen di bawah rata-rata yang berlaku dapat menyulitkan apabila produk yang sensitif untuk diterapkan penurunan tarif sebesar itu. Akhirnya kesulitan tersebut dapat diatasi. Dengan menggunakan suatu prosedur yang dikembangkan oleh Chairman dari Kelompok Negosiasi Market Access, maka Indonesia mengambil pendekatan untuk melakukan binding terhadap sebagian besar dari produk impornya pada tingkat tarif maksimal 40 persen. Di luar itu terdapat kategori hasil pertanian yang menurut perjanjian di bidang pertanian tidak ditentukan tingkat maksimalnya untuk binding tetapi harus dilakukan tarifikasi yakni mengkonversikan semua jenis proteksi non-tarif menjadi tarif, walaupun akhirnya tarif equivalent yang tercapai jauh lebih tinggi. Tarif yang dikalkulasikan tersebut juga harus bersifat binding. Kategori terakhir adalah produk sensitif, baik di bidang manufaktur ataupun di bidang pertanian yang tidak dikenakan tarif binding dan tingkatnya masih tinggi. Untuk segmen ini Indonesia membatasi komitmennya dan dalam segmen ini, masih relatif banyak produk impor yang memang sengaja belum diterapkan tingkat binding-nya. Pendekatan prinsip yang ditentukan seperti di atas akhirnya dapat diterapkan secara nyata dengan komitmen Indonesia menerapkan komitmen binding pada tingkat tarif maksimal 40 persen dan berlaku untuk sekitar 95 persen dari barang yang diimpor, dan yang mencakup sekitar 92 persen dari nilai impor, serta bagi impor hasil pertanian, Indonesia, sesuai dalam ` 39 perjanjian di bidang pertanian, menerapkan komitmen binding terhadap impor pertanian. Tingkat tarif pertanian lebih tinggi daripada manufaktur karena terdapat hasil pertanian yang semula diberi proteksi melalui ketentuan non tarif yang harus dikonversikan kepada tarif dalam rangka tarifikasi. Selanjutnya di bidang pertanian, Indonesia memberikan kesempatan akses ke pasar untuk beras sebesar 70.000 ton dengan tarif sebesar 90 persen. Subsidi untuk produksi beras ditetapkan pada tingkat sebesar antara US 27.6 juta untuk tahun 1995 dan 21.50 juta untuk tahun 2004, untuk volume produksi antara 0.29 juta ton pada tahun 1995 dan 0.25 juta ton untuk tahun 2004. Dalam rangka perjanjian pertanian, Bulog sebagai state tranding entity telah dinotifikasikan kepada WTO untuk dapat melakukan subsidi domestik dan inventarisasi pasar yang boleh dilakukan dalam perjanjian. Komitmen untuk menghapus semua non-tarif barriers serta menghapus import surcharge dalam waktu 10 tahun. Dengan demikian sudah cukup luas. Dari tarif Indonesia sejumlah 9.38 HS tariff lines, yang merupakan perluasan dari komitmen untuk menerapkan binding yang cukup signifikan. Indonesia menyampaikan request di bidang produk tropis dan manufaktur yang ditujukan kepada AS, ME, Jepang, dan Kanada. Tariff Request tersebut menyangkut permintaan agar tarif di bawah 5 persen diturunkan menjadi 0 persen sedangkan untuk tarif di atas 5 persen dikurangi sebesar 50 persen. Walaupun Indonesia hanya menyampaikan request kepada 4 negara terutama dalam bidang produk tropis dan manufaktur akan tetapi Indonesia akan memperoleh keuntungan benefit dengan diterapkannya across the board dan MFN komitmen negara-negara maju terutama AS, ME, Jepang, dan Kanada. ` 40 Tabel 2. Kesepakatan Tarif Indonesia pada Akhir Perundingan Jumlah Produk menurut Impor pada Tarif Line Tahun 1992 Uraian Jumlah Produk Ton Persentase Nilai US Milliar Persentase Bidang manufaktur Binding yang telah berlaku 823 8.8 6.2 22.7 Binding baru 6714 71.6 16.3 59.7 Total Bound tarif bidang manufaktur 7537 80.3 22.5 82.4 Total binding hasil pertanian 1341 14.3 2.5 9.2 Total komitmen untuk binding 8878 94.6 25 91.6 Produk yang dikecualikan 504 5.4 2.3 8.4 TOTAL 9382 100.0 27.3 100.0 Sumber: www.wto.org, 2004 Dengan tingkat tarif yang rendah akan dapat menambah peluang besar yang lebih besar bagi Indonesia. Dari 1535 item tarif binding yang masuk dalam offer pertama, Indonesia memberikan konsesi sebanyak 380 item tarif atas request dari negara lain dan sebanyak 100 item tarif sebagai suatu tambahan teknis dalam timing sehingga dalam proses tawar-menawar yang dilakukan antara offer dan request belum optimal. Pada perundingan selanjutnya berdasarkan atas pengalaman yang diperoleh dari Uruguay Round, Indonesia akan dapat menyempurnakan pendekatannya. Sejauh menyangkut segi tarif, pertukaran konsesi penurunan tarif di bidang tekstil juga termasuk dalam market access. Namun cara Indonesia menempatkan konsesi tarif untuk tekstil dikaitkan dengan proses liberalisasi yang diatur dalam perjanjian khusus dalam Uruguay Round mengenai tekstil. ` 41 Untuk kemudian hari, dalam perundingan setelah Uruguay Round, diperlukan penyusunan request list untuk hasil ekspor Indonesia yang mempunyai kepentingan sebagai principal suplier. Dengan semakin mantapnya kebijakan Indonesia untuk menempuh strategi pembangunan yang lebih berorientasi ekspor, maka request list Indonesia pada perundingan-perundingan mendatang akan semakin terpadu dengan menitikberatkan pada akses ke pasar untuk produk- produk yang mempunyai masa depan baik di wilayah pasaran yang akan dituju.

2.6. Telaah Penelitian Pupuk Terdahulu dan Posisi Penelitian