Kemiskinan dan Betawi yang Terpinggirkan

upaya untuk mendapat penghasilan tambahan seperti yang dikatakan responden pendatang Ksnr 60 tahun “dulu pernah punya warteg, pernah buka warung, pernah kreditin pakaian, tapi ada saja halangannya. Sekarang jualan kripik pisang di rumah sambil manfaatin lahan kosong milik orang lain untuk nanem sayuran. Lumayan bisa sambil menjaga cucu”. Tabel 56 Kecenderungan Prilaku Responden Penduduk Miskin Betawi vis-a-vis pendatang tahun 2007 No. Betawi Miskin Pendatang Miskin 1. Menggantungkan diri kepada keluargawarisan Mandiri 2. Cukup pasif Cukup aktif 3. Berpikir jangka pendek Mulai berpikir jangka menengah 4. Cenderung konsumtif Cenderung produktif 5. Cenderung belum berpikir terencana Mulai berpikir terencana 6. Sedikit yang memiliki jiwa berdagang Lebih banyak yang memiliki jiwa berdagang 7. Sedikit yang berpikiran memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia Lebih banyak yang gemar memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti memanfaatkan lahan tidur, membuat pupuk kompos. 8. Memilih pekerjaan Cenderung mau mengerjakan pekerjaan apa saja 9. Memiliki keinginan memberikan pendidikan yang lebih tinggia kepada anak, namun cenderung belum diikuti dengan upaya yang konkrit. Memiliki keinginan memberikan pendidikan yang lebih tinggia kepada anak, cenderung sudah diikuti dengan upaya yang konkrit. Sumber: Data primer. Bila Betawi berpikiran rezeki yang didapatkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pendatang selain untuk memenuhi kebutuhan, mereka mulai berpikiran produktif. Misalnya, untuk menjual bunga bougenvile salah satu modalnya adalah pupuk. Salah seorang responden mengemukakan lebih baik pupuk dibuat sendiri dari sampah daun-daunan kompos, uang yang seharusnya dibuat untuk pupuk, digunakan untuk membeli buku sekolah anak. Keinginan akan pentingnya pendidikan bagi generasi berikutnya sudah disadari baik pada penduduk miskin Betawi dan pendatang. Namun upaya yang dilakukan oleh penduduk miskin Betawi cenderung terlihat belum kongkrit. Lebih mudah menyerah akan pilihan putus sekolah di kala kebutuhan hidup yang lebih mendasar belum tercukupi. Seperti yang dikatakan oleh responden Hll 40 tahun. Susah terus hidup ibu, tapi ibu mah pasrah aja, ditabah-tabahin dah. Pengen anak pinter tapi ga cukup uangnya. Ketiga anak tertua ibu cuma bisa SD, itu juga putus sekolah ga ampe tamat. Moga-moga anak ibu yang keempat ama yang kelima bisa lebih tinggian sekolahnya. Kalo soal nabung mah ibu ga ada rencana apa-apa, untuk makan hari esok aja. Demikian halnya pada jiwa berdagangberwirausaha, pada responden Betawi cenderung lebih jarang ditemui dibandingkan pada pendatang. Program pengentasan kemiskinan di DKI Jakarta baik dari segi jumlah maupun ragamnya, relatif lebih besar dibandingkan program pengentasan di provinsi lainnya. Namun, karena program tersebut cenderung belum mempertimbangkan faktor prilaku, belum tentu penduduk miskin di DKI Jakarta siap menerima „gempuran‟ program pengentasan kemiskinan dari pemerintah. Celakanya hal ini sepertinya belum banyak disadari, pemerintah cenderung hanya menambah kuantitas maupun ragam program pengentasan kemiskinan. Barangkali hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan lebih dari sepuluh tahun terakhir, angka kemiskinan di DKI Jakarta tidak bergeser dari angka tiga sampai empat persen. Boleh jadi semua itu bukan karena anggarannya yang masih kurang atau karena terdapat penduduk yang keadaannya rentan keluar-masuk kemiskinan, tetapi juga karena implementasi program tersebut yang belum mempertimbangkan faktor prilaku penduduk miskin itu sendiri. Program yang sama diperkirakan akan berbeda dampaknya bila diberikan kepada penduduk Betawi miskin atau penduduk pendatang miskin. Melihat fakta di lapangan, Betawi miskin keadaannya perlu mendapat perhatian yang lebih atau mendapat prioritas dibandingkan pendatang miskin karena prilakunya yang dipandang masih rentan untuk dapat segera keluar dari kemiskinan.

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis kemiskinan ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya pada penduduk Betawi vis a vis pendatang di DKI Jakarta, dapat ditarik beberapa kesimpulan sehubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Penjabaran penelitian itu adalah: 1. Lebih banyaknya rumah tangga pendatang yang memperoleh capaian pendapatan menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita yang lebih tinggi kuantil pengeluaran yang lebih tinggi merupakan karakteristik yang paling membedakan Betawi dengan pendatang karakteristik ekonomi. Sebaliknya, capaian pendapatan yang terendah kuantil empat puluh persen pengeluaran per kapita terendah lebih banyak diperoleh oleh rumah tangga Betawi. Persentase jenis lapangan usaha tertinggi yang dilakukan oleh kepala rumah tangga miskin Betawi maupun pendatang berkisar dua puluh lima s.d. tiga puluh persen yang pada Betawi adalah bekerja di sektor persewaan, sementara pada pendatang adalah bekerja di sektor perdagangan. Status berusaha wirausaha pada pendatang persentasenya lebih tinggi dibandingkan pada Betawi. Dengan demikian terlihat bahwa pilihan pekerjaan pada kepala rumah tangga pendatang cenderung searah dengan upaya memperbaiki taraf hidup. Sementara itu, karakteristik sosial merupakan faktor yang tidak terlalu membedakan karakteristik kemiskinan pada Betawi dan pendatang, kecuali kepemilikan tempat tinggal yang sedikit lebih tinggi bpersentasenya pada Betawi. 2. Penelitian ini mengungkapkan bahwa: a. Beberapa kekurangan atupun kelemahan dalam aspek sosial dan ekonomi yang disandang oleh sebagian kepala rumah tangga di DKI Jakarta secara signifikan telah menyebabkan mereka menderita hidup miskin. Tingkat pendidikan yang hanya sampai pada pendidikan dasar menyebabkan mereka memilki keterbatasan dalam pilihan pekerjaan