Penolong Persalinan Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia

Upaya meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan perlu dilanjutkan, mengingat hal tersebut mampu menarik 92,9 wanita di daeral rural untuk kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Sasaran intervensi sebaiknya difokuskan pada wanita dengan kuintil kekayaan terbawah, pendidikan di bawah SMTA, urutan kelahiran anak ke-6 atau lebih dan yang memiliki kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Peningkatkan promosi dan kampanye kesehatan tentang pentingnya bersalin di fasilitas kesehatan dapat menambah pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Upaya ini dapat dilakukan melalui penyuluhan secara langsung atau melalui program berbasis masyarakat, berupa pelatihan kepada kader-kader kesehatan setempat tentang sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat.

6.3.6 Penolong Persalinan

Saat proses persalinan, sebaiknya wanita hamil ditolong oleh penolong persalinan utama. Penolong persalinan utama, misalnya dokter, obsetri, dokter anak, dokter keluarga, perawat praktisi, atau perawat bidan bersertifikasi Stright, 2005. Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dapat menekan AKI menjadi sebesar 33 Romans, dkk., 2009. Berdasarkan SDKI tahun 2012, proporsi kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis profesional meningkat dari 73 pada SDKI 2007 menjadi 83 pada SDKI 2012. Namun, proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan di daerah rural lebih rendah dibandingkan proporsi nasional, yaitu sebesar 74,6. BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013 Pada hasil penelitian ini, wanita yang melahirkan di daerah rural tahun 2011-2012 lebih banyak ditolong oleh tenaga kesehatan 86,8 dibandingkan oleh non-tenaga kesehatan 13,2. Pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang ditolong oleh tenaga kesehatan 90 dibandingkan wanita yang ditolong oleh non- kesehatan 56,4 saat persalinan. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penolong persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p- value sebesar 0,000. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa penolong persalinan berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas Nugraha, 2013; Kim, dkk., 2013; Khanal, dkk., 2014. Ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga terlatih lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga yang tidak terlatih Kim, dkk., 2013. Adanya hubungan dalam penelitian ini diasumsikan karena ketika wanita bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan, maka dirinya juga mendapatkan pemeriksaan kesehatan beberapa jam setelah melahirkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 86,8 wanita yang bersalin oleh ditolong oleh tenaga kesehatan, sebanyak 99,2 di antaranya mendapatkan pemeriksaan kesehatan nifas oleh tenaga kesehatan. Paudel, dkk 2013 berpendapat bahwa sebagai bagian dari perawatan persalinan, tenaga kesehatan juga akan menilai situasi ibu dalam beberapa jam setelah melahirkan. Di Indonesia, salah satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan Kemenkes, 2013. Selain itu, pemeriksaan kesehataan segera setelah lahir memang telah menjadi salah satu tugas dari tenaga kesehatan, seperti bidan. Salah satu tugas seorang bidan adalah melakukan pemantauan pada ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan tindakan yang diperlukan Syarifudin dan Hamidah, 2009. Bidan juga bertugas memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada minggu ke-2 dan minggu ke-6 setelah persalinan. Jika melihat jenis tenaga kesehatannya, bidan dan bidan di desa memang merupakan penolong persalinan terbanyak di antara tenaga kesehatan terlatih lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, penolong persalinan oleh bidan dan bidan di desa masing-masing sebesar 47,4 dan 28,9 dari semua responden yang bersalin. Ini menunjukkan bahwa bidan dan bidan di desa memiliki peranan yang cukup besar sebagai penolong persalinan di daerah rural Indonesia. Peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu strategi pemerintah dalam mengurangi AKI. Program pemerintah berupa bidan di desa BDD, yaitu pelatihan dan penyebaran bidan di daerah rural, secara dramatis mengurangi kesenjangan sosial ekonomi terkait penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih Hatt, dkk., 2007. Meskipun proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan cukup tinggi, masih ada wanita bersalin yang ditolong oleh non-tenaga kesehatan, terutama oleh dukun bayi, yaitu sebesar 24,5. SDKI tahun 2012 juga menyebutkan bahwa secara nasional meskipun kelahiran ditolong oleh dukun bayi sudah bergeser, namun dukun bayi masih berperan penting dalam menolong persalinan, terutama di daerah rural 20 dan ibu dengan kuintil kekayaan terendah 32 BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013. Faktor kepercayaan atau budaya menjadi salah satu alasan mereka bersalin dengan ditolong oleh dukun bayi. Penelitian di daerah rural Magelang Jawa Tengah menemukan bahwa alasan sebagian besar warga di sana memilih dukun bayi adalah karena sudah menjadi kebiasaan sejak dulu jika bersalin ditolong oleh dukun bayi Amilda, 2010. Sedangkan di daerah rural Mimika Papua, persalinan oleh dukun bayi disebabkan karena masyarakat meyakini bahwa dukun bayi adalah orang yang mendapatkan warisan kelebihan dari nenek moyang yang biasanya diberikan secara turun temurun Alwi, 2007. Meskipun saat persalinannya nanti si ibu meninggal dunia, masyarakat tidak menyalahkan dukun, melainkan menyalahkan si ibu yang dianggap semasa kehamilannya tidak mengikuti aturan adat. Penelitian Titaley, dkk. 2010 menemukan bahwa alasan wanita di Jawa Barat bersalin ditolong oleh dukun bayiparaji meskipun telah tersedia tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan adalah karena terkendala jarak yang jauh dan terbatasnya finansial yang dimiliki. Sejumlah responden menjelaskan bahwa persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan hanya diperlukan bagi wanita yang mengalami komplikasi kehamilan. Selain itu, terdapat keterbatasan penyedia pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Di sisi lain, bidan desa yang terkadang menjadi satu-satunya penyedia layanan kesehatan, sering melakukan perjalanan keluar desa. Sulitnya penduduk di daerah rural dan daerah terpencil untuk menjangkau bidan di desa telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya Makowiecka, dkk., 2007. Jika dibandingkan di daerah urban, kepadatan bidan di desa lebih rendah terjadi di daerah rural dan daerah terpencil. Akibatnya, setiap bidan di desa sebagai penyedia pelayanan kesehatan memiliki beban tugas yang lebih besar karena jangkauan wilayah kerja yang luas. Di sisi lain, kondisi tersebut tidak didukung oleh sarana transportasi yang memadai sehingga menyulitkan bidan di desa untuk menjangkau wanita bersalin atau merujuknya ke rumah sakit jika terjadi komplikasi. Hal ini yang kemudian juga menjadi penyebab kurang familiarnya atau kurang diterimanya bidan di desa di dalam kelompok masyarakat. Kurang familiarnya bidan di desa di antara kelompok masyarakat juga menjadi alasan wanita memilih dukun bayiparaji sebagai penolong persalinan. Titaley, dkk. 2010 menyebutkan bahwa menurut masyarakat di Jawa Barat, dukun bayiparaji lebih sabar dan perhatian dibandingkan bidan di desa. Dukun bayiparaji senantiasa menemani wanita hamil saat waktu persalinan sudah dekat. Sedangkan bidan di desa akan langsung pergi seteleh melakukan pemeriksaan jika dirasa belum waktunya persalinan dilakukan. Selain karena kepadatan bidan di desa yang rendah, tidak menetapnya mereka di daerah rural menjadi hambatan bagi masyarakat untuk menjangkaunya. Makowiecka, dkk. 2007 menemukan bahwa di provinsi Banten, kurang dari 30 bidan di desa tinggal menetap di desa. Mereka lebih tertarik untuk tinggal di daerah urban karena dapat mengembangkan karirnya. Sebagai tambahan penghasilan, mereka membuka klinik sendiri di daerah urban. Karena masih tingginya penolong persalinan oleh dukun bayiparaji, salah satu upaya Kementerian Kesehatan RI untuk mengurangi angka kematian ibu dan angka kematian bayi, yaitu melalui Dinas Kesehatan Provinsi melakukan beberapa pelatihan bagi paraji untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang kehamilan dan persalinan, terutama bagaimana mendeteksi kehamilan berisiko tinggi, bagaimana merujuk persalinan yang sulit, dan bagaimana menangani tali pusar higienis Ambaretnani, 2012. Selanjutnya, seorang paraji yang telah terlatih diberikan sepaket alat praktek medis atau Dukun Kit. Paraji dianggap sebagai bagian dari keluarga di masyarakat karena peran mereka dalam menjaga kesehatan rumah tangga sehingga tidak hanya membantu saat melahirkan, tetapi juga membantu selama masa kehamilan dan perawatan pasca persalinan. Meskipun masih ada wanita bersalin di daerah rural yang ditolong oleh dukun bayiparaji, sebagian besar dari mereka juga didampingi oleh tenaga kesehatan terlatih sehingga proses persalinannya aman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24,5 penolong persalinan oleh dukun bayiparaji, sebanyak 53,7 di antara juga ditolong oleh tenaga kesehatan. Penelitian Sudirman dan Sakung 2012 menemukan bahwa 62,5 dukun bayi bermitra dengan bidan, yaitu dengan hadir bersama-sama dalam menolong persalinan. Kemitraan ini sangat positif karena hubungan yang terjalin antar keduanya didasarkan pada saling menguntungkan, saling menghargai kelemahan dan kelebihan, saling berkomunikasi dan memberi informasi, terutama tentang pasien yang akan melahirkan. Pada hasil penelitian ditemukan bahwa penolong persalinan oleh tenaga kesehatan lebih rendah terjadi pada wanita dengan pendidikan rendah tidak tamat SD hingga tamat SD, urutan kelahiran anak keempat atau lebih, kuintil kekayaan terbawah dan yang tidak melakukan kunjungan ANC. Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa pendidikan Rogan dan Olvena, 2004, urutan kelahiran Rogan dan Olvena, 2004, kuintil kekayaan Anwar, dkk., 2008 dan kunjungan ANC Anwar, dkk., 2008 berhubungan dengan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan. Peran penolong persalinan terhadap pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita di daerah rural sangat besar. Terlihat bahwa penolong persalinan oleh tenaga kesehatan mampu menarik 90 dari total wanita yang bersalin untuk kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Oleh karena itu, sebaiknya persalinan di fasilitas kesehatan terus dilanjutkan. Sasaran intervensi sebaiknya difokuskan pada wanita dengan kuintil kekayaan terbawah, dengan pendidikan rendah tidak tamat SD hingga tamat SD, urutan kelahiran anak keempat atau lebih dan yang memiliki kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dapat dilakukan melalui peningkatan promosi kesehatan tentang pentingnya bersalin di fasilitas kesehatan atau ditolong oleh tenaga kesehatan sehingga dapat menambah pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Selain itu, kerja sama antara dukun bayiparaji dengan bidan perlu terus ditingkatkan sehingga masyarakat yang lebih menyukai ditolong oleh dukun bayiparaji tetap dapat mendapatkan pertolongan persalinan yang aman dari bidan. Peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas penyedia layanan kesehatan, khususnya bidan di desa sebagai penolong persalinan juga perlu dilakukan. Pemerataan bidan di desa di setiap desa serta perbaikan infrastruktur jalan dan transportasi diharapkan dapat memudahkan masyarakat untuk mendapatkan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan.

6.3.7 Jarak ke Fasilitas Kesehatan