Daya dukung ekowisata dengan pendekatan kapasitas adaptif ekologi di pulau pulau kecil
DAYA DUKUNG EKOWISATA DENGAN
PENDEKATAN KAPASITAS ADAPTIF EKOLOGI
DI PULAU-PULAU KECIL
Kasus Gugus Pulau Guraici Kabupaten Halmahera Selatan
Propinsi Maluku Utara
RIYADI SUBUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Daya Dukung Ekowisata Dengan Pendekatan Kapasitas Adaptif Ekologi Di Pulau-Pulau Kecil : Kasus Gugus Pulau Guraici Kabupaten Halmahera Selatan Propinsi Maluku Utara, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
Riyadi Subur NIM. C262070041
(3)
ABSTRACT
Riyadi Subur. Daya Dukung Ekowisata Dengan Pendekatan Kapasitas Adaptif Ekologi di Pulau-Pulau Kecil: Kasus Gugus Pulau Guraici Kabupaten Halmahera Selatan Propinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh Fredinan Yulianda, Achmad Fahrudin dan Setyo Budi Susilo.
Small islands have unique characteristics when compared to the big island and when viewed from the aspect of ecology has a high risk of environmental pressures and limited carrying capacity of ecosystems and low adaptive capacity. Study was conducted to determine the carrying capacity of eco-tourism based on ecological adaptive capacity carried on small islands in the group of Guraici islands, on 2011. The data was collected through field surveys for primary data and secondary data collection on the relevant agencies. The purpose of this study were (1) calculate the adaptive capacity of coastal ecosystems on the islands that serve as the object Guraici ecotourism, (2) calculate the fitness level of each coastal ecosystems for every eco-tourism activities, (3) calculate the carrying capacity of the adaptive (DDA) based on adaptive capacity and the carrying capacity of coastal ecosystems for every eco-tourism activities in the group of Guraici islands. The results show that the adaptive capacity of coral reef ecosystems ranged from 0.0-0.58. mangrove ecosystem adaptive capacity ranges from 0.0-0.51. Seagrass ecosystem adaptive capacity values ranged from 0.0-0.59, all ecosystems are classified in categories adapti capacity of ”low, medium and very low”.
Keywords: carrying capacity, eco-tourism, ecological adaptive capacity, small islands.
(4)
RINGKASAN
Riyadi Subur. Daya Dukung Ekowisata Dengan Pendekatan Kapasitas Adaptif Ekologi di Pulau-Pulau Kecil: Kasus Gugus Pulau Guraici Kabupaten Halmahera Selatan Propinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh Fredinan Yulianda, Achmad Fahrudin dan Setyo Budi Susilo.
Keberadaan ekosistem pesisir beserta seluruh organisme di pulau-pulau kecil merupakan sumberdaya dan objek yang perperan penting dan bermanfaat bagi seluruh sistem kehidupan, namun demikian secara ekologi, pulau-pulau kecil beserta ekosistemnya memiliki resiko tekanan lingkungan yang tinggi serta keterbatasan akan daya dukung dari sumberdaya yang melingkupinya. keberadaan ekosistem terumbu karang, mangrove serta lamun (seagrass) di pulau-pulau kecil dapat menjadi daya tarik wisata sebagai akibat aktraksi-atraksi beragam organisme yang hidup didalamnya karena keunikan, keindahan maupun eksotismenya. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menghitung kapasitas adaptif ekosistem pesisir di pulau-pulau Guraici yang dijadikan sebagai objek ekowisata, (2) menghitung tingkat kesesuaian setiap ekosistem pesisir bagi tiap kegiatan ekowisata, (3) menghitung daya dukung adaptif (DDA) berdasarkan kapasitas adaptif dan daya dukung kawasan setiap ekosistem pesisir bagi kegiatan ekowisata di gugus pulau Guraici.
Pengumpulan data melalui survei lapangan untuk mendapatkan data-data primer, serta pengumpulan data sekunder pada instansi terkait. Analisis yang dibutuhkan dalam penelitian ini mencakup (1) analisis ekosistem serta sumberdaya dalam gugus pulau Guraici (data biofisik), untuk mendapatkan gambaran umum tentang ekosistem maupun spesifik dari suatu sumberdaya. (2) Analisis kapasitas adaptif ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove dan lamun), hasil dari analisis ini mendapatkan kapasitas adaptif setiap ekosistem tersebut. (3) Analisis kesesuaian bagi ekowisata selam, snorkling, mangrove dan lamun, analisis ini menghasilkan kelas kesesuaian setiap ekosistem tersebut bagi setiap kegiatan ekowisata. (4) Analisis daya dukung kawasan (DDK), dilakukan untuk mendapat daya dukung kawasan bagi suatu kegiatan ekowisata. (5) Analisis daya dukung adaptif (DDA), analisis ini dilakukan untuk mendapatkan daya dukung bagi suatu kegiatan ekowisata berdasarkan kapasitas adaptif dari setiap ekosistem yang menjadi objek ekowisata. Pengukuran kapasitas adaptif ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove dan lamun), dilakukan terhadap 19 parameter yang terdiri dari 7 parameter pada ekosistem terumbu karang (Indeks dimensi terumbu karang, persentasi tutupan karang, dominasi lifeform, jumlah jenis lifeform, jumlah jenis ikan karang, kedalaman terumbu karang, jarak ekosistem dari pemukiman penduduk). 6 parameter pada ekosistem mangrove (indeks dimensi mangrove, spesies dominan, kerapatan pohon/ha, jumlah genera, tipe substrat, jarak ekosistem dari pemukiman penduduk ). 6 parameter pada ekosistem lamun (indeks dimensi lamun, jenis lamun, persentasi tutupan, jumlah jenis, tipe substrat, jarak dari pemukiman penduduk).
Ekosistem terumbu karang pada 17 pulau dalam gugus pulau Guraici, berdasarkan kapasitas adaptif berada pada kisaran antara 0.0-0.58. Nilai kapasitas adaptif ekosistem mangrove berada pada kisaran antara 0.0-0.51. Nilai kapasitas ekosistem lamum berkisar antara 0.0-0.59. Tiga ekosistem pesisir tersebut tergolong kedalam tiga kategori kapasitas yaitu “sedang, rendah, dan sangat rendah”.
Berdasarkan kelas kesesuaian bagi ekowisata selam dan snorkling, pada ekosistem terumbu karang di sekitar pulau Rajawali tergolong berkategori
(5)
“sangat sesuai (S1)”, dan pada lokasi lainnya berkategori “cukup sesuai (S2)”. Ekosistem mangrove pada pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici, seluruhnya tergolong pada kelas kesesuaian “cukup sesuai (S2). Sedangkan ekosistem lamun yang ditemukan di pulau Talimau memiliki kelas kesesuaian dengan kategori “sangat sesuai (S1), namun pada pulau lainnya berkategori “cukup sesuai (S2)”.
Daya dukung kawasan (DDK) bagi kegiatan ekowisata selam berkategori S1 pada perairan sekitar pulau Rajawali adalah sebanyak 140 pengunjung. Sedangkan pada kawasan dengan kategori S2, berkisar antara 28-2048 pengunjung. Bagi kegiatan ekowisata snorkling berkategori S1 dapat menampung sekitar 72 pengunjung, sedangkan pada kategori S2, berkisar antara 28-1280 pengunjung. Kegiatan ekowisata mangrove memiliki daya dukung kawasan yang berkategori S2, berkisar antara 56-1600 pengunjung. Daya dukung kawasan ekosistem lamun dengan kategori S1 yaitu sebanyak 1388 pengunjung pada ekosistem lamun di pulau Talimau, sendangkan ekosistem lamun berkategori S2, berkisar antara 8-1576 pengunjung.
Berdasarkan daya dukung adaptif (DDA), ekosistem terumbu karang pada perairan sekitar pulau Rajawali berkategori S1 bagi kegiatan ekowisata selam memiliki DDA sebanyak 82 pengunjung, sedangkan kategori S2 berkisar antara 10-1193 pengunjung. Untuk kegiatan ekowisata snorkling berkategori S1, memiliki DDA sebanyak 42 pengunjung, sedangkan yang berkategori S2, berkisar antara 10-735 pengunjung. DDA bagi kegiatan ekowisata mangrove yang seluruhnya berkategori S2, berkisar antara 24-747 pengunjung. Ekosistem lamun pada gugus pulau Guraici yang berkategori S1 di pulau Talimau, memiliki DDA sebanyak 817 pengunjung, sedangkan kategori S1, berkisar antara 4-841 pengunjung.
(6)
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagianatau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
DAYA DUKUNG EKOWISATA DENGAN PENDEKATAN
KAPASITAS ADAPTIF EKOLOGI DI PULAU-PULAU KECIL
Kasus Gugus Pulau Guraici Kabupaten Halmahera Selatan Propinsi Maluku Utara
RIYADI SUBUR
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(8)
Penguji Luar pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc
2. Prof.Dr.Dra. Endang Kostati Sriharini, MS
Penguji Luar pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja 2. Dr. Ir. Pamuji Lestari, M.Sc
(9)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi : Daya Dukung Ekowisata Dengan Pendekatan Kapasitas Adaptif Ekologi di Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau Guraici Kabupaten Halmahera Selatan Propinsi Maluku Utara).
Nama Mahasiswa : Riyadi Subur Nomor Pokok : C262070041
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. Anggota
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
(10)
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan pada saat dan waktu yang tepat. Tema yang dipilih adalah kapasitas adaptif, dengan judul: Daya Dukung Ekowisata Dengan Pendekatan Kapasitas Adaptif Ekologi Di Pulau-Pulau Kecil: studi di gugus pulau Guraici, kabupaten Halmahera Selatan Propinsi Maluku Utara.
Bersama ini, penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc (Ketua Komisi), Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si (Anggota) dan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc (Anggota) berbagai masukan, arahan serta bimbingan yang telah diberikan selama proses peyusunan Disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, MSc dan Ibu Prof. Dr.Dra. Endang Koestati Sriharini, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dan Ibu Dr. Ir. Pamuji Lestari, M.Sc selaku penguji luar pada ujian terbuka, yang memberikan masukan dan saran guna penyempurnaan disertasi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Sarni Kaprawi, SP, M.Si (Istri), Nazril Dzakwan Subur dan Rasya Dzulian Subur (anak), atas semua bentuk pengorbanan, kesabaran dan selalu menjadi motivasi
bagi penulis. Kepada kedua orang tua tercinta M. Husni Subur dan Jubaida Usman (alm.), terima kasih atas segala pengorbanan, bimbingan,
didikan serta perhatian sejak lahir hingga saat ini. Kepada kedua mertua tercinta Hi. Kaprwai Hasyim dan Hj. Salma Tambul, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua kebaikan, pengorbanan serta perhatian yang diberikan kepada Istri dan anak-anak penulis dan penulis sendiri selama ini. Kepada kakak dan adik-adik (Khairil Subur, Rahmat Subur, Mohtar Subur, Rikki Subur, Nursina Subur dan Monika Subur), terima kasih atas semua perhatian dan dorongan kepada penulis. Kepada adik-adik (Satri Kaprawi, Mirna Kaprawi dan Taufik Kaprwai) terima kasih atas semua kebaikan dan perhatian yang diberikan.
Kepada teman-teman angkatan 2007 (Dr. Amirudin Tahir, Dr. Imam Bahtiar, Dr. Nirmala A. Wijaya, Dr. Musadun, Dr. Nurul Istiqamah, Gladys Peuru dan Ahmad Bahar dan Dr. Abdul Sukur) penulis ucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dorongan motifasi dan diskusi selama menjalani studi di SPs-IPB. Selain itu kepada semua teman-teman program studi SPL-IPB, serta rekan-rekan dari Universitas Khairun yang tidak disebutkan, penulis ucapkan terima kasih atas semua bentuk perhatian dan bantuan kepada penulis.
Bogor, Juli 2012 Riyadi Subur
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dofa tanggal 20 Mei 1977. Putra keempat dari 9 bersaudara pasangan Bapak Muhamad Husni Subur dan Ibu Jubaida Usman (alm.). Menikah dengan Sarni Kaprawi pada tahun 2008 dan saat ini dikaruniai dua orang putra, Nazril Dzakwan Subur dan Rasya Dzulian Subur.
Pendidikan formal dimulai di SDN. 5 Sanana (1983-1989), SMPN. 2 Sanana (1989-1992), SMAN. 5 Ternate (1992-1995). Tahun 1995, penulis diterima melalui jalur UMPTN di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, pada jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), dan menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2001. Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Ilmu Perairan Universitas Sam Ratulangi Manado, dan tamat pada tahun 2004. Sejak tahun 2005 penulis menjadi dosen tetap di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), FPIK-Universitas Khairun Ternate.
Tahun 2007 penulis menjadi mahasiswa Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan dukungan finansial beasiswa BPPS (2007-2010).
(12)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL...xiv
DAFTAR GAMBAR...xiv
DAFTAR LAMPIRAN...xii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Kerangka Pemikiran ... 8
1.6 Kebaharuan (Novelty) ... 9
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1 Pengertian dan Batasan Pulau Kecil ... 11
2.2 Tipe dan Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil ... 12
2.3 Karaktersitik Pulau-Pulau Kecil ... 16
2.4 Kriteria Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil ... 20
2.5 Biodiversitas di Pulau-Pulau Kecil ... 22
2.6 Kapasitas Adaptif ... 24
2.7 Ekowisata ... 28
2.8 Kesesuaian Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil ... 34
2.9 Daya Dukung Lingkungan ... 35
2.10 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 40
3 METODE PENELITIAN ... 43
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 43
3.2 Bahan dan Alat ... 44
3.3 Pengumpulan Data Kapasitas Adaptif Ekologi ... 44
3.4 Pengumpulan Data Kesesuaian Ekowisata ... 58
3.4.1 Analisis Kesesuaian Ekowisata ... 59
3.5 Kebutuhan Data Daya Dukung Kawasan ... 62
3.5.1 Analisis Daya Dukung Kawasan (DDK) ... 62
3.6 Kebutuhan Data Daya Dukung Adaptif (DDA) ... 64
3.6.1 Analisis Daya Dukung Adaptif (DDA) ... 64
4 PROFIL GUGUS PULAU GURAICI ... 67
4.1 Gambaran Umum Gugusan Pulau Guraici ... 67
4.2 Karakteristik Geofisik Gugus Pulau Guraici ... 73
4.3 Karakteristik Ekosistem dan Sumbedaya Pesisir Gugus Pulau Guraici ... 90
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 105
5.1 Pengukuran Kapasitas Adaptif ... 105
5.1.1 Ekosistem Terumbu Karang ... 105
5.1.1.1 Kapasitas Adaptif Ekosistem Terumbu Karang ... 115
5.1.2 Ekosistem Mangrove ... 121
5.1.2.1 Kapasitas Adaptif Ekosistem Mangrove ... 128
5.1.3 Ekosistem Padang Lamun (seagrass) ... 133
5.1.3.1 Kapasitas Adaptif Ekosistem Padang Lamun ... 138
5.2 Kesesuaian Untuk Ekowisata ... 142 xix
(13)
5.2.1 Ekowisata Selam ... 142
5.2.2 Ekowisata Snorkling ... 145
5.2.3 Kesesuaian Wisata Wisata Mangrove ... 147
5.2.4 Kesesuaian Wisata Wisata Lamun ... 148
5.3 Daya Dukung Kawasan Pulau-Pulau Guraici Bagi Ekowisata ... 151
5.3.1 Daya Dukung Kawasan Wisata Selam ... 151
5.3.2 Daya Dukung Kawasan Wisata Snorkling ... 152
5.3.3 Daya Dukung Kawasan Wisata Mangrove ... 153
5.3.4 Daya Dukung Kawasan Wisata Lamun ... 154
5.4 Hubungan antara Kapasitas Adaptif Ekosistem, Daya Dukung Kawasan (DDK) dan Daya Dukung Adaptif (DDA) ... 155
5.4.1 Verifikasi Daya Dukung Ekowisata Selam ... 158
5.4.2 Verifikasi Daya Dukung Ekowisata Snorkling ... 160
5.4.3 Verifikasi Daya Dukung Ekowisata Mangrove ... 162
5.4.4 Verifikasi Daya Dukung Ekowisata Lamun ... 163
5.5 Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Dalam Gugus Pulau Guraici .... 165
6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 169
6.1 Kesimpulan ... 169
6.2 Saran ... 170
(14)
DAFTAR TABEL
1. Perbandingan karaktersitik pulau oseanik, pulau daratan/ kontinental dan
pulau Benua. ... 18
2. Kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil. ... 21
3. Beberapa Pengertian Ekowisata ... 29
4. Contoh penentuan Skala ... 44
5. Kriteria Penilaian Kapasitas Ekosistem Terumbu Karang ... 45
6. Kriteria Persentasi penutupan karang hidup ... 48
7. Kriteria Penilaian Kapasitas Mangrove ... 51
8. Kriteria Baku Ekosistem Mangrove ... 53
9. Kriteria Penilaian Kapasitas Lamun ... 55
10. Kategori Penutupan Lamun ... 57
11. Jenis data yang dibutuhkan untuk penentuan kesesuaian ekowista di gugus pulau Guraici. ... 59
12. Matrik kesesuaian lahan bagi kegiatan ekowisata selam ... 60
13. Matrik kesesuaian lahan bagi kegiatan ekowisata snorkling. ... 61
14. Matrik kesesuaian lahan bagi kegiatan ekowisata mangrove ... 61
15. Matrik kesesuaian lahan bagi kegiatan ekowisata lamun ... 61
16. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt). ... 63
17. Perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata. ... 64
18. Keadaan iklim di Kab. Halmahera Selatan sejak tahun 2001-2010. ... 68
19. Gambaran umum topografi pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici ... 70
20. Penutupan Lahan Gugusan Pulau Guraici ... 70
21. Penutupan Perairan Gugusan Pulau Guraici ... 71
22. Hasil Pengukuran dan Analisis Parameter serta Distribusi Nilai Kapasitas Adaptif Ekosistem Terumbu Karang. ... 116
23. Hasil Pengukuran dan Analisis Parameter serta Distribusi Nilai Kapasitas Adaptif Ekosistem Mangrove. ... 129
24. Hasil Pengukuran dan Analisis Parameter serta Distribusi Nilai Kapasitas Adaptif Ekosistem Lamun. ... 138
25. Luas Kawasan Berdasarkan Kelas Kesesuaian Wisata Selam. ... 142
26. Luas Kawasan Berdasarkan Kelas Kesesuaian Untuk Kegiatan Wisata Snorkling. ... 145
27. Luas Kawasan Berdasarkan Kelas Kesesuaian Untuk Kegiatan Wisata Mangrove. ... 147
28. Luas Kawasan Berdasarkan Kelas Kesesuaian Untuk Kegiatan Wisata Lamun. ... 148
(15)
29. Distribusi wilayah kegiatan wisata selam pada perairan sekitar
pulau-pulau dalam gusu pulau-pulau Guraici. ... 152 30. Distribusi wilayah kegiatan wisata snorkling pada perairan sekitar
pulau-pulau dalam gusu pulau Guraici. ... 153 31. Distribusi wilayah kegiatan wisata mangrove pada perairan sekitar
pulau-pulau dalam gusu pulau Guraici. ... 154 32. Distribusi wilayah kegiatan wisata lamun (seagrass) pada perairan
sekitar pulau-pulau dalam gusu pulau Guraici. ... 155 33. Distribusi nilai daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif untuk
kegiatan ekowisata selam... 159 34. Distribusi nilai daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif untuk
kegiatan ekowisata snorkling. ... 161 35. Distribusi nilai daya dukung kawasan dan daya dukung Adaptif untuk
kegiatan wisata Mangrove. ... 162 36. Distribusi nilai daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif untuk
(16)
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pikir Penelitian ... 9
2. Ilustrasi yang menggambarkan kondisi yang adaptif, diwakili oleh ketahanan (resilience) (dimodifikasi dari Walker et al. 2004). ... 25
3. Siklus Adaptif (dimodifikasi dari Gunderson and Holling 2002). ... 26
4. Posisi Kapasitas Adaptif Terhadap Kerentanan (dimodifikasi dari Luers 2005). ... 27
5. Peta Lokasi Penelitian ... 43
6. Sketsa Pengukuran Dimensi Terumbu karang ... 46
7. Underwater Visual Census (UVC) (English et al. 1997). ... 49
8. Sketsa Pengukuran Dimensi Mangove ... 52
9. Sketsa Pengukuran Dimensi Lamun ... 56
10. Peta Gugus Pulau Guraici... 67
11. Peta geologi pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici. ... 69
12. Pola arus utama perairan Indonesia yang menunjukkan Aliran Arus Lintas Indonesia (Arlindo). (Sumber: Dimodifikasi dari Goole Earth dan Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Laut Kabupaten Halmahera Selatan Dan Kabupaten Halmahera Tengah 2007). ... 72
13. Peta Penutupan Lahan Pulau-Pulau Dalam Gugus Pulau Guraici ... 87
14. Peta Topografi Pulau-Pulau Dalam Gugus Pulau Guraici ... 88
15. Peta Kedalaman Perairan Pulau-Pulau Dalam Gugus Pulau Guraici ... 89
16. Perbandingan indeks dimensi terumbu karang pada setiap pulau dalam gugus pulau Guraici. ... 106
17. Persentasi Tutupan karang hidup pada perairan sekitar pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici. ... 108
18. Perbandingan persentasi Lifeform dominan dan persentasi tutupan karang hidup. ... 110
19. Perbandingan jumlah spesies dan jumlah lifeform karang yang ditemukan pada perairan sekitar pulau-pulau dalam gugus P.Guraici. ... 112
20. Perbandingan jumlah spesies karang, Lifeform, Ikan Target, Ikang Indikator dan ikan mayor yang ditemukan pada lokasi penelitian. ... 113
21. Peta sebaran terumbu karang pada setiap pulau dalam gugus pulau Guraici. ... 120
22. Perbandingan indeks dimensi mangrove pada setiap pulau dalam gugus pulau Guraici. ... 122
23. Perbandingan kerapatan pohon mangrove yang ditemukan pada setiap lokasi penelitian. ... 125
24. Perbandingan jumlah Genera dan Jumlah spesies Mangrove yang ditemukan pada setiap lokasi penelitian. ... 127
(17)
25. Peta sebaran kapasitas mangrove pada setiap pulau dalam gugus
pulau Guraici. ... 132 26. Distribusi perbandingan indeks dimensi padang lamun pada setiap
pulau lokasi penelitian. ... 134 27. Perbandingan jumlah spesies dan spesies dominan yang ditemukan
pada setiap lokasi penelitian. ... 135 28. Persentasi tutupan lamun pada setiap lokasi penelitian. ... 137 29. Peta sebaran kapasitas lamun pada setiap pulau dalam gugus pulau
Guraici ... 141 30. Peta Kesesuaian Wisata Selam ... 144 31. Peta Kesesuaian Wisata Snorkling ... 146 32. Peta Kondisi Kesesuaian Wisata Mangrove dan Lamun dalam kawasan
gugus pulau Guraici. ... 150 33. Perbandingan daya dukung kawasan (DDK) dan daya dukung adaptif
(DDA) dengan kategori (S1) dan (S2) bagi wisata selam berdasarkan
kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang. ... 160 34. Perbandingan daya dukung kawasan (DDK) dan daya dukung adaptif
(DDA) bagi ekowisata Snorkling berdasarkan kapasitas adaptif
ekosistem terumbu karang. ... 161 35. Perbandingan jumlah daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif
dengan kategori (S2) bagi kegiatan wisata Mangrove. ... 163 36. Perbandingan jumlah daya dukung kawasan (DDK) dan daya dukung
adaptif (DDA) dengan kategori (S1) dan (S2) bagi kegiatan wisata
(18)
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau-pulau kecil sangatlah penting dalam pembangunan berkelanjutan, selain karena jumlahnya yang banyak, wilayah ini juga menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan yang berasal dari kekayaan ekosistemnya baik ekosistem terumbu karang, ekosistem lamun serta ekosistem mangrove beserta seluruh biota di dalamnya. Posisi Indonesia yang secara goegrafi berada pada lintang rendah serta dilalui garis katulistiwa, memberikan keuntungan dalam hal keanekaragaman hayati (biodiversity) yang berlimpah baik yang terdapat di daratan maupun yang terdapat di wilayah pesisir dan laut, bahkan oleh karena memiliki keanekaragaman hayati laut sangat tinggi, Indonesia dikenal sebagai mega biodiversity dunia, karena kekayaan spesies umumnya meningkat seiring menurunnya lintang Gossling (1999).
Kawasan pesisir dan laut dari pulau-pulau kecil mengandung sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan berlimpah, baik berupa sumberdaya dapat pulih (renewable resources) setelah dimanfaatkan maupun tidak dapat pulih (non-renewable resources) (Clark 1996 ; Dahuri 2000). Ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun, merupakan ekosistem produktif di pulau-pulau kecil yang dapat menyediakan layanan jasa lingkungan sebagai penyedia nilai-nilai estetika atau keindahan sebagai objek ekowisata melalui atraksi wisata dari organisme di dalamnya.
Secara ekologi pulau-pulau kecil memiliki kondisi resiko tekanan lingkungan yang tinggi serta rentan dari berbagai aktivitas maupun keterbatasan daya dukung dari sumberdaya yang dikandungnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengembangan pada suatu kawasan jika tidak terencana dengan baik serta berdasarkan daya dukung kawasan tersebut dapat mengakibatkan dampak eksternal yang cukup signifikan.
Kerentanan merupakan salah satu ciri penting pada pulau-pulau kecil dan wilayah pesisirnya juga teridentifikasi sebagai daerah paling rentan terhadap perubahan iklim, misalnya sebagai akibat peristiwa ekstrim dan kenaikan permukaan laut Briguglio (1995); Mimura (1999); Lewis (2009); (Bunce 2009). Semua permasalahan yang terjadi pada wilaya pesisir tersebut dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan pulau-pulau kecil. Kualitas lingkungan yang rendah akan memberikan dampak pada meningkatnya potensi
(19)
kerusakan ekosistem maupun sumberdaya alam di pulau-pulau kecil. Namun disisi lain, ekosistem dan sumberdaya alam yang tersedia memberikan manfaat yang sangat penting bagi manusia atau yang biasa digambarkan sebagai pendukung kehidupan, penyedia bahan dan energi serta sebagai penyerap limbah (Gossling 1999).
Setiap pemanfaatan atau eksploitasi yang dilakukan akan berdampak jelas terhadap fungsi ekosistem di lingkungan pulau-pulau kecil, dengan kata lain sesungguhnya pembangunan umumnya berdampak pada kualitas lingkungan bagi pulau-pulau kecil, oleh karena itu kajian mendasar perlu dilakukan terhadap sumberdaya di pulau-pulau kecil bagi suatu pengembangan khususnya pengembangan wisata serta disesuaikan dengan kapasitas sumberdaya tersebut serta tingkat kesesuaian dan daya dukungnya. Dengan demikian diperlukan data dasar (benchmark) dari pulau-pulau kecil yang berpotensi dikembangkan dengan pendekatan yang memperhitungkan kapasitas adaptif ekositem, khususnya ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun (seagrass), besarta kesesuaian dan daya dukungnya, sehingga diperoleh tingkat pemanfaatan ekosistem tersubut sebagai objek wisata berdasarkan kapasitas adaptifnya.
Guraici dalam bahasa Ternate terdiri dari kata Gura yang berarti Kebun dan Ici yang artinya kecil, sehingga Guraici dapat diartikan sebagai ”Kebun kecil”. Guraici sendiri adalah salah satu pulau yang terdapat di dalam gugus pulau Guraici, terletak di Kecamatan Koyoa Kabupaten Halmahera Selatan, merupakan salah satu dari gugus pulau kecil yang terdapat di propinsi Maluku Utara. Wilayah ini berjarak ±55 mil laut dari Ternate, dari ibukota Kabupaten Halmahera Selatan berjarak ±44 mil laut serta dari ibukota Kecamatan berjarak ±13 mil laut.
Gugus pulau Guraici merupakan kumpulan dari pulau-pulau sangat kecil, terdiri dari sekitar tujuh belas pulau berukuran antara 0,2-215,6 ha, diantaranya terdapat dua pulau berpenduduk yaitu pulau Talimau dan pulau Lelei. Kedua pulau tersebut merupakan pulau terbesar dengan luas pulau Talimau sekitar 215,6 ha dengan jumlah penduduk tercatat sekitar 1.039 jiwa, serta pulau Lelei seluas 61,8 ha, dengan jumlah penduduk sekitar 598 jiwa di tahun 2011. Gugusan pulau tersebut secara geografi terletak pada posisi 12709’-127016’ BT dan 000’-008’ LS, berada disekitar garis katulistiwa (ekuator). Ekosistem pesisir utama yang dijumpai pada sebagian besar pulau-pulau tersebut yaitu terumbu karang, mangrove serta lamun. Keberadaan ekosistem terumbu karang yang
(20)
menyediakan atraksi wisata diantaranya atraksi ikan pari manta (mata rey), ekosistem mangrove yang menyediakan atraksi burung laut yang mendiami sebagain pulau tersebut serta atraksi organisme padang lamun, selain pantai berpasir putuh. Menyadari akan potensi yang ada tersebut maka pemerintah propinsi Maluku Utara maupun pemerintah kabupaten Halmahera Selatan mencanagkan wilayah gugus pulau Guraici untuk dikembangkan sebagai salah satu kawasan wisata, disisi lain gugusan ini merupakan kumpulan dari pulau-pulau sangat kecil dan rentan. Keberadaan ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun disamping memberikan manfaat bagi manusia juga memberikan manfaat yang besar bagi pulau-pulau kecil tersebut dalam mereduksi tekanan eksternal yang tinggi terhadap pulau-pulau tersebut
Berdasarkan pada beberapa uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang kapasitas adaptif ekologi, khususnya kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun, kesesuaian maupun daya dukung ekosistem tersebut sebagai komponen ekosistem utama yang ditemukan di gugus pulau Guraici. Penelitian ini dilakukan untuk menditeksi secara dini kondisi ketiga ekosistem tersebut, sehingga pengembangan daerah ini sebagai kawasan wisata dalam jangka panjang tetap bekesinambungan dengan ekosistem yang terjaga sehingga peranan setiap ekosistem tersebut tetap belangsung.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang ada di pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici adalah bahwa pulau-pulau tersebut merupakan kumpulan dari pulau-pulau sangat kecil yang rentan terhadap berbagai kegiatan. Keberadaan ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem padang lamun, merupakan ekosistem penting bagi pulau kecil, baik ditinjau dari peranannya terhadap pulau-pulau kecil tersebut maupun bagi ekosistem itu sendiri.
Selain itu pulau Guraici sebagai salah satu pulau dalam gugusan ini mengalami degradasi luas daratan yang signifikan, hasil penelitian DKP-Propinsi Maluku Utara tahun 2004 menyebutkan bahwa luas daratan pulau Guraici saat itu seluas 1,6 ha (DKP-Malut 2004), selanjutnya penelitian yang dilakukan tahun 2011, menunjukkan bahwa luas daratan pulau Guraici tersisa sekitar 0,4 ha, yang berarti terjadi degradasi luas daratan pulau Guraici sebanyak 1,2 ha dalam waktu sekitar 7 tahun.
(21)
Kondisi di pulau Guraici dapat terjadi karena pulau tersebut merupakan pulau primadona diantara pulau lainnya bagi para pengunjung yang pada saat tertentu datang dalam jumlah besar (rombongan) seperti kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Propinsi Maluku Utara atau pemerintah Kabupanten Halmahera Selatan, hal tersebut merupakan salah satu pemicu terjadinya degradasi daratan pulau Guraici.
Selain itu (Bappeda Propinsi Maluku Utara dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair (2007), menyatakan bahwa di pulau Guraici hanya ditemukan ekosistem terumbu karang dengan luasan yang sempit, sedangkan ekosistem mangrove serta ekosistem lamun tidak ditemukan di sekitar pulau Guraici. Keberadaan ekosistem utama yang tidak lengkap di pulau Guraici memberi andil besar terhadap degradasi daratan pulau tersebut karena tidak adanya ekosistem penahan hempasan gelombang serta arus yang mencapai daratan pulau. Apabila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya dalam gugusan ini yang juga memiliki ukuran sangat kecil namun karena memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove serta lamun sebagai ekosistem yang memberikan perlindungan besar terhadap daratan pulau-pulau tersebut.
Wilayah gugus pulau Guraici adalah kawasan yang dicanangkan oleh pemerintah Propinsi Maluku Utara serta pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan sebagai daerah tujuan wisata setelah propinsi Maluku Utara dimekarkan tahun 1999, dan kemudian Halmahera Selatan juga dimekarkan menjadi kabupaten baru. Sebagai daerah yang beru berkembang, aktivitas wisata di daerah Maluku Utara umumnya dan wilayah gugus pulau Guraici khususnya belum berkembang pesat sebagaimana di wilayah kawasan barat Indonesia. Wisatawan asaing berkunjung ke daerah ini masih dalam jumlah sangat sedikit dengan intensitas yang jarang.
Sebagai pulau-pulau sangat kecil, maka yang menjadi objek untuk dinikmati wisatawan ketika berkunjung ke wilayah Guraci adalah ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun, sebagai ekosistem yang umum ditemukan dalam gugusan ini. Pada ekosistem terumbu karang, wisatawan dapat menikmati atraksi ikan pari manta (manta rey), pada ekosistem mangrove, wisatawan dapat menikmati atraksi burung laut yang mendiami pulau Daramafala, demikian halnya pada ekosistem lamun, wisatawan dapat menikmati atraksi moluska serta ikan-ikan kecil yang berlindung serta mencari makan. Berbagai atraksi wisata yang diantaranya telah disebutkan dapat memicu jumlah
(22)
pengunjung yang berlebihan terhadap salah satu dari tiga ekosistem penting tersebut, sedangkan ekosistem tersebut terdapat dalam penyebaran yang terbatas.
Kerusakan salah satu ekosistem di pulau-pulau kecil akan berdampak bagi keberlangsungan ekosistem maupun kegiatan ekowisata sebagai ojek wisata di pulau kecil, selain itu keberadaan ekosistem tersebut memberikan manfaat yang besar bagi manusia serta pulau-pulau kecil tersebut dalam mereduksi tekanan yang tinggi terhadap pulau-pulau kecil.
Tinjauan mengenai aspek daya dukung, umumnya menjadi salah satu syarat dalam pemanfaatan suatu kawasan bagi suatu kegiatan termasuk kegiatan wisata. Namun demikian, pencanangan gugus pulau Guraici sebagai kawasan wisata belum disertai dengan analisis daya dukung jumlah pengunjung yang dapat ditampung oleh kawasan tersebut terutama pada ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove maupun ekosistem lamun yang merupakan objek dari kegiatan tersebut, hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan degradasi pada setiap ekosistem serta pulau-pulau lainnya dan dikhawatirkan pula dalam jangka panjang saat kegiatan wisata berkembang, ekosistem serta pulau lainnya akan bernasib sama seperti pulau Guraici saat ini. Selain itu analisis tentang kesesuaian suatu kawasan dalam gugus pulau Guraici juga belum dianalisis, sehingga belum memberikan gambaran tentang wilayah mana saja dalam gugus pulau Guraici yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, sehingga dikhawatirkan pengunjung memasuki kawasan yang tidak sesuai.
Bagi pulau-pulau sangat kecil sebagaimana di gugus pulau Guraici analisis aspek daya dukung sebagaimana umumnya dikenal dengan analisis daya dukung kawasan (DDK), dianggap perlu untuk dikembangkan dengan suatu analisis daya dukung berdasarkan kapasitas adaptif setiap ekosistem dalam hal ini kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun (seagrass), karena keberadaan ekosistem tersebut vital bagi pulau-pulau sangat kecil tersebut, alternatif yang dapat digunakan adalah analisis daya dukung adaptif (DDA). Sejauh ini belum ditemukan kajian tentang kapasitas adaptif ekosistem tersebut di pulau-pulau kecil teramsuk di gugus pulau Guraici sebagai suatu kawasan yang akan dikembangkan sebagai suatu objek wisata.
Daya dukung adaptif (DDA) dalam penelitian ini diartikan sebagai kapasitas atau kemampuan suatu ekosistem untuk mendukung kehidupan sejumlah populasi organisme (manusia atau mahluk hidup lainnya) secara sehat sekaligus
(23)
mempertahankan produktivitas, kemampuan memperbaharuhi dirinya sendiri secara alami dan dapat menyesuaikan diri terhadap suatu gangguan atau potensi kerusakan serta melakukan penyesuaian terhadap suatu perubahan sehingga potensi dari suatu dampak lebih moderat.
Penelitian tentang kapasitas adaptif khususnya kapasitas ekosistem di pulau-pulau kecil sebelumnya dilakukan oleh Tahir (2010) yang mengkaji kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang dengan paramter luas dan penutupan terumbu karang; ekosistem mangrove meliputi parameter luas dan kerapatan mangrove; ekosistem padang lamun mencakup parameter luas dan penutupan lamun, pengukuran setiap parameter pada ketiga ekosistem tersebut digunakan untuk analisis perendaman pulau Kasu-Kota Batam, pulau Barrang Lompo-Kota Makassar dan pulau Saonek-Kab. Raja Ampat. Selanjutnya Tahir (2010) menjelaskan bahwa kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem padang lamun pulau Kasu, pulau Barrang Lompo dan pulau Saonek, secara umum dikategorikan tinggi. Penelitian lainnya dilakukan oleh Mutmainnah (2012) menganalisis kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang dengan parameter persentasi tutupan dan jenis lifeform karang; pada ekosistem padang lamun meliputi paramter kepadatan lamun dan spesies lamun, penelitian tersebut dilakukan pada pulau-pulau kecil Liukang Tupabbiring, Sulawesi Selatan, yang digunakan untuk menganalisis kerentanan pulau-pulau kecil.
Kapasitas adaptif suatu ekosistem di pulau kecil dianggap sangat penting karena apabila kapasitas adaptif ekosistem tersebut tinggi, maka kerentanan ekosistem yang menjadi salah satu ciri dari ekosistem di pulau kecil dapat diminimalisir, dan salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan menganalisis kapasitas adaptif tiap ekosistem tersebut, khususnya terumbu karang, mangrove serta lamun. Selanjutnya setelah mengetahui kapasitas adaptif setiap ekosistem maka nilai kapasitas ekosistem tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam menghitung daya dukung adaptif (DDA) ekosistem tersebut melalui tahapan konfirmasi atau koreksi daya dukung kawasan (DDK), sehingga jumlah pengunjung yang memasuki kawasan suatu ekosistem haruslah sesuai dengan kapasitas adaptif dari ekosistem itu sendiri agar tidak menimbulkan degradasi pada suatu ekosistem atau sumberdaya di pulau-pulau kecil. Saveriades (2000) berpendapat bahwa pertumbuhan pariwisata yang pesat di wilayah pesisir akan, memberikan tekanan pada daerah tersebut terhadap sumberdaya fisik dan tatanan sosial masyarakat setempat.
(24)
Berdasarkan pada uraian-uraian sebelumnya, maka beberapa permasalahan yang perlu di jawab dalam penelitian di pulau-pulau kecil dalam gugus pulau Guraici adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di gugus pulau Guraici.
b. Bagaimana tingkat kesesuaian gugus pulau Guraici untuk aktivitas ekowisata. c. Seberapa besar daya dukung adaptif (DDA) ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun sebagai objek ekowisata di gugus pulau Guraici berdasarkan kapasitas adaptif tiap ekosistem tersebut serta daya dukung kawasan.
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kondisi sumberdaya alam pesisir dan laut khususnya ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun bagi pengembangan ekowisata berdasarkan kapasitas adaptif ekologi. Sedangkan tujuan spesifik penelitian ini adalah:
1. Menghitung kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di gugus pulau Guraici.
2. Menghitung tingkat kesesuaian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun bagi ekowisata,
3. Menghitung daya dukung adaptif (DDA) ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun berdasarkan nilai kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun serta nilai daya dukung kawasan (DDK) tiap ekosistem bagi kegiatan ekowisata.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah propinsi Maluku Utara maupun pemerintah kabupaten Halmahera Selatan khususnya dalam memanfaatkan gugus pulau Guraici sebagai kawasan wisata andalan yang berkelanjutan, sehingga terpeliharanya ekosistem serta sumberdaya alam yang terdapat dalam gugus pulau Guraici.
Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi suatu model atau suatu tuntunan awal bagi peneliti-peneliti lainnya dalam melakukan penelitian di pulau-pulau kecil khususnya pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut bagi suatu kegiatan dalam hal ini kegiatan ekowisata agar memperhitungkan kapasitas adaptif setiap ekosistem yang menjadi bagian atau objek suatu kegiatan ekowisata di pulau-pulau kecil berdasarkan daya dukung adaptif dari suatu ekosistem pada pulau-pulau tersebut, sehingga menjamin tatap berlangsungnya proses-proses ekologi pada ekosistem tersebut secara alami dan bekesinambungan.
(25)
1.5 Kerangka Pemikiran
Wilayah gugusan pulau Guraici beserta potensi yang dikandungnya baik berupa terumbu karang, mangrove, padang lamun dan sumberdaya ikan sebagai objek yang menyediakan berbagai atraksi wisata yang berbeda pada tiap ekosistem, menjadikan kawasan ini sebagai suatu kawasan yang menyediakan jasa lingkungan untuk dimanfaatkan serta dinikmati keindahannya sebagai suatu kawasan ekowisata. Namun demikian oleh karena gugusan pulau Guraici adalah kumpulan pulau-pulau sangat kecil sehingga rentan terhadap berbagai aktivitas atau kegiatan di atas ataupun disekitarnya baik terhadap ekosistem serta sumberdayanya, merupakan kendala tersendiri bagi pemanfaatan pulau-pulau sangat kecil tersebut.
Gugusan pulau Guraici pada satu sisi merupakan suatu kawasan yang indah dan menarik untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata andalan di Maluku Utara sesuai rencana pemerintah daerah, namun disisi lain, wilayah ini adalah pulau-pulau sangat kecil yang membentuk suatu gugusan sehingga diperlukan suatu pendekatan khusus dalam memanfaatkan setiap potensi sumberdaya alam yang tersedia termasuk pemanfaatan bagi aktivitas ekowisata yang nantinya berkembang, tidak menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem serta sumberdaya alam pada pulau-pulau kecil tersebut. Sebagai kumpulan dari pulau-pulau sangat kecil, yang sifat dasarnya adalah rentan, maka pemanfaatan wilayah pulau-pulau tersebut baik mencakup wilayah daratan maupun pada perairan disekitarnya memerlukan suatu kajian yang dapat meberikan pengetahuan serta gambaran tentang tinggi atau rendahnya kapasitas adaptif dari setiap ekosistem yang menjadi objek suatu kegiatan ekowisata.
Suatu kegiatan ekowisata ditetapkan berdasarkan kualitas tertentu dari suatu ekosistem atau sumberdaya dalam luasan tertentu yang dapat menampung sejumlah pengunjung pada suatu wilayah atau tempat dan waktu tertentu. Sehingga guna mencegah terjadinya over kapasitas, diperlukan suatu analisis yang berguna untuk mengetahui sampai sejauh mana suatu kawasan dapat menampung suatu aktivitas termasuk ekowisata khususnya pada pulau-pulau sangat kecil. Secara umum kajian atau analisis tentang daya dukung kawasan (DDK) telah banyak dilakukan untuk menentukan daya dukung suatu kawasan bagi peruntukan tertentu, namun demikian analisis DDK tersebut sejauh ini berlaku secara umum atau digunakan secara konvensional untuk menghitung DDK suatu sumberdaya untuk kegiatan wisata termasuk pada pulau besar dan pulau kecil ataupun pulau sangat kecil. Namun disatu sisi ekosistem yang terdapat di pulau-pulau kecil memiliki kapasitas yang terbatas bila dibandingkan ekosistem yang sama di pulau besar. Sehingga dipandang perlu untuk
(26)
manganalisis daya d kecil sebagaimana d setiap ekosistem yan sebagai analisis daya
1.6 Kebaharuan (No
Studi tentang kerentanan yang te
dukung pemanfaatan suatu kawasan di pula di gugus pulau Guraici, berdasarkan kapasi ang menjadi objek suatu kegiatan ekowisata y
ya dukung adaptif.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Novelty)
g kapasitas adaptif awalnya dimulai dari telah dilakukan sejak tahun 1970 (Lewis
ulau-pulau sangat asitas adaptif dari yang dinamakan
ari studi tentang is 2009). Namun
(27)
demikian kajian kerentan tersebut umumnya lebih fokus pada aspek sosial ekonomi yang secara goegrafis memiliki karakteristik yang spesifik (Atkins 1998). Kapasitas adaptif berperan penting dalam mereduksi kerentanan suatu sistem, dari kerentan tinggi ke kerentanan rendah dengan kapasitas adaptif yang tinggi dan sebaliknya kapasitas adaptif yang rendah akan meningkatkan kerentan suatu sistem (Luers 2005). Kapasitas adaptif merupakan salah satu dimensi yang dapat menyebabkan kerentanan (Turner et al. 2005 ; Fussel dan Kelin 2005). Parameter biofisik adalah parameter yang melingkupi kapasitas adaptif (Polsky et al. (2007).
Penelitian-penelitian tentang ekowisata di pulau-pulau kecil telah banyak dilakukan baik yang mencakup kesesuaian serta daya dukung suatu wilayah untuk dijadikan sebagai kawasan wisata tertentu, namun dari semua itu sejauh ini belum ditemukan suatu penelitian yang kemudian mengkaji kapasitas adaptif dari suatu ekosistem di pulau kecil terutama ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun sebagai objek kegiatan wisata di pulau-pulau kecil.
Mengingat pentingnya kapasitas adaptif dari suatu ekosistem, maka dipandang penting penelitian ini dilakukan dengan mengkaji hal tersebut sebagai suatu langkah awal dalam menilai suatu ekosistem di pulau kecil bagi suatu peruntukan tertentu seperti kegiatan ekowisata. Setelah kapasitas adaptif ekosistem dapat dinilai apakah berkapasitas “Sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, maupun sangat rendah”, maka langkah selanjutnya adalah menilai tingkat kesesuaian (suitability) serta daya dukungnya (carring capacity) ataupun daya dukung adaptif dari kawasan tersebut. Setelah mengetahui aspek-aspek tersebut, diharapkan pengambilan keputusan dalam pemanfaatan suatu pulau atau kawasan pulau sangat kecil bagi suatu peruntukan termasuk pengembangan ekowisata, akan memiliki perencanaan yang matang serta dapat secara lebih dini meminimalisir resiko-resiko yang dapat ditimbulkan oleh suatu kegiatan sehingga dalam pengambilan keputusan menjadi lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan, terutama di pulau-pulau sangat kecil sebagimana pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici yang pada dasarnya rentan, dengan demikian penelitian yang dilakukan dengan menganalisis kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di pulau-pulau sangat kecil dan menghitung daya dukung adaptif untuk pengembangan ekowisata berdasarkan kapasitas adaptif ekosistem, menjadi suatu kebaharuan dan diharapkan menjadi suatu cara yang berguna bagi pemanfaatan serta pengelolaan di pulau-pulau sangat kecil dimasa depan.
(28)
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Batasan Pulau Kecil
Menurut Artikel 121 Bab VIII dalam Konvensi Internasional Hukum laut, pulau adalah suatu lahan yang terbentuk secara alami yang dikelilingi oleh air, dan tetap muncul di atas permukaan laut saat pasang tertinggi, mampu mendukung kehidupan dan sebagai tempat tinggal manusia atau mendukung kelangsungan ekonomi diatasnya, dan berukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan benua (UN 2007).
Pulau-pulau kecil adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional memiliki interaksi antara aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya baik secara individual ataupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdaya (DKP 2002). Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dipertegas definisi mengenai pulau kecil sebagai pulau yang memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Km2, beserta kesatuan ekosistemnya.
Menurut DKP (2002) dan RI (2007) definisi pulau kecil merupakan pengertian yang terintegrasi satu sama lain baik secara fisik, ekologis, sosial budaya dan ekonomi yaitu:
1. Fisik
• Terpisah dari pulau besar
• Dapat membentuk suatu gugus pulau atau berdiri sendiri
• Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut
• Luas pulau kurang dari 2.000 km2, dan sangat rentan terhadap perubahan alam atau manusia, misalnya badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, fenomena kenaikan permukaan air laut
• Substrat yang ada di pesisir biasanya bergantung pada spesies biota yang ada disekitar pulau, dan biasanya didominasi oleh terumbu karang atau jenis batuan yang ada di pulau-pulau tersebut.
• Kedalaman laut rata-rata antar pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh kondisi geografi dan letak pulau-pulau tersebut. Pada daerah paparan benua, kedalaman rata-rata antar pulau adalah diatas atau kurang dari 100 m, misalnya pada Paparan Sunda, di wilayah bagian barat Indonesia (Sumatra, Jawa, Kalimantan) dan paparan Arafura di bagian utara
(29)
Australia/ bagian selatan Papua. Sedangkan ke arah timur Indonesia, pulau-pulau kecil yang terletak di daerah laut terbuka (Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian utara) memiliki kedalam laut yang bervariasi.
2. Ekologi
• Habitat/ ekosistem pulau-pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik yang lebih tinggi dibandingkan proporsi ukuran pulaunya.
• Memiliki resiko perubahan lingkungan yang tinggi, misalnya akibat pencemaran serta kerusakan sebagai akibat aktivitas transportasi laut dan penangkapan ikan, gempa, tsunami dan penambangan.
• Memiliki keterbatasan daya dukung pulau (air tawar serta tanaman pangan)
• Keanekaragaman hayati laut yang melimpah. 3. Sosial, Budaya, Ekonomi
• Terdapat pulau yang berpenghuni dan tidak berpenghuni
• Penduduk asli memiliki budaya serta kondisi sosial ekonomi yang khas
• Kepadatan penduduk sangat terbatas/ rendah (berdasarkan daya dukung pulau dan air tawar)
• Ketergantungan ekonomi lokal terhadap perkembangan ekonomi luar pulau induk
• Kualitas sumberdaya manusia yang terbatas
• Aksesibilitas yang rendah.
2.2 Tipe dan Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil
Indonesia sebagai negara dengan jumlah pulau terbanyak, memiliki berbagai tipe pulau karena terletak pada zona tektonik dan magmatik aktif. Pada Ensiklopedi Nasional 2004, tipe pulau dibagi menjadi empat macam yang terdiri dari pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau koral dan pulau barier. Selain itu Beller (1990) membagi tipe pulau menjadi dua yakni pulau tinggi, memiliki ketinggian lebih dari 15 kaki dan pulau rendah memiliki ketinggian kurang dari 15 kaki. Dijelaskan pula bahwa pulau tinggi terbentuk dari proses gunung api atau pengangkatan batuan terumbu, sedangkan pulau rendah terbentuk di tengah samudera, di kepulauan dan berdekatan dengan pulau utama.
Selain itu pulau juga diklasifikasikan berdasarkan pada kriteria fisik yang mengelompokkan pulau menjadi pulau dataran dan pulau berbukit/ bergunung (Bengen 2004). Pengklasifikasian ini didasarkan pada morfologi, yang terurai sebagai berikut:
(30)
2.2.1 Pulau Dataran
Pulau ini secara topografi tidak memperlihatkan tonjolan yang berarti (Topografi datar). Pulau dataran umumnya terdiri dari pulau-pulau aluvial dan pulau-pulau koral (termasuk pulau atol). Sumberdaya air minum di pulau aluvial dipengaruhi musim (keseimbangan antara air tawar dan air asin), sedangkan di pulau koral jumlahnya sangat terbatas dan rawan interusi air laut. Jenis pulau yang termasuk kedalam kelompok pulau dataran adalah:
1. Pulau Aluvial
Umumnya terbentuk di depan muara-muara sungai besar yang memiliki laju pengendapan sedimen lebih tinggi dibandingkan laju erosi oleh arus maupun gelombang laut. Potensi serta penyebaran air tanah ditemukan pada aquifer pasir di alur sungai atau di pasir sempadan pantai dan dipengaruhi oleh perubahan musim.
2. Pulau Karang
Pulau ini umumnya dikelilingi oleh terumbu karang. Sebagaimana pulau atol, sumberdaya air di pulau karang hanya tersedia sebagai air tanah di lensa-lensa yang terbatas ukurannya serta rawan intrusi air laut. Spesies biota di pulau-pulau koral biasanya adalah spesies yang tahan terhadap kondisi tanah pasir dan air yang mungkin agak payau.
3. Pulau Atol
Umumnya pulau atol termasuk pulau sangat kecil yang memiliki luas daratan lebih kecil dari 50 km2, lebar kurang dari 150 m dan panjangnya berkisar antara 1.000-2.000 m. Sumberdaya air di pulau atol sama seperti di pulau karang, dan air tanahnya berada pada 1/3 jarak ke ujung pulau baik pada salah satu ujung maupun pada kedua ujung pulau.
2.2.2 Pulau Berbukit/ Bergunung
Kelompok pulau bergunung umumnya memperlihatkan morfologi yang memiliki lereng lebih besar dari 100 dan elevasi lebih dari 100 m di atas permukaan laut (dpl). Pulau-pulau yang termasuk kedalam kelompok pulau bergunung yaitu:
1. Pulau vulkanik
Terbentuk dari endapan piroklasik, lava sebagai hasil kegiatan gunung berapi. Potensi air di pulau vulkanik bervariasi dari miskin sampai kaya, dan ditemukan pada lapisan breksi yang mempunyai lapisan matriks kasar di sekitar aliran lava atau di daerah rekahan.
(31)
2. Pulau tektonik
Terbentuk akibat proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng. Air di pulau tektonik lebih banyak dijumpai sebagai aliran sungai, dan sangat sedikit air tanah.
3. Pulau Teras Terangkat
Pembentukan pulau teras terangkat sama seperti pulau tektonik, namun pada saat pengangkatan disertai pembentukan teras yang sebagian besar terdiri dari koral. Potensi air permukaan di pulau ini sedikit namun air tanah cukup banyak, terutama apabila batuan alas pulau ini terdiri dari endapan yang kedap air sehingga memungkinkan air tersimpan dalam akuifer batu gamping.
4. Pulau Petabah (monadnock)
Terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik, dan litologi pembentukan terdiri atas batuan ubahan (metamorf), intrusi dan sedimen yang terlipat dan berumur tua. Air tanah di pulau ini terbatas jumlahnya, dan terdapat pada batuan sedimen muda, lapisan lapuk atau rekahan.
DKP (2004); Bengen (2004) mengkategorikan pulau menjadi lima tipe yaitu pulau benua (Continental Island), pulau vulkanik (Volcanic island), pulau koral timbul (Raised Coral Islands), pulau daratan rendah (Low Islands) dan pulau atol (Atols).
1. Pulau Benua (continental island)
Pulau terbentuk sebagai bagian dari benua, dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Jenis batuan dari pulau benua adalah batuan yang kaya akan silica. Biota yang terdapat di pulau-pulau bertipe ini sama seperti biota-biota yang terdapat di daratan utama. Contoh dari pulau tipe ini yaitu Madagaskar (dari Afrika), Caledonia Baru (dari Australia), Selandia Baru (dari Antartika), Seychelles (dari Afrika). Ada juga pulau benua bersatu dengan benua pada zaman Plistosen, kemudian berpisah pada zaman Holosen ketika permukaan laut meninggi. Contoh dari pulau tipe ini adalah kepulauan Inggris, Srilangka, Fauklands, Jepang, Tanah Hijau (green land), Filipina, Taiwan dan Tasmania. Di Indonesia pulau tipe ini adalah kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, Kalimantan) dan pulau Papua.
2. Pulau Vulkanik (vulcanic island)
Pulau vulkanik sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Jenis pulau ini
(32)
bukan merupakan bagian dari daratan benua dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dalam hal ini lempeng-lempeng tersebut saling menjauh atau bertumburan. Tipe batuan di pulau ini adalah basalt, silika. Contoh pulau vulkanik yang terdapat di daerah pertemuan lempeng benua adalah kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar dan Timor). Terdapat juga pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik-titik gunung api (hot spot) yang terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate). Contohnya yakni Kepulauan Austra-Cook, Galapagos, Hawaii, Marquesas, Aleutian, Antiles Kecil, Solomon dan Tonga.
3. Pulau karang Timbul (raised coral island)
Pulau karang timbul adalah pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada di dekat permukaan laut (kurang dari 40 m), terumbu karang memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan laut, terumbu karang akan mati dan menyisahkan rumahnya dan membentuk pulau karang. Jika proses ini berlangsung terus menerus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya, karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pengunungan. Proses ini terbentuk pada pulau-pulau vulkanik ataupun non-vulkanik. Pulau karang banyak ditemui di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda, Kepulauan Sangihe, Solor, Alor, Lembata atau Adonara.
4. Pulau dataran rendah (low island)
Pulau dataran rendah adalah pulau yang ketinggian datarannya dari muka laut tidak besar. Pulau ini berasal dari pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau bertipe ini sangat rawan terhadap bencana alam seperti tsunami ataupun taufan. Oleh karena pulau tipe ini relatif datar dan rendah, maka massa air dari bencana alam yang datang ke pulau akan masuk jauh ke tengah pulau. Contoh pulau dataran rendah adalah kepulauan Seribu di utara teluk Jakarta.
5. Pulau Atol (atolls)
Pulau atol adalah pulau karang yang berbentuk cincin. Umumnya pulau ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk
(33)
terumbu tepi (fringing reef), kemudian berubah menjadi terumbu penghalang (barrier reef) dan terakhir berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukannya disebabkan oleh adanya gerakan kebawah (subsidence) dari pulau vulkanik semula dan oleh pertumbuhan vertikal terumbu karang. Contoh pulau atol di Indonesia adalah pulau-pulau tukang besi dan Takabonerate.
2.3 Karaktersitik Pulau-Pulau Kecil
Ditinjau dari perspektif biologi, banyak pulau bersifat biotop-biotop kecil, memiliki fauna terrestrial nonmigratory dan terisolasi dari benua-benua sehingga pergerakan atau pertukaran genetik dengan benua sangat kecil sehingga mendorong ke arah terjadinya adaptasi lokal dan endemisme atau adanya spesies endemik (Rosenzweig 1995; Vicente 1999).
Dampak dari perubahan antropogenik atau alami jauh lebih cepat terlihat di pulau-pulau kecil dibanding daratan atau pulau yang lebih besar (Brookfield 1990). Selain itu, pulau yang mempunyai area terbatas, memiliki kapasitas yang terbatas dari penyangga atau resiko-resiko alami atau gangguan antropogenik.
Secara geologi, geomorfologi dan geografi, pulau-pulau memiliki perbedaan baik secara fisik, biologi, iklim, sosial, politik, budaya, dan karakteristik etnis (suku), maupun didalam langkah pembangunan ekonominya. Namun mereka memiliki beberapa karakteristik yang tidak hanya mempersatukan mereka sebagai suatu kategori yang terpisah.
Pulau kecil dapat dikelompokkan atas 2 (dua) kelompok yakni: pulau oseanik dan pulau kontinental. Pulau oseanik terdiri atas pulau karang dan pulau vulkanik (Salm et al. 2000 in Bengen 2004). Sebagian besar pulau-pulau kecil adalah pulau oseanik serta memiliki karakteristik yang berbeda dengan pulau kontinental baik ditinjau dari aspek ukuran maupun stabilitas dan pegunungannya (Tabel 1). Bengen (2004) menyampaikan bahwa secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol sebagai berukut:
1. Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular, 2. Memiliki sumber air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air
tanah, mempunyai daerah tangkapan air yang relatif kecil, sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut,
3. Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia seperti badai, gelombang besar dan pencemaran,
(34)
5. Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utama (benua ataupun pulau besar),
6. Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai,
Selain itu DKP (2001) juga menyampaikan bahwa ekosistem dan lingkungan suatu pulau kecil memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Berukuran kecil,
2. Sumberdaya alam yang terbatas dan rentan, sehingga diperlukan ketentuan yang ketat dalam pemanfaatan dan pengelolaannya,
3. Rentan terhadap bencana alam seperti badai dan siklon, 4. Bahan organik alami keanekaragaman yang terbatas,
5. Tempat hidup spesies endemik karena letaknya terpisah dari daratan besar serta kompetitornya terbatas,
6. Keseimbangan ekologis akan terganggu jika sifat keterisolasiannya dilanggar 7. Kondisi iklim tidak banyak berfluktuasi, namun perubahan iklim yang besar
akan memberikan dampak negatif yang kuat terhadap pulau kecil, 8. Keanekaragaman hayati laut berlimpah,
9. Perubahan di daratan berdampak hampir langsung terhadap lingkungan pantai dan perairan lautnya.
Griffith dan Inniss (1992); Beller (1990) menyampaikan bahwa karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat menonjol adalah terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular, memiliki persedaiaan air tawar yang terbatas termasuk air tanah atau air permukaan, rentan terhadap gangguan eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, serta tidak memiliki daerah hinterland. Brookfield (1990) menjelaskan beberapa karakterisitik yang dijumpai di pulau-pulau kecil dan berkaitan dengan lingkungan hidup adalah bahwa pulau kecil mempunyai daerah resapan air (catchment area) yang relatif sempit sehingga ketersediaan air tanah sangat rentan terhadap intrusi air laut; pulau kecil juga mempunyai wilayah pesisir yang sangat terbuka, hal ini menyebabkan lingkungannya mudah dipengaruhi oleh gelombang besar ataupun Tsunami; spesies organisme yang hidup di pulau-pulau kecil umumnya bersifat endemik dan memiliki perkembangan yang lambat sehingga mudah tersaingi spesies dari luar; pada pulau-pulau kecil, sumberdaya alam yang dikandungnya sangat terbatas baik mineral, kehutanan, pertanian bahkan air tawar.
(35)
Tabel 1. Perbandingan karaktersitik pulau oseanik, pulau daratan/ kontinental dan pulau Benua.
Pulau Oseanik Pulau Kontinental Benua
Karaktersitik Geografis
• Jauh dari benua
• Dikelilingi oleh laut luas
• Area daratan kecil
• Suhu udara stabil
• Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat
• Dekat dari benua
• Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit
• Area daratan besar
• Suhu agak bervariasi
• Iklim mirip benua terdekat
• Area daratan sangat besar
• Suhu udara bervariasi
• Iklim musiman
Karakteristik geologi
• Umumnya karang atau vulkanik
• Sedikit mineral penting
• Tanahnya porous/ permeabel
• Sedimen atau metamorfosis
• Beberapa mineral penting
• Beragam tanahnya
• Sedimen atau metamorfosis
• Beberapa mineral penting
• Beragam tanahnya Karakteristik Biologi
• Keanekaragaman hayati rendah
• Pergantian spesies tinggi
• Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
• Keanekaragaman hayati sedang
• Pergantian spesies agak rendah
• Sering pemijahan masal hewan laut bertulang belakang
• Keanekaragaman hayati tinggi
• Pergantian spesies biasanya rendah
• Sedikit pemijahan masal hewan laut bertulang belakang
Karakteristik Ekonomi
• Sedikitnya sumberdaya daratan
• Sumberdaya laut lebih penting
• Jauh dari pasar
• Sumberdaya daratan agak luas
• Sumberdaya laut lebih penting
• Lebih dekat dengan pasar
• Sumberdaya daratan luas
• Sumberdaya laut sering tidak penting
• Pasar relatif mudah
Sumber : (Salm et al. 2000 in Bengen 2004).
Retraubun (2000) menjelaskan bahwa kurangnya pembangunan yang belangsung di pulau-pulau kecil disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yakni karena ukurannya yang sangat kecil maka kebanyakan pulau-pulau kecil tersebut tidak berpenghuni; adapun yang berpenghuni namun jumlah penduduknya sangat sedikit sehingga jarang dijadikan sebagai prioritas utama; wilayah pulau-pulau kecil cenderung terisolasi sehingga investasi yang diperlukan relatif besar untuk membangun prasarana perhubungan laut; kurangnya kepastian perlindungan hak maupun kepastian berusaha; selama ini pembangunan nasional lebih berorientasi ke darat.
Selain itu Hutabarat et al. (2009) menambahkan bahwa pulau-pulau kecil yang mempunyai karakteristik-karakteristik berikut ini sangat berarti bagi pengelolaan dan perencanaan kawasan konservasi yaitu:
(36)
a. Pulau-pulau biasanya terisolasi, baik secara biologi (dengan kolonisasi organisme yang terbatas dan memiliki kecenderungan untuk punahnya suatu spesies) maupun untuk pengelolaan (jauh terpencil, sulit diakses, dan sulit dijaga).
b. Ukurannya yang kecil dapat menyebabkan bermukimnya para aparat atau peneliti, meski hanya sementara sekalipun, menjadi sulit dan mereka mudah terkena dampak gangguan alam (misal badai tropis) ataupun gangguan yang berhubungan dengan ulah manusia.
c. Terkecuali pulau kontinental, biasanya pulau kecil memiliki usia geologi yang masih muda dan lingkungan yang dinamis.
d. Keanekaragaman spesies biasanya rendah dan perpindahan spesies mungkin tinggi. Sehingga dibutuhkan perhatian khusus untuk mengontrol aktivitas yang mungkin menghambat masuknya spesies atau mempercepat kepunahan.
e. Terlihat adanya hubungan yang jelas antar parameter dari keanekaragaman habitat (misal area pulau dan ketinggian), derajat isolasi (misal dari jarak pulau utama atau sumber koloni organsime lainnya dan susunan pulau yang seperti batu pijakan), dan keanekaragaman spesies, yang harus ikut diperhitungkan ketika melakukan seleksi, pembuatan desain, dan pengelolaan kawasan kosnervasi di pulau kecil.
f. Pulau-pulau kecil lebih atau kurang terisolasi secara genetik, yang memberikan peluang terjadinya perbedaan karena evolusi. Karena alasan tersebut, pulau kecil memungkinkan untuk kaya akan spesies endemik, yang menambahkan nilai konservasinya.
g. Sebaliknya, spesies tertentu yang turut menggunakan pulau (khususnya burung laut, camar, singa laut dan kura-kura) persebarannya lebih luas, spesies pulau (tumbuhan dan hewan) dapat berkembang tanpa predator dan karena hal itu menjadi lebih jinak (hewan) atau tanpa pertahanan diri yang cukup (tumbuhan dan hewan) dan mudah diserang spesies predator atau herbivora yang masuk.
h. Pulau-pulau berkarang merupakan lingkungan yang peka, yang jika diganggu mungkin akan menghilang sama sekali seperti halnya cagar alam pulau Mawizi di Tanzania. Angin dapat mengikis pantai dan bukit pasir jika vegetasi
(37)
pengikat pasir terinjak mati atau hilang. Gelombang dan arus laut dapat mengikis seluruh pulau jika bukit karang rusak karena penambangan atau penggalian saluran ke tempat dangkal.
2.4 Kriteria Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil
Begen (2002) menyampaikan arahan pemanfaatan pulau-pulau kecil bagi pariwisata harusnya memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kawasan-kawasan tersebut tidak menyebar dan mencapai kawasan pariwisata.
2. Berjarak aman dari kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung.
3. Sirkulasi air di kawasan pariwisata perlu lancar .
4. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata tidak mengubah kondisi pantai dan daya dukung pulau-pulau kecil yang ada, sehingga proses erosi maupun sedimentasi dapat dihindari.
Kriteria wilayah yang diperlukan untuk menentukan kawasan kegiatan pariwisata (Bengen 2002) meliputi :
1. Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati sehingga membawa kepuasan dan kenangan manis serta memberikan rasa rileksasi dan memulihkan semangat daya produktifnya.
2. Keaslian panorama alam dan keaslian budaya 3. Keunikan ekosistemnya
4. Di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin kencang serta topografi dasar laut yang cuaram.
5. Tersedia sarana dan prasarana yang mudah dijangkau, baik melalui darat maupun laut (dekat restoran, penjualan cendamata, penginapan serta air bersih).
Selain itu, ditambahkan pula bahwa kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil, mencakup aspek sosial, ekonomi, ekologi dan regional (Tabel 2).
(38)
Tabel 2. Kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil.
No. Kriteria Urairan
1. SOSIAL a. Diterimanya secara sosial, berarti: didukung oleh masyarakat lokal, adanya nilai-nilai lokal untuk melakukan konservasi sumberdaya alam, adanya kebijakan pemerintah setempat untuk menentukan daerah perlindungan laut.
b. Kesehatan masyarakat, berarti: mengurangi pencemaran dan berbagai penyakit, mencegah terjadinya area kontaminasi.
c. Rekreasi, berarti: dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi, masyarakat lokal mendapatkan manfaat dengan berkembangnya kegiatan rekreasi.
d. Budaya, berarti: adanya nilai-nilai agama, sejarah maupun budaya lainnya yang mendukung adanya daerah perlindungan laut.
e. Estetika, berarti: adanya bentang laut dan bentang alam yang indah, keindahan ekosistem dan keanekaragaman spesies memberikan nilai lebih untuk rekreasi.
f. Konflik kepentingan, berarti: pengembangan daerah perlindungan laut akan membawa efek positif terhadap masyarakat lokal.
g. Keamanan, berarti: dapat melindungi masyarakat dari berbagi kemungkinan bahaya badai, ombak, arus serta bencana lainnya. h. Aksesibilitas, berarti: memiliki akses dari daratan dan lautan.
i. Penelitian dan pendidikan, berarti: memiliki berbagai ekosistem yang dapat dijadikan objek penelitian dan pendidikan.
j. Kepedulian masyarakat, berarti: masyarakat ikut berperan aktif dalam melakukan kegiatan konservasi.
2. EKONOMI a. Memiliki spesies penting, berarti: area yang dilindungi memiliki spesies bernilai ekonomi, misalnya terumbu karang, mangrove dan estuary.
b. Memiliki nilai penting untuk kegiatan perikanan, berarti: area perlindungan dapat dijadikan untuk menggantungkan hidup para nelayan, area perlindungan merupakan daerah perlindungan.
c. Ancaman terhadap alam, berarti: adanya ancaman dari aktivitas manusia, adanya ancaman dari kegiatan merusak seperti pengeboman, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, daerah yang perlu dikelola untuk menjaga kelestariannya.
d. Keuntungan ekonomi, berarti: adanya dampak positif bagi ekonomi setempat.
e. Pariwisata, berarti: area yang potensial dikembangkan untuk pariwisata.
3. EKOLOGI a. Keanekaragaman hayati, berarti: memiliki keanekaragaman ekosistem spesies.
b. Kealamiahan, berarti: tidak mengalami kerusakan, masih dalam keadaan alami.
c. Ketergantungan, berarti: berbagai spesies sangat tergantung pada area ini, proses-proses ekologi sangat tergantung pada daerah ini. d. Keterwakilan, berarti: area yang akan ditentukan mewakili berbagai
tipe habitat, ekosistem dan berbagai karakteristik alam lainnya. e. Keunikan, berarti: memiliki spesies yang unik, endemik, serta spesies
yang hampir punah.
f. Produktivitas, berarti: produktivitas area akan memberikan kontribusi untuk berbagai spesies dan manusia.
g. Vulnerabilitas, berarti: area ini memiliki fungsi perlindungan dari berbagai ancaman bencana.
4. REGIONAL a. Tingkat kepentingan regional, berarti: mewakili karakteristik regional setempat baik itu alamnya, proses ekologi, maupun budayanya, merupakan daerah migrasi beberapa spesies, memberikan kontribusi untuk pemeliharaan berbagai spesies.
b. Tingkat kepentingan subregional, berarti: mewakili dampak positif terhadap subregional, dapat dijadikan perbandingan dengan subregional yang tidak dijadikan daerah perlindungan laut.
(1)
Hughes TP. 1994. Catastrophes, phase shifts and large-scale degradation of Caribbean coral reef. J. Sci. 65:1547-1551.
Hughes TP, Bellwood DR, Folke CS, McCook LJ and Pandolfi JM. 2006. No-Take Areas, herbivory and coral reef resilience. TRENDS in Ecology and Evolution 22: 1-3.
Hughes TP, Rodrigues MJ, Bellwood DR, Ceccerelli D, Hoegh-Guldberg O, McCook L, Moltschaniwskyj N, Pratchett MS, Steneck RS and Willis B. 2007. Phase shifts, herbivory, and the resillience of coral reef to climate change. J. Curr. Biol. 17:1-6.
Hulme M. 2002. What is Adaptation? Personal communication. Nrwich, UK, Tyndall Centre For Climate Research, University of East Angelia.
Hutabarat AA, F Yulianda, A Fahrudin, S Harteti, Kusharjani. 2009. Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pusdiklat Kehutanan. Departemen RI-Korea International Coorperation Agency.
Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Kehutanan. Bogor. IPB Press.
Julca A and O Paddison. 2009. Vulnerabilities and migration in small island developing states in the context of climate change. J. Nat. Hazards. Doi:10.1007/s.11069-009-9384-1.
Insafitri I, Wahyu AN. 2006. Laju Pertumbuhan Karang Porites lutea. J. Mar. Sci. (ISSN 0853-7291) Vol 11, No 1. Marine Science Dept., Build. B, 2nd Fl., FPIK Diponegoro University, Tembalang Campus, Semarang, Indonesia. Khairijon. 1998. Prospek Rehabilitasi Hutan Mangrove Pangkalan Batang
Bengkalis Riau ditinjau dari Vegetasi strata seedling. Pusat Penelitian UNRI. Pekanbaru
[KLH] Kemetrian Lingkungan Hidup. 2001. Kepmen-LH no. 04 Tahun 2001 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta.
Krebs CJ. 1989. Ecology Methodology. Harper and Row, Publisher. New York, Cambridge, Singapore, Sidney.
Kusuma F. 2000. Potensi Pengembangan Ekowisata Di Wilayah Pesisir Pulau Talise Sulawesi Utara [tesis] Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Lascurain HC. 1995. Ekotourisme Sebagai Suatu Gejal Yang Menyebar Ke Seluruh Dunia. dalam K. Linberg dan D.E. Howkins (eds). Ekotourisme: Petunjuk Bagi Perencana Dan Pengelola. (terjemahan dari: Ecotourism: A Guide For Planners And Managers). PACT dan Alami. Jakarta.
Lewis J. 2009. An Island Characteristic: Derivated Vulnerabilities to Indigenous and Exogenous Hazard. Shima: J. of Res. into Island Cult.. Vol. 3 No. 1. Libosoda CM. 1998. Ecotourism in the Phillipines. Bookmark Inc. Phillipines. Ledlie MH, Graham NAJ, Bythell JC, Wilson SK, Jennings S, Polunin NVC,
Hardcastle J. 2007. Phase shifts and the role of herbivory in the resilience of coral reefs. J.Coral Reefs 26:641–653
(2)
Lin T, Lin JY, Cui SH, Comeron S. 2009. Using a Network Framework to Quantitatively select ecological indicators. J. ecol Indicators 9:1114-1120. Lirman D. 2001. Competition between macroalgae and corals: Effects of
herbivore exclusion and increased algae biomass on coral survivorship and grouwth. J. Coral Reefs 19:392-399.
Low CDC and K Heilbronn. 1996. Ecotourism: an Annotated bibliography. Research report south ROC and Commonwealt Departement of tourism. Englis.
Luers AL. 2005. The surface of vulnerability: an analytical framework for examining environmetal change. J. Glo. Inveron. Cha. 15: 214-223. Lyon G. 2003. GIS For Water Resources and Watershed Management. London:
Taylor and Francis Group.
Mahmood H, Misri K, Sidik JB, Saberi O. 2005. Sediment Accretion in a Protected Mangrove Forest of Kuala Selangor, Malaysia. J. Biol. Sci. 8 (1): 149-151.
Mazda Y, Wolanski E, Ridd PV. 2007. The role of physical procesesses in mangrove environments: manual for the preservtion and utilization of mangrove ecosystems. Terrapub. Tokyo.
Maryadi D. 2003. Peluang pengembangan Ekowisata Di Kawasan Rawa Danau Dan Sekitarnya, Kabupaten Serang Propinsi Banten [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Marshall PA, Baird AH. 2000. Bleaching of corals on the Great Barrier Reef:differential susceptibilities among taxa. J. Coral Reefs 19:155–163. McCharthy JJ, Canziani OF, Leary NA, Dokken DJ, White KS. 2001. Climate
Change 2001: Impact, Adaptation and Vulnerability. Cambridge University Press. Cambridge.
McClanahan TR, Maina J, Starger CJ, Herron-Perez P, Dusek E. 2005. Detriments to post-bleaching recovery of corals. J. Coral Reefs 24:230– 246.
McNeely J. 1992. Ekonomi dan keanekaragaman Hayati: Pengembangan dan Pendayagunaan Insetif Ekonomi Untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. (terjemahan dari: Economic and Biological Diversity. Developing and Using Economic Incentives To Coserve Biological Resources). Pustaka sinar Harapan. Jakarta.
[META] Marine Ecotourism to the Atlantic Area. 2002. Planning For Marine Ecotourism in the UE Atlantic Area Good Practice Guidance. University of the West of England. Bristol.
Mittermeier RA, N Myers, JB Thomsen, GAB Fonseca and S Olivieri. 1998. Biodiversity hotspots and major tropical wilderness areas: approaches to setting conservation priorities. J. Conserv. Biol. 12: 516–520.
Mimura N. 1999. Vulnerability of Island Countries in the South Pacific to Sea Level Rise and Climate Change. J. Climate cha. res. Vol.12.
(3)
Miller MW, Weil E, Szmant AM. 2000. Coral recruitment and juvenile mortality as structuring factors for reef benthic communities in Biscayne National Park, USA. J. Coral Reefs 19:115-123.
Mutmainah. 2012. Kajian model pengembangan pulau-pulau kecil berbasis hibryd kerentanan dan daya dukung (studi kasus pulau-pulau kecil Kecamatan Liukang Tupabbaring Kabupaten Pangkajene Kepulauan Propinsi Sulawesi Selatan [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ninio R, Meekan MG. 2002. Spatial patterns in benthic communities and the dynamics of a mosaic ecosystem on the Great Barrier Reef, Australia. J. Coral Reefs 21:95–103.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2004. Final Programmatic Environmental Impact Statement For Seagrass Restoration In the Florida Keys National Marine Sanctuary. EPA Florida.
Norström AV, Nyström M, Lokrantz J, Folke C. 2009. Alternative states on coral reefs: beyond coral–macroalgal phase shifts. J. Ma.r Ecol. Prog. Ser. 376:295–306.
Nurisyah S. 2001. Rencana Pengembangan Fisik Kawasan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir Indonesia. Bulettin Taman dan Lanskap Indonesia. Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan. Vol. No. 2.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia. Jakarta.
Odum EP. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Samigan dan B. Srigadi. Gajah Mada Univ. Press. Yogyakarta.
O'Reilly AM. 1986. Tourism carrying capacity : Concept and issues. J. Tours. Manag. 7:254-258.
Othman MA. 1994. Value of mangroves in coastal protection. J. Hydrobiologia 285:277-282.
Peterson G, Allen CR, Holling CS. 1998. Ecological resilience, biodiversity, and Scale. J. Ecosys. 1: 6-18.
Peru N, Doledec S. 2010. From compositional to functional biodiversity metrics in bioassessment: A case study using stream macroinvertebrate communities. J. Ecol. Indic. 10:1025-1036.
Pielke RAJ. 1998. Rethinking the role of adaptation in climate policy. J. Glo. Environ. Cha. 8: 159–170.
Purnama SIS. 2005. Penyusunan Zonasi Taman Nasional Manupeu Tanadaru Sumba Berdasarkan Kerentanan Kawasan dan Aktivitas Masyarakat [thesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Prahasta E. 2005. Sistem Informasi Geografis, Konsep-Konsep Dasar. Edisi Revisi. Bandung. Penerbit Infomatika.
(4)
Retraubun ASW. 2000. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Bogor. 13 – 18 November 2000. PKSPL-IPB Bogor.
Retraubun ASW, Bengen DG dan Tahir A 2002. Program Perbaikan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Melalui Pelibatan Masyarakat Di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dalam Prosiding Komperensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia.
[RI] Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tangang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta.
Rosenzweig ML. 1995. Species Diversity in Space and Time. Cambridge University Press, Cambridge, 436 pp.
Rosabal P. 2004. Protected areas: Benefits To Islanders. INSULA Special Issue February 2004, pp. 21–2
Saveriades A. 2000. Estabilishing the Social Tourism Carrying Capacity for the Tourist Resorts of the East Coast of the Republic of Cyprus. J. Tours. Manag. 21: 147-156.
Sigabariang IL. 2008. Rencana Pengembangan Kawasan Ekowisata Pesisir Interperatif Di Kawasan Konservasi Laut Daerah Selat Dampier Kabupaten Raja Ampat Propinsi Papua Barat [tesisi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Setyobudiandi I, Sulistiono, F. Yulianda, C Kusuma, S Hariyadi, A Damar, A Sembiring, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan. FPIK-IPB. Bogor.
[SOPAC] South of Pacific Islands Applied Geoscience Commission. 2005. Environmental Vulnerability Index: EVI: Description of Indicators. UNEP-SOPAC.
Smit B, Pilifosofa O. 2003. From Adaptation to Adaptive Capacity and Vulnerability Reduction, in: Smith, J.B., Klein, R.J.T., Hug, S. (eds), Climate Change, Adaptive Capacity and Development. Imperial College Press. London.
Smith K, Barrett CB, Box PW. 2000. Participatory risk mapping for targeting research and assistance: with an example from East African pastoralists. J. World Develop. 28: 1945–1959.
Stronza A and J Gordillo. 2008. Community Views of Ecotourism. J. Annals Tours. Res. 35: 448-468.
Subur R. Fredinan Y. Achmad F. Setyo Budi S. 2011. Kapasitas Adaptif Ekosistem Lamun (Seagrass) di Gugus Pulau Guraici Kabupaten Halmahera Selatan. J. Agrisains. Vol. 12. No. 3.207-215.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta.
(5)
Tahir A. 2010. Formulasi Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar dan Pulau Soanek-Kabupaten Raja Ampat. [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Thamrin. 2006. Karang: Biologi reproduksi dan ekologi. Minamandiri Press. Pekanbaru.
Tkachenko KS, Wu BJ, Fang LS, Fan TY. 2007. Dynamics of a coral reef community after mass mortality of branching Acropora corals and an outbreak of anemones. J. Mar. Biol. 151:185–194.
[TIES]. The International Ecotourism Society. 1991. Regional Prepatory Conference For The World Ecotourism Summit. Belize. http://www.ecotourism.org. [12 April 2010]
Tomlinson CB. 1986. The botany of mangrove. Cambridge Tropical Biology Series. Cambridge University Press. Cambridge. New York U.S.
Tsaur SH, Yu-Chiang Lin and Jo-Hu Lin. 2006. Evaluating Ecotourism Sustainability From The Integrated Perspective Of Resources Community And Tourism. J. Tours. Manag. 27: 640-653.
Turner BL II, R.E. Kasperson, P. A. Matson, J.J.McCarthy, R.W.Corell, L. Christensen, N. Eckley, J.X. Kaspersnon, A. Luers, M.L. Martello, C. Polsky, A.Pulsipher and A.Schiller. 2003. A Framework For Vulnerability Analysis in Sustainability Science. Journal PNAS (Proc. Natl. Acad. Sci.) USA. 100: 8074-8079.
[UN] United Nation . 2007. Oceans and law of the sea. Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea, Office of Legal Affairs. United Nations.
[UNEP] United Nations Environment Programme. 2004. Pacific Islands Environmental Outlook (EO) 2004, draft version distributed at the Interregional Preparatory Meeting for the 10-year Review of Implementation of the Barbados Programme of Action for the Sustainable Development of Small Island Developing States, 26–30 January 2004. [UNFCCC] United Nations Framework Conservation on Climate Change. 2007.
Climate Change: Impact, Vulnerabilities and Adaptation in Development Countries. Climate Change Secretariat (UNFCCC). Martin-Luther-King-Strasse 8. 53175 Bon, Germany.
USFWS (U.S. Fish and Wildlife Service). 2009. Seagrass restoration and protection strategies. Texas Coastal Program. www.fws.gov/texascastalprogram/seagrass.htm
Van Moorsel GWNM. 1985. Disturbance and growth of juvenile corals (Agaricia humilis and Agaricia agaricites, Scleractinia) in natural habitats on the reef of Curacao. J. Mar. Ecol. Prog. Ser. 24:99-112
Vicente L. 1999: Evolutionary strategies on insular environments. J. Nat. Croatica 8 (3): 301–323.
(6)
Walters JS, J Maragos, S Siar and AT White. 1998. Participatory Coastal Resources Assessment. A. Handbook for Community Workers and Coastal Resources Manager.
Walker B, CS Holling, SR Carpenter, and A Kinzig. 2004. Resilience, Adaptability and Transformability in Social-ecological Systems. J.Ecol. Society. Vol. 9. No.2.
Wilkinson PF. 1990. Carrying Capacity in Tourism Planing: Is the Question “How Many is to Many” Either Appropriate or Heuristic ?. Paper Presented ind Tourism and Social Cultural Change in the Carabbean Conference. Trinidad and Tobago.
Wilson SK, Graham NAJ, Polunin NVC. 2007. Appraisal of visual assessments of habitat complexity and benthic composition on coral reefs. J. Mar Biol. 151:1069–1076.
Whittaker RJ. 1998. Island Biogeography: Ecology, Evolution, and Conservation. Oxford University Press, Oxford, 304 pp.
Youti AO. 1999. Ecotourism, Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Makalah Pada Penataran Dosen dan Tenaga Pengajar Bidang Pariwisata Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Se-Indonesia. Direktorat Perguruan Tinggi Swasta. Departemen Pendidikan. 23-27 Agustus 1999. Cisarua.
Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar sains depatemen manajemen sumberdaya perairan. FPIK-IPB. Bogor.