Bagan 2.2 memperlihatkan determinan individu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagai salah satu komponen teori perilaku pemanfaatan
pelayanan kesehatan yang kembali dipublikasikan oleh Andersen dan Newman pada tahun 1973 Andersen dan Newman, 2005. Mereka
menekankan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu karakteristik sistem pelayanan kesehatan, perubahan teknologi,
norma sosial dan perawatan penyakit, dan determinan individu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan Andersen dan Newman, 2005. Pada sub-
bab ini, penulis hanya membahas determinan individu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagai acuan kerangka teori penelitian yang dapat
dilihat pada Bagan 2.2.
2.4.1 Karakteristik Predisposisi Andersen, 1995
Karakteristik predisposisi menggambarkan kecenderungan individu yang berbeda-beda untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan
berdasarkan karakteristik yang mereka miliki. Karakteristik predisposisi meliputi faktor demografi, struktur sosial dan sikap atau keyakinan
tentang kesehatan. Faktor demografi, seperti usia dan jenis kelamin merupakan
variabel yang sangat erat berkaitan dengan kesehatan dan penyakit. Perawatan medis yang diterima antar kelompok usia akan berbeda
karena memiliki jenis dan jumlah penyakit yang berbeda. Riwayat
penyakit pada masa lalu juga menjadi variabel demografi karena tedapat bukti yang menemukan bahwa orang yang mengalami masalah
kesehatan di masa lalu adalah yang paling mungkin untuk membuat keputusan dalam perawatan medis di masa depan.
Faktor struktur sosial mencerminkan penentu status seseorang dalam masyarakat, kemampuannya dalam mengatasi masalah yang ada
dan keadaan sehat tidaknya lingkungan fisik tempat dia berada. Pendidikan, pekerjaan, dan etnis merupakan contoh faktor struktur
sosial yang mungkin berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Selain demografi dan struktur sosial, keyakinan terhadap kesehatan juga menjadi variabel dari predisposisi. Keyakinan terhadap kesehatan
adalah sikap, nilai dan pengetahuan seseorang tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan yang memengaruhi persepsi kebutuhan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Keyakinan terhadap kesehatan merupakan suatu hal yang dapat menjelaskan bagaimana struktur sosial
dapat memengaruhi sumber daya pendukung, kebutuhan dan selanjutnya memanfaatan pelayanan kesehatan.
Dalam pengaplikasiannya, karakteristik predisposisi merupakan komponen yang memengaruhi ibu dalam pemanfaatan pelayanan nifas.
Faktor-faktor predisposisi yang memengaruhi adalah sebagai berikut.
a. Pendidikan Pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara UU RI No. 12 tahun 2012. Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan
terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi UU RI No. 9 tahun
2009. Pendidikan
berperan terhadap
perilaku seseorang
Notoadmodjo, 2010. Pendidikan umumnya menyebabkan tingginya pemanfataan pelayanan kesehatan Morreale, 1998.
Penelitian Doraon 2012 dan Ugboaja, dkk. 2013 menemukan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan pemanfaatan
pelayanan nifas dengan tingginya pendidikan ibu. Hal serupa juga diperoleh Paudel, dkk. 2013 bahwa ibu yang berpendidikan
menengah dan atas lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan layanan nifas awal 24 jam setelah bersalin.
Menurutnya, pendidikan memungkinkan untuk memberdayakan individu untuk mendapatkan akses informasi tentang promosi
kesehatan, informasi untuk mendapatkan pelayanan dan pentingnya
layanan yang tersedia. Orang-orang yang berpendidikan juga cenderung dapat memproses informasi kesehatan.
Selain itu, penelitian Khanal, dkk. 2014 menemukan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi lebih mungkin untuk berkunjung ke
pelayanan nifas karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar kemungkinan memperoleh informasi tentang risiko
kesehatan, pentingnya dan manfaat mengakses pelayanan kesehatan. Selain berperannya pendidikan ibu, Ejaz dan Ahmad
2013 juga menemukan bahwa semakin tingginya pendidikan suami maka semakin tinggi pemanfaatan pelayanan nifas.
Pendidikan dianggap penting dalam menanamkan kesadaran tentang masalah kesehatan dan peduli untuk mencarai kesehatan
yang layak. Meski demikian, terdapat juga beberapa penelitian yang tidak
sependapat. Penelitian Dhaher, dkk. 2008 dan Berhe, dkk. 2013 menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Fitria dan Puspitasari 2011 juga menemukan bahwa ibu nifas yang tamat
SD cenderung melaksanakan pelayanan nifas dibandingkan ibu nifas yang berpendidikan SMP dan SMA karena kemungkinan ibu
dengan pendidikan lebih tinggi merasa lebih tahu akan kondisi tubuhnya.
b. Pekerjaan Pekerjaan yang sering disebut sebagai profesi adalah sesuatu
yang dilakukan manusia yang dilakukan dengan cara yang baik dan benar dengan tujuan mendapatkan imbalan berbentuk uang untuk
memenuhi kebutuhan hidup Sofianty, dkk., 2007. Alasan bekerja selain untuk mendapatkan uang adalah untuk mengembangkan
potensi atau kemampuan diri. Namun, terdapat juga pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan bersama dan tidak menghasilkan
uang, seperti seorang ibu rumah tangga yang bekerja untuk mengurus rumah dan mengatur keperluan keluarga Sofianty, dkk.,
2007. Pada saat ini banyak para ibu yang bekerja di luar rumah
karena tuntutan ekonomi dalam keluarga. Menurut Berhe, dkk. 2013, tingkat pekerjaan ibu dan suami berhubungan secara
signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian ini juga menemukan bahwa ibu yang bekerja lebih besar kemungkinannya
untuk mengunjungi pelayanan nifas daripada wanita yang tidak bekerja.
Lebih jauh lagi, Khannal, dkk. 2014 menemukan bahwa ibu yang bekerja sebagai petani lebih kecil kemungkinannya untuk
berkunjung ke pelayanan nifas. Begitu juga dengan ibu yang suaminya bekerja sebagai petani lebih kecil kemungkinannya untuk
berkunjung ke pelayanan nifas. Hal ini terjadi karena bentroknya
jam ibu bekerja dengan jam buka pelayanan nifas. Selain itu juga karena alasan pendapatan yang dihasilkan dari bertani.
Meski demikian, terdapat juga banyak penelitian yang tidak menemukan adanya hubungan antara pekerjaan dengan kunjungan
ibu ke pelayanan nifas, seperti penelitian Fitria dan Puspitasari 2011, Ugboaja, dkk. 2013, Ejaz, dkk. 2013, dan Nugraha
2013.
c. Pengetahuan Pengetahuan knowledge adalah hasil penginderaan manusia,
atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya mata, hidung, telinga, dan sebagainya. Pengetahuan
seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan
persepsi terhadap objek. Notoajmodo, 2010 Beberapa
penelitan menemukan
bahwa pengetahuan
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi wanita untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Wanita yang memiliki pengetahuan
tentang komplikasi kehamilan secara signifikan lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas saat 24 jam
setelah persalinan Kim, dkk., 2013. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Ugboaja, dkk. 2013 bahwa alasan
utama wanita Nigeria tidak mengunjungi pelayanan nifas setelah
melahirkan adalah kurangnya pengetahuan tentang perawatan yang dibutuhkan pasca melahirkan.
Penelitian eksperimental yang dilakukan Syed, dkk 2006 di Bangladesh menemukan bahwa adanya peningkatan pemanfaatan
pelayanan nifas secara signifikan sebesar 37,5 dari 24,2 pada tahun 2002 menjadi 61,7 pada tahun 2004 setelah diberikannya
intervensi tentang pengetahuan. Pengetahuan ibu tentang setidaknya dua tanda bahaya pada periode postpartum meningkat
sebesar 17 dari 47,1 di tahun 2002 menjadi 64 di tahun 2004. Pengetahuan tentang fasilitas kesehatan ibu lebih tinggi di
antara orang-orang yang mendapatkan pendidikan formal Yar‟zever dan Said, 2013. Pengetahuan yang didapat dari
pendidikan memberikan kemudahan bagi individu dalam mengakses informasi dan memanfaatkan pelayanan untuk
meningkatkan kesehatan diri sendiri dan keluarganya Higgins, Lavin dan Metcalfe, 2008; Paudel, dkk., 2013.
Namun, beberapa penelitian juga menemukan bahwa pengetahuan tidak memepengaruhi wanita untuk memanfaatkan
pelayanan nifas. Berhe, dkk 2013 tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan wanita di Etiopia
tentang perawatan pasca persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada
wanita di daerah Mazabuka, Zambia Jacobs, 2007. Meskipun para
wanita memiliki pengetahuan yang tinggi tentang perawatan pelayanan nifas, mereka tidak benar-benar mengerti secara
mendalam tentang pelayanan nifas. Hanya beberapa dari mereka yang berpengetahuan yang memanfaatkan pelayanan nifas.
Perilaku masyarakat yang erat kaitannya dengan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat dapat terbentuk melalui
kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan Maulana, 2009. Pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan dengan
sadar untuk menciptakan peluang bagi individu-individu untuk senantiasa belajar memperbaiki kesadaran serta meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya demi kepentingan kesehatannya Nursalam dan Efendi, 2008. Pendidikan kesehatan dapat
diberikan dalam bentuk memberikan informasi dan mendidikan masyarakat tentang cara hidup yang sehat Chandra, 2009.
d. Urutan Kelahiran Sejumlah penelitian menemukan bahwa nomor urut kelahiran
berhubungan secara signifikan dengan pemanfaaatan pelayanan nifas. Khanal, dkk 2014 menemukan bahwa tingginya
pemanfaatan pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak pertama 61,8 dan kedua atau ketiga 41,2. Begitu juga dengan Singh,
dkk. 2012 yang menemukan bahwa tingginya pemanfaatan
pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak pertama 37,4 dan kedua aatu ketiga 32,8.
Ibu dengan pengalaman persalinan pertama lebih besar kemungkinannya
untuk memanfaatkan
pelayanan nifas
dibandingkan ibu dengan jumlah persalinan yang banyak Adamu, 2011. Jumlah anak yang banyak biasanya berhubungan dengan
peningkatan tanggung jawab secara fisik dan materi sehingga ibu memiliki waktu dan sumber keuangan yang sedikit untuk merawat
diri sendiri. Singh, dkk. 2012 juga menemukan bahwa remaja wanita
yang melahirkan anak keempat atau lebih maka lebih kecil kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada
ibu yang melahirkan anak pertama, kedua atau ketiga. Hal ini bisa jadi karena wanita dengan anak pertama lebih berhati-hati tentang
kehamilan dan cenderung memiliki kesulitan selama persalinan. Pengalaman dan pengetahuan ibu yang pernah melahirkan
sebelumnya juga dapat menjadi alasan rendahnya pemanfaatan pelayanan nifas pada ibu yang memiliki anak dengan urutan
kelahiran tinggi. Hal tersebut memengaruhi persepsi dan keyakinan tentang kesehatan diri sendiri.
Namun, beberapa penelitian juga menemukan bahwa nomor urut kelahiran tidak berhubungan dengan pemanfaaatan pelayanan
nifas. Penelitian Islam dan Odland 2011 menemukan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara urutan kelahiran dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Bahkan pemanfaatan pelayanan nifas
lebih tinggi terjadi pada ibu yang melahirkan anak kedua dan ke empat dibandingkan anak pertama dan ketiga. Fort, dkk 2006
juga menemukan bahwa di negara berkembang, termasuk Indonesia, ibu yang melahirkan anak pertama lebih banyak yang
mendapatkan pelayanan nifas dibandingkan melahirkan anak yang kedua atau lebih. Namun, jika melahirkan di non-fasilitas
kesehatan, pemfantaan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada ibu yang melahirkan anak kelima atau lebih dibandingkan anak dengan
urutan kelahiran kecil.
e. Kunjungan Pelayanan Antenatal ANC Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan
antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan SPK Kemenkes RI, 2010. Frekuensi pelayanan antenatal adalah
minimal 4 kali selama masa kelaminan, yaitu minimal 1 kali pada triwulan pertama, minimal 1 kali pada triwulan kedua dan minimal
2 kali pada triwulan ketiga. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kunjungan ibu ke
pelayanan antenatal berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan
nifas pasca persalinan. Hal tersebut ditunjukkan dari penelitian Chimankar dan Sahoo 2011 yang menemukan bahwa
pemanfaatan pelayanan antenatal memiliki dampak positif pada pemanfaatan pelayanan nifas. Kunjungan ke pelayanan antenatal
meningkatkan kemungkinan bagi wanita untuk memanfaatkan pelayanan nifas Ugboaja, dkk., 2013.
Paudel, dkk. 2013 juga menemukan bahwa ibu yang berkunjung ke pelayanan antenatal sebanyak 4 kali atau lebih atau
sebanyak 1 sampai 3 kali, lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada ibu yang tidak datang ke
pelayanan antenatal. Hasil ini sejalan dengan penelitian Khanal, dkk., 2014 yang juga menemukan bahwa ibu yang berkunjung
sebanyak 4 kali atau lebih ke pelayanan antenatal lebih besar kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas setelah
bersalin daripada ibu yang tidak berkunjung ke pelayanan antenatal.
Standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar di Indonesia juga disebutkan bahwa pada saat kunjungan ANC, terdapat sesi
konseling yang membahas persiapan persalinan Kemenkes, 2013. Saat datang ke pelayanan antenatal, ibu hamil memperoleh
informasi kesehatan tentang persiapan yang dibutuhkan untuk persalinan dan pemanfaatan layanan lebih lanjut yang dibutuhkan
setelah persalinan. Pada sesi konseling dengan tenaga kesehatan
tersebut, ibu hamil memperoleh informasi tentang pemanfaatan pelayanan nifas. Oleh sebab itu, ibu hamil mungkin beranggapan
bahwa pelayanan nifas penting dan telah tersedia di sana. Paudel, dkk., 2013
Meski demikian, beberapa penelitian menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara kunjungan ANC dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Dhaher, dkk. 2008 dan Berhe, dkk. 2013 juga menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara kunjungan ke pelayanan antenatal dengan kunjungan ke pelayanan nifas. Meskipun tidak ada hubungan, Berhe, dkk. 2013
berkeyakinan bahwa penting untuk mendidik para ibu hamil tentang pelayanan nifas untuk meningkatkan kesadaran mereka
ketika berkunjung ke pelayanan antenatal. Alasan ibu yang tidak berkunjung ke pelayanan antenatal
bermacam-macam. Titaley, dkk., 2010 menemukan bahwa alasan utama wanita di Garut, Sukabumi dan Ciamis berkunjung ke ANC
dan pelayanan nifas adalah untuk memastikan keselamatan ibu dan bayinya. Sebaliknya, alasan di antara mereka tidak memanfaatkan
ANC maupun pelayanan nifas adalah karena kurangnya kesadaran mereka tentang pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan ibu
dan anak. Beberapa di antara mereka berpendapat bahwa pelayanan kesehatan hanya dibutuhkan jika terjadi komplikasi kehamilan.
Titaley, dkk 2010 juga menjelaskan bahwa di sana, finansial adalah alasan utama mereka tidak berkunjung ke ANC.
Hal ini berhubungan dengan biaya fasilitas kesehatan, biaya transportasi maupun keduanya. Penelitian Titaley, dkk., 2010
sebelumnya juga telah menemukan bahwa rendahnya pemanfaatan pelayanan antenatal ANC di Indonesia berhubungan secara
signifikan dengan kuintil kekayaan yang rendah. Kunjungan ANC yang tidak dilakukan oleh wanita selama
hamil juga dapat dipengaruhi oleh kepercayaan yang menjadi budaya di lingkungannya. Wanita di daerah rural Jawa Barat
beranggapan bahwa kehamilan adalah peristiwa yang normal sehingga tidak butuh perawatan kecuali jika terjadi komplikasi
Agus, dkk., 2012. Hal serupa juga terjadi di derah rural Bangladesh bahwa wanita umumnya menganggap kehamilan
sebagai peristiwa normal kecuali jika muncul komplikasi sehingga sebagian dari mereka tidak berkunjung ke ANC dan tidak ada
persiapan sebelumnya untuk menghadapi persalinan Choudhury dan Ahmed, 2011.
Selain itu, kunjungan ANC juga diketahui berhubungan dengan pendidikan. Seperti di Ethiopia, wanita di daerah rural
dengan tingkat pendidikan sekunder 4 kali lebih besar memanfaatkan pelayanan antenatal Mekonnen, 2002.
2.4.2 Sumber Daya Pendukung Andersen, 1995