latar terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat menunjuk pada tempat atau lokasi terjadinya cerita. Latar waktu atau masa menunjuk pada
kapan atau bilamana cerita itu terjadi. Latar sosial menunjuk pada kondisi sosial yang melingkupi terjadinya cerita Nuryatin 2010:13.
Pengarang menampilkan latar cerita sedemikian rupa sehingga latar tidak hanya sekadar sebagai petunjuk tetapi juga menjadi tempat pengambilan nilai-
nilai yang ingin diungkapkan oleh pengarang melalui cerita tersebut. Jadi seting atau latar yaitu tempat atau waktu terjadinya cerita. Setting atau latar dalam prosa
fiksi meliputi segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan tempat, waktu, dan lingkungan terjadinya peristiwa dalam cerita.
2.2.3.6 Sudut Pandang point of view
Sudut pandang merupakan cara memandang yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan sebagai peristiwa
yang berbentuk cerita Suharianto 2005:25. Pada hakikatnya sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang
untuk mengemukakan gagasan dalam ceritanya Haryati 2007: 34. Barhin 1985:75-76 menyatakan sudut pandang ada empat macam yaitu,
1 pengarang sebagai tokoh cerita, 2 pengarang sebagai tokoh samping, 3 pengarang sebagai orang ketiga, 4 pengarang sebagai pemain dan narator.
Menurut Haryati 2007: 34, sudut pandang dibagi menjadi dua yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang
pertama yaitu pencerita sebagai salah satu tokoh dalam cerita dan dalam berkisah mengacu pada dirinya dengan sebutan aku atau saya. Apabila dalam cerita
pencerita bertindak sebagai tokoh utama disebut sudut pandang orang pertama akuan sertaan, sedangkan apabila pencertita menjadi tokoh bawahan disebut sudut
pandang orang pertama akuan sertaan. Sudut pandang orang ketiga, peristiwa berada di luar cerita. Dalam
kisahnya pencerita mengacu pada tokoh-tokoh cerita dengan menggunakan kata ganti orang ketigga ia, dia, atau menyebut nama tokoh. Sudut pandang orang
ketiga mempunyai dua kemungkinan. Yang pertama. Orang ketiga maha tahu apa bila pencerita mengetahui dan dapat menceritakan segala sesuatu tentang tokoh
dan peristiwa yang berlaku dalam cerit. Yang kedua, orang ketiga terbatas apabila pencerita hanya menceritakan apa yang diamati dari luar.
2.2.3.7 Gaya Bahasa
Suharianto 2005: 26 mengatakan bahwa gaya bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai alat penyampaian maksud pengarang dan
sebagai penyampaai perasaan. Artinya, melalui karya sastra seorang pengarang bukan hanya sekedar bermaksud memberitahukan kepada pembaca mengenai apa
yang dilakukan dan dialami tokoh dalam ceritanya, melainkan bermaksud pula untuk mengajak pembacanya untuk ikut merasakan apa yang dilakukan oleh tokoh
cerita. Demi tercapainya maksud tersebut pengarang menempuh cara-cara dengan jalan menggunakan perbandingan-perbandingan, menghidupkan benda-benda
mati, melukiskan atau menggambarkan sesuatu yang tidak sewajarnya, dan lain sebagai sehingga cerita terasa tersebut terasa hidup dan mengesankan. Dengan
begitu, pembaca benar-benar merasakan keindahan dan karateristik seorang pengarang terhadap karya sastra yang ditulisnya.
Haryati 2007: 27 mendefinisikan gaya merupakan cara mengungkapkan seseorang yang khas atau gaya adalah cara pemakaian bahasa yang khas oleh
seseorang pengarang. Gaya menentukan sebuah cerita, secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilah sebuah cerita bukan apa yang dikatakan, tetapi
bagaimana mengatakannya. Unsur-unsur yang membangun gaya seorang pengarang meliputi unsur leksikal, gramatikal, dan sarana retorika. Unsur leksikal
menyangkut diksi, yakni penggunakan kata yang sengaja dipilih pengarang. Unsur gramatikan menyangkut struktur kalimat yang digunakan pengarang dalam cerita
rekaan yang ditulisnya. Adapun sarana retorika meliputi penggunaan citraan, bahasa kisa, dan penyiasatan struktur.
Kenny dalam Nurgiyantoro 1998:285 mengemukakan bahwa nada merupakan ekspresi sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan dan
teradap pembaca. Nada dalam bahasa lisan dapat dikenali dengan intonasi ucapan, misalnya nada rendah dan lemah lembut, santai, meninggi, dan sengit. Berbeda
dengan bahasa tulis, nada dalam bahasa tulis akan sangat ditentukan oleh gaya. Oleh karena itu, gaya adalah sarana, sedangkan nada adalah tujuan. Nada dalam
pengertian yang luas dapat diartikan sebagai sikap yang mengambilpengarang terhadap masalah yang dikemukakan Leech dan Short dalam Nurgiyantoro
1998:187.
Haryanti 2007:27 mendefinisikan nada adalah suatu yang terdapat terbaca dan terasakan melalui penyajian fakta cerita dan sarana sastra yang padu
dan koheren. Jadi, nada sebuah prosa fiksi merupakan ekspresi sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan dan juga terdapat pembaca karyanya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa gaya dan nada adalah cara pengingkapan seseorang pengarang yang khas atau gaya adalah cara
pemakaian bahasa oleh seorang pengarang. Selain itu, dapat diartikan pula sebagai sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan agar seseorang pembaca
mengetahui dan ikut merasakan apa yang dilakukan oleh tokoh cerita.
2.2.4 Metode P2R