Perumusan Masalahan Penelitian PENDAHULUAN
melebar antara distribusi akses penduduk di kawasan kota, khususnya DKI Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia, dan wilayah lainnya terhadap sumber-
sumberdaya, kesempatan kerja dan pendapatan. Gejala pemusatan aktivitas beserta konsekuensinya terjadi di DKI Jakarta
sebagai kota terbesar di Indonesia. Hal ini membuat Jakarta mempunyai daya tarik yang besar bagi penduduk Indonesia. Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan,
tetapi juga pusat pertumbuhan ekonomi, pusat perdagangan, pusat jasa, pusat pendidikan, pusat industri, pusat investasi, dan sebagainya. Kemudian, Jakarta
menjadi salah satu kota yang mempunyai daya tarik yang tinggi bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Bagi penduduk yang tinggal di luar Jakarta, kota ini
dianggap kota yang dapat memberikan pengharapan akan masa depan. Dengan situasi perdesaan yang semakin sulit, taraf subsisten, terbatasnya fasilitas dan
infrastruktur, dapat dipahami bahwa pada akhirnya terjadi migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan maupun kota-kota lainnya ke Jakarta.
Arus migrasi yang berlebih pada akhirnya menimbulkan kepincangan- kepincangan pada lembaga masyarakat di Jakarta, yang dapat mengarah pada
masalah sosial kemiskinan. Sharp, et. al 1996: 173-191 yang dikutip kembali oleh Kuncoro 2003, mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dari
sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi
pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat
perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga,
kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Selanjutnya, migrasi penduduk dari berbagai wilayah di Indonesia ke
Jakarta telah membuat kota ini memiliki kepadatan penduduk yang tinggi juga terdiri dari pendatang yang berasal dari berbagai suku bangsa multietnik. Hal ini
sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ismani 1991, salah satu ciri masyarakat kota yang sangat menonjol adalah heterogenitasnya dalam berbagai bidang
kehidupan dan penghidupan. Heterogenitas tersebut dapat dilihat dari tingkat sosial ekonominya berbeda-beda, tingkat pendidikan dan agama juga berlainan
satu sama lain, mata pencaharian berbeda dan lain sebagainya. Di samping itu, pada berbagai negara yang berpenduduk multi ethnic, penduduk di daerah
perkotaannya cenderung berasal dari kelompok-kelompok etnik ethnic group yang berbeda-beda.
Meskipun Jakarta terdiri dari masyarakat yang berasal dari beragam suku bangsa, namun penduduk yang dianggap sebagai penduduk asli adalah suku
Betawi. Dalam sensus 1930 orang Betawi merupakan mayoritas penduduk kota Jakarta, yaitu sebesar 778.953 orang atau sekitar 64 persen dari jumlah penduduk
Shahab, 2004. Seiring dengan perjalanan waktu, komposisi tersebut saat ini telah mengalami penurunan menjadi sekitar 27,65 persen atau sebesar 2.301.587
orang dari 8.324.707 orang penduduk Jakarta pada tahun 2000 Badan Pusat Statistik, 2000.
Penduduk Betawi sejak dulu telah hidup berdampingan dan melakukan interaksi sosial dengan penduduk pendatang. Penduduk Betawi sendiri enggan
untuk merantau. Menurut Alwi yang dikutip oleh Shahab, 2002, sifat tidak mau meninggalkan kampung atau merantau, memang sifat yang telah turun-temurun
bagi orang Betawi. Dalam salah satu bukunya, Shahab mengemukakan enggannya masyarakat Betawi merantau punya kaitan dengan sejarah.
Ditetapkannya Batavia sebagai pusat pemerintahan sejak masa Hindia Belanda telah membuat kota ini memiliki banyak fasilitas
. “Mau sekolah, tidak usah pergi jauh-jauh. Lapangan pekerjaan relatif banyak tersedia, kantor-kantor bejibun.
Dan, yang paling penting dekat dengan keluarga ”, begitu ungkapan mereka.
T okoh Betawi Djabir, Alwi Mas‟oed, dan Firman Muntaco seperti yang dikutip
oleh Shahab, 2002, mengakui ada faktor negatif akibat enggannya etnis Betawi pergi merantau. Akibatnya, hidup mereka menjadi lebih santai dan kurang
menghadapi tantangan. Bagi pendatang, apabila tidak sukses tinggal di Jakarta biasanya malu untuk pulang kampung. Tidak demikian bagi orang Betawi,
mereka berkesempatan untuk mendatangi famili yang agak berkecukupan untuk mendapatkan bantuan.
Pada masa lampau penduduk Betawi cenderung tertinggal dalam kehidupan masyarakat, padahal mereka adalah penduduk asli Jakarta. Menurut Shahab, 2004,
sampai dengan sebelum tahun 1975, tidak satupun literatur yang menyebutkan kelebihan dari etnik ini, bahkan disebutkan bahwa suku Betawi merupakan
kelompok inferior di Jakarta. Betawi dianggap merupakan kelompok inferior pada masa itu, sebenarnya
dapat dihubungkan dengan kehidupan Betawi pada masa lampau. Menurut hasil penelitian ahli sejarah dan ekonomi, L. Castles, yang meneliti komposisi suku-
bangsa penduduk Jakarta melaporkan bahwa jumlah penduduk Betawi yang melek huruf pada tahun 1930 sebesar 11,9 persen, suatu angka yang terlampau rendah
untuk daerah perkotaan. Perkembangan selanjutnya, tercatat pada tahun 1961, hanya sekitar dua persen penduduk Betawi yang menamatkan sekolah lanjutan
pertama. Bila ditelaah dari sejarah Betawi di masa lampau, seperti yang diungkapkan
oleh Castle 1967, yang dikutip kembali oleh Koentjaraningrat 1975, bahwa taraf pendidikan yang rendah dari penduduk Jakarta asli disebabkan karena mulai
permulaan abad ke-17 sistem pemerintah kolonial Belanda selalu bersifat langsung, dengan membawa sendiri formasi pegawainya, baik yang berbangsa
Belanda maupun yang berbangsa Indonesia dari daerah-daerah lain di Jakarta. Orang Jakarta sendiri tak pernah diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pengurusan daerahnya sendiri, sehingga sejak dulu mereka tak pernah dikembangkan keinginannya untuk masuk ke dalam golongan kepegawaian, dan
dengan demikian juga suatu keinginan untuk maju dalam pendidikan sekolah. Pada saat itu, orang Jakarta asli jarang ada yang menduduki jabatan-jabatan tinggi
dalam kepegawaian atau dalam pemerintahan. Tokoh seperti Husni Thamrin misalnya, merupakan terkecualian yang jarang. Sementara, di tempat-tempat lain
di Indonesia keinginan rakyat untuk bersekolah sudah lama dirangsang dengan adanya kesempatan-kesempatan untuk menjadi pegawai negeri dan guru.
Intepretasi tentang hal yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk Betawi pada masa lampau seperti yang telah diungkapkan di atas,
diperkuat lagi dengan orientasi penduduk Betawi ke arah agama Islam yang amat kuat dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa lampau, sekolah mereka hubungkan
dengan cara hidup orang Belanda atau orang Cina, yang dalam hati sanubari mereka tidak mereka sukai. Sedangkan pengaruh dari guru-guru mengaji
mendorong mereka untuk memilih belajar mengaji atau masuk pesantren ataupun madrasah dan tidak pergi ke sekolah tempat orang Belanda dan Cina non
muslim pergi bersekolah. Menurut Soekanto, 1990, pola prilaku yang dipengaruhi nilai-budaya dapat
berubah perubahan sosial apabila pola prilaku tersebut dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Sejalan dengan hal itu, menurut Shahab 2004, perubahan sosial
telah terjadi pada penduduk Betawi seperti yan g pernah diungkapkannya “orang
Betawi bangkit sehingga menepis pandangan streotype tentang orang Betawi”.
Namun, masih ada sebagian pengamat yang memandang betawi sebagai kelompok inferior. Meskipun pendapat ini dibantah oleh Asbah, 1992 yang
dikutip kembali oleh Shahab 2004 “Banyak orang sok tahu mengenai Betawi,
tetapi sebenarnya pengetahuan mereka cuma di permukaan saja. Jangan katakan bahwa orang Betawi sedang tenggelam, menyingkirlah kamu yang bermaksud
demikian ”.
Tabel 1. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Kepala Rumahtangga Tidak Miskin dan Miskin pada Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk
Pendatang, Tahun 2004
Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Tidak
belum pernah
sekolah Tidak
tamat SD SD
SLTP SLTA
Perguruan Tinggi
Tidak Miskin Pendatang
1,35 5,40
16,05 19,76
42,50 14,94
Betawi 5,65
10,87 25,07
19,14 33,25
6,01 Miskin
Pendatang 5,97
14,98 30,54
29,48 19,02
0,00 Betawi
6,05 9,84
34,89 29,63
19,60 0,00
Total 2,33
6,69 18,23
19,85 40,11
12,79
Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas Kor 2004, diolah.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar kepala rumahtangga Betawi miskin memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah
34,89 persen, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumahtangga tidak miskin dan miskin pada penduduk Betawi
dan penduduk pendatang. Padahal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
pendidikan berkaitan dengan produktivitas. Produktivitas yang rendah pada gilirannya menyebabkan upah yang rendah. Hal menarik yang dapat dilihat dari
tingkat pendidikan pada tabel tersebut adalah pada penduduk miskin, tingkat pendidikan kepala rumahtangga Betawi relatif sama dengan tingkat pendidikan
kepala rumahtangga pendatang. Sementara itu, pada penduduk tidak miskin persentase tingkat pendidikan kepala rumahtangga terlihat semakin rendah
dibandingkan tingkat pendidikan kepala rumahtangga pendatang pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Dari data tersebut nampaknya
pendapat streotype tentang orang Betawi masih belum sepenuhnya dapat dihilangkan.
Shahab, 2004, pernah mengemukakan bahwa orang Betawi sampai tahun 1960-an mungkin tidak pernah merasakan ada tantangan hidup yang cukup
berarti. Pada masa itu mereka masih dininabobokan oleh aset besar yang dimilikinya. Mereka rata-rata masih punya tanah yang luas dengan tanaman yang
hasilnya bisa bisa memenuhi kebutuhan hidup. Bila kebetulan ada kesulitan, bisa diatasi dengan menjual sebagian tanah tadi. Keadaan demikian menyebabkan
mereka menjadi terlena dan lengah dalam menghadapi dan menuju hari depannya. Keadaan terlena tersebut mungkin masih membekas pada sebagian penduduk
Betawi pada saat ini, khususnya bagi mereka yang terlambat untuk berpikir pro- kemajuan.
Upaya pemerintah untuk memastikan tidak ada kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan diantaranya dengan terus
konsisten dalam melakukan pengentasan kemiskinan dengan strategi yang diantaranya adalah melalui perbaikan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya, serta
melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Namun, pengentasan kemiskinan yang sebelumnya dilakukan melalui pendekatan berdasarkan gejala
kemiskinan yang ada dan bersifat seragam, perlu diperkaya dengan pemahaman terhadap orientasi nilai budaya pada penduduk miskin yang diduga akan bersifat
beragam. Apalagi untuk kota Jakarta dengan penduduk dengan beragam budaya. Dengan demikian, diharapkan dapat diketahui terapi yang lebih efektif dalam
pengentasan kemiskinan.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bagaimana menjelaskan kemiskinan yang terjadi khusus penduduk Betawi dan pendatang di Jakarta merupakan hal
yang masih perlu dikaji. Oleh sebab itu, yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana kemiskinan pada penduduk Betawi sebagai
penduduk asli DKI Jakarta vis-a-vis penduduk pendatang? Sementara yang menjadi permasalahan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakteristik kemiskinan pada rumah tangga betawi vis-a- vis penduduk pendatang?
2. Bagaimana menjelaskan kecenderungan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kemiskinan di DKI-Jakarta?
3. Bagaimana orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis-a- vis penduduk pendatang miskin dalam menjalani kehidupannya sehari-
hari, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk dapat keluar dari kemiskinan?