2.4.2 Sumber Daya Pendukung Andersen, 1995
Setiap orang memiliki kecenderungan masing-masing dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan karakteristik
predisposisinya. Namun, untuk bisa memanfaatkan pelayanan kesehatan tersebut, mereka harus memiliki berbagai sumber daya pendukung.
Sumber daya pendukung didefinisikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sumber daya pendukung meliputi sumber daya individukeluarga dan sumber daya komunitas.
Pendapatan, asuransi kesehatan, sumber rutin perawatan, aksesibilitas merupakan contoh sumber daya pendukung.
Ketersediaan fasilitas ke pelayanan kesehatan merupakan contoh sumber daya pendukung komunitas. Jika jumlah fasilitas dan tenaga
kesehatan dalam komunitas cukup banyak dan dapat digunakan tanpa antri, maka kemungkinan penduduk disana akan lebih sering
memanfaatkannya. Selain itu, wilayah negara, sifat daerah urban-rural dari masyarakat
di mana keluarga tinggal juga menjadi sumber daya pendukung komunitas. Hal-hal tersebut kemungkinan terkait dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan karena adanya norma-norma lokal atau masyarakat yang memengaruhi perilaku hidup dalam masyarakat.
Adapun sumber daya pendukung yang memengaruhi ibu dalam pemanfaatan pelayanan nifas adalah sebagai berikut.
a. Kuintil Kekayaan Status atau kuintil kekayaan diyakini berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Ibu dengan status keluarga kaya lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas
Khanal, dkk., 2014. Hal ini karena adanya sumber dana yang mereka miliki untuk memperoleh layanan berikutnya pasca
persalinan, seperti pelayanan nifas. Temuan tersebut juga sama dengan hasil penelitian Nugraha
2013 bahwa ibu yang mempunyai tingkat ekonomi menengah- tinggi lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan
nifas dibandingkan ibu yang rendah tingkat ekonominya. Fort, dkk 2006 juga menemukan bahwa ibu dengan kuintil kekayaan tinggi
di negara Bangladesh, Cambodia, Ethiopia, Haiti, Indonesia, Mali, Rwanda, dan Uganda, lebih tinggi pemanfaatan nifasnya
dibandingkan ibu dengan kuintil kekayaan yang lebih rendah. Selain itu, penelitian di Sukabumi dan Ciamis bahwa
finansial menjadi masalah utama wanita di sana untuk memanfaatkan pelayanan nifas terkait biaya pelayanan kesehatan,
biaya transportasi atau keduanya Titaley, dkk., 2010. Masyarakat rural di Provinsi Nort West, Afrika Selatan juga memiliki masalah
yang sama bahwa meskipun mereka menyadari mencari pelayanan kesehatan adalah suatu kebutuhan ketika sakit, namun mereka
terkendala dengan minimnya dana yang dimiliki, tidak hanya untuk
biaya berobatnya saja, tetapi juga untuk biaya transportasi ke fasilitas kesehatan Hoeven, dkk., 2012.
Tingkat kesadaran seseorang pada kuintil kekayaan tertentu dapat memepengaruhi pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian
Choundhury dan Ahmed 2011 bahwa alasan wanita dengan tingkat ekonomi sangat miskin di Bangladesh tidak pergi ke
fasilitas kesehatan ketika merasa sakit pasca persalinan adalah karena tidak menyadari tentang adanya pemeriksaan kesehatan
nifas. Badan yang lemas dan demam dianggap sebagai hal yang umum terjadi pada masa nifas. Khanal, dkk. 2014 juga
menjelaskan bahwa wanita dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi lebih menyadari manfaat dari mendapatkan pelayanan nifas
melalui berbagai media, seperti televisi, surat kabar dan teman- temannya dibandingkan wanita dengan tingakat sosial ekonomi
rendah. Pendapatan yang rendah merupakan hambatan terhadap
pemanfaatan pelayanan kesehatan modern di Indonesia, meskipun pelayanan tersebut disediakan oleh pemerintah Chernichovsky dan
Meesook, 1986. Pemanfaatan pelayanan kesehatan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yaitu biaya pelayanan dan biaya lainnya,
termasuk obat-obatan, transportasi, makanan dan minuman dan biaya lainnya selama kunjungan perawatan kesehatan Utomo,
dkk., 2011. Biaya subsidi kesehatan oleh pemerintah melalui
sektor publik belum memadai untuk membuat layanan kesehatan gratis, khususnya bagi masyarakat miskin. Hal ini juga terlihat dari
lebih banyaknya wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan swasta dibandingkan fasilitas kesehatan pemerintah.
b. Tempat Persalinan Fasilitas kesehatan di Indonesia lebih banyak yang
merupakan milik swasta dibandingkan milik pemerintah. Penelitian di 15 kabupatenkota di pulau Jawa ditemukan bahwa 90 fasilitas
kesehatan yang ada adalah milik swasta Heywood dan Harahap, 2009. Sebanyak 95 dari fasilitas kesehatan swasta tersebut
merupakan milik pribadi atau perorangan dokter praktek, dokter paruh waktu, perawat paruh waktu, bidan di desa, dan bidan
praktek. Unicef 2012 melaporkan bahwa proporsi persalinan di
fasilitas kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu sebesar 55 dan adanya kesenjangan yang besar di mana persalinan di fasilitas
kesehatan sebesar 113 di daerah urban lebih tinggi daripada di daerah rural. Selain itu, lebih dari setengah perempuan di 20
provinsi tidak mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas kesehatan apapun, sebagai penggantinya mereka melahirkan di
rumah mereka sendiri. Selain itu, penelitian Utomo, dkk. 2011
juga menemukan bahwa di Indonesia, setengah dari penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dilakukan di rumah responden.
Tempat persalinan
diyakini berhubungan
dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Ini ditunjukkan dengan beberapa
penelitian yang menemukan bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang melahirkan di fasilitas
kesehatan dibandingkan melahirkan di rumah Ejaz, dkk., 2013; Oluwaseyi, 2013; Paudel, dkk., 2013; Kim, dkk., 2013, Khanal,
dkk., 2014, Yamashita, dkk., 2014. Rata-rata dari 30 negara yang diteliti, hanya 28 wanita
dengan tempat persalinan di luar fasilitas kesehatan yang menerima perawatan postpartum Paudel, dkk., 2013. Paudel, dkk. 2013
juga menjelaskan bahwa ketika seorang wanita melahirkan di fasilitas kesehatan, maka dia juga akan diperiksa kondisi
kesehatannya dalam beberapa jam setelah melahirkan oleh petugas kesehatan sebagai salah satu rangkaian dari pelayanan persalinan.
Di Indonesia, salah satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara
rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan Kemenkes, 2013. Lebih jauh lagi, jika dibandingkan dengan jenis fasilitas
kesehatannya, wanita yang melahirkan di rumah sakit swasta secara signifikan dilaporkan lebih besar kemungkinannya mendapatkan
pelayanan nifas daripada wanita yang melahirkan di rumah sakit
umum Dhaher, dkk., 2008. Pemanfaatan pelayanan nifas yang lebih tinggi pada wanita yang pernah melahirkan di rumah sakit
swasta mungkin karena fakta bahwa rumah sakit swasta memiliki lebih banyak sumber daya dan karena itu lebih mungkin untuk
memberikan perawatan secara individu kepada pasien. Mereka juga menemukan bahwa wanita yang melahirkan di rumah sakit swasta
secara signifikan lebih mungkin untuk menerima informasi tentang tanda-tanda bahaya untuk kesehatan ibu dan bayi daripada wanita
yang melahirkan di rumah sakit umum. Pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat persalinan
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor persepsi seesorang dapat memengaruhi tempat persalinan. Titaley, dkk. 2012 menemukan
adanya persepsi pada penduduk di Jawa Barat bahwa persalinan adalah fenomena yang alami terjadi pada perempuan sehingga
mereka lebih memilih bersalin di rumah, kecuali jika terjadi komplikasi maka persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan.
Selain itu, pendidikan dan urutan kelahiran juga diketahui berhubungan dengan pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai
tempat persalinan. Penelitian pada wanita di Ethiopia ditemukan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan
pelayan fasilitas sebagai tempat bersalin Ethiopian Society of Population Studies, 2008. Rendahnya persalinan di fasilitas
kesehatan pada ibu dengan urutan kelahiran banyak juga ditemukan
memiliki hubungan signifikan pada wanita di Ethiopia Mehari, 2013.
c. Penolong Persalinan Saat proses persalinan, sebaiknya ibu ditolong oleh penolong
persalinan utama. Penolong persalinan utama, misalnya dokter, obsetri, dokter anak, dokter keluarga, perawat praktisi, atau perawat
bidan bersertifikasi Stright, 2005. Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dapat menekan AKI menjadi sebesar 33
Romans, dkk., 2009. Beberapa penelitian menemukan bahwa penolong persalinan
berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas Nugraha, 2013; Kim, dkk., 2013; Khanal, dkk., 2014 . Ibu
bersalin yang ditolong oleh tenaga yang terlatih lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada
ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga yang tidak terlatih Kim, dkk., 2013.
Paudel, dkk 2013 berpendapat bahwa penolong persalinan berkaitan dengan tempat persalinan. Ketika ibu melahirkan di
fasilitas kesehatan, maka dipastikan tenaga kesehatan tersedia. Sehingga, sebagai bagian dari perawatan persalinan, tenaga
kesehatan juga akan menilai situasi ibu dalam beberapa jam setelah melahirkan.
Salah satu tugas seorang bidan adalah melakukan pemantauan pada ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi
dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan tindakan yang diperlukan Syarifudin dan Hamidah, 2009. Bidan juga bertugas
memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada minggu ke-2 dan minggu ke-6 setelah persalinan.
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan disebabkan oleh beberapa faktor. Rahman 2009 menemukan bahwa penolong
persalinan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan antenatal. Chimankar dan Sahoo 2011 juga menemukan bahwa status
ekonomi yang tinggi secara signifikan meningkatkan persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
Penelitian Titaley, dkk. 2010 menemukan bahwa alasan wanita bersalin di Jawa Barat ditolong oleh dukun bayiparaji
meskipun telah tersedia tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan adalah karena terkendala jarak yang jauh dan terbatasnya finansial
yang dimiliki. Sejumlah responden menjelaskan bahwa persalinan ditolong oleh tenaga keeshatan hanya untuk wanita yang
mengalami komplikasi kehamilan. Selain itu, terdapat keterbatasan penyedia pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Di sisi lain,
bidan desa yang terkadang menjadi satu-satunya penyedia layanan kesehatan, sering melakukan perjalanan keluar desa.
Titaley, dkk. 2010 juga menyebutkan bahwa menurut masyarakat di Jawa Barat, dukun bayiparaji lebih sabar dan
perhatian dibandingkan bidan di desa yang merupakan tenaga kesehatan terlatih. Dukun bayiparaji senantiasa menemani wanita
hamil yang mendekati waktu persalinan. Sedangkan bidan di desa akan langsung pergi seteleh melakukan pemeriksaan jika dirasa
belum waktunya persalinan dilakukan.
d. Akses ke Fasilitas Kesehatan Akses dan ketersediaan pelayananan kesehatan menjadi salah
satu pertimbangan bagi seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan nifas. Aksesibilitas atau jarak ke
pelayanan kesehatan secara signifikan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas Oluwaseyi, 2013; Eliakimu, 2010.
Hal ini terjadi karena adanya faktor jumlah pelayanan kesehatan yang tersedia dan lokasi geografisnya, serta akses jalan menuju ke
sana Eliakimu, 2010. Ketika lokasi fasilitas kesehatan berada jauh dari masyarakat,
maka akses terhadap fasilitas tersebut menjadi suatu masalah Ugboaja, dkk., 2013. Oleh sebab itu, pemanfaatan pelayanan
kesehatan lebih tinggi ketika jarak bukan menjadi masalah yang berarti Kim, dkk., 2013. Permasalahan aksesibilitas ke fasilitas
kesehatan di Indonesia juga telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya D‟Ambruoso, dkk., 2008.
Penelitian Islam dan Odland 2011 menemukan bahwa 56,4 wanita tidak datang ke pelayanan nifas karena lokasi pelayanan
kesehatan yang terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Sedangkan hasil penelitian Kim, dkk. 2013 menemukan bahwa 36 wanita
menyatakan bahwa jarak ke fasilitas kesehatan menjadi kendala terbesar bagi mereka untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Wanita
yang bertempat tinggal kurang dari 8 km dari pusat pelayanan kesehatan menerima pelayanan nifas lebih tinggi daripada mereka
yang berada lebih jauh dari pusat pelayanan kesehatan Islam dan Odland, 2011. Jangkauan pelayanan kesehatan yang mudah
memungkinakan pemanfaatan pelayanan nifas sebesar 7,388 kali lebih tinggi daripada jangkauan pelayanan kesehatan yang sulit
Fitria dan Puspitasari, 2011. Titaley, dkk. 2010 menemukan bahwa di Jawa Barat,
masalah jarak fasilitas kesehatan yang jauh, kondisi jalan yang buruk, terbatasnya waktu untuk pergi, dan terbatasnya fasilitas
kesehatan yang tersedia, khususnya di daerah terpencil, menjadi kendala bagi wanita hamil untuk mendapatkan pelayanan antenatal,
persalinan di fasilitas kesehatan hingga pemanfaatan pelayanan nifas. Jarak ke pelayanan kesehatan terdekat dengan kondisi jalan
yang buruk menyebabkan mereka harus berjalan selama 2 jam. Situasi menjadi lebih buruk selama musim hujan ketika jalan licin.
Selain jarak ke pelayanan kesehatan, Kim, dkk 2013 juga menemukan bahwa hampir 7 dari 10 wanita 65 beralasan
bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan menjadi penghalang terbesar bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan
medis. Hasil temuan tersebut juga sama dengan Islam dan Odland 2011 bahwa alasan mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk
perawatan menjadi penyebab mereka tidak mencari pelayanan nifas. Namun, Eliakimu 2010 menemukan bahwa biaya
pelayanan kesehatan tidak signifikan berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan nifas. Hal ini mungkin disebabkan bahwa
hanya sebagian kecil wanita yang diminta untuk membayar biaya pelayanan nifas.
e. Daerah Tempat Tinggal Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antara daerah tempat tinggal dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian di Kamboja menunjukkan bahwa pelayanan nifas saat 24
jam pertama setelah persalinan lebih tinggi terjadi di daerah urban dibandingkan di daerah rural Kim, dkk., 2013. Hal serupa juga
ditemukan di Nepal bahwa prevalensi kunjungan pelayanan segera setelah melahirkan lebih tinggi terjadi di daerah urban Khanal,
dkk., 2014. Hasil penelitian tersebut juga secara signifikan menunjukkan bahwa ibu di daerah urban lebih besar
kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas dalam 42 hari setelah melahirkan. Hal ini terjadi karena di daerah
pegunungan dan pedesaan di Nepal kurang memiliki akses ke pelayanan umum, seperti jalan, transportasi, dan pelayanan
kesehatan. Perbedaan di antara daerah urban dan rural ini terlihat lebih
kontras di beberapa negara, seperti di Mesir, Haiti, Kenya, Mali, Nepal, Peru, Uganda, dan Zambia; di mana dua kali lebih banyak
wanita yang menerima pelayanan nifas di daerah urban dibandingkan di dearah rural Fort, dkk., 2006. Sedangkan di
Indonesia, Fort, dkk. 2006 menemukan bahwa perbedaan di antara daerah urban dan rural tidak besar.
Meski pemanfaatan pelayanan nifas lebih banyak terjadi di daerah urban, Fort, dkk. 2006 juga menemukan bahwa jika
persalinan dilakukan bukan di pelayanan kesehatan, maka wanita di daerah rural lebih besar kemungkinannya untuk menerima
pelayanan nifas dibandingkan wanita di daerah urban yang juga persalinannya bukan di pelayanan kesehatan. Namun, hal ini bisa
juga terjadi karena adanya upaya program penyediaan pelayanan nifas yang lebih besar untuk wanita di daerah rural.
2.4.3 Kebutuhan