sampel yang dipilih adalah satu bulan sebelum survei sehingga tidak memengaruhi hasil penelitian pada variabel pemanfaatan pelayanan nifas.
Ketiga, pengukuran variabel jarak ke fasilitas kesehatan hanya diukur berdasarkan pada persepsi responden, yaitu persepsi mereka terhadap jarak ke
fasilitas kesehatan ketika sakit dan ingin mendapatkan perawatan kesehatan atau pengobatan.
Hasil ukur dari variabel ini, yaitu „masalah‟ dan „tidak masalah. Karena pengukuran variabel ini berdasarkan pada persepsi, maka
jawaban yang diberikan oleh responden bersifat subjektif sehingga tidak diketahui pada jarak berapa hal ini menjadi masalah atau tidak masalah bagi
mereka.
6.2 Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia
Pelayanan nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam pertama sampai 42 hari pasca persalinan oleh tenaga kesehatan
Kemenkes RI, 2010. Pelayanan nifas tidak berarti bahwa ibu nifas yang harus mendatangi tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan. Melainkan
didefinisikan sebagai kontak ibu nifas dengan tenaga kesehatan, baik di dalam gedung maupun di luar gedung fasilitas kesehatan.
Pada penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas merupakan pemeriksaan kesehatan yang ibu dapatkan pada 3 hari pertama setelah
melahirkan anak terakhir dengan mendatangi pelayanan kesehatan atau didatangi oleh petugas kesehatan. Penentuan batasan waktu 3 hari pertama
setelah melahirkan adalah karena periode tersebut merupakan waktu yang
paling berisiko terjadinya komplikasi pasca persalinan Riskesdas, 2010. Bahkan tingginnya kematian dapat terjadi pada hari pertama dan kedua
setelah melahirkan Ronsmans, dkk., 2006. Nour 2008 juga menyebutkan bahwa sebanyak 45 kematian pada masa nifas terjadi pada 24 jam pertama
setelah melahirkan dan 66 terjadi pada 1 minggu pertama setelah melahirkan.
Hasil penelitian menemukan bahwa dari 2072 wanita usia subur, sebanyak 85,6 telah memanfaatkan pelayanan nifas dan 14,4 tidak
memanfaatkan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia. Persentase pemanfaatan pelayanan nifas ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan
persentase pelayanan nifas yang ada di laporan SDKI 2012, yaitu sebesar 74. Hal ini dimungkinkan terjadi karena perbedaan penetapan waktu
pemanfaatan pelayanan nifas, yaitu 2 hari pertama pasca persalinan pada laporan SDKI 2012 dan 3 hari pertama pasca persalinan pada penelitin ini.
Oleh karena itu, terdapat tambahan jumlah wanita yang mendapatkan pelayanan nifas pada hari ketiga sehingga persentase yang dihasilkan lebih
besar. Selain itu, perbedaan besarnya persentase ini dimungkinkan terjadi
karena perbedaan periode tahun sampel yang digunakan. Laporan SDKI 2012 menggunakan sampel antara tahun 2007-2012. Sedangkan pada penelitian ini,
sampel yang digunakan adalah tahun 2011-2012. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan cakupan pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada
tahun 2011-2012 dibandingkan pada tahun-tahun sebelumya. Oleh sebab itu,
persentase pemanfaatan pelayanan nifas yang dihasilkan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan yang dilaporkan SDKI tahun 2012.
Meskipun persentase pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural secara nasional cukup tinggi, terdapat ketimpangan persentase antar daerah
rural di tingkat provinsi, yaitu antara 58,3 hingga 98,1. Tiga provinsi tertinggi yang memanfaatkan pelayanan nifas adalah Bengkulu 98,1,
Yogyakarta 96,3 dan Bali 96,2. Sedangkan tiga provinsi terendah yang memanfaatkan pelayanan nifas adalah Papua 58,3, Maluku 68,2
dan Papua Barat 70,8. Terdapat 13 provinsi yang berada di bawah angka nasional dalam memanfaatkan pelayanan nifas. Hal ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan pelayanan nifas masih menjadi masalah di daerah rural di beberapa provinsi di Indonesia.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa dari 1733 wanita yang memanfaatkan pelayanan nifas, sebagian besar dilayani atau diperiksa oleh
bidan, yaitu 46 bidan praktek dan 29,4 bidan di desa. Hal ini diasumsikan karena banyak di antara wanita yang melahirkan di bidan praktek atau bidan
di desa. Terlihat dari hasil penelitian bahwa sebanyak 59 wanita yang memanfaatkan pelayanan nifas mendapatkan pemeriksaan kesehatan saat
sebelum keluar dari fasilitas kesehatan pasca persalinan dan jenis fasilitas kesehatan yang banyak digunakan sebagai tempat persalinan adalah bidan
praktek 24,9 dan bidan di desa 11,9. Selain itu, alasan banyaknya wanita yang menerima pemeriksaan pada 3
hari pertama setelah melahirkan dari bidan diasumsikan karena banyak wanita
yang mendapatkan pertolongan persalinan oleh bidan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total responden yang memanfaatkan pelayanan
nifas, sebanyak 50,6 wanita mendapatkan pertolongan persalinan dari bidan dan 29,4 dari bidan di desa. Ini menunjukkan bahwa bidan memiliki
peranan yang besar dalam meningkatkan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural.
Setiap ibu nifas seharusnya memanfaatkan pelayanan nifas. Menurut Paudel, dkk. 2013, pelayanan nifas diperlukan untuk mengurangi kesakitan
dan kematian pada ibu. Salah satu tujuan umum dari pelayanan nifas adalah memulihkan kesehatan umum penderita, mempertahankan psikologis dan
mencegah infeksi dan komplikasi Bahiyatun, 2008. Diketahui bahwa setelah persalinan, terdapat perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu selama masa
nifas, seperti perubahan pada uterus, lokia, serviks, vagina dan vulva, perineum, abdomen, ovarium, payudara, sistem kardiovaskular, sistem
pencernaan, dan sistem perkemihan Manuaba, 2004; Stright, 2005; Bahiyatun, 2008; Leveno, dkk., 2009. Pada masa nifas, ibu juga dapat
mengalami komplikasi, seperti perdarahan, sepsis puerperalis, eklamsia, infeksi puerperalis, depresi postpartum, postpartum blues atau psikosis
postpartum Farrer, 2001; WHO, 2002; Tomb, 2004; Sastrawinata, dkk., 2005; Bahiyatun, 2008; Leveno, dkk., 2009. Oleh karena itu, untuk
mengidentifikasi dan menangani atau merujuk komplikasi serta meningkatkan kesehatan pasca persalinan, maka ibu harus memanfaatkan pelayanan nifas.
Selain karena faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas dibahas pada sub-bab selanjutnya, alasan wanita tidak
memanfaatkan pelayanan nifas juga diasumsikan karena kurangnya kesadaran mereka tentang pentingnya pelayanan nifas sehingga merasa tidak
membutuhkannya. Unicef 2012 menyebutkan bahwa cakupan pelayanan nifas tepat waktu yang rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya
prioritas di antara perempuan terhadap pelayanan ini. Seperti yang terjadi di Jawa Barat bahwa karena alasan tidak mengalami komplikasi pasca
persalinan maka wanita di sana merasa tidak membutuhkan pelayanan nifas Titaley, dkk., 2010. Hal ini juga terjadi pada wanita di Palestina, Nigeria
dan Etiopia bahwa salah satu alasan mereka tidak memanfaatkan pelayanan nifas adalah karena tidak merasa sakit setelah melahirkan sehingga tidak
membutuhkan pelayanan nifas Dhaher, dkk., 2008; Ugboaja, dkk., 2013; Berhe, dkk., 2013.
6.3 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia