mampu menarik 88,3 dari total wanita yang berkunjung untuk kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Oleh karena itu, peneliti
menyarankan untuk meningkatkan pemanfaatan atau kunjungan ANC minimal 4 kali atau lebih dan menekankan pentingnya pemanfaatan
pelayanan nifas selama kunjungan tersebut berlangsung dengan sasaran utama adalah wanita yang tidak bersekolah dan tidak tamat SD.
Peningkatan kunjungan ANC dapat dilakukan melalui program berbasis masyarakat dan berbagai media promosi kesehatan, terutama
dengan memanfaatkan peran bidan dan bidan swasta. Hal ini karena lebih dari setengah total responden diperiksa kehamilannya oleh bidan
dan bidan di desa, yaitu sebesar 54,6 dan 37,3.
6.3.4 Kuintil Kekayaan
Kuintil kekayaan merupakan indeks kekayaan rumah tangga yang didasarkan atas barang-barang kepemilikan rumah tangga tersebut.
Penduduk di daerah rural umumnya memiliki kuintil kekayaan lebih rendah dibandingkan penduduk di daerah urban. Berdasarkan SDKI
tahun 2012, lebih dari setengah penduduk rural 60 di Indonesia berada dalam kuintil dua terendah, sementara sepertiga penduduk
daerah urban 33 berada dalam kuintil tertinggi BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa sebanyak 62,2 wanita usia subur yang pernah melahirkan tahun 2011-2012 di
daerah rural Indonesia berada dalam kuintil dua terendah, yaitu kuintil terbawah dan menengah bawah. Hanya 6,9 wanita di sana yang
berada dalam kuintil kekayaan tertinggi. McCulloch, dkk. 2007 menyebutkan bahwa kebanyakan orang
miskin di negara berkembang, seperti di Indonesia, masih tinggal di daerah rural dan terutama terlibat dalam kegiatan pertanian
produktivitas rendah. Pendapatan yang rendah dari sektor pertanian ini dapat berdampak pada status ekonomi yang rendah. Di daerah rural
Jawa Tengah, status ekonomi yang rendah berhubungan secara signifikan dengan status pekerjaan sebagai bertani Hondai, 2005.
Ekonomi di daerah rural dapat berdampak pada perilaku seseorang ketika sakit dalam pencarian pengobatan Bushy, 2009.
Keadan ekonomi secara tidak langsung juga menggambarkan tingkat pendapatan seseorang. Pendapatan menjadi salah satu sumber daya
pendukung bagi seseorang untuk bisa memanfaatkan pelayanan kesehatan Andersen, 1995.
Pada hasil penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang berada dalam kuintil kekayaan menengah
90,1, menengah atas 90,1 dan teratas 94,4. Sedangkan pemanfaatan pelayanan nifas lebih rendah terjadi pada wanita yang
berada dalam kuintil kekayaan terbawah 78,8 dan menengah bawah 86,8. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara kuintil kekayaan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fort, dkk. 2006, Nugraha 2013 dan Khanal, dkk. 2014 bahwa terdapat hubungan
antara kuintil kekayaanstatus ekonomi dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Ibu yang memiliki kuintil kekayaan tinggi di negara Bangladesh,
Cambodia, Ethiopia, Haiti, Indonesia, Mali, Rwanda, dan Uganda, lebih tinggi pemanfaatan nifasnya dibandingkan ibu dengan kuintil kekayaan
yang lebih rendah Fort, dkk., 2006. Nugraha 2013 juga menemukan bahwa di Indonesia, ibu yang mempunyai tingkat ekonomi menengah-
tinggi lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas dibandingkan ibu yang rendah tingkat ekonominya.
Kondisi wanita bersalin di daerah rural yang lebih banyak berada dalam kuintil kekayaan terbawah dan menengah bawah menyebabkan
mereka sulit mendapatkan pelayanan nifas yang disebabkan karena faktor finansial. Hal ini sejalan dengan penelitian kualitatif di Sukabumi
dan Ciamis bahwa finansial menjadi masalah utama wanita di sana untuk memanfaatkan pelayanan nifas terkait biaya pelayanan kesehatan,
biaya transportasi atau keduanya Titaley, dkk., 2010. Masyarakat rural di Provinsi Nort West, Afrika Selatan juga memiliki masalah yang
sama bahwa meskipun mereka menyadari mencari pelayanan kesehatan adalah suatu kebutuhan ketika sakit, namun mereka terkendala dengan
minimnya dana yang dimiliki, tidak hanya untuk biaya berobatnya saja,
tetapi juga untuk biaya transportasi ke fasilitas kesehatan Hoeven, dkk., 2012.
Hal ini juga sejalan dengan Khanal, dkk. 2014 bahwa wanita dari keluarga kaya lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan
pelayanan nifas karena tersedianya dana untuk bersalin di rumah sakit. Mereka yang bersalin di rumah sakit kemudian mendapatkan
pemeriksaan nifas dari tenaga kesehatan. Selain itu, alasan wanita tidak memanfaatkan pelayanan nifas
dimungkinkan karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya memeriksakan kesehatannya saat nifas. Hal ini sejalan
dengan penelitian Choundhury dan Ahmed 2011 bahwa alasan wanita Bangladesh dengan tingkat ekonomi sangat miskin tidak pergi ke
fasilitas kesehatan ketika merasa sakit pasca persalinan adalah karena tidak menyadari tentang adanya pemeriksaan kesehatan nifas. Badan
yang lemas dan deman dianggap sebagai hal yang umum terjadi pada masa nifas. Khanal, dkk. 2014 juga menjelaskan bahwa wanita dengan
tingkat sosial ekonomi yang tinggi lebih menyadari manfaat dari mendapatkan pelayanan nifas melalui berbagai media, seperti televisi,
surat kabar dan teman-temannya dibandingkan wanita dengan tingakat sosial ekonomi rendah.
Kuintil kekayaan tidak hanya berpengaruh pada pemanfaatan pelayanan nifas, namun juga berpengaruh pada pemanfaatan pelayanan
kesehatan maternal lainnya, seperti pelayanan antenatal dan penolong
persalinan oleh tenaga kesehatan Titaley, dkk., 2010; Rahman, 2009. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa wanita
dengan kuintil kekayaan tertinggi lebih banyak yang berkunjung ke pelayanan antenatal ≥4 kali 95,1 dan lebih banyak yang
persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan 99,3. Di sisi lain, pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kunjungan antenatal dan penolong persalinan berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian sebelumnya
menemukan bahwa rendahnya pemanfaatan pelayanan antenatal ANC di Indonesia berhubungan secara signifikan dengan kuintil kekayaan
yang rendah Titaley, dkk., 2010. Chimankar dan Sahoo 2011 juga menemukan bahwa status ekonomi yang tinggi secara signifikan
meningkatkan proporsi persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
Pemanfaatan kesehatan maternal yang rendah pada kelompok ekonomi rendah karena faktor biaya seharusnya tidak menjadi masalah
karena pemerintah telah mencanangkan program Jaminan Persalinan Jampersal, yaitu program asuransi kesehatan pemerintah untuk wanita
hamil, yang meliputi pelayanan antenatal hingga nifas. Selain itu pemerintah juga mencanangkan program bantuan sosial lainnya bagi
masyarakat miskin dan tidak mampu, seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat Jamkesmas.
Namun, program Jampersal ternyata dinilai kurang efektif dalam menjangkau masyarakat di beberapa wilayah. Meskipun pemerintah
telah mengalokasikan dana dalam jumlah yang besar untuk Jampersal, tingkat pengeluarannya relatif rendah. Secara nasional, tingkat
pengeluaran Jampersal pada tahun 2011 adalah 41,5 di mana pengeluaran tertinggi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara 82,86 dan
terendah di wilayah Papua 13,02 Dwicaksono dan Setiawan, 2013. Heywood dan Choi 2010 menyebutkan bahwa meskipun terjadi
peningkatan alokasi dana kesehatan yang signifikan oleh pemerintah Indonesia, namun tidak terdapat hubungan antara pengeluaran
kesehatan pemerintah di tingkat kabupaten dengan keluaran sistem kesehatan yang diharapkan. Alokasi dana transfer secara efektif tidak
sesuai dengan besarnya permasalahan kesehatan ibu yang dihadapi oleh daerah Dwicaksono dan Setiawan, 2013. Artinya, pemerintah pusat
gagal dalam menggunakan sumber daya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu di daerah.
Salah satu yang menjadi hambatan penggunaan Jampersal adalah wanita miskin tidak sepenuhnya menyadari manfaat Jampersal. Unicef
2012 melaporkan bahwa kesadaran perempuan masih kurang tentang kelayakan dan manfaat Jampersal serta tingkat penggantian biaya yang
tidak memadai, khususnya jika termasuk biaya transportasi dan komplikasi. Penelitian di Pandeglang menemukan bahwa wanita yang
memiliki pengetahuan yang baik tentang Jampersal lebih tinggi untuk
memanfaatkan pelayanan Jampersal Suparmi, dkk., 2013. Selain itu, sosialisasi kebijakan Jampersal sangat kurang, baik kepada pemerintah
daerah kabupatenkota dan unit-unit pelaksana, maupun kepada masyarakat pengguna Helmizar, 2014.
Demikian juga yang terjadi pada kelompok kuintil kekayaan bawah yang memiliki Jamkesmas bahwa tidak sepenuhnya mereka
paham tentang penggunaannya. Studi kualitatif di Jawa Barat menemukan bahwa meskipun masyarakat sudah dijelaskan tentang
biaya persalinan yang gratis dengan ditolong bidan di desa di fasilitas kesehatan, mereka masih takut jika kemudian diminta untuk membayar
biaya persalinan Titaley, dkk., 2010. Pemanfaatan pelayanan nifas pada kelompok kuintil kekayaan
bawah dapat dilakukan dengan diseminasi informasi yang lebih masif kepada masyarakat pengguna tentang manfaat asuransi kesehatan dari
pemerintah yang dapat digunakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan maternal. Peningkatan penggunaan asuransi kesehatan
tersebut dapat dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan lintas sektor, seperti pemerintah daerah, DPRD dan gerakan pemberdayaan
masyarakat berupa penyuluhan. Upaya tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga dapat memanfaatkan
asuransi tersebut sesuai fungsinya.
6.3.5 Tempat Persalinan