Kecenderungan Budaya yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta

Mengenai hakikat lingkungan alam, penduduk miskin Betawi cenderung belum melihat peluang atas pemanfaatan sumberdaya alam seperti pemanfaatan lahan tidur yang tentu saja bukan miliknya. Berbeda dengan Betawi, pendatang cenderung berupaya memanfaatkan sumber daya alam, meskipun kesempatan tersebut sangat terbatas. Diantara mereka tampak mengupayakan lahan tidur, mengumpulkan bunga kamboja yang gugur dari pohonnya dijual untuk industri minuman teh, mengumpulkan sampah organik untuk dibuat pupuk yang kemudian pupuk tersebut digunakan untuk menyuburkan usaha tanaman hias bunga bougenvile hasil budidaya sendiri skala kecil. Mengenai hakikat hubungan antara manusia, menyadari akan keterbatasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mereka menjunjung tinggi prinsip kerukunan hidup dalam bertetangga dengan menjalin hubungan saling tolong- menolong. Sementara pendatang, umumnya mereka menjaga hubungan baik dengan tetangga. Hubungan ini dijalin dengan tujuan agar dapat saling-tolong menolong, juga untuk dapat saling berkomunikasi guna mendapatkan informasi. Selain itu, tujuannya adalah untuk menjaga keharmonisan dalam bergaulan sehingga mereka dapat hidup tenang. Tabel 52.Kecenderungan Orientasi Nilai-Budaya pada Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang, 2007 Berdasarkan Kerangka Kluckhohn tentang Lima Masalah Dasar dalam Hidup No. Masalah Dasar Hidup Betawi Pendatang 1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia Hidup itu buruk, tetapi manusia harus mengupayakan untuk menjadikan hidup itu menjadi baik 63,0 Hidup itu buruk, tetapi manusia harus mengupayakan untuk menjadikan hidup itu menjadi baik 70,0 2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia Karya bertujuan untuk nafkah hidup 96,3 Karya bertujuan untuk nafkah hidup 86,7 3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu Orientasi ke masa kini 81,5 Orientasi ke masa kini 70,0 4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya Manusia tunduk menyerah kepada alam 70,4 Manusia tunduk menyerah kepada alam 70,0 5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya Orientasi kolateral horisontal seperti rasa ketergantungan pada sesamanya berjiwa gotong- royong, mementingkan hubungan manusia dengan manusia secara horisontal sesamanya 93,6 Orientasi kolateral horisontal seperti rasa ketergantungan pada sesamanya berjiwa gotong- royong, mementingkan hubungan manusia dengan manusia secara horisontal sesamanya 93,3 Catatan: 1 angka dalam kurung menunjukkan persentase responden dengan nilai orientasi budaya terhadap masalah dasar hidup tersebut dalam tabel. 2 Berdasarkan Uji Mann-Whitney, perbedaan orientasi nilai budaya antara penduduk miskin Betawi dan pendatang, tidak signifikan. 3 Tiga responden Betawi dengan istrisuami pendatang, tidak dimasukkan dalam menghitung persentase. Sumber: Data primer.

6.2.2. Orientasi Nilai-Budaya yang Berpihak Kemajun pada Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang

Dari hasil penelaahan kecenderungan orientasi nilai budaya, belum terlihat secara tajam perbedaan antara sudut pandang lima masalah dasar dalam hidup pada Betawi dan pendatang. Padahal dari pengolahan model regresi logistik terdapat hubungan yang signifikan antara budaya, yang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan suku bangsa, dengan kemiskinan. Untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap maka akan dilihat lima masalah dasar dalam hidup menurut Kluckhohn, bila dihubungkan dengan nilai orientasi pada budaya yang berpihak pada kemajuan. Pembahasan nilai-orientasi budaya, seperti yang kembali dibicarakan atau menjadi isu penting Harison dan Hutington, 2006, akan lebih lengkap bila menelaahnya dari sudut pandang kebangkitan peran budaya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil-hasil analisis terkait, yang mengungkapkan bahwa budaya berperan dalam pencapain kemajuan dalam kehidupan. Grondona, 1999, dalam Harrison dan Hutingtonm, 2006 mengemukakan bahwa dari beragam studi kasus yang telah dianalisis oleh Hutington, ia berusaha membuat tipologi budaya dimana terdapat dua tipe ideal sistem saling berhadapan, yaitu yang secara total memihak pembangunan ekonomi dan yang belum memihak pembangunan ekonomi. Dihubungkan dengan hasil analisis Grondona, budaya majumemihak kemajuan dalam kerangka pemikiran Kluckhohn yang relevan pada masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, yaitu hidup itu buruk, tetapi manusia harus mengupayakan untuk menjadikan hidup itu menjadi baik. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia yang relevan yaitu karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu yang relevan yaitu orientasi ke masa yang akan datang. Sementara itu, masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya yang relevan adalah manusia berhasrat mengeksploitasi alam dengan teknologi. Tabel 53.Orientasi terhadap Nilai Budaya Maju pada Responden Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang No. Orientasi Nilai Budaya Maju Betawi Pendatang 1. Hidup itu buruk, tetapi manusia harus mengupayakan untuk menjadikan hidup itu menjadi baik. 63,0 70,0 2. Karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi. 3,7 10 3. Orientasi ke masa yang akan datang. 14,8 23,3 4. Manusia berhasrat mengeksploitasi alam dengan teknologi. 7,4 13,3 5. Menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri. 3,3 6,7 Sumber: Data primer Catatan: Tiga responden Betawi dengan istrisuami pendatang, tidak dimasukkan dalam menghitung persentase. Tabel 53 menunjukkan orientasi terhadap nilai budaya maju pada responden penduduk miskin Betawi vis a vis Pendatang. Terlihat bahwa penduduk miskin Betawi maupun pendatang, cenderung belum berorientasi pada nilai-nilai yang berpihak pada kemajuan, kecuali pandangan terhadap hakikat hidup. Hal ini ditunjukkan oleh nilai persentase yang rendah pada diri responden yang telah berorientasi pada nilai-nilai yang berpihak pada kemajuan. Bila dibandingkan antara Betawi dan pendatang, tampak bahwa pada pendatang, responden yang telah berorientasi pada nilai-nilai yang berpihak pada kemajuan, persentasenya lebih tinggi dibandingkan pada Betawi. Persentase yang lebih tinggi ini merata pada seluruh aspek lima masalah dasar dalam hidup kerangka Kluckhohn. Keadaan pada penduduk miskin Betawi ini terjadi karena mereka relatif merasa hidupnya lebih terjamin dibandingkan pendatang yang hidup berjauhan dari kerabat dekat. Selain itu, pada Betawi, terdapat sifat kurang memiliki rasa cemburu dalam arti positif, sehingga kurang memacu mereka untuk bekerja keras mengejar ketinggalan terhadap lingkungan yang telah maju pesat.

6.2.3 Kendala untuk dapat Mencapai Kemajuan pada Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang

a. Penduduk Miskin Betawi

Menurut hasil pengamatan, kemiskinan yang dialami responden Betawi miskin karena paling tidak sejak satu generasi sebelumnya memang keadaannya sudah miskin. Sumber daya alam berupa kepemilikan lahan yang luas, seperti layaknya yang dimiliki penduduk asli, sampai dengan satu generasi sebelumnya sudah tidak lagi memiliki. Hasil pengamatan tersebut misalnya seperti yang dijelaskan oleh responden Mh 52 tahun, yang di tinggal di Menteng Dalam “Boro-boro punya tanah warisan, Neng. Sekarang aja tinggal boleh numpang ama Dinas Pemakaman dapet di pinggir Kober. Babenya ibu dulu kerjanya penggali kuburan, jadi boleh numpang bikin rumah di sini 60 m 2 ”. Responden lain. Ey 34 tahun, mengaku mendapat warisan tanah dengan luas yang sangat minim. Dulu engkong saya kabarnya punya tanah agak luas di sini. Ama engkong dibagi-bagi dah tuh tanah, termasuk Bapak saya kebagian juga. Sama Bapak dijual dikit-dikit buat biaya hidup, abis gimana lagi, Bapak pengangguran. Sekarang saya masih kebagian warisan dikit, sama aja nggak dah, cuma’ 9 m 2 . Tempat tinggal saya sekeluarga sekarang ini. Contoh lain seperti yang diungkapkan oleh Swt 34 tahun yang tinggal di Marunda “Menurut suami, sebenernya mertua punya lahan yang cukup luas. Kebiasaan di keluarga suami, lahan turun-temurun dibagi-bagiin. Sampai giliran ke suami cuma tersisa 60 m 2 ,” kata Sarwati penduduk pendatang yang bersuami Betawi. Keadaan kemiskinan menyebabkan kualifikasi pendidikan responden sangat terbatas. Akibatnya peluang bekerja pun menjadi terbatas dan kompensasi yang mereka terima umumnya rendah. Sebagai contoh seperti pengakuan Responden Lmh 46 tahun. Kalo Sabtu dan Minggu saya ke Kebon Binatang Ragunan nyewain tiker ama pengunjung. Lumayan dah dapet duit dua puluh ampe limapuluh ribuan sehari. Sayangnya kaya’ gini ga tiap hari. Pan Ragunan ramenya kalo liburan doang. Contoh lain dapat diketahui dari hasil wawancara sebagai berikut. Hlh 40 tahun hanya bersekolah hingga bangku kelas tiga SD. Suaminya bernama Sdi 55 tahun, tidak pernah mengenyam pendidikan. Sdi bekerja sebagai kuli empang dengan penghasilan saat itu sekitar Rp 250.000,00 per bulan. Hlh memiliki lima orang anak yang kelimanya belum menikah. Anak pertamanya seorang laki-laki yang bernama Sph 25 tahun bersekolah hingga kelas tiga SD, saat ini ia tidak memiliki pekerjaan. Anak keduanya seorang perempuan, 22 tahun, hanya bersekolah hingga kelas empat SD, namun saat ini ia bekerja sebagai buruh jahit. Anak ketiganya, Rd 18 tahun, hanya bersekolah hingga kelas dua SD, saat ini ia tidak bekerja. Dua anaknya yang terakhir masih bersekolah. Mereka adalah St 14 tahun yang saat itu kelas dua SMP dan Yn 11 tahun yang duduk di kelas 3 SD. Keinginan untuk dapat hidup lebih baik dan berikhtiar untuk mencapainya, umumnya terbentur dengan keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan. Seperti pengakuan yang dialami responden Sm 44 tahun di kebagusan “Jadi tukang cuci ya lumayan daripada nggak ada penghasilan. Abis bingung mau kerja yang laen bisanya cuma gini. Nyoba-nyoba jualan jajanan seperti es, kerupuk kagak maju- maju ”. Keinginan untuk berwirausaha tampaknya belum diimbangi dengan keberanian untuk menanggung resiko. Indikasi ini misalnya tercermin dari ungkapan berkeinginan mendapat bantuan modal usaha tetapi modal tersebut berupa pemberian yang tidak perlu dikembalikan, seperti yang diceritakan oleh responden Ahmd 56 tahun Jadi buruh bangunan kadang ada yang ngajak kadang kagak ada, padahal kebutuhan mah jalan terus. Kalo’ ada bantuan saya pengennya modal aja buat usaha. Tapi kalo’ bisa ga pake syarat ngembaliin lagi. Takut ga mampu ngembaliin. Kendala-kendala lain yang menghambat pencapaian kemajuan tak lepas dari ketidakberdayaan di bidang sosial maupun ekonomi seperti ketidakmampuan meneruskan pendidikan anak, faktor kesehatan ataupun usia yang sudah tua, suami wafat, sulit mendapatkan pekerjaan karena belum mampu untuk bersaing yang sering berujung pada keadaan tidak memiliki pekerjaan tetap atau bahkan tidak bekerja, tidak mengetahui bagaimana cara memperbaiki taraf hidup, di sisi lain kebutuhan hidup semakin hari semakin mahal. Pada beberapa kasus terdapat responden yang menganggap hidup susah sudah merupakan takdir, ditemukan pula fakta yang mengungkapkan orang Betawi gengsi bila harus bekerja kasar. Responden Ey 34 tahun di Marunda mengatakan “Dari lahir takdirnya susah, punya bapak penggangguran, dapet jodoh eh penggangguran juga ”. Responden Nsh 47 tahun di Kebagusan mengatakan “Mikul-mikul mah orang Betawi nggak maen, gengsi ”.

b. Penduduk Miskin Pendatang

Berbeda dengan pada Betawi, pendatang cenderung hijrah dari kampung halamannya ke Jakarta karena merasa sudah tidak ada harapan untuk meningkatkan taraf hidup di tempat asalnya. Mereka datang ke Jakarta cenderung hanya bermodalkan semangat juang untuk bekerja. Di Jakarta mereka harus gigih berupaya mempertahankan kehidupannya karena cenderung tidak dapat mengharapkan bantuan dari keluarga dan tidak memiliki aset warisan seperti yang dimiliki oleh Betawi, sebagai contoh seperti yang dikatakan responden Usm 53 tahun. Saya biasa jadi kenek tukang batu, sayang pekerjaan begini bukan pekerjaan tetap, tapi terpaksa dijalanin abis ga punya pendidikan. Lagi nyari pekerjaan tambahan sih, pekerjaan kasar juga mau sambil mikir pengen dagang. Sayang modalnya belum ada. Responden lain Dsp 42 tahun mengatakan “kepengen memperbaikin hidup, biar anak gak putus sekolah, nanam bunga bougenvile, jualan teh botol di pemakaman, penggali kuburan, bikin warung usaha saya. Pendidikan hanya sampe kelas tiga SD, ga ada pilihan lain mending berdagang aja ”. Responden lain, Enh 35 tahun merasa sulit mendapatkan pekerjaan tetap dan tak ada modal untuk berdagang “Jadi tukang kayu tapi bukan pekerjaan tetap. Saya merasa masih sulit hidupnya, jadi saya harus giat bekerja. Sayang lapangan pekerjaan apalagi pekerjaan tetap, susah dapatnya. Mau dagang ga ada modal ”. Kendala-kendala lain yang menghambat pencapaian kemajuan tak lepas dari ketidakberdayaan di bidang sosial maupun ekonomi seperti ketidakmampuan meneruskan pendidikan anak, faktor kesehatan ataupun usia yang sudah tua, suami wafat. Berbeda dengan pada Betawi, pendatang cenderung mengetahui upaya apa yang terus harus dilakukan dan tidak menyerah pada nasib. Tabel 54.Kendala dalam Menjalani Hidup menurut Pengakuan Responden Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang No. Kendala Betawi Pendatang 1. Terbatasnya pilihan pekerjaan karena keterbatasan kualifikasi pendidikan responden V V 2. Terbatasnya kemampuan responden dalam menyekolahkan anak V V 3. Buta huruf V - 4. Kepala rumah tangga tidak memiliki pekerjaan tetap V V 5. Ketatnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan tetap V V 6. Pendapatan terbatas, sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari V V 7. Tekun bekerja namun pendapatan tetap terbatas karena tingkat pendidikanmodal responden yang terbatas V V 8. Mahalnya harga barang- barang V V 9. Sudah berumur lanjutsudah tua V V Tabel 54 Lanjutan No. Kendala Betawi Pendatang 10. Suamikepala rumah tangga wafat V V 11. Kondisi kesehatan yang telah menurunsakit V V 12. Merasa banyak tanggungan - V 13. Belum berhasil menyisihkan uang untuk modal usahamengembangkan usaha V V 14. Merasa sudah susah sejak lahir takdir V - 15. Harus menjaga cucu V - 16. Tidak mengetahui apa yang harus diupayakan V - 17. Merasa masih kurang tekun dalam bekerja - V Sumber: Data primer.

6.2.4 Harapan Bantuan pada Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang

Harapan bantuan pengentasan kemiskinan baik pada Betawi maupun pendatang cenderung bervariasi. Harapan tersebut seputar kesempatan mendapatkan pekerjaan tetap, jaminan pendidikan, jaminan kesehatan, jaminan tempat tinggal berupa bantuan uang sewa rumahperbaikan rumah, modal untuk berusaha, uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Untuk modal usaha, lebih banyak diungkapkan oleh responden pendatang dibandingkan Betawi. Tabel 55.Harapan Bantuan menurut Responden Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang