VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis kemiskinan ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya pada penduduk Betawi vis a vis pendatang di
DKI Jakarta, dapat ditarik beberapa kesimpulan sehubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Penjabaran penelitian itu adalah:
1. Lebih banyaknya rumah tangga pendatang yang memperoleh capaian pendapatan menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita yang lebih
tinggi kuantil pengeluaran yang lebih tinggi merupakan karakteristik yang paling membedakan Betawi dengan pendatang karakteristik
ekonomi. Sebaliknya, capaian pendapatan yang terendah kuantil empat puluh persen pengeluaran per kapita terendah lebih banyak diperoleh
oleh rumah tangga Betawi. Persentase jenis lapangan usaha tertinggi yang dilakukan oleh kepala rumah tangga miskin Betawi maupun pendatang
berkisar dua puluh lima s.d. tiga puluh persen yang pada Betawi adalah bekerja di sektor persewaan, sementara pada pendatang adalah bekerja di
sektor perdagangan. Status berusaha wirausaha pada pendatang persentasenya lebih tinggi dibandingkan pada Betawi. Dengan demikian
terlihat bahwa pilihan pekerjaan pada kepala rumah tangga pendatang cenderung searah dengan upaya memperbaiki taraf hidup. Sementara itu,
karakteristik sosial merupakan faktor yang tidak terlalu membedakan karakteristik kemiskinan pada Betawi dan pendatang, kecuali kepemilikan
tempat tinggal yang sedikit lebih tinggi bpersentasenya pada Betawi.
2. Penelitian ini mengungkapkan bahwa: a. Beberapa kekurangan atupun kelemahan dalam aspek sosial dan
ekonomi yang disandang oleh sebagian kepala rumah tangga di DKI Jakarta secara signifikan telah menyebabkan mereka menderita hidup
miskin. Tingkat pendidikan yang hanya sampai pada pendidikan dasar menyebabkan mereka memilki keterbatasan dalam pilihan pekerjaan
untuk memperoleh penghasilan bahkan tidak memperoleh pekerjaan tidak bekerja atau sebagai setengah pengangguran jam kerja kurang
atau sama dengan 35 jam dalam seminggu. Keterbatasan ketrampilan barangkali yang menyebabkan membuat mereka bekerja sebagai buruh
di sektor non pertanianpertanian, yang merupakan status pekerjaan yang signifikan berkorelasi positif dengan kemiskinan. Kelemahan
berupa kondisi kesehatan kepala rumah tangga yang sakit-sakitan menderita sakit kronis juga berkorelasi positif dengan kemiskinan
karena keadaan ini menghalangi kepala rumah tangga untuk berusaha memperoleh penghasilan, apalagi bila hal ini ditambah pula dengan
tidak adanya jaminan kesehatan kepala rumah tangga. Kelemahan berupa terbatasnya ketrampilan diperberat lagi dengan tidak dimilikinya
akses terhadap kredit usaha juga merupakan faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Demikian pula bila kepala rumah tangga merupakan
seorang perempuan. b. Kepala rumah tangga yang bekerja dengan status berusaha
mengindikasikan unsur wirausaha, baik dibantu buruh tetaptidak tetap atau berusaha sendiri berpeluang untuk menjadi tidak miskin.
Artinya, kepala rumah tangga yang dikaruniai semangat untuk berwirausaha cenderung akan menemukan jalan untuk memperbaiki
taraf hidupnya. Apalagi bila hal tersebut ditunjang dengan diperolehnya kredit usaha.
c. Faktor usia dan kepala rumah tangga Betawi cenderung berkorelasi negatif dengan kemiskinan. Suku Betawi diduga cenderung kondisinya
disokong oleh kepemilikan aset tanahtempat tinggal yang merupakan warisan atau terjamin kehidupannya oleh kerabat dekat. Keadaan ini
sesungguhnya merupakan kelebihan yang disandang oleh kepala rumah tangga Betawi, namun sifatnya cenderung tidak akan abadi. Kondisi ini
justru akan membuat mereka terlena dan akhirnya terpinggirkan, kalah bersaing dengan pendatang yang datang ke Jakarta dengan keinginan
memperbaiki taraf hidupnya.
3. Orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis a vis penduduk pendatang miskin dalam menjalani kehidupannya sehari-hari cenderung
sama, hal positif yang sudah diyakini baik penduduk Betawi maupun pendatang adalah bahwa mereka telah menyadari bahwa untuk
memperbaiki taraf hidup diperlukan ikhtiar, namun cara berikhtiar pada Betawi, berbeda dengan pendatang. Lebih jauh, budaya yang
progresifberpihak pada kemajuan cenderung jumlahnya lebih banyak pada responden pendatang dibandingkan pada Betawi. Misalnya dalam
hal keinginan untuk bekerja lebih keras dan berwirausa, keinginan. untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup atau mendapatkan penghasilan. Hal ini
terlihat dari usaha yang lebih kongkrit, motivasi dalam berusaha, keinginan untuk berdagang, rajintekun dalam bekerja, keinginan untuk
mencoba beragam pekerjaan, terlihat lebih kuat pada pendatang. Betawi cenderung bersikap menerima keadaan hidupnya yang barangkali
disebabkan mereka terbiasa hidup nyaman di daerahnya sendiri dan belum terlihat kecenderungan memiliki jiwa kewirausahaan. Pada beberapa
kasus ditemui prinsip gengsi bila melakukan pekerjaan kasar. Dalam hal kemiskinan, mereka cenderung menyesuaikan diri dengan keterbatasan
yang ada. Untuk saat ini keadaan penduduk miskin Betawi cenderung masih tertanggulangi oleh aset warisan tanahrumah, namun hal ini
bersifat sementara karena aset yang jumlahnya semakin minim itu pun bisa menjadi habis, sehingga penduduk Betawi miskin keadaanya diduga
akan semakin terpinggirkan.
8.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dalam kesempatan ini peneliti memberikan beberapa saran yang menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait:
1. Agar penduduk Betawi kelompok empat puluh persen pendapatan terendah jumlahnya menjadi semakin kecil, maka Betawi pada kelompok ini
hendaknya mengubah prilaku menjadi lebih produktif. Untuk mewujudkannya perlu perhatian yang lebih besar pada penduduk Betawi,
terutama pelatihan bagaimana menggugah mereka untuk meningkatkan motivasi dari diri sendiri untuk berupaya meningkatkan taraf hidup.
2. Agar penduduk miskin tidak terjerat dalam keadaan kemiskinan yang tidak berujung, perlu peningkatan terhadap pendidikan. Bantuan pendidikan
bagi penduduk miskin dipandang perlu setidaknya sampai jenjang SLTA dan bea siswa perguruan tinggi bagi siswa yang berbakat, karena
pekerjaan formal yang memberikan pendapatan tetap memiliki kualifikasi paling tidak sampai jenjang SLTA.
3. Agar penduduk miskin yang saat ini terlanjur hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat dasar, bisa mendapatkan penghasilan yang
layak, perlu peningkatan penyediaan modal usaha untuk wirausaha. Namun penyediaan modal ini hendaknya dengan memperhatikan kesiapan
mental target penerimaan bantuan. Seperti pada penduduk miskin dengan prilaku yang masih belum produktif, perlu diubah terlebih dahulu
prilakunya. Untuk mewujudkannya, perlu pendidikan non formal. 4. Agar kepala keluarga pada khususnya dan penduduk miskin pada
umumnya terjamin kesehatannya, bantuan jaminan kesehatan perlu ditingkatkan. Untuk mewujudkan program tersebut berdaya guna dan
berhasil guna, penduduk yang menerima bantuan kesehatan perlu disosialisasikan manfaatnya dan mengajak mereka untuk datang ke
fasilitas kesehatan jangan hanya setelah sakit tetapi juga saat masih sehat sebagai tindakan preventif.
5. Penanggulangan kemiskinan di DKI Jakarta hendaknya tidak sekadar menambah anggaran dan menambah jenis program pengentasan
kemiskinan semata, namun perlu memperhatikan prilaku dari target sasaran program. Untuk mewujudkannya, perlu perhatian terhadap upaya
memahami orientasi nilai budaya mereka, misalnya pada Betawi. Untuk itu, perlu kajian terhadap prilaku penduduk miskin di Jakarta, tidak hanya
pada Betawi atau pendatang yang dalam penelitian ini terbatas pada Jawa dan Sunda, tetapi juga pada suku-suku lainnya.