108
Sejarah SMAMA Jilid 1 Kelas X
meramu makanan tingkat sederhana serta masa berburu dan men- gumpulkan makanan tingkat lanjut. Pada masa tingkat sederhana
manusia hidup secara berkelompok. Kelompok laki-laki melaku- kan perburuan, sedangkan kelompok perempuan mengumpulkan
dan meramu makanan. Perburuan dilakukan dengan alat-alat yang masih sangat sederhana.
a. Keadaan Lingkungan
Pada awalnya manusia purba hidup di padang terbuka. Alam sekitarnya merupakan tempat mereka mencari makanan. Mereka
menyesuaikan diri terhadap alam sekitar untuk dapat memperta- hankan hidup. Manusia purba yang hidup di daerah hutan dapat
menghindarkan diri dari bahaya serangan binatang buas, terik ma- tahari dan hujan. Mereka hidup berkelompok, tinggal di gua-gua
atau membuat tempat tinggal di atas pohon besar. Manusia yang tinggal di gua-gua dikenal sebagai cavemen orang gua. Dengan
demikian, mereka sangat bergantung pada kebaikan alam; mereka cenderung pasif terhadap keadaan.
Kehidupan di dalam gua-gua pada masa ini menghasilkan lukisan-lukisan pada dinding-dinding gua yang kemungkinan
besar menggambarkan kehidupan sosial-ekonomi mereka. Lukisan-lukisan pada dinding gua lain berupa cap tangan, babi
dan rusa dengan panah dibagian jantungnya, gambar binatang melata, dan gambar perahu. Lukisan dinding gua antara lain
ditemukan di Sulawesi Selatan, Irian Jaya, Kepulauan Kei, dan Pulau Seram.
b. Kehidupan Sosial
Kondisi alam sangat berpengaruh terhadap sifat dan fisik mak- hluk hidup tanpa kecuali manusia. Pola kehidupan manusia yang
primitif sangat menggantungkan hidupnya pada ketersediaan alam, di mana daerah-daerah yang didiami harus cukup untuk
memenuhi kebutuhannya, untuk kelangsungan hidup terutama di daerah yang cukup persediaan air. Temuan artefak pada Zaman
Palaeolitikum menunjukkan bahwa manusia Pithecanthropus sudah mengenal perburuan dan menangkap hewan dengan cara
yang sederhana.
Hewan yang menjadi mangsa perburuan adalah hewan yang berukuran besar, seperti gajah, sapi, babi atau kerbau. Saat per-
buruan, tentu diperlukan adanya kerja sama antarindividu yang kemudian membentuk sebuah kelompok kecil. Hasil buruannya
dibagikan kepada anggota-anggotanya secara rata. Adanya ke- terikatan satu sama lain di dalam satu kelompok, yang laki-laki
bertugas memburu hewan dan yang perempuan mengumpulkan makanan dan mengurus anak. Satu kelompok biasanya terdiri
dari 10 – 15 orang.
109
Bab 4 Kehidupan Awal Masyarakat Purba di Indonesia
Pada masa ini, manusia tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari air, tepi pantai dan tepi sungai. Penangkapan ikan meng-
gunakan mata panah atau ujung tombak yang berukuran kecil. Temuan-temuan perkakas tersebut antara lain kapak Sumatera
Sumatralith, mata panah, serpih-bilah dan lancipan tulang Mu- duk. Ini menunjukkan adanya kegiatan perburuan hewan-hewan
yang kecil dan tidak membutuhkan anggota kelompok yang ba- nyak atau bahkan dilakukan oleh satu orang. Dalam kehidupan
berkelompok, satu kelompok hanya terdiri dari satu atau dua keluarga.
c. Budaya dan Alat yang Dihasilkan
Masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan ini lebih senang tinggal di gua-gua sebagai tempat berlindung. Mereka
mulai membuat alat-alat berburu, alat potong, pengeruk tanah, dan perkakas lain. Pola hidup berburu membentuk suatu kebutu-
han akan pembuatan alat dan penggunaan api. Kebutuhan ini membentuk suatu budaya membuat alat-alat sederhana dari batu,
kayu, tulang yang selanjutnya berkembang dengan munculnya suatu kepercayaan terhadap kekuatan alam. Diduga, alat-alat ini
diciptakan oleh manusia pithecanthropus dari zaman Paleolitikum, misalnya alat-alat yang ditemukan di Pacitan. Menurut H.R.
von Heekeren
dan R.P. Soejono, serta Basuki yang melakukan
penelitian tahun 1953-1954, kebudayaan Pacitan merupakan ke- budayaan tertua di Indonesia. Pada masa berburu dan meramu
tingkat lanjut, ditemukan alat-alat dari bambu yang dipakai un- tuk membuat keranjang, membuat api, membuat anyaman dan
pembakaran.
Gambar 4.16 Berburu binatang besar seperti
gajah, memerlukan kerja sama yang solid.
Sumber : Encarta 2005.
110
Sejarah SMAMA Jilid 1 Kelas X
Selain di Pacitan, temuan sejenis terdapat pula di Jampang Kulon Sukabumi, Gombong, Perigi, Tambang Sawah di Beng-
kulu, Lahat, Kalianda di Sumatera Selatan, Sembiran Trunyan di Bali, Wangka, Maumere di Flores, Timor-Timur Timor Leste,
Awang Bangkal di Kalimantan Timur, dan Cabbenge di Sulawesi selatan.
Hasil-hasil kebudayaan yang ditemukan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan antara lain:
1 Kapak perimbas: tidak memiliki tangkai dan digunakan deng- an cara digenggam; diduga hasil kebudayaan Pithecanthropus
Erectus. Kapak perimbas ditemukan pula di Pakistan, Myan-
mar, Malaysia, Cina, Thailand, Filipina, dan Vietnam. 2 Kapak penetak: bentuknya hampir sama dengan kapak
perimbas, namun lebih besar dan masih kasar; berfungsi untuk membelah kayu, pohon, bambu; ditemukan hampir
di seluruh wilayah Indonesia.
3 Kapak genggam: bentuknya hampir sama dengan kapak pe- rimbas dan penetak, namun bentuknya lebih kecil dan masih
sederhana dan belum diasah; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia; digenggam pada ujungnya yang lebih
ramping.
4 Pahat genggam: bentuknya lebih kecil dari kapak genggam; berfungsi untuk menggemburkan tanah dan mencari ubi-
ubian untuk dikonsumsi. 5 Alat serpih atau flake: bentuknya sangat sederhana; beru-
kuran antara 10 hingga 20 cm; diduga digunakan sebagai pisau, gurdi, dan penusuk untuk mengupas, memotong, dan
menggali tanah; banyak ditemukan di goa-goa yang pernah ditinggali manusia purba.
6 Alat-alat dari tulang: berupa tulang-belulang binatang buruan. Alat-alat tulang ini dapat berfungsi sebagai pisau, belati, mata
tombak, mata panah; banyak ditemukan di Ngandong.
Gambar 4.17 Alat-alat rumah tangga dari tulang.
Sumber: www.kebudayaan.depdiknas.go.id.
111
Bab 4 Kehidupan Awal Masyarakat Purba di Indonesia
d. Sistem Kepercayaan
Penemuan akan kuburan primitif merupakan bukti bahwa manu- sia berburu makanan ini telah memiliki kepercayaan yang bersifat
rohani dan spiritual. Masyarakat zaman ini menganggap bahwa orang yang telah mati akan tetap hidup di dunia lain dan tetap
mengawasi anggota keluarganya yang masih hidup.
Adanya penggunaan alat-alat berburu dari alam menimbul- kan kepercayaan akan adanya kekuatan alam yang dianggap telah
membantu keberhasilan berburu. Adanya seni lukis di gua-gua yang menceritakan tentang kejadian perburuan, patung dewi
kesuburan dan penguburan mayat bersama alat-alat berburu, merupakan suatu bukti tentang adanya kepercayaan primitif ma-
syarakat purba. Orang yang meninggal saat berburu harus diberi perhargaan dalam bentuk rasa penghormatan.
Temuan lukisan di dinding-dinding gua menunjukkan adanya hasrat manusia purba untuk merasakan suatu kekuatan
yang melebihi kekuatan dirinya. Lukisan dibuat dalam bentuk cerita upacara penghormatan nenek moyang, upacara kesuburan,
perkawinan, dan upacara minta hujan, seperti yang terdapat di Papua. Lukisan-lukisan lain yang ditemukan antara lain lukisan
kadal di Pulau Seram yang menggambarkan penjelmaan roh nenek moyang, gambar manusia sebagai penolak roh-roh jahat,
serta gambar perahu yang melambangkan perahu bagi roh nenek moyang dalam perjalanan ke alam baka. Ini terjadi pada masa
berburu dan meramu makanan tingkat lanjut.
e. Sistem Bahasa
Interaksi antaranggota kelompok saat berburu menimbulkan sis- tem komunikasi dalam bentuk bunyi-mulut, yakni dalam bentuk
kata-kata atau gerakan badan yang sederhana. Perkembangan komunikasi antaranggota kelompok maupun antar kelompok ini
terus berkembang pada masa hidupnya Homo sapien dalam bentuk bahasa. Mengenai persebaran bahasa ini akan dibahas pada bab
selanjutnya pada buku ini.
2. Kehidupan Bercocok Tanam dan Beternak
a. Lingkungan Alam
Perkembangan volume otak manusia purba mendorong mereka untuk berpikir lebih maju daripada sebelumnya. Dengan kema-
juan berpikir, perilaku mereka pun makin teratur. Pada masa ini masyarakatnya telah bertempat tinggal menetap, meski suatu saat
bisa berpindah. Ketika bertempat tinggal untuk waktu yang relatif lama, mereka menyiapkan persediaan makanan untuk satu waktu
tertentu. Dengan demikian, mereka tak perlu lagi mengembara mencari makanan ke daerah lain.
112
Sejarah SMAMA Jilid 1 Kelas X
Kehidupan bercocok tanam pertama kali yang dikenal ma- nusia purba adalah berhuma. Berhuma adalah bercocok tanam
dengan cara membersihkan hutan dan kemudian menanaminya. Setelah tanahnya tak subur, mereka mencari hutan lain untuk
dihumakan. Setelah bosan berhuma, manusia purba segera men- cari akal guna mempermudah hidup mereka. Mulailah mereka
bercocok tanam dan beternak. Dengan bercocok tanam mereka akan lebih lama bertempat tinggal karena dalam bercocok tanam
diperlukan keteraturan waktu dan waktu tersebut tidaklah sing- kat. Mungkin sekali jenis-jenis tanaman pada tahap awal kegiatan
bercocok tanam adalah ubi, sukun, keladi, dan pisang. Memeli- hara hewan ternak bertujuan agar mereka tak perlu lagi berburu
binatang liar. Mereka tinggal menyembelih hewan ternak mereka. Kehidupan bercocok tanam dan beternak ini disebut juga sebagai
food producting
atau menghasilkan makanan sebagai perkembangan dari food gathering atau mengumpulkan makanan.
b. Kehidupan Sosial
Melalui bercocok tanam, manusia purba menjadi saling mengenal dengan sesamanya. Hubungan kelompok A dengan kelompok B
menjadi lebih erat. Ini terjadi karena dalam memenuhi kehidu- pannya, mereka dituntut untuk selalu bekerja sama, bergotong-
royong. Cara gotong-royong berlaku pula ketika membangun tempat tinggal, di ladang dan sawah, menangkap ikan, merambah
hutan.
Adanya kebutuhan hidup mendorong manusia purba untuk hidup dengan memanfaatkan alam. Sebelumnya, pola hidup ber-
buru dan mengumpulkan makakan menyebabkan jumlah maka- nan pokok tumbuhan dan hewan yang disediakan alam makin
menipis. Untuk mengatasi masalah itu, manusia lalu bercocok tanam dan menjinakkan hewan untuk dipelihara.
Gambar 4.18. Kehidupan berhuma berladang tidak
memerlukan rumah permanen, maka dari itu perhatikan rumah
peladang pada foto di atas, sangat sederhana bukan?
Sumber: Indonesian Heritage:Manusia dan Lingkungan, hal. 70.