Tempat Persalinan Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia

6.3.5 Tempat Persalinan

Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya kematian ibu adalah terbatasnya tempat persalinan yang memadai. Menurut Paudel, dkk. 2013, penolong persalinan berhubungan dengan tempat persalinan. Ketika ibu melahirkan di fasilitas kesehatan, maka dipastikan tenaga kesehatan tersedia. Berdasarkan SDKI tahun 2012, sebanyak 63 anak yang lahir dalam 5 tahun sebelum survei dilahirkan di fasilitas kesehatan, yaitu 17 di fasilitas kesehatan pemerintah dan 46 di fasilitas kesehatan swasta BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013. Pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat persalinan ditemui jauh lebih rendah terjadi di daerah rural 47 dibandingkan di daerah urban 80. Pada hasil penelitian ini, wanita yang melahirkan di daerah rural tahun 2011-2012 di fasilitas kesehatan sebesar 53,8, yaitu 24,3 di fasilitas kesehatan pemerintah rumah sakitklinik, puskesmas, poskesdes, polindes atau fasilitas kesehatan pemerintah lainnya dan 29,5 di fasilitas kesehatan swasta rumah sakit swasta, rumah sakit bersalin, rumah bersalin, klinik, dokter umum praktek, bidan praktek, perawat praktek, bidan di desa atau fasilitas kesehatan swasta lainnya. Sedangkan wanita lainnya yang tidak melahirkan di fasilitas kesehatan lebih banyak yang melahirkan di rumahnya sendiri 41,3. Tingginya persalinan di fasilitas kesehatan milik swasta dibandingkan pemerintah disebabkan karena jumlah fasilitas kesehatan swasta lebih banyak dibandingkan milik pemerintah. Penelitian di 15 kabupatenkota di pulau Jawa ditemukan bahwa 90 fasilitas kesehatan yang ada adalah milik swasta Heywood dan Harahap, 2009. Sebanyak 95 dari fasilitas kesehatan swasta tersebut merupakan milik pribadi atau perorangan dokter praktek, dokter paruh waktu, perawat paruh waktu, bidan di desa, dan bidan praktek. Proporsi wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan sebesar 53,8 tidak sebanding dengan proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 86,8. Ini menunjukkan bahwa sekitar 33 penolong persalinan oleh tenaga kesehatan diasumsikan dilakukan di rumah responden. Hasil ini sejalan dengan penelitian Utomo, dkk. 2011 bahwa di Indonesia, setengah dari penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dilakukan di rumah responden. Proporsi persalinan di fasilitas kesehatan di daerah rural tersebut tergolong rendah. Ini sejalan dengan Unicef 2012 bahwa proporsi persalinan di fasilitas kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu sebesar 55 dan adanya kesenjangan yang besar di mana persalinan di fasilitas kesehatan sebesar 113 di daerah urban lebih tinggi daripada di daerah rural. Selain itu, lebih dari setengah perempuan di 20 provinsi tidak mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas kesehatan apapun, sebagai penggantinya mereka melahirkan di rumah mereka sendiri. Berdasarkan hasil penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang melahirkan di fasilitas kesehatan 92,9 dibandingkan wanita yang melahirkan di non-fasilitas kesehatan 77,1. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tempat persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang melahirkan di fasilitas kesehatan dibandingkan melahirkan di rumah Ejaz, dkk., 2013; Oluwaseyi, 2013; Paudel, dkk., 2013; Kim, dkk., 2013, Khanal, dkk., 2014, Yamashita, dkk., 2014. Rata-rata dari 30 negara yang diteliti, hanya 28 wanita dengan tempat persalinan di luar fasilitas kesehatan yang menerima perawatan nifas Paudel, dkk., 2013. Adanya hubungan dalam penelitian ini diasumsikan karena pasca persalinan, wanita mendapatkan pemeriksaan dari tenaga kesehatan saat masih berada di fasilitas kesehatan. Dari semua wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan, sebanyak 94,3 di antaranya mendapatkan pemeriksaan nifas saat masih berada di fasilitas kesehatan pasca persalinan. Paudel, dkk. 2013 juga sependapat bahwa ketika seorang wanita melahirkan di fasilitas kesehatan, maka dia juga akan diperiksa kondisi kesehatannya dalam beberapa jam setelah melahirkan oleh petugas kesehatan sebagai salah satu rangkaian dari pelayanan persalinan. Di Indonesia, salah satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan Kemenkes, 2013. Rendahnya persalinan di fasilitas kesehatan lebih tinggi terjadi pada kelompok kuintil kekayaan terbawah. Kelahiran anak dari wanita yang berada dalam kelompok kuintil kekayaan terbawah cenderung 2,5 kali lebih tinggi dilakukan di non-fasilitas kesehatan atau di rumah dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelompok kuintil kekayaan tertinggi masing-masing 60,5 dan 24,5. Rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan pada kelompok tersebut diasumsikan terjadi karena faktor biaya. Pendapatan yang rendah merupakan hambatan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan modern di Indonesia, meskipun pelayanan tersebut disediakan oleh pemerintah Chernichovsky dan Meesook, 1986. Pemanfaatan pelayanan kesehatan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yaitu biaya pelayanan dan biaya lainnya, termasuk obat-obatan, transportasi, makanan dan minuman serta biaya lainnya selama kunjungan perawatan kesehatan Utomo, dkk., 2011. Di sisi lain, biaya subsidi kesehatan oleh pemerintah melalui sektor publik belum memadai untuk membuat layanan kesehatan gratis, khususnya bagi masyarakat miskin. Hal ini juga terlihat dari lebih banyaknya wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan swasta dibandingkan fasilitas kesehatan pemerintah. Selain itu, meskipun kelompok kuintil kekayaan bawah memiliki asuransi kesehatan, seperti Jamkesmas, mereka tidak sepenuhnya paham tentang penggunaannya. Studi kualitatif di Jawa Barat menemukan bahwa meskipun masyarakat sudah dijelaskan tentang biaya persalinan yang gratis dengan ditolong bidan di desa di fasilitas kesehatan, mereka masih takut jika kemudian diminta untuk membayar biaya persalinan Titaley, dkk., 2010. Persepsi masyarakat tentang persalinan juga dimungkinkan menjadi pengahalang bagi wanita hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan. Titaley, dkk. 2012 menemukan adanya persepsi pada penduduk di Jawa Barat bahwa persalinan adalah fenomena yang alami terjadi pada perempuan sehingga mereka lebih memilih bersalin di rumah, kecuali jika terjadi komplikasi maka persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa dari semua responden yang mengalami komplikasi persalinan, persalinan lebih banyak dilakukan di fasilitas kesehatan 59,4. Aksesibilitas fasilitas kesehatan juga diketahui menjadi hambatan dalam persalinan di fasilitas kesehatan di beberapa wilayah di Indonesia. Di Jawa Barat, jarak fasilitas kesehatan yang jauh, kondisi jalan yang buruk, terbatasnya waktu untuk pergi, dan terbatasnya fasilitas kesehatan yang tersedia, khususnya di daerah terpencil, menjadi kendala bagi wanita hamil untuk bersalin di fasilitas kesehatan sehingga lebih memilih untuk melahirkan di rumah Titaley, dkk., 2010. Namun, hasil penelitian ini secara nasional tidak menunjukkan hal yang demikian. Persalinan di tempat lain atau non-fasilitas kesehatan tetap lebih tinggi terjadi pada wanita di daerah rural yang tidak memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan 46,7 dibandingkan wanita yang memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan 43,4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi persalinan di non- fasilitas kesehatan atau di rumah dua kali lebih tinggi terjadi pada wanita dengan pendidikan tamat SD 55,6 dibandingkan wanita dengan pendidikan tamat SMTA 35,6 dan perguruan tinggi 33,9. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin besar kemungkinan wanita hamil untuk bersalin di fasilitas kesehatan. Hal ini sejalan dengan penelitian pada wanita di Ethiopia bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat persalinan Ethiopian Society of Population Studies, 2008. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan bahwa persalinan pada urutan kelahiran anak keenam atau lebih 64,6 cenderung dilakukan di non-fasilitas kesehatan atau di rumah dibandingkan dengan urutan kelahiran anak pertama 40,1. Rendahnya persalinan di fasilitas kesehatan pada ibu dengan urutan kelahiran banyak juga ditemukan memiliki hubungan signifikan pada wanita di Ethiopia Mehari, 2013. Upaya meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan perlu dilanjutkan, mengingat hal tersebut mampu menarik 92,9 wanita di daeral rural untuk kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Sasaran intervensi sebaiknya difokuskan pada wanita dengan kuintil kekayaan terbawah, pendidikan di bawah SMTA, urutan kelahiran anak ke-6 atau lebih dan yang memiliki kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Peningkatkan promosi dan kampanye kesehatan tentang pentingnya bersalin di fasilitas kesehatan dapat menambah pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Upaya ini dapat dilakukan melalui penyuluhan secara langsung atau melalui program berbasis masyarakat, berupa pelatihan kepada kader-kader kesehatan setempat tentang sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat.

6.3.6 Penolong Persalinan